Pernakah kita bercermin dengan gelak manis yang menarik kedua pipi kita? Terkadang ada waktu-waktu tertentu ketika kita semua merindukan masa di mana kita kecil dulu.
Teringat satu kenangan yang mungkin tanpa sadar terlintas begitu saja di kepala kita. Mata kita terkadang terbuka lebar dan terfokus pada satu tatapan yang bahkan itu tidak mengandung arti apa pun bagi orang yang melihatnya. Tapi tanpa mereka ketahui, sesungguhnya kita sedang memandang suatu kenangan indah sekaligus menggemaskan ketika kecil dahulu.
Mungkin masa kecil identik dengan hal-hal lucu dan aneh lainnya. Namun sayang, beberapa berita yang saya lihat di televisi membuat saya terkejut. Keindahan dan kebahagiaan masa kecil saya mungkin tidak dirasakan dengan beberapa anak-anak jaman sekarang. Berita dibanjiri dengan kasus pelecehan seksual terhadap anak kecil. Saya merasakan kerusakan dan bencana moral di era ini.
Dahulu ketika saya kecil, kira-kira berumur tujuh tahun, banyak orang dewasa yang selalu berbicara bahasa amsal yang tidak dimengerti anak seusia itu. Contohnya mereka mengajarkan hal yang seharusnya tidak dibicarakan di depan anak polos berumur tujuh tahun. Masih terngiang dalam benak saya seperti ini, “Eh, kalau mau lancar baca sama pintar ngitung, caranya gampang. Buku pelajarannya sobek terus diancurin pake air, dan airnya diminum deh. Nanti jadi pintar!” ucapnya diiringi tertawa lepas yang menggelitik perutnya.
Kala itu aku menganggap apa yang dia ucapkan itu benar, dan itu wajib untuk dicoba. Dengan rasa sadar saya memperagakan saran itu. Mula-mula saya mencabik beberapa lembar buku pelajaran dan memasukannya ke dalam gelas yang berisi air putih. Kira-kira dua halaman saya masukan lalu saya mengaduknya hingga kertas itu larut dan melebur bersama air. Tanpa rasa takut atau pun rasa bersalah saya dituntun untuk menenggak minuman tersebut. Untung lah hal itu tak terjadi ketika ibu saya merampas gelas berisi kertas luluh itu dari tangan saya. Ternyata beliau sudah mengetahui gelagat seorang anak kecil yang bermain dengan kertas dan segelas air putih.
Ada satu cerita lagi mengenai anak kecil. Kebetulan anak kecil itu adalah tetangga saya sendiri. Dan saya mendengar cerita itu langsung dari mulut kakak kandungnya. Anak kecil itu baru berusia lima tahun. Berbeda dua tahun dengan saya kala itu. Ini cerita mengejutkan sekaligus mengocok perut. Entah perut anda terkocok apa tidak. Tapi saya merasakannya ketika pertama kali mendengarnya.
“Ma, aku pengen foto yang ada dihandphone ini, bisa jadi kaya gini.” pinta suara mungilnya sambil menunjukan sebuah kertas foto yang sudah tercuci dan terpampang gambar ia bersama ibunya.
“Iya itu harus dicuci dulu, nak. Biar bisa jadi foto itu.” Ibunya menjawab dengan segan.
Beberapa jam kemudian.
“Pi, adik kamu di mana? Ini waktunya makan siang loh!” kata Ibunya bertanya kepada kakaknya.
“Engga tau, Ma.”
Ibunya berjalan menyelusuri beberapa kamar dan terakhir kamar mandi yang ada di rumah itu. Di dapatinya anaknya itu sedang berjongkok menghadap bak mandi yang telah terisi air. Ternyata dia lebih terkejut ketika di dalam bak mandi yang terisi air itu ada sebuah smartphone yang terendam di sana. Tangan moleknya itu sedang membasuh smartphone tersebut secara perlahan. Berharap agar foto digital di dalam smartphone itu dapat mengeluarkan kertas yang dapat mencetak foto tersebut.
Oh Tuhan ternyata berbahaya sekali jika perkataan orang dewasa harus diucapkan dan tanpa dijelaskan kepada anak kecil. Karena saya tahu bahwa anak kecil itu peniru yang baik. Bukan hanya sebuah lontaran kata yang diucapkan oleh orang terdekat atau lebih dewasa saja yang dapat ditirukan. Tapi apa yang mereka lihat juga dapat mereka lakoni lagi dengan baik.
