Dalam dunia modern ini, hitam dan
putih bukanlah warna yang semarak dalam suatu seni. Dalam dunia seni kamu bisa
saja mencampurkan keduanya hingga menghasilkan warna abu-abu. Karena perbedaan
merupakan tantangan yang menggugah. Tapi lagi-lagi, abu-abu merupakan warna
yang kelabu diantara penggabungan putih dan hitam, sehingga kamu memilih warna
yang lebih ceria seperti biru dan merah. Eh tapi, biru dan merah hanyalah warna
dasar, kita harus mengelompokkannya kembali menjadi warna biru benhur (biru
laut), biru gerau, biru langit, biru tua, dan biru muda. Begitu pun dengan
merah, merah bata, merah bungur, merah darah, merah jambu, merah lembayung.
Duh, sangking begitu banyaknya saya tidak mungkin menuliskan semuanya.
Hidup ini bukan lagi kepada dua
kodrat dari kejahatan dan kebaikan, karena di zaman ini keduanya menjadi samar
dan setara. Manusia sukar membedakan mana yang benar-benar baik dan tulus dan
mana yang hanya mementingkan keuntungan semata. Tapi bagi yang hipokrit, kita seakan lebih mudah membedakannya, tapi lupa dengan nilai adab kita sendiri.
Kita lebih mudah menganggap dia
penjahat karena dia seorang perampok dan pengedar narkoba. Kita seolah lebih
tahu kalau manusia itu manusia yang jahat karena telah melakukan kejahatan
serta tertangkap basah. Lagi-lagi kita lupa dengan dosa kita sendiri, dosa-dosa
kecil yang katanya bisa dimaafkan Tuhan. Kita menganggap diri kita yang paling
suci dan keyakinan kita merupakan tombak yang kukuh serta tidak boleh diganggu
gugat. Tanpa kita sadari, kita hanyalah sekumpulan manusia munafik yang
bersembunyi di balik dogma.
Padahal banyak hati yang telah
kita tipu, banyak hati yang telah kita lukai, banyak suara yang dibungkam
karena keserakahan kita pada suatu pedoman. Banyak keputusasaan yang kita ciptakan
dari sifat arogan kita. Dan terlalu banyak manipulasi yang kita bangun. Kita
benar, mereka salah! Betapa egoisnya kita. Sayangnya kita hanya bisa menyelip dan mengatasnamakan tanpa tahu makna yang sesungguhnya.
Padahal kita tahu, orang baik
terbentuk bukan dari agama mereka, bukan dari golongan mereka, atau bukan dari
ras mereka. Orang baik terbentuk dari hati nurani meraka yang masih aktif.
Begitu pula orang jahat, kita bisa saja menyebut teroris jahat karena mereka
melakukan aksi radikal. Tapi kita lupa, banyak pula orang yang melakukan
kejahatan karena himpitan biaya hidup.
Lagi-lagi kehidupan harus semarak
dan berbinar seperti warna. Tidak boleh hitam, tidak boleh putih, nanti
hasilnya jadi monoton.
Banyak tragedi, banyak hiburan.
Begitulah kehidupan. Semakin penuh intrik dan drama, semakin seru kehidupannya.
Jika media hanya memberitakan kebaikan saja, maka tayangannya akan membosankan,
kita perlu mengonsumsi berita-berita negatif agar hati kita panas dan
bergejolak. Maka tinggi lah rating berita tersebut.
Berita di media masa terlalu
absurd jika hanya mengungkapkan kebenaran, maka terciptalah berita hoax agar masyarakat tergugah untuk
membacanya. Maka viral lah berita tersebut, dan banyaklah iklan yang mampir di
websitenya.
Tuhan menciptakan manusia itu
berpasang-pasangan, seperti wanita dan laki-laki. Lagi-lagi dunia menentang,
katanya cinta itu universal, jadi tidak boleh dibatasi oleh gender. Jadi terbentuklah LGBT,
homoseksual, transgender dan semcamnya.
