Kue tart rasa coffee the shadow, serta dua puluh satu lilin kecil tertancap di atasnya–dalam keadaan mati, terletak sangat manis di sebuah meja. Sepasang tangan mendekap teratur di atas meja pula–berhadapan dengan kue tart tersebut. Sepasang mata berwarna biru azurit memandang cemas ke arah kue tart. Ia resah, namun bertahan.
Tik.. Tik... Tik.. Tik
Bunyi jarum jam menggelitik sanubarinya. Waktu sudah mencapai target. 12.00 telah tiba. Hari sudah berganti. 13 September 2017 merupakan hari istimewa bagi seseorang yang sedang Alex tunggu kedatangannya. Alex tersenyum. Dia tak sabar menunggu kehadiran seseorang. Dia berharap seseorang itu datang sebentar lagi.
Keenan bergegas turun dari anak tangga. Dia terlihat semringah dengan piyama putihnya. Setiap pijakan kakinya menghasilkan bunyi khusus dari kayu keras anak tangga. Langkahnya seperti diseret ketika mencapai titik terbawah dari anak tangga–menemui lantai kayu yang membawanya ke dapur.
"It's looks like glowing!" suaranya tersirat kepuasan ketika melihat kue tart.
Alex tersenyum samar.
"Where's April and Lisa?" Keenan menarik salah satu kursi di samping Alex, lalu mendudukinya.
Alex bergumam beberapa saat. "I don't know..." nadanya datar, tampak
ragu. Kemudian ia menegaskan, "I don't know, where they are..."
"Can you call!?"
Alex bergegas mengambil smartphone di saku celananya. Ini kali pertama ia melihat ponselnya kembali sejak beberapa menit yang menit yang lalu ia nonaktifkan. Jarinya menekan tombol kecil yang berada di sisi kanan ponselnya. Lalu, layar itu bersinar terang. Menampilkan sebuah logo bergerak dari ponsel tersebut.
"Why you nonactive your phone?"
Bola mata Alex bergerak sedikit kepada Keenan, namun tidak benar–benar melihatnya. Ia diam, tak menyahuti pertanyaan itu. Dan memusatkan kembali tujuannya untuk menelepon April. Benar sekali, April. Tidak mungkin Alex menghubungi Lisa, bisa–bisa semuanya tak berjalan lancar.
Suara wanita mengaggetkan Alex. Siapa lagi kalau bukan si wanita maklumat yang selalu muncul ketika ponsel seseorang tidak aktif. Tunggu! Tidak aktif? Kenapa ponsel April bisa tidak aktif? Ke mana April membawa Lisa pergi? Apakah April tidak ingat akan perjanjiannya?
Sekarang ia mencoba untuk menghubungi Lisa. Persetan dengan perjanjian itu! Lagipula, April juga sudah melanggarnya. Dengan ketidakhadirannya tepat waktu dan ponselnya yang tidak aktif. Beberapa menit kemudian, suara wanita yang sama terdengar kembali.
Keenan menatap tajam kepada Alex dengan gelisah. Ia memerhatikan sungguh–sungguh setiap gerakan yang terjadi. Sepertinya ada yang tidak beres.
"What’s wrong?"
"I don't know..." suara Alex seperti tertahan waktu mengatakannya. Dia panik dan mulai gusar.
"Why you always says, 'I don't know..'?" terdengar nada yang tegas.
Ketegasan itu membuat Alex gelisah dan gugup sehingga ia harus beberapa kali menelen ludah untuk menguranginya.
Opasitas Alex dan Keenan memudar. Sejenak, Alex membawa kembali ingatannya dalam delapan belas jam yang lalu.
12 September
Pukul 06.00 pagi
Alex mengetuk pintu kamarnya sendiri. Dia sudah memastikan kalau di kamar tersebut ada April dan Lisa. Ketukan itu terdengar sangat lembut dan rendah. Sampai–sampai tak membangunkan Lisa. Tak berselang lama, keluarlah April membukakan pintu. Matanya terpicing karena baru saja terjaga dari tidurnya.
Wajah Alex tampak berseri–seri di hadapan April. April sedikit heran, sepagi ini kenapa air muka itu tak menyiratkan wajah bangun tidur yang biasanya ditemui kotoran mata, bekas iler, dan tanda garis–garis bantal yang tertempel di wajah? Walau Alex belum mandi, namun wajah itu terlihat lebih semangat dari pada para pekerja kantoran yang tubuhnya berbau semerbak.
"Kamu ingat ini hari apa?"
April mengerising heran. Agaknya dia harus berpikir lebih keras untuk mengingat hari. April itu tak pernah mengingat hari bila dihadapkan oleh liburan panjang. Bahkan dihari–hari masuk kuliah saja, dia terkadang lupa tanggal. Mengintip layar smartphone untuk melihat tanggal sudah menjadi obat dalam kesehariannya.
"Hari apa ya?" rupanya ia tak berhasil mencari jawaban itu.
"It's monday!" Alex meledak. Dalam artian, dia sangat–sangat bersemangat mengatakannya. Tak lupa, senyuman itu selalu tertempel di wajahnya.
Melihat gelora itu, April ikut tersenyum bahagia. "... Yeah! Okey..." namun kembali ragu dan memanggutkan kepalanya.
"Kamu tahu ini tanggal berapa?"
Oh, Tuhan... Pertanyaan itu lebih sulit.
"Please, jangan tanya itu! Hari aja gue nggak ingat apalagi tanggal, Lex."
"Oh, my God! You really sinful, April..."
"What?!"
"Tanggal 13. You remember?"
April mengernyitkan kembali dahinya. Alisnya saling bertemu. Sekuat tenaga ia masih terus mencari jawabannya. Ia seperti sedang mencari jawaban sebuah kuis.
"Come onl!" suara itu seperti menyemangati April. Seakan sedang mengikuti cerdas cermat.
April bersorak masam.
"Oh, God, please! Gue bukan lagi main teka–teki silang, Lex!”
Alex tergelak waktu melihat ekspresi wajah April yang sudah meletus. Dan itu membuatnya bahagia. Lagian, kenapa April bisa lupa ulang tahun sahabatnya sendiri. Ada benarnya juga memang, setahu Alex, April itu memang tidak pernah ingat ulang tahun orang lain. Ulang tahun sendiri saja terkadang dia tak mengingatnya.
April pernah berkata, kalau ulang tahun itu menjadi momok yang menyebalkan. Bukan hanya menyebalkan karena ditimpuk telor mentah di kepala sampai rambut berbau anyir, tapi juga karena pertambahan umur dan pengurangan usia, menjadikan ulang tahun bukan hal yang mengistimewakan dalam hidupnya.
April terlihat biasa saja saat mengetahui ulang tahun sahabatnya itu. Tidak ada pengungkapan ekspresi yang 'Wow' darinya. Justru Alex yang sangat bersemangat dan meminta bantuan April untuk memberikan Lisa kejutan dihari ulang tahunnya. Mereka akhirnya manyusun rencana untuk membuat Lisa geram.
Alex mencoba menyesuaikan matanya untuk menerima bayangan yang jelas dari objek yang berbeda di hadapannya. Kembali dalam kenyataan yang menyusahkan. Masih disudutkan dengan kue tart yang terlihat layu seperti hatinya.
Perubahan dan pergerakan jarum jam membuat Keenan dan Alex semakin frustasi. Anasir yang tadinya cemas–cemas tidak sabar, sekarang berubah menjadi cemas ketakutan. Bagaimana mungkin, waktu sudah menunjukan pukul 01.00 pagi, sementara April dan Lisa belum juga tiba. Ini bukan lagi terlambat, tapi memang tidak hadir.
Kecemasan itu membawa derap langkah Keenan ke ambang pintu. Alex tak ingin tertinggal, ia mengikutinya dan terduduk di anak tangga bercat putih di depan rumahnya–berjarak satu meter dari ambang pintu. Mereka tidak bisa berbuat apa–apa. Satu–satunya akses mengetahui keberadaan April dan Lisa malah tidak aktif– ponsel mereka berdua.
Jalanan Saugerties itu bukan seperti jalanan di kota New York City, yang selalu gegap gempita dan diarak–arak hutan beton yang bergemerlapan di malam hari. Salah satu kota di Paman Sam yang katanya tidak pernah terlelap. Saugerties itu kebalikan dari jantung kota New York City. Malam di sini selalu dihabiskan dengan kesunyian. Terlelap atau berkarya sampai larut di dalam rumah, hanya itu yang bisa dipilih di kota kecil ini. Di luar sana terlalu dingin, gelap, dan tak bersahabat ketika malam hari tiba, bagi warga amikal seperti mereka.
Keenan mulai geram. Ia tidak bisa hanya berdiam diri saja menunggu sesuatu yang tidak ada kabarnya. Ia juga sangat khawatir dengan keponakannya itu. April tinggal di Saugerties hanya empat tahun saja–dari usia satu sampai empat tahun. Ia juga tidak hafal dengan jalanan Saugerties seutuhnya. Bahkan kunjungannya ke sini selalu dihabiskan dengan kehangatan rumah dan perkumpulan keluarga. Tak sering menyentuh jalanan Saugerties.
Ini semakin membuat Keenan ragu. Seharusnya semua ini tidak terjadi. Membiarkan April mengendarai mobil sampai larut malam. Sungguh risiko yang besar. Ini juga karena campur tangan Alex, mencoba menyusun rencana namun tidak memiliki perhitungan. Dan tidak izin dengan dirinya terlebih dahulu.
Sorot lampu senter merelap dari dalam hutan, dibarengi dengan sosok manusia. Aram temaram, hitam usam, dan tak bisa ditebak diantara pohon–pohon dan semak belukar. Sedikit sinar dari lampu truk peti kemas masih remang–remang menembus mobil yang ditabraknya hingga ke kaca depan. Sinar kelam itu membentuk siluet di tanah atau humus hutan yang membentuk sosok refleksi seorang pria.
Siluet itu semakin nyata ketika ia mulai mendekati dua mobil yang mengalami insiden. Pria dengan sosok tubuh proporsional, memiliki tinggi seratus tujuh puluh lima sentimeter. Rambutnya hitam pendek dan agak berkilau. Namun sayangnya, kepekatan dan ketebalan malam menghalangi wajah pria tersebut. Ia misterius dan tak terjamah.
Kehadiran pria itu... Entah, dianggap terlalu dini atau malah terlambat. Dia datang satu jam setelah tabrakan itu terjadi. Ia bukan sherif setempat atau polisi malam yang sedang bertugas. Pakaiannya tak menunjukan anggota dari badan pemerintah. Dia mengenakan t–shirt oblong putih yang dibalut dengan jaket hoodie hitam. Warna monokrom yang sepadan dengan perawakannya.
Ada kemungkinan besar dia adalah warga sekitar yang tinggal tak jauh dari tempat kecelakaan. Hutan tempat di mana pria itu muncul, bahkan tidak memiliki jalan setapak atau tanda–tanda yang menunjukan adanya tempat pemukiman penduduk. Hanya ada semak belukar yang harus dikendalikan saat ia melewatinya.
Pria itu mendekati mobil sedan berwarna merah. Menyoroti mobil tersebut dengan senternya. Kali ini wajahnya terlihat dengan jelas oleh kilap dari lampu truk peti kemas yang masih menyala. Wajah asimetris dengan rahang yang tirus. Wajah Asia Tenggara dengan kulit putihnya. Tidak jelas dia seorang imigran atau memang lahir dan besar di Amerika. Karena tidak dipungkiri lagi bahwa Amerika menjadi negara di dunia yang penduduknya terdiri dari berbagai etnis minoritas.
Cahaya senter itu menerangi bagian depan mobil sedan yang menghantam pohon besar. Dari jarak tiga meter, cahaya itu mengeriap diantara lampu sorot bagian depan mobil yang terkecai dan kaca mobil yang retak. Kerangka mobil bagian depan juga tampak melengkung ke dalam. Serta pintu mobil sebelah kiri terbuka lebar.
Sambil terus berjalan perlahan, dia bergeser ke sisi kanan mobil, melongok melalui jendela mobil yang terbuka setengah. Lalu ia agak tergemap ketika melihat seorang gadis dalam keadaan wajah yang menempel di kantung udara yang masih mengembang. Dan kedua tangannya berjuntai. Rambutnya yang panjang tergerai tidak karuan menutupi sisi wajahnya. Itu Lisa.
Dalam keadaan yang sangat tenang untuk seseorang yang baru saja melihat korban kecelakaan, pria itu berusaha membuka pintu mobil. Namun ia mengalami kesulitan dan akhirnya gagal. Dia kembali menodongkan senternya ke seberang sana melalui jendela mobil. Dia memastikan sesuatu di kursi utama kemudi, ada orang atau tidak. Sangat aneh baginya, bila seorang wanita mengalami tabrakan dan ditemukan di sisi kemudi bagian kanan, lalu di mana pengemudi sesungguhnya. Apa mungkin mobil sedan ini ditabrak dalam keadaan terhenti di pinggir jalan. Sebab mesin mobil ini dalam keadaan mati, tak terlihat tanda–tanda dari mesin yang hidup. Pria itu berpikir demikian, namun masih tenang dengan tatapan tajamnya.
