Mereka bertengkar, saling mencerca. Urat leher dan urat dahi saling menyembul. Tak terlihat seperti eksogin yang menyembulkan mahkotanya. Ini lebih seperti api yang berjolak menyembul ke angkasa. Aku, kembali menghadapi situasi sulit di masa lalu. Meski tak berperan, tapi aku menyaksikan.
Pria bertubuh gemuk dan berperut agak buncit ini adalah musuh terbesar dalam keluarga dan masa laluku. Semua terlihat samar tapi rasanya begitu nyata. Dia beradu mulut dengan seorang ibu paruh baya yang bertubuh sintal. Ibu itu telah melahirkan lima orang anak.
Lalu dia mengayunkan senjata tajam. Entah apa itu, rasanya tidak terlihat dengan jelas. Mungkin sebuah golok. Dan aku tak tahu dari mana dia mendapatkan senjata tajam itu. Yang kulihat, sekerlip mata, senjata tajam itu sudah menghantam kepala ibu paruh baya itu.
“Tidak!” aku memekik histeris. Menghampiri ibu paruh baya tersebut.
Kulihat, pria bertubuh gemuk itu tertawa bahagia. Aku menangis melihat ibu paruh baya itu sudah tiada. Isi kepalanya tampak jelas, kulihat.
“AHHH… Tidak! Ya Tuhan…
ternyata ini hanya mimpi!” suara beep mengalun panjang.
*
“Aku tidak mengerti kenapa masa lalu itu merangkak memasuki mimpiku?!” dia menangis, sudah satu jam dari mimpi buruknya.
Dia masih tidak percaya dengan apa yang dia mimpikan. Setelah sekian lama dia tak pernah memimpikan masa lalunya yang buruk itu. Mimpi itu seolah mengetuk dirinya bahwa ia tidak ingin dilupakan begitu saja.
Padahal, mimpinya selama ini selalu indah. Mimpi mengenai cita-citanya. Bahkan sangking indah dan sempurnanya mimpi itu, rasanya dia ingin hidup di sana. Dan melupakan dunia nyata yang sesungguhnya.
“Mungkin belakangan ini kau selalu mengingat masa lalu mu itu.” ucapku hati-hati. Meski arti ucapanku akan dinilai salah dengan dia nantinya.
“Apa katamu? Buat apa aku mengingat kenangan buruk dan menyakitkan?”
Aku bergumam, tidak enak hati. Aku kembali berbicara, namun sedikit terbata-bata untuk memperbaiki ucapanku yang salah. Kuharap ucapan ini tidak dianggap salah lagi olehnya. “Mungkin itu traumamu di masa lalu…” aku terdiam sejenak. Menunggu responnya. Tapi dia terlihat bingung dan sedih. “… Memang kau tidak pernah mengingatnya kembali. Tapi trauma itu menjerap di alam bawah sadarmu. Sesuatu yang tak pernah kamu pikirkan tapi menimbulkan bercak noda di kepalamu. Jadi suatu saat, trauma itu muncul kembali.” ucapku. “Seperti malam ini.”
Dia selalu mengatakan bahwa ia sudah mengikhlaskan semua yang terjadi. Tapi sesekali ketakutan itu merajai dirinya, sesekali. Membuatnya histeris seperti orang kesurupan. Hingga mimpi buruk itu menimpanya.
*
Ia menjerit dan menanyakan kepada Tuhan, apa salahnya dia terhadap-Nya. Hingga Tuhan harus menghukumnya dengan ketakutan, kegelisahan dan penderitaan dalam hidup. Ia percaya bahwa ia terlahir dari perempuan yang baik. Perempuan yang sangat keibuan. Tak pantas ia menerima perlakuan kasar dari lelaki yang bertopeng dan mengatakan bahwa ia sangat mencintainya, namun nyatanya nol besar.
Afeksi itu hanya tertempel di ujung lidah. Itu pun tak benar-benar termuntahkan. Hanya bersarang di pangkal lidah. Lidah yang selalu mengungkapkan kata-kata kasar, tak ada ucapan berlebihan dari orang yang sangat ia cintai. Itulah trauma yang tumbuh dari hidupnya. Tak ada cinta, afeksi atau perkataan kasih sayang.