Beberapa hari yang lalu saya sempat menyimak talkshow Hitam Putih yang membahas tentang media pertelevisian dan akibatnya terhadap anak-anak. Saya kurang tahu judul tema yang sesungguhnya, tapi saya menyimak perdebatan yang terjadi di televisi itu. Saya memetik banyak pelajaran dari siaran tersebut. Karena marak sekali perilaku moral menyimpang yang terjadi kepada anak kecil.
Jujur pertelevisian Indonesia dijejeli dengan siaran sinetron dan entertainment yang kurang mendidik, bahkan di sana menerapkan konsep anak-anak gaul, materialistik, percintaan, tingkah laku cowok ke cewek-cewekan maupun sebaliknya, dan berkutat kepada deklinasi moral. Yang secara tidak sadar menanamkan mindset bahwa,
“Oh oke loh, kalau hidup glamour dan hura-hura.”
Dicontoh oleh anak remaja dengan kehidupan orangtua yang menengah ke bawah, mengancam orangtua jika tidak dituruti kemauannya akan bolos sekolah. Dibeberapa kasus yang saya saksikan di televisi, ada seorang anak yang memaksa minta dibelikan motor tetapi orangtuanya tidak sanggup untuk menurutinya. Akhirnya Kekerasan dan pembunuhan yang berbicara, anak membunuh orangtuanya sendiri.
“Iya engga pa-pa lah pacar-pacaran, lagi trend ini.”
Saya melihat masa kecil anak sekolah dasar dihabiskan dengan berpacaran dan bermesraan dimuka umum. Mengupload foto yang tidak senonoh bersama pacarnya ke social media.
“LGBT it’s okey.”
Berita yang lagi mencuat mengenai kasus LGBT yang sudah merajai anak SD-SMP maupun jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada sebuah akun sosial perkumpulan LGBT di bawah umur.
Akibatnya tentu berdampak besar terhadap bangsa ini sendiri. Banyak generasi yang hancur moral dan akidahnya. Ini sungguh ironis dan menyedihkan. Mungkin mulai dari saat ini kita harus sudah mulai wake up dan peduli tentang apa yang terjadi. Tulisan ini saya buat hanya untuk mengintropeksi diri.
Mungkin masa kecil identik dengan hal-hal lucu dan aneh lainnya. Namun sayang, beberapa berita yang saya lihat di televisi membuat saya terkejut. Keindahan dan kebahagiaan masa kecil saya mungkin tidak dirasakan dengan beberapa anak-anak jaman sekarang. Berita dibanjiri dengan kasus pelecehan seksual terhadap anak kecil. Saya merasakan kerusakan dan bencana moral di era ini.
Dahulu ketika saya kecil, kira-kira berumur tujuh tahun, banyak orang dewasa yang selalu berbicara bahasa amsal yang tidak dimengerti anak seusia itu. Contohnya mereka mengajarkan hal yang seharusnya tidak dibicarakan di depan anak polos berumur tujuh tahun. Masih terngiang dalam benak saya seperti ini, “Eh, kalau mau lancar baca sama pintar ngitung, caranya gampang. Buku pelajarannya sobek terus diancurin pake air, dan airnya diminum deh. Nanti jadi pintar!” ucapnya diiringi tertawa lepas yang menggelitik perutnya.
Kala itu aku menganggap apa yang dia ucapkan itu benar, dan itu wajib untuk dicoba. Dengan rasa sadar saya memperagakan saran itu. Mula-mula saya mencabik beberapa lembar buku pelajaran dan memasukannya ke dalam gelas yang berisi air putih. Kira-kira dua halaman saya masukan lalu saya mengaduknya hingga kertas itu larut dan melebur bersama air. Tanpa rasa takut atau pun rasa bersalah saya dituntun untuk menenggak minuman tersebut. Untung lah hal itu tak terjadi ketika ibu saya merampas gelas berisi kertas luluh itu dari tangan saya. Ternyata beliau sudah mengetahui gelagat seorang anak kecil yang bermain dengan kertas dan segelas air putih.