Dia berjalan melewati depan mobil tersebut untuk melihat sisi mobil dari bagian kiri–di mana terdapat kemudi mobil dengan pintu yang terbuka. Dia mengeluarkan kepalanya dari balik depan mobil. Kemudian ia menyinari sisi kiri mobil dengan senternya, namun tidak menemukan apapun selain pintu mobil yang menganga. Perlahan langkahnya mulai mendekat. Dia membelai pintu mobil tersebut untuk mencari petunjuk. Mungkin tanda–tanda keberadaan orang lain atau semacamnya. Tak terdapat bekas darah di sana.
Sementara ia melihat kursi kemudi kosong, ia tidak menemukan orang lain selain gadis itu di dalam mobil merah Ford. Lantas, siapa yang mengemudikan mobil ini? Apakah gadis yang terkapar tanpa mengenakan sabuk pengaman itu, yang posisinya berada di sebelah kemudi? Rasanya mustahil bila gadis itu yang mengemudikan mobil. Tapi dia hanya seorang diri duduk di samping kemudi. Apa mungkin saja, pengemudi mobil yang tidak diketahui keberadaannya ini terlempar keluar dari dalam mobil ketika truk peti kemas menabrak mobilnya. Entahlah, dia tak mengetahui kronologisnya.
Pria bermata agak sipit itu duduk di kursi kemudi. Tangannya mencengkram kemudi dengan kuat dan bertenaga. Namun ia tidak bisa bergeming dan memikirkan apa yang baru saja terjadi dengan kedua mobil ini. Keberadaan gadis di samping, mulai mengganggu pikirannya. Dia tak mungkin membiarkan gadis itu terkelepai tak berdaya.
Ia meliriknya, dan menyibak perlahan rambut gadis itu yang menutupi wajahnya. Masih tampak tenang, dia melirik ke arah belakang. Dilihatnya seorang pengemudi truk peti kemas masih tak sadarkan diri dengan dahi menekan kemudi.
Dia menuntun tubuh Lisa dan menyandarkannya di kursi. Mengempeskan kantung udara. Sekarang wajah Lisa terlihat jelas oleh pria itu. Pria itu menyuluhi cahaya senter ke arah wajah Lisa.
Ia beralih menempelkan jari telunjuknya dilubang hidung Lisa. Terasa hembusan napas yang ringan keluar dari kedua lubang hidungnya. Tanda itu sudah sangat kuat bahwa gadis ini masih hidup. Pria itu bergegas membawa Lisa keluar dari dalam mobil. Ia menggendongnya dan membawanya pergi dari tempat tersebut. Memasuki hutan yang gelap, dipenuhi semak belukar dan tumbuhan liar lainnya.
Kertas pembungkus makanan ringan yang tersesat di tengah jalan raya, tertiup desiran angin, membawanya berkelana di jalanan yang sunyi.
Mobil muscle tua berwarna hitam menepi di depan toko sepatu yang sudah tutup. Semua toko yang berada di jalan Partition hampir semuanya tutup dan tak beroperasi. Saat ini waktu sudah menunjukan pukul 01.18 waktu setempat.
Alex memandangi Keenan yang baru saja keluar dari dalam mobil. Ia tidak yakin dengan keputusan daddy–nya tersebut. Keputusan yang mungkin tidak akan menghasilkan titik terang. Karena dia yakin sekali, April dan Lisa pasti sudah pergi dari tempat ini sejak empat jam yang lalu.
Tampaknya Keenan cukup percaya diri untuk memeriksa lingkungan di Partition Street. Alex sudah memberitahukan kepada daddy–nya, alasan mengapa April memarkirkan mobil di depan sebuah toko sepatu. Semua sudah jelas. Pukul lima sore, satu–satunya toko yang tutup pertama kali ialah toko sepatu itu. Dan parkiran yang kebetulan kosong, ya... di depan toko sepatu tersebut. Alex sendiri yang mengarahkan mobilnya berhenti di depan toko sepatu. Tetapi Keenan kukuh pada kata hatinya untuk tetap mengunjungi tempat ini.
Perhentian ini hanya mengulur dan membuang–buang waktu saja. Lebih–lebih, tidak ada orang di jalanan ini. Kecuali satu atau dua pemuda mabuk yang berjalan terhuyung–huyung di pinggir jalan.
Smartphone itu masih menjadi andalan utamanya. Tergenggam erat di telapak tangannya. Di mana dia masih menunggu kabar dari April ataupun Lisa. Sekarang ini Alex sudah tidak memikirkan kejutan ulang tahun. Pikirannya justru diusik dengan rasa bersalah. Dia jadi teringat akan ucapan April ketika berada di jalan setapak menuju Lighthouse.
Langkah itu berjalan terseok–seok di jalan setapak. Namun tidak seperti seseorang yang baru saja menginjak tanah liat atau kotoran kucing di jalan, lalu menyeret langkahnya untuk menghilangkannya. Ini terlihat lebih lemah dan halus, serta memiliki ciri khas tersendiri. Sudah tidak heran lagi bagi orang yang mengenali gadis ini, dengan setiap gerakan lucu yang dilakukannya. Contohnya saat ia berjalan, dia terkadang suka menyeret sepatunya ketika melangkah maju. Seraya memainkan sepatu roda. Kebiasaan April ini sering kali menjadi bahan ejekan Alex.
Mereka hanya melangkah bertiga. Lisa tak terlihat di sana. Sepertinya ia tertinggal. Alex dan April sengaja untuk meninggalkan Lisa dan membuatnya marah.
"April, bagaimana rencananya?"
"Rencana untuk ulang tahun Lisa nanti malam?"
Alex mengangguk. Dia menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan Lisa. Terlihat dari jarak enam meter, Lisa sedang mencari sesuatu di dalam ranselnya.
"Oh, iya..." April sedikit bersorak. "Aku punya ide!" katanya. "Gimana kalau kita berpisah di Partition Street, setelah pulang dari sini. Aku sama Lisa jalan–jalan. Nah, kamu pergi ke toko kue, sekalian aku nitip gift untuk aku kasih ke Lisa nanti malam."
"Okey! Kamu mau menghadiahkan Lisa apa?”
April bergumam. Agaknya Lisa tidak perlu diberikan sesuatu yang mahal atau istimewa untuk kado ulang tahunnya kali ini. April tahu betul, dengan kehadiran Alex diulang tahun Lisa yang ke–21 tahun ini, sudah menjadi hadiah yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup. Itu sudah pasti. “Cari aja yang cheap, okey! Yang bermutu rendah.” April mengikik.
Alex tertawa. "Aku ingin membuat kejutan di rumah. Jadi kalau bisa, tepat jam dua belas malam, kamu harus sudah sampai di rumah."
April merengek. "Terus gue ke mana dulu, dong?!"
"Terserah..."
April mendesah. "Ya udah, dari Partition gue ke Main street, deh. Terus muter–muterin kota Saugerties."
Alex memudarkan lamunannya. Pipinya yang menempel di jendela kaca mobil yang tertutup, tiba–tiba menjauh perlahan saat melihat Keenan kembali. Dia menunjukan wajah bosannya ketika daddy–nya mulai mengatakan sesuatu di dalam mobil.
Keenan tidak menemukan petunjuk di Partition Street. Kecuali dia menemukan beberapa pemuda mabuk yang ingin memukulnya.
"Menurut kamu mereka ke mana?" kecemasan itu menarik garis–garis pada wajahnya.
"Main Street. Maybe."
Waktu diperjalanan menuju Main Street, ponsel Alex berdering. Terpampang nomor aneh dan tak lazim–nomor ponsel yang tidak digunakan orang kebanyakan di negaranya. Ragu–ragu, Alex mencoba mengangkatnya. Tangannya sedikit gemetar, seperti wanita yang menerima telepon misterius di film Scream.
Ponsel itu sudah menempel di telinganya sekarang. Namun ia hanya tergeming, tak berbicara apapun. Keenan yang sedang mengemudi, sudah beberapa kali mengalihkan pandangannya kepada Alex.
Suara rusak dan terputus mulai terdengar, memanggil–manggil nama Alex. Alex mulai menduga bahwa semua ini ada hubungannya dengan April dan Lisa. Apa mungkin yang menelepon ini adalah penjahat yang menculik April dan Lisa, lalu meminta uang tebusan kepadanya. Seperti yang sering ia saksikan dalam serial televisi dan film.
"Gue Ralan, Lex." nama itu sepertinya tidak asing bagi Alex. Benarkah Ralan yang meneleponnya ini, kekasih April?
Alex mengulang nama itu.
"Iya... Cowoknya, April." ujarnya.
Perlahan, frekuensi suara itu semakin membaik.
"April sama Lisa udah pulang belum?" pertanyaan itu membuat tengkuknya meremang. Jantungnya berpacu lebih tinggi. Di seberang sana, Ralan juga merasakan hal yang sama. Pertanyaan itu pun terlontar dengan sangat cemas.
Alex sempat melirik Keenan sebelum memutuskan untuk menjawabnya. Keenan juga sudah tahu siapa Ralan itu. Meski tak mengenal baik, tapi dia tahu kalau Ralan adalah kekasih April.
Seperti sudah paham dengan wajah pilu anaknya, Keenan pun meminta ponsel itu dari Alex. Sebab ia mengerti bahwa Alex tidak akan sanggup mengatakan kejujuran maupun kebohongan kepada Ralan. Meski sejujurnya ia tidak tahu apa yang ditanyakan Ralan kepada anaknya itu. Intuisi seorang bapak memang tak bisa dibohongi, apalagi kalau sudah melihat wajah mengenaskan dari anaknya.
"Dengan siapa saya bicara?" Keenan bertanya kembali untuk memastikan sekaligus memberitahukan Ralan bahwa seseorang telah mengambil alih pembicaraan.
Ragu–ragu, Ralan menjawab. Ia sedikit panik karena suara yang ia dengar berubah menjadi berat dengan aksen yang berbeda. "Ralan... pacarnya April..."
"Oh... Ralan. " Keenan sedikit membakar antusias Ralan. "Saya Keenan, pamannya April." sekarang suaranya terdengar sangat percaya diri. Bahkan atmosfir beku pun perlahan memudar.
Setelah sedikit berbasa–basi, Ralan kembali memfokuskan tujuannya. "April sama Lisa gimana, Om? Mereka udah pulang? Soalnya dua jam yang lalu, mereka telepon aku, terus cerita kalau mereka berdua nyasar. Habis itu tiba–tiba ponsel mereka mati. Yang buat aku panik, sebelum teleponnya terputus, aku sempat dengar April dan Lisa teriak. Terus terdengar suara dentaman keras gitu. Aku bingung, Om, apa yang terjadi sama mereka."
Keenan mengambil napas dan mendesah panjang. Dia terdiam lama sekali untuk memahami semua itu. "Kamu tenang aja ya..." alunan suara itu begitu lemah dan tidak meyakinkan, karena dia sendiri pun begitu resah setelah mendengar semua itu.
"Om sama Alex lagi cari mereka. Tolong kamu rahasiain ini dulu sama orangtua mereka, terutama mamanya April. Om tidak mau kalau mereka jadi panik terus melakukan hal yang gegabah." pesannya. "Biar Om yang urus ini.”
Langkah itu menapak jalan raya yang telah terjadi insiden tiga jam yang lalu. Pria misterius yang sama. Kelihatannya ia belum puas dengan apa yang ia temukan. Hanya menemukan dua orang jasad, gadis berwajah Asia dan pria tua mabuk di dalam mobil yang berbeda.
Berkat intuitif dan tabiatnya ia mumutuskan untuk memeriksa jalan raya yang tidak jauh dari hutan. Jalanan yang diduga telah terjadinya insiden antara truk peti kemas yang menabrak mobil sedan Ford merah.
Serpihan kaca tercecah di sisi kiri jalan. Sorot lampu senternya memperjelas apa yang telah terjadi. Meski tak secara signifikan. Dia melihat titik darah, tiga yard ke depan dari serpihan kaca.
Pria berwajah Asia Tenggara ini sekarang sudah mengenakan topi, sorot matanya semakin misterius berkat topi yang ia kenakan. Wajahnya pun sama misterius dan samar ketika tertunduk mengamati aspal yang dihiasai titik darah. Segera, dia berjongkok untuk mengamati tetes darah tersebut. Titik darah itu memang tidak banyak, namun patut untuk dipertanyakan dari mana asalnya. Sekarang dia menjelma bagaikan detektif Hercule Poirot.
Tak berselang lama, terdengar kegaduhan dari dalam hutan. Suara riuh dan bising dari beberapa pria dewasa. Suasana tidak seguram dan sesenyap dua jam yang lalu. Bahkan, terdapat truk derek yang terparkir lima yard dari pria misterius. Tiga orang pria dewasa sedang mengaitkan besi ke belakang truk peti kemas untuk ditarik oleh truk derek. Terlihat juga sudah tidak ada pengemudi truk peti kemas di dalamnya. Mungkin sudah dievakuasi.
