Ya, aku pikir kehilangan seseorang di dalam momen tertentu mampu menyipratkan kenangan dan luka.
Hujan dibulan itu mengiringi kehilangan bagaikan elegi.
Dan... 30 Oktober menjadi detik-detik terakhir aku melihat bulan itu. Tanggal itu merenggut seseorang dalam hidupku, dan esoknya, November hadir dan mengucapkan turut berduka cita.
Aku merasa dikhianati. Setelah dia merenggut seseorang dariku, dia pun bingkas tanpa mengucapkan perpisahan. Bahkan rasa sakitnya masih aku jumpai di bulan-bulan berikutnya.
Ini lelucon, kan?
Hingga setiap hari, aku harus mati-matian meneteskan air mata hanya untuk mendapatkan senyuman di pagi hari.
Oh, inilah hidup.
Mungkin aku terlalu berlebihan menyikapi ini semua. Bahkan dibelahan dunia lain, aku bisa saja menemukan berita di sosial media tentang peperangan yang menewaskan banyak orang.
Lalu, bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkan? Atau mereka hanya resah karena tunggakan semakin menumpuk, sementara kepala keluarga mereka tewas secara mengerikan.
Selama ini aku selalu egois. Memikirkan rasa sakit diri sendiri. Aku tidak pernah melihat penderitaan orang lain di luar sana.
Lalu setelah aku menyadarinya, aku sapa Oktober. "Hai, bagaimana kabarmu? Terima kasih kau pernah menjadi sejarah dalam hidupku. Meskipun sejarah yang menyakitkan. Tapi aku baik-baik saja sekarang."
Tapi, lagi lagi aku berbohong. Aku tidak baik-baik saja.
Aku sudah mengikhlaskan mereka yang telah tiada. Tapi aku dibebankan dengan pikiran yang selalu mengusikku.
Aku sudah melupakan Oktober. Setidaknya, aku melupakan bahwa pernah terjadi momen mengerikan di bulan itu. Lagi pula, November dan Januari juga menjadi bulan yang pernah merenggut seseorang yang ada dalam kehidupanku. Tapi itu tidak terlalu kupermasalahkan.
Intinya, aku menghargai setiap momen mengecewakan dalam hidupku. Setidaknya mereka yang melatihku menjadi lebih mengerti. Bahwa hidup tak melulu soal kebahagian. Hidup tak melulu soal keadilan. Karena kita semua tahu, hidup adalah hidup dengan tatanan dunia yang sedang berjalan.
0 komentar