“Kamu akan menjadi temanku selamanya. Dan kau tidak akan bisa menyangkalnya selama kau masih mendekap erat diriku.” Cengkeramaku bersama dirinya disebuah tempat tidur.
Seperti biasa, dia selalu bangun dipagi hari pukul delapan. Perjanjian yang selalu meleset, yang selalu ia janjikan kepadaku. Entah kurasa ada yang salah dengan kita berdua. Semalam dia berjanji untuk bangun pukul enam dan membuatkan sarapan untuk kita. Tapi nyatanya, kelopak mata itu lebih senang melihat langit yang tertutup awan paling banyak sembilan puluh lima per seratus bagian. Tampak gelap dan tak sadarkan diri. Lagi-lagi sebuah mimpi membuatnya terbuai dan lupa kalau ia hidup dalam ketidakadilan absolut, bukan di dalam negeri dongeng.
“Ayo lah kau akan senang dengan rutinitas hari ini.” animoku kepadanya yang baru saja tersadar dari tidurnya itu. Sayangnya ucapanku tak dihiraukannya. Dia lebih memilih memikirkan mimpi semunya itu. Dia berpikir kalau mimpi itu adalah asanya.
Aku masih melihatnya sungguh-sungguh. Ada gelora dalam dirinya. Ya gelora! Gelora akan mimpinya ketika ia tidur. Seakan dia ingin menggelodar dan menarik tubuh sungguhannya tersebut masuk ke dalam mimpinya semalam. Aku berusaha menggertaknya kembali. Lalu dia terdiam dan matanya menerawang jauh. Jauh sekali hingga wajahnya terlihat ganar. Akhirnya aku merasa puas ketika aku tahu, aksonnya menyadari betul bahwa ia masih sehat dan sempurna. Namun berbeda jika dia berpikir kalau hidup dalam mimpi itu jauh mengasikan dibanding dunia saat ini.
Aku berbisik kepadanya, “Ayo lah…?! Aku tahu kalau duniamu sempit. Kau berkutat dalam satu dimensi. Namun yakinlah, dimensimu itu akan berkembang menjadi multidimensi.”
Dia segera bangkit dan menggertak tubuh lembamnya itu. Aku sudah menduga ucapanku yang satu itu pasti akan berhasil. Namun terkadang dia melawan dan membalas perkataan ku itu dengan ucapan yang mengecewakan.
“Kenapa kau selalu berbicara hal absurd kepada diriku? Tidakah kau tahu bahwa aku hanyalah setitik kesalahan atas perbuatan mereka?! Ucapanmu itu tidak realistis dan berbanding terbalik dengan diriku yang sesungguhnya!” wajahnya seketika bercahaya tampak bagaikan lender kelemayar.
Aku mulai khawatir saat ia berkata seperti itu. Tubuhku ketakutan dan segera meromok dalam kegelapan. Apa salahnya jika aku mencoba untuk menguatkan hatinya. Toh hatinya itu seperti pasir halus yang diendapkan oleh angin. Getas dan lemah. Coba saja pikirkan betapa pandirnya ia berceloteh seperti itu. Namun itu kejadian yang sudah lampau, tapi lihat saja beberapa hari ke depan. Perkataan yang tak jauh berbeda dari itu akan terlontar dari mulutnya kembali. Ku harap hari ini akan berjalan dengan baik. Semoga…
To be continued…
0 komentar