Ada satu cerita lagi mengenai anak kecil. Kebetulan anak kecil itu adalah tetangga saya sendiri. Dan saya mendengar cerita itu langsung dari mulut kakak kandungnya. Anak kecil itu baru berusia lima tahun. Berbeda dua tahun dengan saya kala itu. Ini cerita mengejutkan sekaligus mengocok perut. Entah perut anda terkocok apa tidak. Tapi saya merasakannya ketika pertama kali mendengarnya.
“Ma, aku pengen foto yang ada dihandphone ini, bisa jadi kaya gini.” pinta suara mungilnya sambil menunjukan sebuah kertas foto yang sudah tercuci dan terpampang gambar ia bersama ibunya.
“Iya itu harus dicuci dulu, nak. Biar bisa jadi foto itu.” Ibunya menjawab dengan segan.
Beberapa jam kemudian.
“Pi, adik kamu di mana? Ini waktunya makan siang loh!” kata Ibunya bertanya kepada kakaknya.
“Engga tau, Ma.”
Ibunya berjalan menyelusuri beberapa kamar dan terakhir kamar mandi yang ada di rumah itu. Di dapatinya anaknya itu sedang berjongkok menghadap bak mandi yang telah terisi air. Ternyata dia lebih terkejut ketika di dalam bak mandi yang terisi air itu ada sebuah smartphone yang terendam di sana. Tangan moleknya itu sedang membasuh smartphone tersebut secara perlahan. Berharap agar foto digital di dalam smartphone itu dapat mengeluarkan kertas yang dapat mencetak foto tersebut.
Oh Tuhan ternyata berbahaya sekali jika perkataan orang dewasa harus diucapkan dan tanpa dijelaskan kepada anak kecil. Karena saya tahu bahwa anak kecil itu peniru yang baik. Bukan hanya sebuah lontaran kata yang diucapkan oleh orang terdekat atau lebih dewasa saja yang dapat ditirukan. Tapi apa yang mereka lihat juga dapat mereka lakoni lagi dengan baik.
Beberapa hari yang lalu saya sempat menyimak talkshow Hitam Putih yang membahas tentang media pertelevisian dan akibatnya terhadap anak-anak. Saya kurang tahu judul tema yang sesungguhnya, tapi saya menyimak perdebatan yang terjadi di televisi itu. Saya memetik banyak pelajaran dari siaran tersebut. Karena marak sekali perilaku moral menyimpang yang terjadi kepada anak kecil.
Jujur pertelevisian Indonesia dijejeli dengan siaran sinetron dan entertainment yang kurang mendidik, bahkan di sana menerapkan konsep anak-anak gaul, materialistik, percintaan, tingkah laku cowok ke cewek-cewekan maupun sebaliknya, dan berkutat kepada deklinasi moral. Yang secara tidak sadar menanamkan mindset bahwa,
“Oh oke loh, kalau hidup glamour dan hura-hura.”
Dicontoh oleh anak remaja dengan kehidupan orangtua yang menengah ke bawah, mengancam orangtua jika tidak dituruti kemauannya akan bolos sekolah. Dibeberapa kasus yang saya saksikan di televisi, ada seorang anak yang memaksa minta dibelikan motor tetapi orangtuanya tidak sanggup untuk menurutinya. Akhirnya Kekerasan dan pembunuhan yang berbicara, anak membunuh orangtuanya sendiri.
“Iya engga pa-pa lah pacar-pacaran, lagi trend ini.”
Saya melihat masa kecil anak sekolah dasar dihabiskan dengan berpacaran dan bermesraan dimuka umum. Mengupload foto yang tidak senonoh bersama pacarnya ke social media.
“LGBT it’s okey.”
Berita yang lagi mencuat mengenai kasus LGBT yang sudah merajai anak SD-SMP maupun jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada sebuah akun sosial perkumpulan LGBT di bawah umur.
Akibatnya tentu berdampak besar terhadap bangsa ini sendiri. Banyak generasi yang hancur moral dan akidahnya. Ini sungguh ironis dan menyedihkan. Mungkin mulai dari saat ini kita harus sudah mulai wake up dan peduli tentang apa yang terjadi. Tulisan ini saya buat hanya untuk mengintropeksi diri.
0 komentar