Pintu rumah terbuka begitu saja. Tak ada ucapan pertemuan yang manis atau orakan senyum khas dari pria itu. Pria yang benar-benar ku benci. Mungkin hanya aku yang membencinya. Tidak untuknya.
Dia merupakan gadis yang baru memasuki usia dewasa, yaitu 20 tahun. Jangan bertanya masa lalunya, karena bila ia mengetahuinya, aku bisa habis! Dia bernama Relia, si gadis aneh yang tak ditemui pada gadis lain. Lihat saja senyumnya, dia selalu tersenyum tanpa melihat sesuatu yang lucu. Aku pernah menganggap kalau dia sudah gila. Karena setiap kali kutanya mengapa, dia selalu menjawab tidak. Tapi mana mungkin, gadis berwawasan luas itu bisa gila. Dia pun bukan orang idiot yang harus di seka air liurnya, seperti bocah 2 tahun.
Betapa perhatiannya dia terhadap orang lain. Kuceritakan bagaimana cara dia memandang orang lain. Mengamati orang lain dari gerak-gerik dan air mukanya. Tak sedikit dari mereka yang diperhatikan olehnya, menganggap Relia itu aneh. Bahkan sebagian pria menganggap, kalau Relia itu memiliki tatapan misterius. Untuk seorang pria yang kepercayaan dirinya di atas rata-rata, selalu saja menganggap tatapan itu sebagai bentuk ketertarikan Relia pada mereka. Uh, kalian belum tahu saja bagaimana Relia menatapku sambil tersenyum manja. Meski sesungguhnya aku ini juga seorang wanita pula. Tidak mungkin, kan, ia penyuka sesama jenis. Lagi pula aku sudah mengenalnya jauh sebelum dia lahir.
Ayolah santai saja, jangan serius seperti itu. Aku sudah menemukan jawaban dari semua itu. Dan agaknya, hanya aku yang tahu. Relia adalah penulis sekaligus komikus. Hmm… Jangan tanya sudah berapa karya yang dia hasilkan. Sudah puluhan karya. Namun tak ada satu karyanya pun yang terpajang di surat kabar atau pun di terbitkan.
Impiannya selalu gagal. Dahulu saat usianya 18 tahun. Dia menulis sebuah permohonan. Terdengar seperti ini, “Pokoknya, diusia 20 tahun, karyaku harus berhasil dinikmati publik.” Sekarang usianya sudah memasuki 20 tahun, dan akan terus bertambah seiring dengan dentuman jam yang tak pernah berhenti berjalan (kecuali bila batrenya habis). Tak heran, bila ada moment-moment di mana drama itu tercipta, ketika dia harus nangis dipojokan merenungi masa depannya.
Aku selalu mengapresiasi karya-karyanya. Hanya aku yang bersedia membaca karyanya. Meski beberapa temannya ingin membaca karyanya, namun tidak ia perlihatkan. Aku tak tahu alasannya. Karya komik yang ia buat selalu berhubungan dengan kisah nyata. Dalam artian, ia tak pernah menjadi hiprokrit dalam sebuah kisah. Selalu melihat sisi buruk kehidupan yang secara tidak langsung bisa meresahkannya. Ia menganggap pengaruh dari sisi buruk itu berdampak bagi seluruh makhluk di muka bumi.
Hari ini, pria itu berjanji untuk membaca karya yang baru saja ia rampungkan. Seperti biasa, pria itu selalu datang dengan bentuk kasihannya, bukan bentuk cintanya. Aku sudah tahu itu dari awal, namun Relia cukup buta, dan menganggap pria itu mencintainya. Dia sepertinya harus bisa membedakan, mana belas kasih, dan mana perhatian kasih sayang sesungguhnya.
“Aku belikan martabak untukmu.” suaranya lemah, tak ada tenaga. Mungkin dia lelah seharian bekerja.
Relia tersenyum.
Aku merengut karena dia tak menawarkan martabak itu padaku.
“Kau sudah berjanji untuk membaca komikku.”
Dia mengernyitkan dahinya. “Aku lelah. Kalau bisa, aku bawa dulu naskah komikmu itu. Nanti diwaktu senggang, aku akan membacanya.”
Sudahlah Relia, pria itu tak pernah mengakui bakatmu. Membaca karyamu saja dia malas-malasan dan selalu saja memiliki alasan. Sebelumnya, Relia sudah sering kali meminta pria itu untuk membaca komik yang ia buat berhari-hari, namun tak pernah mendapatkan respon.
Aku sudah bilang kepada Relia, semestinya dia mencari seseorang yang dapat menghargai segala bentuk kesempurnaan dan kekurangan dirinya. Bayangkan saja, jika bakat yang dimiliki Relia tak pernah diterima, bagaimana dengan kekurangan yang ia miliki. Pria itu hanya bisa membual dan berbicara tinggi saja.
To be continue
0 komentar