Salah satu pria mencoba mengarahkan truk derek. Sementara satu pria yang lain sedang menyibak beberapa semak belukar untuk dilewati truk peti kemas. Ada satu pohon dengan tinggi dua meter dan berdiameter tujuh sentimeter, tumbang. Agaknya pohon ini tumbang karena tertabrak dua mobil yang menerobos hutan dengan galaknya. Saat mengangkat pohon dengan satu tangannya, dia terperanjat karena melihat sebuah tangan. Lalu ia berteriak dan memanggil teman–temannya untuk memastikan, sebab ia tak membawa penerangan kecuali cahaya temaram dari rembulan dan lampu sorot truk derek. Dia juga tak begitu yakin bila ada korban lain lagi di sini.
Dua orang temannya yang tak jauh darinya berlari menghampiri, tak terkecuali si pria Asia yang berada di jalan. Layaknya seorang leader, pria bertopi itu mendekati tiga orang pria yang bergotong royong mengangkat pohon tumbang. Mereka tampak terkejut, ternyata ada satu korban yang tertinggal. Ada seorang gadis. Mungkinkah gadis ini korban dari tabrakan yang terjadi beberapa jam yang lalu?
Sorot lampu senter mulai menerangi jasad gadis yang tertelengkup itu. Dan gadis itu merupakan April. Plaid shirt yang ia kenakan terbuka hingga separuh punggungnya–memperlihatkan beberapa luka garitan dan memar dari impitan pohon yang tumbang.
"Don't touch her!" pria Asia memberikan peringatan kepada tiga pria berwajah bule. Karena tidak ada yang tahu seberapa parah cederanya. Satu saja tindakan yang salah tanpa memerhatikan cidera yang diderita gadis itu, bisa mengakibatkan kesalahan yang fatal. Bahkan nyawa gadis itu menjadi taruhannya.
Si pria Asia mendekat dan memeriksa kondisi gadis dari korban kecelakaan ini. Namun ia tak berani mengangkat tubuhnya. Dan itu tidak dianjurkan. Sepertinya pria Asia sudah sangat paham akan hal ini.
"What can I do, Sir?" pria berkumis tipis bertanya. Pikirnya, barangkali si pria Asia membutuhkan bantuannya terkait jasad seseorang yang ditemukan.
Pria Asia memintanya untuk membawakannya alat khusus untuk mengevakuasi berupa head immobilizer–peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan (terutama untuk cedera kepala dan leher).
Pria berkumis dan dua teman lainnya seperti sudah mengerti akan perintah itu. Sosok pria Asia seolah sangat dihargai dan dihormati oleh ketiganya. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Kemisteriusannya membuat ia terlihat istimewa dan karismatik.
Beberapa saat kemudian, pria bule itu kembali bersama seorang temannya membawa beberapa peralatan medis untuk pertolongan pertama. Di belakangnya, menyusul seorang temannya juga yang membawa vacum matras. Tidak diketahui dari mana asal perlatan medis itu. Yang jelas mereka terlihat seperti paramedis dengan pakaian bebasnya.
Harvey tak banyak berbicara. Pembawaannya yang terlampau tenang mengindikasikannya sebagai sosok aksiomatis dan cendekiawan yang tak diketahui latarbelakangnya. Penampilannya yang sangat kasual bahkan tak menunjukan bahwa ia pria ekstrovert. Tak tampak kerlingan humoristis dari kedua mata cokelatnya.
Dia meminta bantuan salah satu teman bulenya untuk membalikkan tubuh gadis ini. Secara hati–hati bahkan terlampau sangat hati–hati, mereka membalikkan tubuh April, mencoba melihat wajah yang tersembunyi itu. Lalu, betapa tercenganya si pria Asia bernama Harvey ini.
Oh, Tuhan. Apa yang telah terjadi dengan gadis ini? Pria misterius mengerang dalam hati. Menyebabkan seputar matanya menyipit dan wajahnya sedikit menyeringai ngeri.
April mengalami luka cukup parah disegenap wajahnya, dan cidera kepala yang serius. Mukanya yang putih bersih, kini tampak compang–camping dengan darah yang membeku, serta tanah dan pasir. Juga, darah segar masih sedikit mengalir dari keningnya yang terbentur. Parahnya lagi, ada yang tidak beres dengan kedua matanya. Kedua matanya yang terpejam itu mengalami perdarahan. Ada kerusakan yang cukup serius pada mata bagian dalamnya. Entah seberapa parah, masih belum bisa dipastikan. Agaknya, semak belukar, hantaman dan benda tumpul telah memperlakukannya dengan cukup kejam. Semua luka yang didapatinya sudah pasti karena terbentur oleh benda tumpul–semak belukar berbatang keras yang menyakitkan.
Si pria misterius bukan hanya memikirkan perihal wajah gadis cantik yang dipenuhi luka itu, namun banyak pertanyaan yang mengitari kepalanya mengenai semua ini. Sesuatu yang tak dapat dimengerti olehnya. Pertemuan menyakitkan yang membangkitkan animonya akan sosok wanita dalam hidupnya. Bagaimana bisa Tuhan menggariskan pertemuan indah dengan kondisi yang sulit–dipenuhi ketakutan dan kekecutan hati.
Sesaat ia tertegun untuk mengamati sungguh–sungguh wajah gadis tersebut. Menggedor pintu hatinya bahwa ada kisah dibalik wajah yang dihiasai garitan luka. Udara dingin ini tak mampu membekukan ingatan itu. Rupanya sudah tidak asing lagi baginya, muka panjang dan tirus gadis ini. Cuping dengan ukuran pendeknya yang menggemaskan. Bibir tipis nan merah seperti warna jambu yang sengaja digigit bila sedang bimbang. Semua wujud ini hanya ia kenali betul dari satu orang. Tidak mungkin semua ini dapat terjadi, pikirnya lemah.
Afotik serasa menyerang memorinya. Jatuh ke dalam ingatan tanpa sinar. Memasuki keganasan kenangan yang membuatnya terjaga setiap malam. Memberikan mata bengkak dan merah di pagi harinya. Dan meninggalkan kejenuhan batin yang tak berkesudahan.
Udara sore ini begitu mendung, tetes demi tetes rintik hujan mulai berjatuhan. Jatuhnya keras dan kencang–memukul aspal jalanan yang sudah bersuhu dingin sejak satu jam yang lalu. Beberapa menit kemudian, rintik itu berubah menjadi hujan lebat yang membuat semua orang berlarian.
Pria Asia berjalan gusar ke tempat parkir yang dipenuhi beberapa mobil. Di atas bibirnya ditumbuhi kumis halus, mewakili dirinya ketika masa puber–jauh lebih pendek dan memakai kaca mata. Dia menghampiri mobilnya yang terparkir di outdoor. Semestinya dia harus lebih kritis ketika sudah memasuki musim hujan, termasuk memarkirkan mobilnya saat berada di suatu tempat. Padahal rumah sakit ini memiliki tempat parkir indoor di basement.
Dia berjalan cepat sambil menundukan kepalanya, mendekati mobil sedan berwarna putih. Tatapan matanya terfokus pada aspal yang sudah digenangi air. Meskipun sejak ia berada di lobi depan rumah sakit, dia sudah wanti–wanti dari jarak sepuluh yard, meyakinkan dirinya di mana letak mobilnya berada. Karena ia sudah tahu kalau hujan lebat ini akan mengganggu penglihatannya dan membuatnya menundukan kepala.
Ketika jaraknya sudah dua meter dari mobil, dia mengambil jalur kanan untuk memasuki pintu kemudi mobilnya, yang sebelumnya sudah ia buka melalui smart key dari jarak dua meter. Namun mobil sedan hitam di sebelah, menganggetkan dan menghentikan langkahnya, dengan membuka pintu mobil secara mendadak tepat dihadapannya. Untung saja langkahnya cepat–cepat terhenti. Kalau tidak, bisa–bisa keningnya terbentur oleh pintu mobil yang dibuka secara mengejutkan itu.
Sontak, suara wanita dari dalam mobil yang hendak keluar–namun dihambat oleh kepanikannya membuka payung, memohon–mohon dari balik pintu. Dia merasa bersalah dengan apa yang dilakukan, namun tampaknya ia tak sengaja. Karena dia beberapa kali mengatakan permohonan maaf atas ketidaksengajaannya. Setelah payung itu terbuka, dia berdiri–keluar dari dalam mobil dan menutup pintu mobilnya kembali.
Pria Asia menganga dan terbelalak ketika melihat gadis itu. Bukan karena dia gadis cantik dari putri kaisar, atau wanita buruk rupa yang berasal dari keluarga konglemerat. Tapi karena dia mengenal wanita itu. Wanita yang membuatnya kehilangan akal dan tampak bodoh di sekolah, walaupun dia adalah murid tercerdas di kelas.
Gadis ini memiliki wajah yang mirip sekali dengan April. Rambut hitam panjang yang selalu tergerai. Senyuman sensual dari setiap gerakan wajah dan bibirnya. Kerutan diseputar matanya setiap kali ia tertawa, menggambarkan dirinya sebagai sosok yang naif namun berdaya cipta tinggi.
"Harvey?"
Wajah yang tadinya penuh kemarahan. Kemarahan akan hujan yang berhasil membuatnya basah dan pintu mobil yang terbuka tanpa perhitungan tepat di hadapannya, berubah menjadi citra ketegangan yang berbinar. Hatinya terkincak–kincak tak karuan saat gadis itu menyebut namanya.
Gadis itu tersenyum lega mengetahui kesalahan dari ketidaksengajaannya jatuh kepada orang yang dikenal. Pria Asia yang dipanggil dengan sebutan Harvey itu tidak akan mungkin memarahinya. Sedikit senyuman pasti sudah membuat Harvey memaafkan dirinya. Lagi pula, apa yang harus dikhawatirkan dari seorang Harvey. Bila dia tak sengaja menabrak cowok itu dengan mobil sekalipun, Harvey akan setulus hati memafkannya. Sudah dua tahun yang lalu Harvey mengaggumi dirinya, saat mereka duduk di bangku satu SMA. Dan akhir–akhir ini, Harvey sudah menyatakan cinta kepadanya sebanyak dua kali, namun selalu tolak.
Sekejap kenangan itu memudar. Suram bagaikan bulan yang seolah ikut bersedih dengan apa yang terjadi dalam detik–detik terakhir ia kembali pada kenyataan hidup. Tiba–tiba, kaleidoskop mengalun bagai runtutan aneka pristiwa yang terjadi bersama gadis itu dimasa lalunya. Senyum, tawa, sedih, marah, cemberut, tergabung dalam satu wajah–gadis itu. Bersamaan dengan alunan beberapa musik rapsodi yang memutar dikepalanya.
Lalu Harvey menyerkah bayangan itu kuat–kuat. Melenyapkan segalanya seiring dengan kabut malam yang melintas. Tatapannya nanar kepada gadis ini. Ia percaya ini bukanlah mimpi yang menyerang dirinya ditengah malam, dan mengharuskannya terjaga hingga dini hari. Apa yang ia temukan saat ini bisa menentukan kehidupannya kelak. Dia tak mungkin menyia–nyiakannya setelah apa yang terjadi satu tahun yang lalu.
Salah satu pria bule sedang membongkar head immobilizer dengan membuka bantalannya dan melepas talinya dengan keadaan tergesah–gesah. Setelah selesai, pria misterius menempatkan kepala gadis itu di bawah lubang utama alat tersebut. Kemudian menempatkan tubuhnya di vacum matras, serta memberikannya alat pernapasan berupa oksigen tabung.
Pria misterius berharap penuh akan keselamatan gadis ini. Sebab gadis tersebut sangat berarti baginya. Dia harus membangun kenangan itu menjadi nyata dengan gadis ini. Dan meninggalkan kenangan yang bersifat semu. Tidak mungkin pertemuan dimalam dingin yang berkabut, dan dibanjiri sengal pada sendi–sendi tulang harus berakhir dengan duka absolut yang tak terbantahkan. Itu tak boleh terjadi.
Perbedaan waktu bagaikan nada sumbang, ia tidak akan pernah bisa selaras. Memiliki temperatur, mata angin, dan geografis yang berbeda. Di mana sebagian orang diharuskan terhubung dengan orang lain di belahan bumi berbeda.
Dalam perbedaan waktu dan rotasi bumi antara Jakarta dan New York misalnya. Di mana ada orang yang masih terjaga pukul tiga pagi di New York. Dan semua jawaban itu tertuju kepada Alex dan Keenan. Sudah dua jam ia mencari April dan Lisa di jalan, namun belum jua mendapatkan titik temu.
Dan saat di Jakarta menunjukan pukul tiga sore di jam kerja, Ralan masih was–was di atas tempat tidurnya, menunggu kabar yang tak pasti dari mereka. Mungkin hanya beberapa manusia yang masih bisa bersantai pada jam kerja di hari selasa, yakni pengangguran; entah itu yang masih fresh graduated atau penganggur sejati, dan mahasiswa kupu–kupu (kuliah pulang–kuliah pulang), seperti halnya Ralan.
