Kenapa kita cenderung mengkhawatirkan masa depan? Karena beberapa kasus kehidupan kita kelak diatur oleh masa depan yang penuh dengan misteri. Contohnya saja dalam dunia bisnis yang tampaknya sangat bergantung pada keadaan dunia di masa depan. Banyak pertanyaan yang menghantui seperti bagaimana respon pasar terhadap peluncuran produk yang akan datang? Produk apa yang akan dirilis pesaing tahun depan? Bagaimana industri akan dipengaruhi oleh inovasi teknologi, kemerosotan ekonomi, dan perubahan sistem yang dinamis?
Calon pemimpin negara sering mengutip jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut ketika mereka berkampanye atau debat capres.
Mungkin jika yang dikatakan para peramal itu akurat, dan kita punya mesin waktu seperti alat canggih Doraemon, tidak akan ada hal mengecewakan atau krisis hidup yang tak diinginkan, karena mau tidak mau kita akan melakukan segala cara agar tidak mengalami chaos di masa depan.
Menurut ilmu Neuroscience, masa depan secara inheren tidak dapat dipastikan dan otak manusia membenci ketidakpastian. Kenyataannya, ketidakpastian diartikan sebagai sesuatu yang sangat tidak menyenangkan sehingga memengaruhi pengambilan keputusan, risiko penilaian mental, dan bahkan kemampuan kita untuk belajar.
Karenanya, otak itu menghargai kepastian seperti hal-hal sederhana yang terjadi dalam hidup kita, makanan, seks dan koneksi sosial. Itu mungkin sebabnya manusia sangat membenci kalau cintanya digantung dan tanpa kepastian (bukan curcol). Dan karena rasa kepastian itu menawarkan keuntungan. Oleh karenanya, ketidakmampuan kita memprediksi masa depan merupakan sumber ketidaknyamanan yang hakiki.
Sebagai manusia, kita diciptakan untuk berkarya dan mengandalkan sesuatu. Kita juga terus menciptakan makna, mengevaluasi dan memperbaiki realitas yang ada.
Coba pertimbangkan bagaimana kita memprediksi perasaan kita atau apa yang akan kita pikirkan dalam waktu dua tahun. Hal tersebut pasti menyulut seluruh otak kita untuk memproses realitas di masa depan, kita hanya bisa berandai-andai tanpa tahu apa yang akan terjadi. Manusia memang hanya bisa merencanakan, tapi Tuhan yang menentukan.
Kita hanya bisa memodulasi kesalahan, ketidaksesuaian dan membandingkan keadaan saat ini dengan tujuan yang kita inginkan di masa depan— sambil mengkalibrasi nilai apa yang kita terapkan untuk realitas, kebutuhan, dan harapan. Proses itu berjalan melalui struktur subkortikal yang memicu respon stres fisiologis. Respons stres tersebut dirancang untuk membantu mengurangi tingkat ketidakpastian dengan meningkatkan perhatian, kemampuan belajar, dan konektivitas saraf.
Alasan ketidakpastian merupakan hal yang tidak menyenangkan, dan membuat manusia stres. Karena tugas terpenting otak adalah menjaga kita tetap aman, ia memantau lingkungan dan menilai apakah yang ditemuinya berupa ancaman bagi kelangsungan hidup kita atau tidak. Rasa ketidakpastian mampu mengaktifkan respons ancaman yang sering dianggap konflik atau deteksi kesalahan.
Ketika manusia pertama kali berevolusi, kemampuan untuk memprediksi masa depan tidak relevan dengan kelangsungan hidup kita saat ini.
“Otak kita berevolusi untuk mengelola kebutuhan masa kini dan masa depan yang tidak terlalu jauh — lingkungan terdekat Anda, dan tujuan jangka pendek untuk makanan, air, tempat tinggal, dan pengasuhan anak,” kata Kevin Ochsner, seorang sosial kognitif neuroscientist di Columbia University di NeuroLeadership Summit.
Manusia modern memiliki arsitektur saraf yang sama dengan nenek moyang kita, otak kita sendiri sama-sama tidak cocok untuk memprediksi peristiwa di masa depan. Meskipun otak kita sebenarnya cukup baik dalam menggunakan data sensoris untuk memperkirakan peristiwa dalam waktu yang sangat dekat, memungkinkan kita untuk melakukan prediksi kecil seperti menggerakkan tangan kita untuk menangkap bola bisbol yang bergerak cepat, namun sayangnya kita tidak akurat dalam peramalan peristiwa bahkan beberapa menit ke depan. Akibatnya, kita cenderung tidak memikirkan masa depan sama sekali.
Bukan hanya gagal memprediksi masa depan. Ketidakpastian membuat otak kita menciptakan kepastian palsu tentang masa depan. Sehingga kita pintar membuat asumsi, misalnya, bias yang dikenal sebagai “Akhir dari Ilusi Sejarah. ”
Source image: Unsplash/Malva Nieto
0 komentar