Bunyi tuts berderas cepat dari sebuah keyboard komputer. Akselerasinya menjadi-jadi ketika ia mulai melirik jam yang tertera pada sudut pojok bawah layar komputernya.
“Biar rasa dia.” ucapku dalam hati. Tak mungkin aku mencemoohnya dalam keadaannya yang sedang terdesak.
Sudah seminggu dia mengalami writer’s block. Entah kenapa itu selalu terjadi kepadanya. Padahal sudah jelas-jelas, di luar sana ada seorang bos yang mempercayakan kemampuannya itu untuk menyelesaikan 10 artikel. Dia hanya diberi waktu dua minggu. Bayangkan saja, karena dia sudah menyia-nyiakan waktu, dia harus menyelesaikannya dalam waktu seminggu. Coba saja kalau dia mengerjakannya dari seminggu yang lalu, dia tidak akan memburu seperti itu.
Di luar sedang hujan, tepat sekali kalau aku membuatkannya susu jahe. Dia pasti senang kalau minuman kesukaannya saat hujan turun aku bikinkan. Baiklah, aku akan menuju ke dapur. Suara yang keluar dari kompor gas yang kunyalakan, rupanya tak mengusik dia sama sekali. Kulirik dia. Dia masih berkutat dengan layar itu.
“Oh tidak.” kataku yang hampir saja berseru. Jahenya hanya tersisa sedikit. Satu ruas pun sepertinya tidak ada. Ku rasa, ini hanya seukuran kelingking anak bayi yang baru lahir. “Ah sudahlah, tidak apa-apa.” aku cekikikan.
“Hei…?!” aku berdiri tepat di belakangnya. Dia tak menyahut apalagi menengok. “Hei, apa kau ini tuli?”
“Kenapa kau selalu menggangguku? Tidak tahukah kau, aku dikejar deadline!? Awas saja kau jika memanggilku untuk mengatakan bahwa aku bodoh atau pemalas… Lagian kau…”
Aku mengakhiri ucapannya dengan meletakan secangkir susu jahe hangat di mejanya. Aku tak melihat ekspresi wajahnya. Kurasa dia tertegun akan kebaikanku. Sepertinya… Karena yang kutahu, dia adalah tipe orang yang kurang ekspresif. Tidak dapat mengungkapkan perasaannya kepada orang lain dengan baik.
Dia hanya diam, kurang lebih lima belas menit. Aku pun tak mengajaknya berbicara. Kenapa susu jahe itu malah membuat kami menjadi canggung. Ah astaga! Tahu seperti ini, aku tidak akan bersikap sok baik di depannya. Lagian aku tulus untuk membuatkannya susu jahe.
Tak ku sangka, tangannya mulai meraih telinga cangkir berwarna nila. Meski matanya masih sangat fokus melihat layar. Dia seperti sedang membaca hasil tulisan yang sudah ia ketik. Perlahan namun pasti, cangkir itu melayang menyentuh bibirnya dan susu jahe itu berhasil memasuki kerongkongannya.
“Ini apa ya?” tanyanya. Dia menoleh kepadaku yang berada di belakangnya. Apakah kalian tahu sedang apa aku? Aku terkejut saat ia menoleh, sekejap aku menghentikan aktivitasku yang sedang menyukur bulu ketiak. Tolong jangan bayangkan itu!
“Susu jahe.” suaraku terdengar sumbang.
“Masa sih? Sepertinya tak berasa jahe-jahenya sama sekali.”
“Udah nikmati saja! Kau ini, sudah kubuatkan bukannya mengucapkan ‘terima kasih’, malah protes. Kalau kau ingin protes, protes saja dengan dirimu sendiri.”
“Apa maksudmu? Kenapa kau memintaku protes dengan diriku sendiri?”
Aku terdiam. Aku tidak ingin dia melihat kekurangannya lagi. Bisa-bisa dia mengalami mimpi buruk hebat nanti malam.
“Hei, jawab pertanyaanku!” pekiknya dengan bibir yang menjorok. Aku kesal sekali kalau dia sudah memaksa. Aku harus jawab apa.
Tiba-tiba, lagu Celine Dion Feat Peabo Bryson - Somewhere Out There mengalun bagai gelombang kecil di pantai. Suara itu keluar dari smartphone-nya yang berada di atas meja. Aku baru ingat, lagu itu memang nada dering panggilan masuknya. Aku tidak mengerti kenapa dia memakai lagu itu untuk dijadikan nada dering. Bagiku, lagu itu terdengar seperti lagu pernikahan dan hanya layak diputar saat ada acara pernikahan, bukan dijadikan nada dering. Setiap kali aku mendengar lagu itu, rasanya aku ingin bersanding dengan seorang pria dari negeri kerajaan produksi Disney, dan mengalami kisah percintaan dengan akhir yang indah. Lalu aku memakai gaun putih dan berdansa diiringi lagu tersebut. Astaga, aku sudah gila! Tapi setidaknya, lagu itu sudah menyelematkanku dari pertanyaannya.
“Bisakah kau mengganti nada deringnya!” pekikku saat ia meraih smartphone-nya dan menjawabnya.
“Iya, Pak? Ah, tiga hari lagi harus jadi, Pak?” dia terdiam, panik dan cemas. “Iya… iya bisa kok, Pak.” anehnya, dia menyetujuinya. “Lagian, sebentar lagi sudah jadi, Pak. Baiklah, nanti saya kabari lagi. Iya, sama-sama, Pak.”
“Aduh, celaka! Tiga hari lagi artikelnya harus selesai.”
“Lain kali kau harus bisa menggunakan waktumu dengan baik. Lihat, kau tidak bisa seenaknya saja jika kau sudah mendapatkan amanah dari orang lain.”
Dia terdiam dan melanjutkan pekerjaannya.
Tiga hari kemudian.
“Hallo, Pak? Iya, artikelnya sudah selesai. Kapan saya bisa kirim ke Bapak? Oke, baiklah kalau begitu. Terima kasih, Pak.”
Anak itu patut diuacungkan jempol. Awalnya aku sempat meragukannya, dan bahkan menganggapnya sebagai gadis yang tidak dapat bertanggung jawab. Namun nyatanya, dalam tiga hari, dia mampu menyelesaikannya meski ia tak tidur selama dua hari penuh. Ditambah, dia tak mengeluh sama sekali. Hanya diam dan fokus. Wow!
Permasalahannya yang terjadi antara dia dan lelaki itu membuatnya menjadi writer’s block. Dia memilih menyendiri dan menangis terus-terusan, seminggu yang lalu. Sampai akhirnya, pekerjaannya itu harus terabaikan. Walau baru pertama kalinya ia seperti ini, tapi dia tak boleh mengulanginya lagi.
“Hai, terima kasih atas dukungan dan semangatmu.” suaranya bergetar dan lemah. Bahkan dia tak berani menatap mataku.
“Sudahlah, kau tak perlu berterima kasih kepadaku. Kau harus berterima kasih kepada dirimu sendiri. Alam pikiranmu dan tindakanmu yang bisa mewujudkannya, bukan aku. Hanya satu pesanku kepadamu, kau harus tetap waras. Berpikiran positif. Karena itu lah kuncinya.”
To be continued….
0 komentar