Setidaknya satu jam yang lalu, ia berniat untuk menghubungi Alex kembali, namun ia ragu–ragu dan memilih untuk menunggu mereka saja yang menghubunginya. Tapi rasanya mustahil menunggu kabar dari mereka, kalau mereka berniat untuk tidak memberitahukan masalah ini kepada keluarga April dan Lisa. Mau tidak mau, Ralan sendiri yang harus berinisiatif untuk menghubungi mereka dan mencari kabar terbaru. Tapi Keenan sendiri yang menyuruhnya bersabar dan menunggu hingga mereka menghubungi. Sungguh membingungkan!
Hati ini rasanya ingin menjerit. Apa yang terjadi dengan April dan Lisa di luar sana? Mungkinkah mereka baik–baik saja? Atau mereka sedang membuat kejutan gila dengan merencanakan semua ini? Ralan tak bisa melipurkan gundah ini dalam batinnya.
Setelah mendengar keluh kesah April dan Lisa empat jam yang lalu, hatinya semakin dibuat susah. Dia masih tidak habis pikir, kebodohan macam apa yang dilakukan kekasihnya itu, mengemudi hingga larut malam dengan jalanan yang tidak dikenalinya. Rasanya kejutan yang direncanakan April dan Alex sangat tidak rasional. Dari mana ide gila itu muncul!?
"Pril, coba kamu jelasin ke aku! Bagaimana kamu bisa nyasar?" sambungan telepon itu masih cukup layak terdengar di telinga.
Dalam riuhnya suasana kantin sebuah kampus, Ralan mengimbangi suara sambungan teleponnya dengan April. Dia memaknai dengan sungguh–sungguh setiap kata yang diucapkan April di seberang sana. Namun ia menyerah, karena semua hiruk–pikuk ini membuatnya tak bisa mendengar suara April dengan jernih. Ia memutuskan untuk pergi dari sana dan berjalan kencang menuju tempat parkir dan menemukan salah satu kursi panjang yang sudah tak asing baginya. Ralan selalu duduk santai di sana ketika menunggu jam pelajaran dengan membaca buku.
Di bawah rindang daunnya pohon, kursi panjang itu terletak. Walau sinar matahari tak mau kalah meneroboskan cahayanya melalui sela–sela ranting dan daun. Beruntunglah, tempat parkir ini jauh lebih sunyi. Hanya ada beberapa anak cowok yang baru saja memarkirkan motornya. Dan seorang wanita cantik yang baru keluar dari mobil, membawa beberapa buku di tangannya. Langkahnya begitu elok dan sempurna, sampai–sampai mengalihkan dua orang cowok yang baru saja memarkirkan sepeda motor. Satu diantara mereka bahkan sampai menjatuhkan helmnya, dan membuat Ralan mengalihkan pandangan kearahnya.
Ralan kembali fokus kepada ponsel di telinganya. "Oke, Pril. Kamu boleh jelasin sekarang."
Sebelumnya, Ralan sempat meminta April untuk menepikan mobilnya. Ia tidak ingin pembicaraan ini akan membawa ketidakfokusan April mengendarai mobil. Lagi pula buat apa dia masih terus mengendarai mobilnya bila ia sudah memasuki kawasan yang asing. Akan lebih baik kalau ia memikirkan tindakan yang tepat, dan Ralan berharap semoga dirinya dapat membantu. Meskipun terhalang perbedaan waktu dan keberadaannya jauh dari sisi April.
"Halo, Lan? Kamu masih di sana? Aku udah menepi, nih." tiba–tiba suara Lisa terdengar menyusul. "Sini, Pril... Gue aja yang ngomong sama Ralan!" April membalas. "Mending lo hubungin Alex sana!"
"Kalian kenapa sih?nSekarang kamu jelasin ke aku, kenapa kamu bisa nyasar tengah malam kaya gini?!"
Terdengar suara Lisa yang terasa mencekik gendang telinganya. Lisa berteriak dan merengek putus asa, "Ah... ponselnya Alex nggak aktifi!”
"Berisik lo! Ini semua gara–gara lo, tahu nggak?! Sial gara–gara angka tiga belas lo!" tukas April dengan ganasnya. Dan tanpa sadar mengungkapkan bahwa ia seorang superstitious, ikut–ikutan seperti kebanyakan orang yang percaya takhayul.
Ralan melepaskan ponselnya dan menatapnya dengan heran sembari meringis penuh ketidaksukaan. Tapi dia meletakkan kembali ponsel itu ke telinganya. Rasa penasarannya menggebu hebat. Walaupun dia agak risih dengan pekikan dari kedua cewek disambungan telepon itu.
"Maksud lo?" nada itu terdengar parau. Bahkan, jentikan April dengan angka tiga belas itu belum juga mengingatkan Lisa akan hari kelahirannya.
Helai daun kering mendarat di atas kepala Ralan, diikuti dengan hembusan angin sendalu di siang hari bolong yang menerbangkan daun kering itu jatuh ke tanah. Waktu menyadari itu, Ralan mulai mengusap rambutnya dengan frustasi. Dibubuhkan pertengkaran aneh disambungan teleponnya.
"Sumpah... Lo pikun banget ya ternyata." sekarang nada April melambai bosan, tak segalak tadi. "Lihat nih... Sebentar lagi jam dua belas. Dan sebentar lagi mau masuk tanggal tiga belas." Ralan tidak bisa melihat gerak–gerik dan ekspresi wajah mereka. Dia hanya bisa menebak–nebak dari ucapannya. Mengetahui ekspresi dari nada bicara mereka.
"Terus?" sahut Lisa, tak kalah membosankan dari April.
"Dan lo masih nggak tahu kalau tanggal tiga belas september itu hari ulang tahun lo?"
Ralan masih cukup baik, mau mendengarkan perbincangan kolot yang tak berujung. Dia seperti mendengarkan siaran radio di malam jumat, yang menyajikan cerita horor dan tak kalah menegangkannya.
"Iya, gue baru ingat. Terus kenapa? Bahkan di menit-menit hari ulang tahun gue, lo bilang, kalau semua ini gara–gara gue. Padahal kan, yang buat kita nyasar malam–malam gini, lo Pril! Lo sendiri bahkan kaya bukan sahabat gue. Lo tahu kalau ini tanggal ulang tahun gue, tapi lo nggak ngu..."
April memotong ucapan Lisa. "...Justru kita nyasar kaya gini, gara–gara ulang tahun lo itu. Emang lo kira gue sama Alex nggak buat kejutan tanpa sepengetahuan lo!? Gue ngajakin lo jalan–jalan tengah malam gini karena Alex lagi buat kejutan di rumahnya, sebelum akhirnya gue bawa lo pulang dan lo dapat kue tart sama bingkisan manis dari Alex."
"Lo serius, Pril?" terdengar nada terenyuh yang sumbang.
Pertengkaran ini telah mengungkapkan semuanya. Dan agaknya, Ralan lebih tertarik bila penjelasan ini diungkapkan dengan adanya melodramatis
seperti ini. Meskipun ia tak menjadi lakon di dalamnya.
"Mungkin Alex matiin teleponnya karena dia nggak mau rencananya ketahuan lo!" tambah April.
Ralan tak bisa melupakan alunan–alunan suara itu dari kepalanya. Dia mengingat dengan sempurna, detik demi detik pertengkaran yang terjadi antara April dan Lisa tiga jam yang lalu. Namun yang membuatnya beringsut serta cemas tingkat tertinggi adalah saat perbincangan terakhirnya dengan Lisa. Sambungan telepon itu terputus tepat jam dua belas malam. Meninggalkan tanda tanya besar dalam hatinya akan apa yang terjadi. Pekikan, dentuman keras, dan aura ketakutan dari sana, masih berdenging di sanubarinya. Ia tak bisa melupakan setiap suara dan bunyi yang ia dengar. Sungguh menghantuinya.
"RALAN...!" ah, pekikan itu menambah kecemasannya. Ditambah suhu panas di kamar ini. Tidak bisakah ibunya itu memasang AC di dalam ruangan sempit dan sesak ini. Ruangan tiga kali lima meter yang hanya terdapat poster klub sepak bola asal spanyol, Barcelona–menampilkan enam orang pemain handalnya. Tak ada yang tertempel lagi di dinding, kecuali poster itu dan jam dinding. Begitu hampa layaknya kamar anak laki–laki yang super masa bodoh.
"Kenapa, Ma?" sahut Ralan tanpa semangat. Dia masih terbaring lesu ditempat tidurnya. Melirik jam tangannya. Dia baru ingat, hari ini ada pesanan katering yang harus ia antarkan.
Sebagai kurir katering dari usaha yang dimiliki ibunya, Ralan selalu mengantarkan puluhan hingga ratusan makanan kepada pemesan. Tentu itu bukan hal yang menggembirakan baginya.
Mengagetkan! Pintu itu dibuka dengan galaknya oleh seorang ibu bertubuh gemuk yang menggelung rambutnya. Lalu berkata dengan suara tinggi untuk mengingatkan kembali anak bungsunya tersebut. Menuntut kewajiban yang seharusnya dikerjakan, meski tak mendapatkan upah sekalipun.
Ralan mengangkat kuat–kuat tubuhnya. Ada ribuan batu kerikil yang seolah menimbun tubuh kurusnya. Dan tentunya ratusan semut yang menggelitik dan mengejangkan tulang sendinya, serta membuat kakinya mati rasa.
"Buruan! Malah bengong lagi..." gertak ibunya ketika melihatnya terduduk diam di atas tempat tidur.
Ralan tak mau kalah. "Bentar, Ma! Kesemutan!"
Syukurlah, mamanya bisa memakhlumi kesemutannya tersebut dan memutuskan untuk menunggunya di bawah. Bayangkan jika mamanya sama jahilnya dengan dirinya. Bisa saja ia mendepak kakinya yang sedang kesemutan. Seperti yang ia lakukan dengan banyak orang, semisal kakak perempuannya dan April. Betapa lucunya mereka, menahan ngilu dan pegal. April? Oh tidak. Nama itu teringat kembali olehnya. Setiap kebiasan dalam hari–harinya tidak mungkin terlepas dari kata "April".
Seratus lima puluh nasi box untuk acara selamatan sudah berbaris dan tertumpuk rapi di lantai–tepat di depan anak tangga. Yang disebelahnya sudah dihadapkan oleh dapur sederhana dengan segala tektek bengeknya.
Usaha rumahan ini berjalan dengan amat baik sejak tiga tahun yang lalu, meski selalu ada pasang surutnya. Setiap minggu selalu saja ada orang yang memesan katering milik Bu Rani. Pelanggannya kebanyakan adalah golongan etnis Tionghoa dan Kristiani.
Ketika sedang memindahkan nasi box ke dalam mobil van, terasa getaran di saku jeans–nya. Ralan menyelukan jarinya ke saku untuk mengambil ponselnya yang bergetar itu. Waktu mengambilnya, Ralan sangat antusias. Ternyata benar saja, itu telepon dari Alex. Tuhan... Mungkinkah April dan Lisa sudah ditemukan dan pulang dengan selamat.
"Halo... Bagaimana April dan Lisa?" suaranya penuh kobaran semangat.
Bibir itu terasa begitu kering layaknya kismis yang terselip di dalam roti.
Ralan mengkonsumsi lebih banyak udara ke dalam rongga mulutnya, karena ia mengangakan mulutnya. Entah apa yang dikatakan dari sambungan telepon di seberang sana sampai membuat Ralan tertegun tak bisa berkata apa–apa.
Catatan : Superstitious, dalam kamus besar bahasa Inggris berarti percaya
takhayul.
Alex keluar dari kamar adiknya yang bersebelahan dengan kamarnya sendiri, yang sekarang ini ditempati oleh April dan Lisa. Namun sosok Lisa juga keluar dari kamar Alex. Mereka saling berpapasan, tersenyum dan tersipu. Sepasang bola mata berwarna hitam dan biru itu masih menatap canggung, namun dengan makna yang berbeda–makna yang membuatnya saling berbinar–binar.
Tubuh Lisa seperti tersetrum, gerakan tubuhnya salah tingkah. Jauh berbeda dengan Alex, yang terlihat lebih tenang. Namun lirikan matanya tak bisa menutupi kecanggungan yang terjadi.
Alex mewarnai kecanggungan dan kesipuan itu dengan pertanyaan. "You ready?" mereka baru saja memulai hari pertamanya untuk berwisata.
Dengan energik, Lisa mengangguk bahagia.
Tidak dipastikan apa yang terjadi dengan pikiran Alex. Hilangnya Lisa dan April membuat ingatannya melayang kebeberapa jam yang lalu. Ketika ia masih bisa melihat dua gadis itu. Tak mungkin semua ini terjadi begitu cepat dan mengayunkan kebahagiaan begitu jauh. Dia baru saja bertemu dengan April dan Lisa. Menghabiskan satu hari bersama mereka. Tetapi apa yang terjadi. Mereka hilang karena rencana bodohnya. Semua begitu tak masuk akal. Bahkan Alex belum sempat mengucapkan "selamat ulang tahun" untuk Lisa.
