Tortured Artist mungkin masih sangat asing dikalangan masyarakat Indonesia. Namun, konsep ini sangat lekat dengan citra diri seorang seniman yang ditempa perjuangan hingga rasa depresi. Stereotip ini sebenarnya sangat terkenal di negara luar. Tortured Artist biasanya sering menggambarkan seorang seniman yang berhasil menciptakan karya terbaiknya, tetapi di sisi lain harus berjuang melawan "devil" dipikirannya, biasanya mereka berada dalam cengkeraman zat berbahaya, atau berjuang di bawah beban penyakit mental.
Banyak yang menganggap kalau konsep Tortured Artist itu hanya mitos, karena karya terbaik seorang seniman tidak bergantung dengan tingkat psikisnya. Entahlah, itu tergantung penilaian kalian. Tapi jujur, saya sendiri pernah hidup dengan penyakit mental - tepatnya anxiety disorder dan depresi. Menurut pengalaman saya, berjuang melawan kecemasan dan depresi itu sangat sulit. Ada momen di mana saya ingin menangis seharian, dan ada momen dimana saya meluapkan emosi itu melalui tulisan. Depresi itu membuat saya terdemotivasi dan malu kepada diri sendiri, terlepas dari karya yang mungkin saya buat (mungkin ketika suasana depresi itu menghilang sejenak.)
Namun, saya justru belajar satu atau dua hal saat menulis meskipun bergumul dengan penyakit mental. Oleh karena itu, saya ingin berbagi hal tersebut disini.
Hidup kreatif ditengah-tengah depresi
Oke, saya akan memberanikan diri untuk bercerita disini. Setidaknya, saya mulai mengalami kecemasan berlebih yang berujung depresi sekitar usia tiga belas tahun, meskipun awalnya saya tidak menyadarinya. Selama bertahun-tahun, saya dilanda krisis motivasi, yang hasilnya membuat saya malas, pesimis, dan sulit bergaul. Bahkan saya malas sekali untuk memulai hari dan pergi ke sekolah.Ketika saya mencapai titik terendah dalam hidup, saya terus-menerus bertanya mengapa saya tidak bisa bahagia. Belum lagi, tidak ada tempat berbagi. Misalkan ada, justru mereka tak pernah berpihak pada saya, saya hanya dijadikan bahan olok-olokan saja. Akhirnya, saya mengunci diri ini rapat-rapat dan hanya bergumul dengan diri saya sendiri.
Meskipun saya depresi, tapi bukan berarti saya tidak mengalami hari-hari yang bahagia. Hari-hari dimana saya merasa termotivasi, bersemangat, dan terpesona oleh kemungkinan yang ada. Dimomen inilah biasanya saya menyempatkan diri untuk mengasah diri, menemukan hobi baru, menulis, dan bahkan membuat karya yang membuat saya lebih menghargai diri sendiri.
Tetapi saya yakin bahwa saya telah belajar beberapa pelajaran berharga tentang hidup yang disebut sebagai "Tortured Artist ".
1. Mempertahankan ritual penulisan
Nah, bagi kamu yang mungkin hidup ditengah depresi, kamu harus mempertahankan rutinitas menulis harianmu bahkan ketika sedang sedih. Bagi saya, menuangkan emosimu ke dalam tulisan itu lebih baik dari pada kamu simpan sendiri di dalam pikiran. Percaya deh, plong banget.
Tidak usah menulis sesuatu yang sulit, cukup tuliskan apa yang sedang kamu pikirkan atau rasakan pada saat itu. Dengan begitu, kebiasaan menulismu tidak akan lenyap walaupun kamu tengah dilanda kesedihan. Jujur, rutinitas menulis harian ini terbukti berperan baik dalam perjuangan saya melawan depresi.
2. Menghargai dan memanfaatkan momen kreatif
Terkadang ketika hidup saya mengalami degradasi, tidak memiliki motivasi, pikiran saya itu kacau seolah mengalami kebuntuan dalam hidup. Tetapi ketika saya menemukan sedikit motivasi, saya itu bisa menulis maraton - dan saya sering melakukannya. Menghargai momen termotivasi seperti itu adalah salah satu cara terbaik untuk membuat kemajuan dalam membuat karya tulisan.
Dengan cara apa menghargai atau memanfaatkannya? Sebenarnya mudah. Ketika saya merasa sangat termotivasi, inilah waktunya untuk mematikan TV dan membuat karya tulisan.
Memanfaatkan
3. Memanfaatkan tulisanmu menjadi outlet novel
Saya pernah menulis novel. Kedengarannya hebat ya, meski tidak pernah dipublish dan selalu ditolak. Tapi setidaknya saya pernah berjuang. Ternyata, saya dapat menyalurkan banyak keraguan terburuk, momen mengerikan, dan emosi depresif saya ke dalam cerita yang saya tulis untuk memperdalam karakter yang saya buat. Setiap cerita membutuhkan setidaknya sedikit perjuangan, dan saya punya banyak pengalaman untuk dituliskan.
Dengan begitu, bercerita menjadi bentuk pelepasan tertulis saya, tempat untuk melepaskan semua kekacauan mental dalam hidup sehingga saya dapat lebih memahami diri saya dan karakter saya sendiri.
Jika kamu pernah melawan depresi, kamu mungkin tahu betapa sulitnya melawan pikiran negatif dan kebencian pada diri sendiri. Terutama yang berkaitan dengan pekerjaan yang menguras mental seperti menulis fiksi.
Ingat, ya! Tips ini sifatnya subjektif, jadi jangan berpikir radikal bahwa tips ini mampu mengubah kehidupan menulismu dalam semalam, atau dalam beberapa hari. Tapi tips ini saya bagikan untuk memotivasimu dan membeitahu bahwa kamu tidak sendiri.
0 komentar