Aku tahu, apa yang dipikirkan
Relia saat ini. Dia mengerti mengapa dia dijuluki sebagai gadis misterius yang
penuh dengan kesedihan. Ini bukan salahnya, bukan pula salah keluarganya,
inilah yang disebut takdir.
Seharusnya
dia bersyukur karena masih diberikan kehidupan hingga detik ini. Mungkin
dibelahan bumi lain, ada jutaan manusia yang saat ini berjuang mempertahankan
hidup mereka di tepi jurang atau di ranjang rumah sakit.
Relia
mengerti, pria yang selama ini ada untuknya hadir hanya untuk mengasihinya-tidak
untuk mengerti dirinya. Relia menyayanginya, hanya saja, cintanya terbungkam
oleh sifat pria itu. Entah mengapa, Relia selalu dipandang sebelah mata oleh
kebanyakan orang. Aku yang jauh mengenalnya, justru kagum dengan semua usahanya
selama ini.
Aku
tahu Relia, hidup tak sebaik itu. Dia bukan layar bioskop yang bisa menampilkan
adegan demi adegan agar penonton mengerti cerita yang sedang terjadi. Banyak
hal yang memang tidak harus diketahui oleh banyak orang, termasuk orang yang
selalu ada untuk kita.
Aku
memikirkan ini sambil menggaruk kepala, dan memandangi Relia yang sedang
berbaring di ranjang. Panas! Gatal dan panas kepala ini. Aku terus
menggaruknya. Dan sangking gatalnya, aku menjambak ke beberapa area rambutku.
Ada sensasi nikmat yang menjengkelkan.
Lalu
aku selisir kepala rambutku dengan jariku secara perlahan. Dan kemudian aku
menemukan sebuah benjolan kecil seperti pasir besar. Aku mengambilnya secara
perlahan, dan kutemui seekor kutu dengan bobot tak lazim. Perutnya besar seperti
kekenyangan habis menghisap darah di kepalaku, atau kutu ini sedang hamil
besar? Entahlah, aku belum membawanya ke dokter kandungan.
Dari
mana kutu ini berasal? Selama ini aku dan Relia tidak pernah terjangkit
binatang merugikan ini. Apa jangan-jangan Relia juga memiliki kutu? Mungkinkah
kutu ini berasal darinya? Sial!
Dengan
bangga memegang kutu itu dijariku. Aku segera meletakannya ke lantai keramik
berwarna putih, agar terlihat. Begitu percaya dirinya, aku mengeksekusi kutu
tersebut dengan menekankan kuku kepada kutu itu. Terdengar bunyi cetusan dan
keluar sedikit darah dari kutu yang sudah mati.
Tapi
aku tidak tertarik untuk mempertanyakan hal konyol ini kepada Relia. Karena
sejak seminggu yang lalu dia belum keluar rumah. Tidak mungkin kalau dia yang
menularkan kutu ini kepadaku. Bisa jadi, aku sendiri yang membawa kutu ini dari
luar. Karena, sehari yang lalu aku baru saja pergi ke suatu tempat dan bertemu
dengan banyak orang. Aku bisa mati kutu kalau ternyata, aku lah orang pertama
yang menularkan kutu ini kepada Relia. Jadi kuputuskan, untuk tidak
menceritakan fenomena ini kepada Relia.
Aku
mendekati Relia, mencoba untuk menularkan kutu ini ke kepalanya, agar dia
merasakan gatal yang menyiksa sepertiku.
Relia
menyadari kehadiranku dan dia langsung berkata, “Apa aku harus mengakhiri
hubungan ini bersama dia?”
Aku
agak terkejut mendengarnya, rupanya Relia sedang dilanda patah hati dan dilema
yang hebat. Selama ini Relia selalu cerita mengenai pria itu. Dia pria yang
baik, tapi di satu sisi, dia memiliki sifat egois dan kejamnya tersendiri. Pria
itu tidak pernah memikirkan perasaan Relia selama ini, dia selalu memandang
Relia dengan sebelah mata, dan tak pernah menghargai setiap usahanya, Relia
selalu salah dimata pria itu.
“Dia
mengatakan kalau ada seseorang yang suka dengannya.” Relia amat tertekan.
Wajahnya mengeras dan ingin sekali menangis. “Perempuan itu sangat perhatian
kepadanya. Berbeda denganku yang selalu membuatnya susah. Aku tidak mengerti
mengapa dia mengatakan hal itu. Seharusnya dia sudah tahu itu sejak awal. Aku
tidak akan pernah bisa mencintainya, tapi dia memaksakan kalau semua ini akan
membaik seiring berjalannya waktu. Tapi dia salah, semakin hari aku semakin
dibuat menyayanginya tapi dengan cara yang salah.”
Kalau
sudah begini, aku bingung harus megatakan apa. Memang benar, sudah kubilang
dari dulu kalau pria itu tidak pantas untuknya. Dia pria yang mementingkan diri
sendiri tanpa tahu penderitaan Relia yang sesungguhnya. Seharusnya pria itu
sudah mengerti sejak awal tentang kepribadian Relia dan masa lalunya yang
kelam. Namun rupanya, Relia salah menilainya. Pria itu peduli kepadanya karena
kasihan, bukan karena cinta.
“Lalu,
apa yang kau katakan?” Aku bertanya.
“Kau
tidak harus bertanya seperti itu, karena pasti kau sudah tahu jawabannya?!” dia
membentakku dengan galaknya. Semoga saja, kutu-kutu ini berpindah lebih banyak
ke kepalanya.
Iya,
memang, aku sudah tahu jawabannya. Relia itu tipe wanita yang masa bodo dalam
realitas. Tapi nyatanya, di dalam pikirannya, dia memikirkan semua itu dengan
keras. Perasaannya mudah tersentuh dan tersakiti. Aku yakin, Relia seakan masa
bodoh dengan pengakuan pria itu, tapi lihat saja sekarang, dia memikirkannya
mati-matian.
“Sudah
ku bilang, jangan terlalu cepat menilai kebaikan seseorang!” kali ini aku yang
bersikap keras kepadanya. Karena omonganku selama ini ternyata benar.
“Memangnya kau tidak tahu keadaan dunia sekarang? Orang berbuat baik hanya
untuk dipandang dan ingin mendapatkan balas budi, bukan demi kebaikan secara
harfiah! Kejahatan dan kebaikan sudah terasa samar belakangan ini. Jadi kau
harus pintar-pintar sekarang. Bersikap apatislah sedikit!”
“Kau
tidak perlu repot-repot untuk memintaku menjadi apatis. Karena kau sudah tahu,
keapatisan datang dari seseorang yang diacuhkan. Dan aku sudah sering merasakan
hal itu!”
“Lalu
sekarang bagaimana? Apa keputusanmu?”
“Bertahan!”
“Tidak!”
seruku seraya menjerit. “Kau tidak boleh mengikuti jejak ibumu! Dia sudah
terlalu lama bertahan, namun akhirnya tumbang juga akibat suaminya sendiri. Kau
tidak boleh menuruni garis keturunan itu. Kau harus menjadi wanita yang
berbeda.” Aku mati-matian menyadarkannya, karena hanya aku yang tahu
kepahitannya. Kalau tidak dibimbing, dia akan menjadi wanita yang tidak
memiliki pendirian. Relia mudah sekali terpengaruh.
“Aku
butuh waktu.”
Kesedihan
Relia merupakan salah satu dari jutaan kesedihan yang dirasakan semua orang di
dunia. Aku tahu, semua orang merasakan kesedihan, hanya saja ada yang pintar
dalam menutupinya dan ada yang bangga untuk mengakuinya.
0 komentar