Keenan membawa mobil muscle tuanya ke garasi rumah. Mengistirahatkannya sejenak setelah tiga jam terus–menerus dipacu di jalanan, sebelum esok hari mereka akan memulai pencarian kembali. Atau mungkin, mobil muscle tua itu akan diberi kejutan dengan memarkirkannya di depan kantor polisi Saugerties, untuk melaporkan kehilangan April dan Lisa. Tetapi rasanya terlalu dini bila ia melaporkan kehilangan ini ke kantor polisi. Sebab, kepolisian pasti menyuruhnya untuk memastikan kalau April dan Lisa benar–benar menghilang. Bukan hanya sekedar laporan fiktif. Belum lagi, ia harus menunggu dua puluh empat jam sebelum laporan itu ditindaklanjuti.
Esok paginya.
Suara drum kosong berdempang hebat ketika seorang anak laki–laki menendangnya. Wajah putih itu merah padam, bagaikan bibir wanita yang tersiram lipstik. Alex mengusap wajahnya dengan gusar, seolah ada serangga yang menyengatnya. Dia kesal, kecewa, marah, dan menyesal atas kehilangan April dan Lisa. Sampai–sampai, drum kosong yang tergeletak di sebuah parkiran menjadi bulan–bulanannya.
Pagi ini, Alex dan Keenan mendatangi kantor kepolisian Saugerties untuk melaporkan kehilangan April dan Lisa. Lalu Alex dimintai keterangannya perihal kronologis sebelum April dan Lisa menghilang oleh seorang inspektur kepolisian tersebut.
Sudah sekian jam pula Alex menahan amarah saat dimintai keterangan oleh inspektur Tobias Myers. Menurutnya ini tidak manusiawi. Pertanyaan itu bagaikan interogasi terselubung. Seakan–akan polisi itu menganggapnya sebagai otak dibalik hilangnya April dan Lisa.
Alex mengepal jarinya kuat–kuat. Urat–urat ditangannya membersil dengan gagahnya.
"What are you doing?" selalu saja, kehadiran daddy–nya itu seraya obat penenang, mampu melunakkan hatinya.
Kepalan itu mengendur. Alex tertunduk lesu menghampiri daddy–nya.
"We have to find them!" Alex berkata kepada Keenan saat keberadaan mereka sudah di depan pintu mobil.
Keenan terpaku menatap anaknya di depan pintu mobil kemudi–memegangi bendul pintu mobilnya. Dia memandangi anaknya yang juga berdiri di depan pintu kanan mobil–dalam keadaan pintu yang masih tertutup. Ia berpikir sejenak. Air mukanya menyiratkan kesan persetujuan yang semu. Lalu ia menggeleng jemu. "No, Alex!" ia masuk ke dalam mobil. Disusul Alex kemudian.
Saat keduanya berada di dalam mobil, Alex menyangkal ketidaksetujuan daddy–nya. Mereka sempat beradu mulut, saling mempertahankan kerangka acuan pemikiran masing–masing. Menurut Keenan, mencari April dan Lisa tidak semudah itu. Alex menyanggahnya, ia mengatakan bahwa April dan Lisa hilang di kota kecil yang bernama Saugerties, jadi menurutnya, mudah saja menemukan mereka.
Ingatkah pada satu pribahasa, seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Barangkali tumpukan jerami itu tak seberapa, namun yang namanya jarum hilang di dalam jerami, tetap saja sukar untuk ditemukan. Dan seumpanya April dan Lisa diibaratkan jarum, serta kota Saugerties adalah jeraminya, bagaimana cara mencarinya. Bila Alex pun tak tahu ke mana April dan Lisa pergi. Lalu ke mana dia akan memulai pencariannya?
Keenan sudah menyerahkan dan memercayakan ini kepada pihak polisi. Dia yakin karena itu adalah tugas polisi dan polisi memiliki integritas dalam melayani masyarakat.
"Dari pada kamu terus–terusan mendesak Daddy untuk mencari April, tapi tidak tahu memulai dari mana. Daddy punya ide yang lebih baik." tatapannya tajam sambil mengendarai mobil antiknya.
Alex tak menyahutinya. Dia hanya mengerling kecewa kepada Keenan.
Sesampainya di rumah, Alex bergegas menuju kamarnya, mencari kertas HVS ukuran A4 yang tersimpan teratur di dalam laci lemarinya. Kertas itu masih terbungkus dan merekat dengan baik–menandakan masih baru dan belum digunakan olehnya.
Alex memulai aksinya itu, menyalakan laptopnya yang terdapat di atas meja belajar. Membuka instagram April dan Lisa, mencari foto terbaru mereka–foto yang terakhir kali mereka upload. Rupanya April tidak banyak mengunggah foto liburan di Saugerties, sehari yang lalu. Dia hanya mengunggah dua foto dirinya. Pertama, foto candid–nya di Lighthouse dan foto selfie dirinya di dalam mobil. Alex tergugah, ia teringat kembali pakaian dan aksesoris yang dipakai April sebelum ia menghilang. Kemudian, Alex mengunduh foto selfie April yang berada di dalam mobil.
Selagi mengunduh, dia menuliskan nama Lisa dikolom pencarian orang di Instagram–nya. Ia tak menduga, foto selfie dirinya ada diurutan paling pertama. Lisa jauh lebih aktif di Instagram, bahkan ia mengunggah setiap moment selama tiba di Saugerties. Dalam sehari, mungkin ia bisa mengunggah tiga sampai lima foto. Banyak sekali unggahan Lisa yang menyangkut pautkan dirinya, terutama saat mereka selfie berdua. Alex tersenyum samar melihatnya. Hatinya seperti dihujani ribuan air. Semoga air itu tak merembes dari kelopak matanya.
Alex melihat setiap caption yang Lisa tulis disetiap foto yang ia upload. Alex semakin memburu, mencoba mencari titik terang, tapi rasanya tidak mungkin. Terakhir kali Lisa mengunggah foto dirinya itu ketika ia sedang berada di Partition Street. Terlihat sekali caption yang ia tuliskan, "He must to go! Deplorable..." begitu ungkapannya. Tak ada unggahan lagi sejak itu. Kenapa mereka tak memberikan petunjuk?
Tak ingin berlama–lama melarutkan kekecewaan, Alex mengunduh foto selfie Lisa. Lalu ia membuka Adobe InDesign di laptopnya dan mengedit foto mereka berdua. Menuliskan orang hilang dalam editannya. Tak lupa, dia juga menuliskan ciri–ciri April dan Lisa di sana terakhir mereka menghilang. Sesudah itu, ia mencetaknya ke dalam 100 lembar kertas A4.
Hello, guys! I need your help? Perkataan itu terketik digrup Whatsapp yang ia buat. Meliputi teman kampusnya. Dia pun menyibukkan dirinya dengan menghubungi seseorang melalui sambungan telepon.
Tik.. Tik... Tik.. Tik
Bunyi jarum jam menggelitik sanubarinya. Waktu sudah mencapai target. 12.00 telah tiba. Hari sudah berganti. 13 September 2017 merupakan hari istimewa bagi seseorang yang sedang Alex tunggu kedatangannya. Alex tersenyum. Dia tak sabar menunggu kehadiran seseorang. Dia berharap seseorang itu datang sebentar lagi.
Keenan bergegas turun dari anak tangga. Dia terlihat semringah dengan piyama putihnya. Setiap pijakan kakinya menghasilkan bunyi khusus dari kayu keras anak tangga. Langkahnya seperti diseret ketika mencapai titik terbawah dari anak tangga–menemui lantai kayu yang membawanya ke dapur.
"It's looks like glowing!" suaranya tersirat kepuasan ketika melihat kue tart.
Alex tersenyum samar.
"Where's April and Lisa?" Keenan menarik salah satu kursi di samping Alex, lalu mendudukinya.
Alex bergumam beberapa saat. "I don't know..." nadanya datar, tampak
ragu. Kemudian ia menegaskan, "I don't know, where they are..."
"Can you call!?"
Alex bergegas mengambil smartphone di saku celananya. Ini kali pertama ia melihat ponselnya kembali sejak beberapa menit yang menit yang lalu ia nonaktifkan. Jarinya menekan tombol kecil yang berada di sisi kanan ponselnya. Lalu, layar itu bersinar terang. Menampilkan sebuah logo bergerak dari ponsel tersebut.
"Why you nonactive your phone?"
Bola mata Alex bergerak sedikit kepada Keenan, namun tidak benar–benar melihatnya. Ia diam, tak menyahuti pertanyaan itu. Dan memusatkan kembali tujuannya untuk menelepon April. Benar sekali, April. Tidak mungkin Alex menghubungi Lisa, bisa–bisa semuanya tak berjalan lancar.
Suara wanita mengaggetkan Alex. Siapa lagi kalau bukan si wanita maklumat yang selalu muncul ketika ponsel seseorang tidak aktif. Tunggu! Tidak aktif? Kenapa ponsel April bisa tidak aktif? Ke mana April membawa Lisa pergi? Apakah April tidak ingat akan perjanjiannya?
Sekarang ia mencoba untuk menghubungi Lisa. Persetan dengan perjanjian itu! Lagipula, April juga sudah melanggarnya. Dengan ketidakhadirannya tepat waktu dan ponselnya yang tidak aktif. Beberapa menit kemudian, suara wanita yang sama terdengar kembali.
Keenan menatap tajam kepada Alex dengan gelisah. Ia memerhatikan sungguh–sungguh setiap gerakan yang terjadi. Sepertinya ada yang tidak beres.
"What’s wrong?"
"I don't know..." suara Alex seperti tertahan waktu mengatakannya. Dia panik dan mulai gusar.
"Why you always says, 'I don't know..'?" terdengar nada yang tegas.
Ketegasan itu membuat Alex gelisah dan gugup sehingga ia harus beberapa kali menelen ludah untuk menguranginya.
Opasitas Alex dan Keenan memudar. Sejenak, Alex membawa kembali ingatannya dalam delapan belas jam yang lalu.
12 September
Pukul 06.00 pagi
Alex mengetuk pintu kamarnya sendiri. Dia sudah memastikan kalau di kamar tersebut ada April dan Lisa. Ketukan itu terdengar sangat lembut dan rendah. Sampai–sampai tak membangunkan Lisa. Tak berselang lama, keluarlah April membukakan pintu. Matanya terpicing karena baru saja terjaga dari tidurnya.
Wajah Alex tampak berseri–seri di hadapan April. April sedikit heran, sepagi ini kenapa air muka itu tak menyiratkan wajah bangun tidur yang biasanya ditemui kotoran mata, bekas iler, dan tanda garis–garis bantal yang tertempel di wajah? Walau Alex belum mandi, namun wajah itu terlihat lebih semangat dari pada para pekerja kantoran yang tubuhnya berbau semerbak.
"Kamu ingat ini hari apa?"
April mengerising heran. Agaknya dia harus berpikir lebih keras untuk mengingat hari. April itu tak pernah mengingat hari bila dihadapkan oleh liburan panjang. Bahkan dihari–hari masuk kuliah saja, dia terkadang lupa tanggal. Mengintip layar smartphone untuk melihat tanggal sudah menjadi obat dalam kesehariannya.
"Hari apa ya?" rupanya ia tak berhasil mencari jawaban itu.
"It's monday!" Alex meledak. Dalam artian, dia sangat–sangat bersemangat mengatakannya. Tak lupa, senyuman itu selalu tertempel di wajahnya.
Melihat gelora itu, April ikut tersenyum bahagia. "... Yeah! Okey..." namun kembali ragu dan memanggutkan kepalanya.
"Kamu tahu ini tanggal berapa?"
Oh, Tuhan... Pertanyaan itu lebih sulit.
"Please, jangan tanya itu! Hari aja gue nggak ingat apalagi tanggal, Lex."
"Oh, my God! You really sinful, April..."
"What?!"
"Tanggal 13. You remember?"
April mengernyitkan kembali dahinya. Alisnya saling bertemu. Sekuat tenaga ia masih terus mencari jawabannya. Ia seperti sedang mencari jawaban sebuah kuis.
"Come onl!" suara itu seperti menyemangati April. Seakan sedang mengikuti cerdas cermat.
April bersorak masam.
"Oh, God, please! Gue bukan lagi main teka–teki silang, Lex!”
Alex tergelak waktu melihat ekspresi wajah April yang sudah meletus. Dan itu membuatnya bahagia. Lagian, kenapa April bisa lupa ulang tahun sahabatnya sendiri. Ada benarnya juga memang, setahu Alex, April itu memang tidak pernah ingat ulang tahun orang lain. Ulang tahun sendiri saja terkadang dia tak mengingatnya.
April pernah berkata, kalau ulang tahun itu menjadi momok yang menyebalkan. Bukan hanya menyebalkan karena ditimpuk telor mentah di kepala sampai rambut berbau anyir, tapi juga karena pertambahan umur dan pengurangan usia, menjadikan ulang tahun bukan hal yang mengistimewakan dalam hidupnya.
April terlihat biasa saja saat mengetahui ulang tahun sahabatnya itu. Tidak ada pengungkapan ekspresi yang 'Wow' darinya. Justru Alex yang sangat bersemangat dan meminta bantuan April untuk memberikan Lisa kejutan dihari ulang tahunnya. Mereka akhirnya manyusun rencana untuk membuat Lisa geram.
