Dia menangis, matanya terus meredup di bawah lampu temaram. Semakin lasat saat ia membayangkan refleksi jahat dari masa lalunya. Ia menyesali perbuatan buruk yang dilakukannya dahulu. Tapi di lain sisi, ia menyalahkan ketidakadilan hidupnya dan menganggap dirinya adalah korban semata.
Sudah pernah kubilang, ini pasti akan terjadi kembali. Suasana hatinya yang selalu berubah membuatnya menyalahkan diri sendiri. Gadis ini memang harus selalu diberikan motivasi yang cukup dari orang terdekat. Namun sayangnya, tidak ada orang yang mengerti perasaannya. Bahkan ia tidak cukup berani untuk menceritakan masa lalu yang terus menakutinya.
Sering kali aku menjadi motivator untuk dirinya. Tapi semua itu tenggelam ketika bayangan hitam muncul menguasai hatinya. Dia hanya terus menangis dan berteriak bahwa kehidupannya sangat tidak layak dan tidak adil. Dia selalu membanding-bandingkan kehidupan para teman-temannya yang jauh lebih beruntung dari pada dirinya. Padahal aku sudah mengatakan kepadanya, bahwa temannya itu sedang berada dalam zona amannya. Aku juga menyuruh dirinya untuk menjadi layaknya sepotong kayu yang menancap di tanah untuk merambatkan tanaman. Namun semua itu selalu gagal dilakukannya. Setiap kali tanaman itu meraih dan mencoba merambatkan ke dirinya yang diibaratkan sepotong kayu, dia selalu saja pergi. Dia sangat inkonsisten dan tak berkomitmen tinggi. Dan inilah hasilnya, dia kerap kali menangisi kehidupannya dan menyalahi masa lalunya.
Gadis ini adalah orang yang cukup cerdas. Dia selalu menyibukan harinya dengan efisiensi dan mengayun otaknya untuk terus belajar. Dia tidak pernah berhenti untuk mencari tahu, belajar dan menciptakan karya. Dia selalu menuangkan idenya dalam setiap tulisan. Meski dia sangat lemah dalam verbal. Namun karya-karyanya sangat menakjubkan! Aku meyakininya.
“Aku orang yang paling terjahat di dunia. Aku selalu menyusahkan orang lain. Orang tua sendiri, lelaki itu, dan kau. Kalian orang terbaik yang membantu orang terjahat, karena kalian cukup tahu bahwa aku hanya menyusahkan tanpa bisa membalas kebaikan kalian.” dia menarik lendir yang keluar dari lubang hidungnya. Dia berkata sambil tersedu-sedan. Aku tidak mengerti, dia berbicara seperti itu sambil merekam suaranya di smartphone-nya. Mengapa dia melakukan itu? Padahal jelas sekali kalau dia mengetahui keberadaanku di belakangnya yang menyaksikan kesedihannya. “Aku tak mau seperti ini! Tapi aku harus bagaimana?” diakhir kalimatnya, intonasinya memanjang dan suaranya terdengar seperti orang yang terjepit.
Satu kelemahan dia yang sudah kuketahui dari dulu terucapkan olehnya dengan sadar. “Bagian jahatnya, aku tidak pernah menghargai kebaikan kalian. Bahkan aku tidak sadar bila orang-orang yang berkorban demi aku, ternyata sangat menyayangiku. Aku menyadarinya ketika mereka semua telah pergi. Aku hanya sekumpulan duri yang tertancap di tangkai mawar. Tak ada gunanya, tapi hanya bisa melukai orang yang mencoba mencengkramnya.”
“Hey, aku masih dibelakangmu. Aku belum pergi!” aku memekik keras. Mencoba menyadarkan kehadiranku kepadanya.
“Bukan kau!” dia menolehkan kepalanya sedikit ke belakang. Tapi tidak benar-benar melihatku.
Tidak tahukah dia, duri pada tangkai mawar itu ada kegunaannya juga? Sekalipun duri itu mempunyai divergensi makna yang buruk. Pada mawar liar yang merambat, duri berfungsi sebagai pengait/pegangan sewaktu memanjat tumbuhan. Selain itu, berfunsi juga sebagai bentuk pertahanan dari pemangsa yang senang memakan bunga.
Aku yakin, dari kekurangan dirinya itu, dia mempunyai kemampuan istimewa yang tidak dimiliki orang lain. Dia hanya perlu mensyukuri hidupnya saat ini dan melupakan masa lalu. Setidaknya masa lalu itu jangan dijadikan pondasi hidup. Dia harus membuat pondasi yang baru. Karena pondasi masa lalunya sudah runtuh dan membuatnya terus-terusan tersiksa menyusun debris dari bahan usang yang tak dapat di bangun lagi.
to be continued....
0 komentar