"Keberadaan realitas–dunia eksternal–tidak bergantung pada kesadaran manusia, juga tidak bergantung pada pengetahuan, kepercayaan, hasrat atau kekhawatiran pengamatnya. Tugas kesadaran manusia adalah memahami realitas. Bukan menciptakan atau menemukannya!"
-Ayn Rand
Kami memang tidak mengerti hal yang berbau sosiometri atau semacamnya. Tetapi sebagai manusia yang berakal dan berperasaan, aku merasakannya. Semua abangku mengalami deteriorasi mental, termasuk diriku sendiri. Dan kami burnout atas keluarga ini. Mereka rentan berbuat nekad hanya karena masalah kecil yang melanda. Jangan harap menemukan kerasionalan di sini.
Ibu mempertahankan keluarga ini melebihi peluh dan nyawanya. Apapun yang ia miliki, ia pastikan hanya untuk keluarga. Tersakiti sejak awal pernikahan, tak membuatnya gentar dan mengundurkan diri, menyudahi ini semua. Ini sebabnya, kami masih di sini bersamanya. Terus dipacu menghadapi jalanan rusak.
Saat kami kecil, kami hanya berpikir, bagaimana caranya menghabiskan waktu supaya tidak berlama–lama di dalam rumah. Tanpa dipertanyakan dan dijawab, kami dapat mengatasinya. Temanlah kata pertama untuk menyelesaikan masalah ini. Selalu, kami lupa waktu, sampai ibu mencari kami ke rumah–rumah tetangga. Ketika dewasa, semua berubah. Di mana pun dan berapa lama kami pergi, orang tua hanya mempertanyakan di dalam pikiran dan ucapannya, barangkali di dalam doanya juga.
Semakin hari lingkungan menjadi sahabat terbaik kami, dan rumah hanya segelintir tempat untuk melepas lelah. Kami lebih nyaman dengan dunia luar, jauh dari keluarga dan sanak saudara. Rumah kami ibaratkan semacam penjara. Kami hanya melihat pertengkaran dan kekerasan di dalamnya. Hubungan sedarah saling menusuk satu sama lain. Kami hanya mendapatkan penyiksaan, pesakitan, dan percikan darah.
"Apa yang kau lakukan!? Hentikan semua ini!"
Kami memekik. Memperingatkan satu sama lain. Tapi tanpa tersadar, kami sendiri lah yang membuat kekacauan. Seraya lempar batu sembunyi tangan. Merasa tidak pernah bersalah. Tapi ini lah yang kami perbuat.
Perkenalkan, aku Arfiah Safira, salah satu anak dari Ali dan Mariana. Di sini, aku akan membawa kalian memasuki perjalanan hidup keluargaku. Aku hanya berbagi kisah. Segelintir kisah yang terabaikan dan tidak pernah dilirik.
Kehidupan mengenai semua anak dari orang tuaku, Ali dan Mariana. Saat ini mereka sudah dikaruniai enam orang anak. Semua tak berjalan mulus. Selalu ada batu krikil tajam dan curam yang mengerikan.
Gunjingan. Mereka hanya menghakimi keluargaku, tapi mereka tidak pernah tahu kejadian sesungguhnya. Mereka menganggap kami aneh. Tapi tahukah, betapa tersakitinya kami hidup dalam keadaan seperti ini.
Kebanyakan manusia hidup di dalam kebutaan. Mereka menganggap keburukan menjadi suatu hal yang lazim. Hanya sekumpulan kecil pertanyaan yang hinggap di kepala mereka. Berjalannya waktu, keburukan menjadi terbiasa. "That's Ok. It's life." begitu kiranya. Sehingga kita hanya berkutat dalam lingkaran jam. Tempat dan angka yang sama. Terus seperti itu, tanpa kita mengetahui apa makna hidup.
Awalnya, mereka menganggap keluargaku sebagai keluarga yang sinting dan jauh dari hal baik. Ok, aku terima ungkapan ini. Memang, semakin hari kejadian–kejadian tak logis bermunculan. Mereka membelalak hebat ketika ketidaklogisan tersebut ada di depan mata. Saat menyurut, semua kembali biasa saja–berjalan normal. Bagai bola pingpong dibanting ke tanah, mengambul dan melayang.
0 komentar