Alex mencoba menyesuaikan matanya untuk menerima bayangan yang jelas dari objek yang berbeda di hadapannya. Kembali dalam kenyataan yang menyusahkan. Masih disudutkan dengan kue tart yang terlihat layu seperti hatinya.
Perubahan dan pergerakan jarum jam membuat Keenan dan Alex semakin frustasi. Anasir yang tadinya cemas–cemas tidak sabar, sekarang berubah menjadi cemas ketakutan. Bagaimana mungkin, waktu sudah menunjukan pukul 01.00 pagi, sementara April dan Lisa belum juga tiba. Ini bukan lagi terlambat, tapi memang tidak hadir.
Kecemasan itu membawa derap langkah Keenan ke ambang pintu. Alex tak ingin tertinggal, ia mengikutinya dan terduduk di anak tangga bercat putih di depan rumahnya–berjarak satu meter dari ambang pintu. Mereka tidak bisa berbuat apa–apa. Satu–satunya akses mengetahui keberadaan April dan Lisa malah tidak aktif– ponsel mereka berdua.
Jalanan Saugerties itu bukan seperti jalanan di kota New York City, yang selalu gegap gempita dan diarak–arak hutan beton yang bergemerlapan di malam hari. Salah satu kota di Paman Sam yang katanya tidak pernah terlelap. Saugerties itu kebalikan dari jantung kota New York City. Malam di sini selalu dihabiskan dengan kesunyian. Terlelap atau berkarya sampai larut di dalam rumah, hanya itu yang bisa dipilih di kota kecil ini. Di luar sana terlalu dingin, gelap, dan tak bersahabat ketika malam hari tiba, bagi warga amikal seperti mereka.
Keenan mulai geram. Ia tidak bisa hanya berdiam diri saja menunggu sesuatu yang tidak ada kabarnya. Ia juga sangat khawatir dengan keponakannya itu. April tinggal di Saugerties hanya empat tahun saja–dari usia satu sampai empat tahun. Ia juga tidak hafal dengan jalanan Saugerties seutuhnya. Bahkan kunjungannya ke sini selalu dihabiskan dengan kehangatan rumah dan perkumpulan keluarga. Tak sering menyentuh jalanan Saugerties.
Ini semakin membuat Keenan ragu. Seharusnya semua ini tidak terjadi. Membiarkan April mengendarai mobil sampai larut malam. Sungguh risiko yang besar. Ini juga karena campur tangan Alex, mencoba menyusun rencana namun tidak memiliki perhitungan. Dan tidak izin dengan dirinya terlebih dahulu.
***
Sorot lampu senter merelap dari dalam hutan, dibarengi dengan sosok manusia. Aram temaram, hitam usam, dan tak bisa ditebak diantara pohon–pohon dan semak belukar. Sedikit sinar dari lampu truk peti kemas masih remang–remang menembus mobil yang ditabraknya hingga ke kaca depan. Sinar kelam itu membentuk siluet di tanah atau humus hutan yang membentuk sosok refleksi seorang pria.
Siluet itu semakin nyata ketika ia mulai mendekati dua mobil yang mengalami insiden. Pria dengan sosok tubuh proporsional, memiliki tinggi seratus tujuh puluh lima sentimeter. Rambutnya hitam pendek dan agak berkilau. Namun sayangnya, kepekatan dan ketebalan malam menghalangi wajah pria tersebut. Ia misterius dan tak terjamah.
Kehadiran pria itu... Entah, dianggap terlalu dini atau malah terlambat. Dia datang satu jam setelah tabrakan itu terjadi. Ia bukan sherif setempat atau polisi malam yang sedang bertugas. Pakaiannya tak menunjukan anggota dari badan pemerintah. Dia mengenakan t–shirt oblong putih yang dibalut dengan jaket hoodie hitam. Warna monokrom yang sepadan dengan perawakannya.
Ada kemungkinan besar dia adalah warga sekitar yang tinggal tak jauh dari tempat kecelakaan. Hutan tempat di mana pria itu muncul, bahkan tidak memiliki jalan setapak atau tanda–tanda yang menunjukan adanya tempat pemukiman penduduk. Hanya ada semak belukar yang harus dikendalikan saat ia melewatinya.
Pria itu mendekati mobil sedan berwarna merah. Menyoroti mobil tersebut dengan senternya. Kali ini wajahnya terlihat dengan jelas oleh kilap dari lampu truk peti kemas yang masih menyala. Wajah asimetris dengan rahang yang tirus. Wajah Asia Tenggara dengan kulit putihnya. Tidak jelas dia seorang imigran atau memang lahir dan besar di Amerika. Karena tidak dipungkiri lagi bahwa Amerika menjadi negara di dunia yang penduduknya terdiri dari berbagai etnis minoritas.
Cahaya senter itu menerangi bagian depan mobil sedan yang menghantam pohon besar. Dari jarak tiga meter, cahaya itu mengeriap diantara lampu sorot bagian depan mobil yang terkecai dan kaca mobil yang retak. Kerangka mobil bagian depan juga tampak melengkung ke dalam. Serta pintu mobil sebelah kiri terbuka lebar.
Sambil terus berjalan perlahan, dia bergeser ke sisi kanan mobil, melongok melalui jendela mobil yang terbuka setengah. Lalu ia agak tergemap ketika melihat seorang gadis dalam keadaan wajah yang menempel di kantung udara yang masih mengembang. Dan kedua tangannya berjuntai. Rambutnya yang panjang tergerai tidak karuan menutupi sisi wajahnya. Itu Lisa.
Dalam keadaan yang sangat tenang untuk seseorang yang baru saja melihat korban kecelakaan, pria itu berusaha membuka pintu mobil. Namun ia mengalami kesulitan dan akhirnya gagal. Dia kembali menodongkan senternya ke seberang sana melalui jendela mobil. Dia memastikan sesuatu di kursi utama kemudi, ada orang atau tidak. Sangat aneh baginya, bila seorang wanita mengalami tabrakan dan ditemukan di sisi kemudi bagian kanan, lalu di mana pengemudi sesungguhnya. Apa mungkin mobil sedan ini ditabrak dalam keadaan terhenti di pinggir jalan. Sebab mesin mobil ini dalam keadaan mati, tak terlihat tanda–tanda dari mesin yang hidup. Pria itu berpikir demikian, namun masih tenang dengan tatapan tajamnya.
Dia berjalan melewati depan mobil tersebut untuk melihat sisi mobil dari bagian kiri–di mana terdapat kemudi mobil dengan pintu yang terbuka. Dia mengeluarkan kepalanya dari balik depan mobil. Kemudian ia menyinari sisi kiri mobil dengan senternya, namun tidak menemukan apapun selain pintu mobil yang menganga. Perlahan langkahnya mulai mendekat. Dia membelai pintu mobil tersebut untuk mencari petunjuk. Mungkin tanda–tanda keberadaan orang lain atau semacamnya. Tak terdapat bekas darah di sana.
Sementara ia melihat kursi kemudi kosong, ia tidak menemukan orang lain selain gadis itu di dalam mobil merah Ford. Lantas, siapa yang mengemudikan mobil ini? Apakah gadis yang terkapar tanpa mengenakan sabuk pengaman itu, yang posisinya berada di sebelah kemudi? Rasanya mustahil bila gadis itu yang mengemudikan mobil. Tapi dia hanya seorang diri duduk di samping kemudi. Apa mungkin saja, pengemudi mobil yang tidak diketahui keberadaannya ini terlempar keluar dari dalam mobil ketika truk peti kemas menabrak mobilnya. Entahlah, dia tak mengetahui kronologisnya.
Pria bermata agak sipit itu duduk di kursi kemudi. Tangannya mencengkram kemudi dengan kuat dan bertenaga. Namun ia tidak bisa bergeming dan memikirkan apa yang baru saja terjadi dengan kedua mobil ini. Keberadaan gadis di samping, mulai mengganggu pikirannya. Dia tak mungkin membiarkan gadis itu terkelepai tak berdaya.
Ia meliriknya, dan menyibak perlahan rambut gadis itu yang menutupi wajahnya. Masih tampak tenang, dia melirik ke arah belakang. Dilihatnya seorang pengemudi truk peti kemas masih tak sadarkan diri dengan dahi menekan kemudi.
Dia menuntun tubuh Lisa dan menyandarkannya di kursi. Mengempeskan kantung udara. Sekarang wajah Lisa terlihat jelas oleh pria itu. Pria itu menyuluhi cahaya senter ke arah wajah Lisa.
Ia beralih menempelkan jari telunjuknya dilubang hidung Lisa. Terasa hembusan napas yang ringan keluar dari kedua lubang hidungnya. Tanda itu sudah sangat kuat bahwa gadis ini masih hidup. Pria itu bergegas membawa Lisa keluar dari dalam mobil. Ia menggendongnya dan membawanya pergi dari tempat tersebut. Memasuki hutan yang gelap, dipenuhi semak belukar dan tumbuhan liar lainnya.
***
Kertas pembungkus makanan ringan yang tersesat di tengah jalan raya, tertiup desiran angin, membawanya berkelana di jalanan yang sunyi.
Mobil muscle tua berwarna hitam menepi di depan toko sepatu yang sudah tutup. Semua toko yang berada di jalan Partition hampir semuanya tutup dan tak beroperasi. Saat ini waktu sudah menunjukan pukul 01.18 waktu setempat.
Alex memandangi Keenan yang baru saja keluar dari dalam mobil. Ia tidak yakin dengan keputusan daddy–nya tersebut. Keputusan yang mungkin tidak akan menghasilkan titik terang. Karena dia yakin sekali, April dan Lisa pasti sudah pergi dari tempat ini sejak empat jam yang lalu.
Tampaknya Keenan cukup percaya diri untuk memeriksa lingkungan di Partition Street. Alex sudah memberitahukan kepada daddy–nya, alasan mengapa April memarkirkan mobil di depan sebuah toko sepatu. Semua sudah jelas. Pukul lima sore, satu–satunya toko yang tutup pertama kali ialah toko sepatu itu. Dan parkiran yang kebetulan kosong, ya... di depan toko sepatu tersebut. Alex sendiri yang mengarahkan mobilnya berhenti di depan toko sepatu. Tetapi Keenan kukuh pada kata hatinya untuk tetap mengunjungi tempat ini.
Perhentian ini hanya mengulur dan membuang–buang waktu saja. Lebih–lebih, tidak ada orang di jalanan ini. Kecuali satu atau dua pemuda mabuk yang berjalan terhuyung–huyung di pinggir jalan.
Smartphone itu masih menjadi andalan utamanya. Tergenggam erat di telapak tangannya. Di mana dia masih menunggu kabar dari April ataupun Lisa. Sekarang ini Alex sudah tidak memikirkan kejutan ulang tahun. Pikirannya justru diusik dengan rasa bersalah. Dia jadi teringat akan ucapan April ketika berada di jalan setapak menuju Lighthouse.
Langkah itu berjalan terseok–seok di jalan setapak. Namun tidak seperti seseorang yang baru saja menginjak tanah liat atau kotoran kucing di jalan, lalu menyeret langkahnya untuk menghilangkannya. Ini terlihat lebih lemah dan halus, serta memiliki ciri khas tersendiri. Sudah tidak heran lagi bagi orang yang mengenali gadis ini, dengan setiap gerakan lucu yang dilakukannya. Contohnya saat ia berjalan, dia terkadang suka menyeret sepatunya ketika melangkah maju. Seraya memainkan sepatu roda. Kebiasaan April ini sering kali menjadi bahan ejekan Alex.
Mereka hanya melangkah bertiga. Lisa tak terlihat di sana. Sepertinya ia tertinggal. Alex dan April sengaja untuk meninggalkan Lisa dan membuatnya marah.
"April, bagaimana rencananya?"
"Rencana untuk ulang tahun Lisa nanti malam?"
Alex mengangguk. Dia menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan Lisa. Terlihat dari jarak enam meter, Lisa sedang mencari sesuatu di dalam ranselnya.
"Oh, iya..." April sedikit bersorak. "Aku punya ide!" katanya. "Gimana kalau kita berpisah di Partition Street, setelah pulang dari sini. Aku sama Lisa jalan–jalan. Nah, kamu pergi ke toko kue, sekalian aku nitip gift untuk aku kasih ke Lisa nanti malam."
"Okey! Kamu mau menghadiahkan Lisa apa?”
April bergumam. Agaknya Lisa tidak perlu diberikan sesuatu yang mahal atau istimewa untuk kado ulang tahunnya kali ini. April tahu betul, dengan kehadiran Alex diulang tahun Lisa yang ke–21 tahun ini, sudah menjadi hadiah yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup. Itu sudah pasti. “Cari aja yang cheap, okey! Yang bermutu rendah.” April mengikik.
Alex tertawa. "Aku ingin membuat kejutan di rumah. Jadi kalau bisa, tepat jam dua belas malam, kamu harus sudah sampai di rumah."
April merengek. "Terus gue ke mana dulu, dong?!"
"Terserah..."
April mendesah. "Ya udah, dari Partition gue ke Main street, deh. Terus muter–muterin kota Saugerties."