Dari hari pertama ia diberikan mimpi buruk yang sama. Mimpi buruk akan masa lalunya terhadap keluarganya yang sudah bercempera ke segala penjuru alam semesta, kembali terjadi. Suasana yang sama, getir, sengit, dan waspada. Dengan lokasi, orang-orang, konflik yang sama pula. Hanya saja, kali ini dengan predator yang berbeda. Dalam kenyataannya, ia tak dapat menemukan mereka lagi. Misalkan saja bisa ia menemui salah satu dari mereka, ia pasti akan memilih tidak. Tidak untuk perangai dan daftar hitam mereka.
Akhir-akhir ini ia terbangun dengan desakan hebat, tangisan lembut, dan kejutan besar. Tak ada mimpi buruk selain mimpi masa lalunya. Ia lebih baik mimpi bertemu makhluk halus dari pada bermimpi akan masa lalunya. Dan mimpi-mimpi itu kejam. Kejam, sekejam-kejamnya dari makhluk halus yang keluar dari bawah kolong kasur.
“Sudah lah, jangan terlalu kau pikirkan akan mimpi tersebut. Semakin kau pikirkan, energinya akan semakin kuat. Dan kau akan terus-terusan bermimpi dalam masa lalumu. Itu tidak baik.” aku mengelus pundaknya. “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan, mimpi indah ibumu telah terwujud berkat dirimu.” aku berusah menghiburnya.
“Tidak. Jika tanpa dia!”
Aku mendesah dan mendengus prihatin kepadanya. Dia memang benar, mimpi bahagia itu mereka ciptakan dan angan-angankan bersama. Namun, bila salah satunya telah tiada, bagaimana yang satunyasatunya bisa menikmati keberhasilan mimpi indah itu? Sulit memang, tapi inilah hidup.
Mungkin kita selaku manusia harus bisa menyadari sesuatu yang tidak terlihat. Tepatnya bukan tidak terlihat, tapi kita yang terkadang tidak ingin melihatnya. Alhasil, semua yang indah karena adanya kekurangan, bisa kita abaikan begitu saja. Namun bila kita merangkulnya dan menerimanya dengan lapang dada, semua akan terasa nikmat. Begitu nikmat, hingga kau lupa caranya mengeluh.
To be continued...
Pria bertubuh gemuk dan berperut agak buncit ini adalah musuh terbesar dalam keluarga dan masa laluku. Semua terlihat samar tapi rasanya begitu nyata. Dia beradu mulut dengan seorang ibu paruh baya yang bertubuh sintal. Ibu itu telah melahirkan lima orang anak.
Lalu dia mengayunkan senjata tajam. Entah apa itu, rasanya tidak terlihat dengan jelas. Mungkin sebuah golok. Dan aku tak tahu dari mana dia mendapatkan senjata tajam itu. Yang kulihat, sekerlip mata, senjata tajam itu sudah menghantam kepala ibu paruh baya itu.
“Tidak!” aku memekik histeris. Menghampiri ibu paruh baya tersebut.
Kulihat, pria bertubuh gemuk itu tertawa bahagia. Aku menangis melihat ibu paruh baya itu sudah tiada. Isi kepalanya tampak jelas, kulihat.
“AHHH… Tidak! Ya Tuhan…
ternyata ini hanya mimpi!” suara beep mengalun panjang.
*
“Aku tidak mengerti kenapa masa lalu itu merangkak memasuki mimpiku?!” dia menangis, sudah satu jam dari mimpi buruknya.
Dia masih tidak percaya dengan apa yang dia mimpikan. Setelah sekian lama dia tak pernah memimpikan masa lalunya yang buruk itu. Mimpi itu seolah mengetuk dirinya bahwa ia tidak ingin dilupakan begitu saja.
Padahal, mimpinya selama ini selalu indah. Mimpi mengenai cita-citanya. Bahkan sangking indah dan sempurnanya mimpi itu, rasanya dia ingin hidup di sana. Dan melupakan dunia nyata yang sesungguhnya.
“Mungkin belakangan ini kau selalu mengingat masa lalu mu itu.” ucapku hati-hati. Meski arti ucapanku akan dinilai salah dengan dia nantinya.