Manusia itu makhluk yang susah
dimengerti. Mereka satu-satunya makhluk yang menentang kodratnya sendiri. Bukan
dalam bentuk cinta, melainkan dalam bentuk hasrat. Bedakan antara cinta dan
hasrat (nafsu). Cinta menurut saya merupakan pengorbanan, bukan “keinginan”
yang berbentuk pararel yang menjerumus pada kenikmatan diri sendiri, bukan
kedua belah pihak.
Contohnya seperti, “Gue mau mencari
suami yang kaya raya, karena gue takut miskin.” Kata kaya raya merupakan bentuk pararel dari hasrat duniawi.
“Gue mau cari calon suami yang
tampan.” Lagi-lagi tampan menjadi
suatu kepuasan dari diri sendiri.
Jadi jangan salahkan Tuhan kalau
hidupmu jauh dari kata adil.
Kalau begitu, jika ada laki-laki
dan wanita pasti ada siang dan malam. Kenapa sorenya tidak disebut? Padahal kan
sore merupakan waktu terindah karena ada senja di sana. “Aku tuh pecinta senja.” Kata salah satu anak jaman now di bio instagramnya.
Senja itu cuma bonus, Nak!
Manusia cenderung memuaskan kata
hatinya, mereka takut dengan risiko. Mereka mau pakaian mereka kering di musim
hujan, tapi dengan matahari saja mereka takut (takut hitam dan takut wajahnya
muncul flek hitam). Mereka suka hujan, karena hujan mampu membangkitkan
kenangan. Kata Bob Marley, “Kamu bilang
kamu suka hujan, tapi kamu masih pakai payung kalau hujan turun.”
Kita semua kerumunan manusia yang
kerasukan nepotisme. Ada istilahnya “makan teman sendiri” dan “menusuk dari
belakang” demi memuaskan diri sendiri, mungkin kita zombie.
Kita melakukan ritus karena takut
masuk neraka, dan berharap mendapat keselamatan di alam sana. Namun dilubuk hati semua hanya tentang egoistis
dan tepuk tangan semata. Takut mati, takut miskin, dan cinta harta. Sebab kita
senang dipuji dibandingkan dicaci maki.
Manusia menyukai petualangan dan
adrenalin yang mengoyak darah di nadinya. Menikmati wahana ektrem, namun
depresi karena kegagalan hidup. Semua tentang kesempurnaan, tidak mau ada
kecacatan, karena kita takut akan penilaian buruk orang lain kepada kita dan
rela melakukan apapun demi meraihnya. Terbentuklah kita sebagai produk dari
sistem kehidupan.
Kita manusia yang benci akan grafik
yang datar, takut tidak adanya perubahan yang signifikan. Karena masa lalu
merupakan tahun-tahun kematian dan keputusasaan. Sesungguhnya, kita hanyalah
persona yang tidak pernah puas dengan anugerah. Kita lupa kalau kita masih
hidup, kita lupa kalau kita masih sehat, dan kita lupa kalau kita masih bisa
makan. Sisanya hanya hasrat semata.
Munafik, egoistis, tak ingin
menjadi yang tersisip. Bagaikan hipotesis yang tak terelakan, sesuatu yang
dapat dibanggakan. Kita layaknya simbol di sebuah apostrof. Menjadi sebuah
produk yang ditentukan dari harga dan kualitas, yang diciptakan dari tatanan
dan sistem yang berjalan. Bencanakah?
Lalu kita berpikir, setidaknya
kalau kita sudah mati, kita akan mati dengan bibir yang tersenyum bukan wajah
yang menyeringai jelek. Lalu kita ini mayat atau model? Disaat beberapa mayat
membusuk di hutan karena dibunuh atau potongan tubuh yang ditemukan dikardus.
Bogor, 14 Februari 2018
0 komentar