Alex memudarkan lamunannya. Pipinya yang menempel di jendela kaca mobil yang tertutup, tiba–tiba menjauh perlahan saat melihat Keenan kembali. Dia menunjukan wajah bosannya ketika daddy–nya mulai mengatakan sesuatu di dalam mobil.
Keenan tidak menemukan petunjuk di Partition Street. Kecuali dia menemukan beberapa pemuda mabuk yang ingin memukulnya.
"Menurut kamu mereka ke mana?" kecemasan itu menarik garis–garis pada wajahnya.
"Main Street. Maybe."
Waktu diperjalanan menuju Main Street, ponsel Alex berdering. Terpampang nomor aneh dan tak lazim–nomor ponsel yang tidak digunakan orang kebanyakan di negaranya. Ragu–ragu, Alex mencoba mengangkatnya. Tangannya sedikit gemetar, seperti wanita yang menerima telepon misterius di film Scream.
Ponsel itu sudah menempel di telinganya sekarang. Namun ia hanya tergeming, tak berbicara apapun. Keenan yang sedang mengemudi, sudah beberapa kali mengalihkan pandangannya kepada Alex.
Suara rusak dan terputus mulai terdengar, memanggil–manggil nama Alex. Alex mulai menduga bahwa semua ini ada hubungannya dengan April dan Lisa. Apa mungkin yang menelepon ini adalah penjahat yang menculik April dan Lisa, lalu meminta uang tebusan kepadanya. Seperti yang sering ia saksikan dalam serial televisi dan film.
"Gue Ralan, Lex." nama itu sepertinya tidak asing bagi Alex. Benarkah Ralan yang meneleponnya ini, kekasih April?
Alex mengulang nama itu.
"Iya... Cowoknya, April." ujarnya.
Perlahan, frekuensi suara itu semakin membaik.
"April sama Lisa udah pulang belum?" pertanyaan itu membuat tengkuknya meremang. Jantungnya berpacu lebih tinggi. Di seberang sana, Ralan juga merasakan hal yang sama. Pertanyaan itu pun terlontar dengan sangat cemas.
Alex sempat melirik Keenan sebelum memutuskan untuk menjawabnya. Keenan juga sudah tahu siapa Ralan itu. Meski tak mengenal baik, tapi dia tahu kalau Ralan adalah kekasih April.
Seperti sudah paham dengan wajah pilu anaknya, Keenan pun meminta ponsel itu dari Alex. Sebab ia mengerti bahwa Alex tidak akan sanggup mengatakan kejujuran maupun kebohongan kepada Ralan. Meski sejujurnya ia tidak tahu apa yang ditanyakan Ralan kepada anaknya itu. Intuisi seorang bapak memang tak bisa dibohongi, apalagi kalau sudah melihat wajah mengenaskan dari anaknya.
"Dengan siapa saya bicara?" Keenan bertanya kembali untuk memastikan sekaligus memberitahukan Ralan bahwa seseorang telah mengambil alih pembicaraan.
Ragu–ragu, Ralan menjawab. Ia sedikit panik karena suara yang ia dengar berubah menjadi berat dengan aksen yang berbeda. "Ralan... pacarnya April..."
"Oh... Ralan. " Keenan sedikit membakar antusias Ralan. "Saya Keenan, pamannya April." sekarang suaranya terdengar sangat percaya diri. Bahkan atmosfir beku pun perlahan memudar.
Setelah sedikit berbasa–basi, Ralan kembali memfokuskan tujuannya. "April sama Lisa gimana, Om? Mereka udah pulang? Soalnya dua jam yang lalu, mereka telepon aku, terus cerita kalau mereka berdua nyasar. Habis itu tiba–tiba ponsel mereka mati. Yang buat aku panik, sebelum teleponnya terputus, aku sempat dengar April dan Lisa teriak. Terus terdengar suara dentaman keras gitu. Aku bingung, Om, apa yang terjadi sama mereka."
Keenan mengambil napas dan mendesah panjang. Dia terdiam lama sekali untuk memahami semua itu. "Kamu tenang aja ya..." alunan suara itu begitu lemah dan tidak meyakinkan, karena dia sendiri pun begitu resah setelah mendengar semua itu.
"Om sama Alex lagi cari mereka. Tolong kamu rahasiain ini dulu sama orangtua mereka, terutama mamanya April. Om tidak mau kalau mereka jadi panik terus melakukan hal yang gegabah." pesannya. "Biar Om yang urus ini.”
***
Berkat intuitif dan tabiatnya ia mumutuskan untuk memeriksa jalan raya yang tidak jauh dari hutan. Jalanan yang diduga telah terjadinya insiden antara truk peti kemas yang menabrak mobil sedan Ford merah.
Serpihan kaca tercecah di sisi kiri jalan. Sorot lampu senternya memperjelas apa yang telah terjadi. Meski tak secara signifikan. Dia melihat titik darah, tiga yard ke depan dari serpihan kaca.
Pria berwajah Asia Tenggara ini sekarang sudah mengenakan topi, sorot matanya semakin misterius berkat topi yang ia kenakan. Wajahnya pun sama misterius dan samar ketika tertunduk mengamati aspal yang dihiasai titik darah. Segera, dia berjongkok untuk mengamati tetes darah tersebut. Titik darah itu memang tidak banyak, namun patut untuk dipertanyakan dari mana asalnya. Sekarang dia menjelma bagaikan detektif Hercule Poirot.
Tak berselang lama, terdengar kegaduhan dari dalam hutan. Suara riuh dan bising dari beberapa pria dewasa. Suasana tidak seguram dan sesenyap dua jam yang lalu. Bahkan, terdapat truk derek yang terparkir lima yard dari pria misterius. Tiga orang pria dewasa sedang mengaitkan besi ke belakang truk peti kemas untuk ditarik oleh truk derek. Terlihat juga sudah tidak ada pengemudi truk peti kemas di dalamnya. Mungkin sudah dievakuasi.
Salah satu pria mencoba mengarahkan truk derek. Sementara satu pria yang lain sedang menyibak beberapa semak belukar untuk dilewati truk peti kemas. Ada satu pohon dengan tinggi dua meter dan berdiameter tujuh sentimeter, tumbang. Agaknya pohon ini tumbang karena tertabrak dua mobil yang menerobos hutan dengan galaknya. Saat mengangkat pohon dengan satu tangannya, dia terperanjat karena melihat sebuah tangan. Lalu ia berteriak dan memanggil teman–temannya untuk memastikan, sebab ia tak membawa penerangan kecuali cahaya temaram dari rembulan dan lampu sorot truk derek. Dia juga tak begitu yakin bila ada korban lain lagi di sini.
Dua orang temannya yang tak jauh darinya berlari menghampiri, tak terkecuali si pria Asia yang berada di jalan. Layaknya seorang leader, pria bertopi itu mendekati tiga orang pria yang bergotong royong mengangkat pohon tumbang. Mereka tampak terkejut, ternyata ada satu korban yang tertinggal. Ada seorang gadis. Mungkinkah gadis ini korban dari tabrakan yang terjadi beberapa jam yang lalu?
Sorot lampu senter mulai menerangi jasad gadis yang tertelengkup itu. Dan gadis itu merupakan April. Plaid shirt yang ia kenakan terbuka hingga separuh punggungnya–memperlihatkan beberapa luka garitan dan memar dari impitan pohon yang tumbang.
"Don't touch her!" pria Asia memberikan peringatan kepada tiga pria berwajah bule. Karena tidak ada yang tahu seberapa parah cederanya. Satu saja tindakan yang salah tanpa memerhatikan cidera yang diderita gadis itu, bisa mengakibatkan kesalahan yang fatal. Bahkan nyawa gadis itu menjadi taruhannya.
Si pria Asia mendekat dan memeriksa kondisi gadis dari korban kecelakaan ini. Namun ia tak berani mengangkat tubuhnya. Dan itu tidak dianjurkan. Sepertinya pria Asia sudah sangat paham akan hal ini.
"What can I do, Sir?" pria berkumis tipis bertanya. Pikirnya, barangkali si pria Asia membutuhkan bantuannya terkait jasad seseorang yang ditemukan.
Pria Asia memintanya untuk membawakannya alat khusus untuk mengevakuasi berupa head immobilizer–peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan (terutama untuk cedera kepala dan leher).
Pria berkumis dan dua teman lainnya seperti sudah mengerti akan perintah itu. Sosok pria Asia seolah sangat dihargai dan dihormati oleh ketiganya. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Kemisteriusannya membuat ia terlihat istimewa dan karismatik.
Beberapa saat kemudian, pria bule itu kembali bersama seorang temannya membawa beberapa peralatan medis untuk pertolongan pertama. Di belakangnya, menyusul seorang temannya juga yang membawa vacum matras. Tidak diketahui dari mana asal perlatan medis itu. Yang jelas mereka terlihat seperti paramedis dengan pakaian bebasnya.
Harvey tak banyak berbicara. Pembawaannya yang terlampau tenang mengindikasikannya sebagai sosok aksiomatis dan cendekiawan yang tak diketahui latarbelakangnya. Penampilannya yang sangat kasual bahkan tak menunjukan bahwa ia pria ekstrovert. Tak tampak kerlingan humoristis dari kedua mata cokelatnya.
Dia meminta bantuan salah satu teman bulenya untuk membalikkan tubuh gadis ini. Secara hati–hati bahkan terlampau sangat hati–hati, mereka membalikkan tubuh April, mencoba melihat wajah yang tersembunyi itu. Lalu, betapa tercenganya si pria Asia bernama Harvey ini.
Oh, Tuhan. Apa yang telah terjadi dengan gadis ini? Pria misterius mengerang dalam hati. Menyebabkan seputar matanya menyipit dan wajahnya sedikit menyeringai ngeri.
April mengalami luka cukup parah disegenap wajahnya, dan cidera kepala yang serius. Mukanya yang putih bersih, kini tampak compang–camping dengan darah yang membeku, serta tanah dan pasir. Juga, darah segar masih sedikit mengalir dari keningnya yang terbentur. Parahnya lagi, ada yang tidak beres dengan kedua matanya. Kedua matanya yang terpejam itu mengalami perdarahan. Ada kerusakan yang cukup serius pada mata bagian dalamnya. Entah seberapa parah, masih belum bisa dipastikan. Agaknya, semak belukar, hantaman dan benda tumpul telah memperlakukannya dengan cukup kejam. Semua luka yang didapatinya sudah pasti karena terbentur oleh benda tumpul–semak belukar berbatang keras yang menyakitkan.
Si pria misterius bukan hanya memikirkan perihal wajah gadis cantik yang dipenuhi luka itu, namun banyak pertanyaan yang mengitari kepalanya mengenai semua ini. Sesuatu yang tak dapat dimengerti olehnya. Pertemuan menyakitkan yang membangkitkan animonya akan sosok wanita dalam hidupnya. Bagaimana bisa Tuhan menggariskan pertemuan indah dengan kondisi yang sulit–dipenuhi ketakutan dan kekecutan hati.
Sesaat ia tertegun untuk mengamati sungguh–sungguh wajah gadis tersebut. Menggedor pintu hatinya bahwa ada kisah dibalik wajah yang dihiasai garitan luka. Udara dingin ini tak mampu membekukan ingatan itu. Rupanya sudah tidak asing lagi baginya, muka panjang dan tirus gadis ini. Cuping dengan ukuran pendeknya yang menggemaskan. Bibir tipis nan merah seperti warna jambu yang sengaja digigit bila sedang bimbang. Semua wujud ini hanya ia kenali betul dari satu orang. Tidak mungkin semua ini dapat terjadi, pikirnya lemah.
Afotik serasa menyerang memorinya. Jatuh ke dalam ingatan tanpa sinar. Memasuki keganasan kenangan yang membuatnya terjaga setiap malam. Memberikan mata bengkak dan merah di pagi harinya. Dan meninggalkan kejenuhan batin yang tak berkesudahan.
Udara sore ini begitu mendung, tetes demi tetes rintik hujan mulai berjatuhan. Jatuhnya keras dan kencang–memukul aspal jalanan yang sudah bersuhu dingin sejak satu jam yang lalu. Beberapa menit kemudian, rintik itu berubah menjadi hujan lebat yang membuat semua orang berlarian.
Pria Asia berjalan gusar ke tempat parkir yang dipenuhi beberapa mobil. Di atas bibirnya ditumbuhi kumis halus, mewakili dirinya ketika masa puber–jauh lebih pendek dan memakai kaca mata. Dia menghampiri mobilnya yang terparkir di outdoor. Semestinya dia harus lebih kritis ketika sudah memasuki musim hujan, termasuk memarkirkan mobilnya saat berada di suatu tempat. Padahal rumah sakit ini memiliki tempat parkir indoor di basement.
Dia berjalan cepat sambil menundukan kepalanya, mendekati mobil sedan berwarna putih. Tatapan matanya terfokus pada aspal yang sudah digenangi air. Meskipun sejak ia berada di lobi depan rumah sakit, dia sudah wanti–wanti dari jarak sepuluh yard, meyakinkan dirinya di mana letak mobilnya berada. Karena ia sudah tahu kalau hujan lebat ini akan mengganggu penglihatannya dan membuatnya menundukan kepala.