“Apa katamu? Buat apa aku mengingat kenangan buruk dan menyakitkan?”
Aku bergumam, tidak enak hati. Aku kembali berbicara, namun sedikit terbata-bata untuk memperbaiki ucapanku yang salah. Kuharap ucapan ini tidak dianggap salah lagi olehnya. “Mungkin itu traumamu di masa lalu…” aku terdiam sejenak. Menunggu responnya. Tapi dia terlihat bingung dan sedih. “… Memang kau tidak pernah mengingatnya kembali. Tapi trauma itu menjerap di alam bawah sadarmu. Sesuatu yang tak pernah kamu pikirkan tapi menimbulkan bercak noda di kepalamu. Jadi suatu saat, trauma itu muncul kembali.” ucapku. “Seperti malam ini.”
Dia selalu mengatakan bahwa ia sudah mengikhlaskan semua yang terjadi. Tapi sesekali ketakutan itu merajai dirinya, sesekali. Membuatnya histeris seperti orang kesurupan. Hingga mimpi buruk itu menimpanya.
*
Ia menjerit dan menanyakan kepada Tuhan, apa salahnya dia terhadap-Nya. Hingga Tuhan harus menghukumnya dengan ketakutan, kegelisahan dan penderitaan dalam hidup. Ia percaya bahwa ia terlahir dari perempuan yang baik. Perempuan yang sangat keibuan. Tak pantas ia menerima perlakuan kasar dari lelaki yang bertopeng dan mengatakan bahwa ia sangat mencintainya, namun nyatanya nol besar.
Afeksi itu hanya tertempel di ujung lidah. Itu pun tak benar-benar termuntahkan. Hanya bersarang di pangkal lidah. Lidah yang selalu mengungkapkan kata-kata kasar, tak ada ucapan berlebihan dari orang yang sangat ia cintai. Itulah trauma yang tumbuh dari hidupnya. Tak ada cinta, afeksi atau perkataan kasih sayang.
Dari hari pertama ia diberikan mimpi buruk yang sama. Mimpi buruk akan masa lalunya terhadap keluarganya yang sudah bercempera ke segala penjuru alam semesta, kembali terjadi. Suasana yang sama, getir, sengit, dan waspada. Dengan lokasi, orang-orang, konflik yang sama pula. Hanya saja, kali ini dengan predator yang berbeda. Dalam kenyataannya, ia tak dapat menemukan mereka lagi. Misalkan saja bisa ia menemui salah satu dari mereka, ia pasti akan memilih tidak. Tidak untuk perangai dan daftar hitam mereka.
Akhir-akhir ini ia terbangun dengan desakan hebat, tangisan lembut, dan kejutan besar. Tak ada mimpi buruk selain mimpi masa lalunya. Ia lebih baik mimpi bertemu makhluk halus dari pada bermimpi akan masa lalunya. Dan mimpi-mimpi itu kejam. Kejam, sekejam-kejamnya dari makhluk halus yang keluar dari bawah kolong kasur.
“Sudah lah, jangan terlalu kau pikirkan akan mimpi tersebut. Semakin kau pikirkan, energinya akan semakin kuat. Dan kau akan terus-terusan bermimpi dalam masa lalumu. Itu tidak baik.” aku mengelus pundaknya. “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan, mimpi indah ibumu telah terwujud berkat dirimu.” aku berusah menghiburnya.
“Tidak. Jika tanpa dia!”
Aku mendesah dan mendengus prihatin kepadanya. Dia memang benar, mimpi bahagia itu mereka ciptakan dan angan-angankan bersama. Namun, bila salah satunya telah tiada, bagaimana yang satunyasatunya bisa menikmati keberhasilan mimpi indah itu? Sulit memang, tapi inilah hidup.
Mungkin kita selaku manusia harus bisa menyadari sesuatu yang tidak terlihat. Tepatnya bukan tidak terlihat, tapi kita yang terkadang tidak ingin melihatnya. Alhasil, semua yang indah karena adanya kekurangan, bisa kita abaikan begitu saja. Namun bila kita merangkulnya dan menerimanya dengan lapang dada, semua akan terasa nikmat. Begitu nikmat, hingga kau lupa caranya mengeluh.
To be continued...
0 komentar