"I feel myself changing, I don't even laugh the same anymore, I don't smile the same, or talk the same, I'm just so tired of everything."
Kata-kata itu bius. Kata-kata itu candu. Kata-kata itu virus. Mereka sejenis wabah.
Kita belajar melalui buku dan tulisan. Dan kita menyuarakan suara hati melalui tulisan.
Semua berkat waktu. Dia mengubahku menjadi orang yang berbeda kurang dari satu dekade. Saat kecil, waktu melahirkanku menjadi manusia yang mengalami krisis identitas. Aku tidak percaya diri, disatu sisi lagi, aku pribadi yang nakal dan menyebalkan.
Kecilku merupakan masa yang membingungkan, terkadang aku bisa menjadi orang yang paling malu sedunia, aku tidak bisa berangkat ke sekolah kalau tidak dianterin mama, aku manja dan sering menyusahkan. Tapi ketika pulang sekolah, aku menjelma menjadi gadis yang nakal, gadis yang lebih senang menghabiskan waktunya di bak mobil, gadis yang senang bermain pasir, dan gadis yang lebih memilih mencari kecebong diselokan dibandingkan bermain boneka. Bahkan aku pernah memasukan tangki bensin sepeda motor orang dengan pasir dan batu kerikil. Kenangan itu masih tergambar jelas dikepalaku, seperti kaleidoskop dalam musik video.
Menjelang remaja, waktu kembali memberikanku kejutan disetiap pertambahan usiaku. Dia mengadiahkanku banyak kenangan, khususnya kenangan pahit. Aku menjadi orang yang paling kesepian selama masa hidupku. Tidak punya teman, apalagi sahabat. (Kuharap kalian menganggap ini lelucon, seperti dalam situasi komedi).
Masa-masa itu merupakan masa krisis identitas yang paling menyebalkan. Seperti seorang anak yang tidak bisa beradaptasi di keramaian. Miris? Ya, agaknya lebih miris seorang gadis penjual tisu yang menangis pilu di depan orang.
Tapi dengan cara seperti itu aku bisa belajar untuk mengenal siapa aku sebenarnya. Tanpa kesendirian, mungkin manusia hanyalah makhluk norak yang bergoyang di tengah keramaian. Kesendirian membawakan sisi positif, aku bisa seperti sekarang karena itu.
Masa SMA merupakan masa keemasan, aku memiliki sahabat tapi krisis identitas itu masih terjadi. Namun hal itu tak bertahan lama, ketika orangtua dan abangku harus direnggut ke Sang Pencipta. Ya, hidup kembali menjadi.... beep...
Semenjak itu aku menjadi orang yang berbeda, tidak seceria dulu. Aku menjadi sesuatu yang berbeda, sesuatu yang dilahirkan dengan sikap berbeda. Makhluk yang hadir dari masa lalu, paradigma baru, dan optimisme yang berbeda.
Untuk siapapun yang mengenalku dulu, sekarang, ataupun nanti, percayalah, aku akan selalu menjadi pribadi yang berubah, yang tidak sama. Bukankah begitu cara manusia hidup, dengan perubahan bukan?
Tapi hanya satu yang ingin aku katakan, "Maaf..."
Bogor, 31 Maret 2018
0 komentar