Aku menemui banyak orang, aku banyak memerhatikan tingkah laku mereka secara diam-diam. Semakin hari aku mengenalinya. Meskipun tidak semua orang bisa menjadi teman baikku. Setidaknya kami masih saling menyapa, atau sekedar tersenyum hangat dan hampa.
Manusia itu unik dan terkadang menggembirakan. Tragedi bisa menjadi lelucon. Lelucon bisa menjadi tragedi (jika kelakarnya garing), dan kehidupan bisa jadi begitu sangat menyiksa di momen-momen tertentu.
Aku senang memerhatikan kelucuan mereka, para teman, sahabat, ataupun orang yang pertama kali kutemui. Selalu ada hal yang menjadikannya humor, misalkan saja dari bagaimana mereka berbicara, bagaimana mereka saling mencibir, atau bagaimana cara mereka menjadi sinis.
Banyak hal yang bisa membuatku bahagia, hanya dengan memerhatikan seseorang berbicara. Manusia bisa saja menciptakan obrolan yang tidak masuk akal sekalipun, tentang penderitaan pribadinya, yang dimataku bisa menjadi lelucon (bahkan terkadang aku tertawa), atau menciptakan obrolan di masa lalu yang begitu polos dan bodoh bersama teman-teman. Semisal ketika temanku tercebur diselokan, dan bodohnya aku juga ikut tercebur (meski hanya kaki kita). Atau ketika seorang tetangga membawakan makanan yang sudah basi selama tiga hari. Dan entah kenapa, hal segila itu masih bisa menjadi lelucon bagiku. Percayakan, kalau tragedi itu bisa menjadi lelucon?
Aku menghargai setiap kenangan, sekecil apapun itu. Bahkan aku mengingat bagaimana aku kecil sampai aku dewasa sekarang. Kupikir waktu begitu cepat berlalu, karena tanpa kusadari, banyak orang yang telah pergi dari hidupku, dan banyak orang juga yang silih berganti datang dalam hidupku.
Yang pergi selalu membawa elegi dan luka. Lagi, lagi, mereka yang datang selalu membawa lelucon baru. Aku bisa bertahan di dua keadaan itu, meski kehilangan memang lebih sulit untuk diterima. Satu yang aku tahu dari kehilangan, sebahagia dan sebagus apapun kenangan itu akan tetap menyedihkan jika orangnya sudah tidak ada. Itu kenapa kehilangan jauh lebih sakit.
Tapi itulah cara kita hidup, ditinggalkan atau meninggalkan. Menurut hukum alam, itulah cara terbaik untuk memulai kehidupan, mengganti sesuatu yang telah usang dengan yang baru. Begitulah kita mengenal apa itu generasi, nenek moyang, dan peradaban.
Terkadang aku bertanya, manusia itu berlebihan, cengengeng atau tidak paham? Aku sendiri pun masih menjadi ketiganya.
Ketika ada yang tidak enak dihati, terkadang kita masih bisa memberikan senyum hampa di ekor bibir kita. Entah itu cara kita untuk memakhlumi keadaan atau seseorang, menyabarkan diri, pasrah atau mungkin.... (mungkin kalian lebih mengerti)
Nyatanya, lelucon itu masih ada meskipun diekor bibir.
Hidup memang terlalu berat jika dibawa serius. Tapi serius itu perlu, karena jaman ini sudah edan, jangan sampai kita terbawa dengan pengaruh buruk. Cukuplah menjadi manusia yang sesungguhnya, jangan dicampur-campur dengan attitude binatang atau semacamnya.
Bogor, 30 Maret 2018
0 komentar