Ketika jaraknya sudah dua meter dari mobil, dia mengambil jalur kanan untuk memasuki pintu kemudi mobilnya, yang sebelumnya sudah ia buka melalui smart key dari jarak dua meter. Namun mobil sedan hitam di sebelah, menganggetkan dan menghentikan langkahnya, dengan membuka pintu mobil secara mendadak tepat dihadapannya. Untung saja langkahnya cepat–cepat terhenti. Kalau tidak, bisa–bisa keningnya terbentur oleh pintu mobil yang dibuka secara mengejutkan itu.
Sontak, suara wanita dari dalam mobil yang hendak keluar–namun dihambat oleh kepanikannya membuka payung, memohon–mohon dari balik pintu. Dia merasa bersalah dengan apa yang dilakukan, namun tampaknya ia tak sengaja. Karena dia beberapa kali mengatakan permohonan maaf atas ketidaksengajaannya. Setelah payung itu terbuka, dia berdiri–keluar dari dalam mobil dan menutup pintu mobilnya kembali.
Pria Asia menganga dan terbelalak ketika melihat gadis itu. Bukan karena dia gadis cantik dari putri kaisar, atau wanita buruk rupa yang berasal dari keluarga konglemerat. Tapi karena dia mengenal wanita itu. Wanita yang membuatnya kehilangan akal dan tampak bodoh di sekolah, walaupun dia adalah murid tercerdas di kelas.
Gadis ini memiliki wajah yang mirip sekali dengan April. Rambut hitam panjang yang selalu tergerai. Senyuman sensual dari setiap gerakan wajah dan bibirnya. Kerutan diseputar matanya setiap kali ia tertawa, menggambarkan dirinya sebagai sosok yang naif namun berdaya cipta tinggi.
"Harvey?"
Wajah yang tadinya penuh kemarahan. Kemarahan akan hujan yang berhasil membuatnya basah dan pintu mobil yang terbuka tanpa perhitungan tepat di hadapannya, berubah menjadi citra ketegangan yang berbinar. Hatinya terkincak–kincak tak karuan saat gadis itu menyebut namanya.
Gadis itu tersenyum lega mengetahui kesalahan dari ketidaksengajaannya jatuh kepada orang yang dikenal. Pria Asia yang dipanggil dengan sebutan Harvey itu tidak akan mungkin memarahinya. Sedikit senyuman pasti sudah membuat Harvey memaafkan dirinya. Lagi pula, apa yang harus dikhawatirkan dari seorang Harvey. Bila dia tak sengaja menabrak cowok itu dengan mobil sekalipun, Harvey akan setulus hati memafkannya. Sudah dua tahun yang lalu Harvey mengaggumi dirinya, saat mereka duduk di bangku satu SMA. Dan akhir–akhir ini, Harvey sudah menyatakan cinta kepadanya sebanyak dua kali, namun selalu tolak.
Sekejap kenangan itu memudar. Suram bagaikan bulan yang seolah ikut bersedih dengan apa yang terjadi dalam detik–detik terakhir ia kembali pada kenyataan hidup. Tiba–tiba, kaleidoskop mengalun bagai runtutan aneka pristiwa yang terjadi bersama gadis itu dimasa lalunya. Senyum, tawa, sedih, marah, cemberut, tergabung dalam satu wajah–gadis itu. Bersamaan dengan alunan beberapa musik rapsodi yang memutar dikepalanya.
Lalu Harvey menyerkah bayangan itu kuat–kuat. Melenyapkan segalanya seiring dengan kabut malam yang melintas. Tatapannya nanar kepada gadis ini. Ia percaya ini bukanlah mimpi yang menyerang dirinya ditengah malam, dan mengharuskannya terjaga hingga dini hari. Apa yang ia temukan saat ini bisa menentukan kehidupannya kelak. Dia tak mungkin menyia–nyiakannya setelah apa yang terjadi satu tahun yang lalu.
Salah satu pria bule sedang membongkar head immobilizer dengan membuka bantalannya dan melepas talinya dengan keadaan tergesah–gesah. Setelah selesai, pria misterius menempatkan kepala gadis itu di bawah lubang utama alat tersebut. Kemudian menempatkan tubuhnya di vacum matras, serta memberikannya alat pernapasan berupa oksigen tabung.
Pria misterius berharap penuh akan keselamatan gadis ini. Sebab gadis tersebut sangat berarti baginya. Dia harus membangun kenangan itu menjadi nyata dengan gadis ini. Dan meninggalkan kenangan yang bersifat semu. Tidak mungkin pertemuan dimalam dingin yang berkabut, dan dibanjiri sengal pada sendi–sendi tulang harus berakhir dengan duka absolut yang tak terbantahkan. Itu tak boleh terjadi.
***
Dalam perbedaan waktu dan rotasi bumi antara Jakarta dan New York misalnya. Di mana ada orang yang masih terjaga pukul tiga pagi di New York. Dan semua jawaban itu tertuju kepada Alex dan Keenan. Sudah dua jam ia mencari April dan Lisa di jalan, namun belum jua mendapatkan titik temu.
Dan saat di Jakarta menunjukan pukul tiga sore di jam kerja, Ralan masih was–was di atas tempat tidurnya, menunggu kabar yang tak pasti dari mereka. Mungkin hanya beberapa manusia yang masih bisa bersantai pada jam kerja di hari selasa, yakni pengangguran; entah itu yang masih fresh graduated atau penganggur sejati, dan mahasiswa kupu–kupu (kuliah pulang–kuliah pulang), seperti halnya Ralan.
Setidaknya satu jam yang lalu, ia berniat untuk menghubungi Alex kembali, namun ia ragu–ragu dan memilih untuk menunggu mereka saja yang menghubunginya. Tapi rasanya mustahil menunggu kabar dari mereka, kalau mereka berniat untuk tidak memberitahukan masalah ini kepada keluarga April dan Lisa. Mau tidak mau, Ralan sendiri yang harus berinisiatif untuk menghubungi mereka dan mencari kabar terbaru. Tapi Keenan sendiri yang menyuruhnya bersabar dan menunggu hingga mereka menghubungi. Sungguh membingungkan!
Hati ini rasanya ingin menjerit. Apa yang terjadi dengan April dan Lisa di luar sana? Mungkinkah mereka baik–baik saja? Atau mereka sedang membuat kejutan gila dengan merencanakan semua ini? Ralan tak bisa melipurkan gundah ini dalam batinnya.
Setelah mendengar keluh kesah April dan Lisa empat jam yang lalu, hatinya semakin dibuat susah. Dia masih tidak habis pikir, kebodohan macam apa yang dilakukan kekasihnya itu, mengemudi hingga larut malam dengan jalanan yang tidak dikenalinya. Rasanya kejutan yang direncanakan April dan Alex sangat tidak rasional. Dari mana ide gila itu muncul!?
"Pril, coba kamu jelasin ke aku! Bagaimana kamu bisa nyasar?" sambungan telepon itu masih cukup layak terdengar di telinga.
Dalam riuhnya suasana kantin sebuah kampus, Ralan mengimbangi suara sambungan teleponnya dengan April. Dia memaknai dengan sungguh–sungguh setiap kata yang diucapkan April di seberang sana. Namun ia menyerah, karena semua hiruk–pikuk ini membuatnya tak bisa mendengar suara April dengan jernih. Ia memutuskan untuk pergi dari sana dan berjalan kencang menuju tempat parkir dan menemukan salah satu kursi panjang yang sudah tak asing baginya. Ralan selalu duduk santai di sana ketika menunggu jam pelajaran dengan membaca buku.
Di bawah rindang daunnya pohon, kursi panjang itu terletak. Walau sinar matahari tak mau kalah meneroboskan cahayanya melalui sela–sela ranting dan daun. Beruntunglah, tempat parkir ini jauh lebih sunyi. Hanya ada beberapa anak cowok yang baru saja memarkirkan motornya. Dan seorang wanita cantik yang baru keluar dari mobil, membawa beberapa buku di tangannya. Langkahnya begitu elok dan sempurna, sampai–sampai mengalihkan dua orang cowok yang baru saja memarkirkan sepeda motor. Satu diantara mereka bahkan sampai menjatuhkan helmnya, dan membuat Ralan mengalihkan pandangan kearahnya.
Ralan kembali fokus kepada ponsel di telinganya. "Oke, Pril. Kamu boleh jelasin sekarang."
Sebelumnya, Ralan sempat meminta April untuk menepikan mobilnya. Ia tidak ingin pembicaraan ini akan membawa ketidakfokusan April mengendarai mobil. Lagi pula buat apa dia masih terus mengendarai mobilnya bila ia sudah memasuki kawasan yang asing. Akan lebih baik kalau ia memikirkan tindakan yang tepat, dan Ralan berharap semoga dirinya dapat membantu. Meskipun terhalang perbedaan waktu dan keberadaannya jauh dari sisi April.
"Halo, Lan? Kamu masih di sana? Aku udah menepi, nih." tiba–tiba suara Lisa terdengar menyusul. "Sini, Pril... Gue aja yang ngomong sama Ralan!" April membalas. "Mending lo hubungin Alex sana!"
"Kalian kenapa sih?nSekarang kamu jelasin ke aku, kenapa kamu bisa nyasar tengah malam kaya gini?!"
Terdengar suara Lisa yang terasa mencekik gendang telinganya. Lisa berteriak dan merengek putus asa, "Ah... ponselnya Alex nggak aktifi!”
"Berisik lo! Ini semua gara–gara lo, tahu nggak?! Sial gara–gara angka tiga belas lo!" tukas April dengan ganasnya. Dan tanpa sadar mengungkapkan bahwa ia seorang superstitious, ikut–ikutan seperti kebanyakan orang yang percaya takhayul.
Ralan melepaskan ponselnya dan menatapnya dengan heran sembari meringis penuh ketidaksukaan. Tapi dia meletakkan kembali ponsel itu ke telinganya. Rasa penasarannya menggebu hebat. Walaupun dia agak risih dengan pekikan dari kedua cewek disambungan telepon itu.
"Maksud lo?" nada itu terdengar parau. Bahkan, jentikan April dengan angka tiga belas itu belum juga mengingatkan Lisa akan hari kelahirannya.
Helai daun kering mendarat di atas kepala Ralan, diikuti dengan hembusan angin sendalu di siang hari bolong yang menerbangkan daun kering itu jatuh ke tanah. Waktu menyadari itu, Ralan mulai mengusap rambutnya dengan frustasi. Dibubuhkan pertengkaran aneh disambungan teleponnya.
"Sumpah... Lo pikun banget ya ternyata." sekarang nada April melambai bosan, tak segalak tadi. "Lihat nih... Sebentar lagi jam dua belas. Dan sebentar lagi mau masuk tanggal tiga belas." Ralan tidak bisa melihat gerak–gerik dan ekspresi wajah mereka. Dia hanya bisa menebak–nebak dari ucapannya. Mengetahui ekspresi dari nada bicara mereka.
"Terus?" sahut Lisa, tak kalah membosankan dari April.
"Dan lo masih nggak tahu kalau tanggal tiga belas september itu hari ulang tahun lo?"
Ralan masih cukup baik, mau mendengarkan perbincangan kolot yang tak berujung. Dia seperti mendengarkan siaran radio di malam jumat, yang menyajikan cerita horor dan tak kalah menegangkannya.
"Iya, gue baru ingat. Terus kenapa? Bahkan di menit-menit hari ulang tahun gue, lo bilang, kalau semua ini gara–gara gue. Padahal kan, yang buat kita nyasar malam–malam gini, lo Pril! Lo sendiri bahkan kaya bukan sahabat gue. Lo tahu kalau ini tanggal ulang tahun gue, tapi lo nggak ngu..."
April memotong ucapan Lisa. "...Justru kita nyasar kaya gini, gara–gara ulang tahun lo itu. Emang lo kira gue sama Alex nggak buat kejutan tanpa sepengetahuan lo!? Gue ngajakin lo jalan–jalan tengah malam gini karena Alex lagi buat kejutan di rumahnya, sebelum akhirnya gue bawa lo pulang dan lo dapat kue tart sama bingkisan manis dari Alex."
"Lo serius, Pril?" terdengar nada terenyuh yang sumbang.
Pertengkaran ini telah mengungkapkan semuanya. Dan agaknya, Ralan lebih tertarik bila penjelasan ini diungkapkan dengan adanya melodramatis
seperti ini. Meskipun ia tak menjadi lakon di dalamnya.
"Mungkin Alex matiin teleponnya karena dia nggak mau rencananya ketahuan lo!" tambah April.
Ralan tak bisa melupakan alunan–alunan suara itu dari kepalanya. Dia mengingat dengan sempurna, detik demi detik pertengkaran yang terjadi antara April dan Lisa tiga jam yang lalu. Namun yang membuatnya beringsut serta cemas tingkat tertinggi adalah saat perbincangan terakhirnya dengan Lisa. Sambungan telepon itu terputus tepat jam dua belas malam. Meninggalkan tanda tanya besar dalam hatinya akan apa yang terjadi. Pekikan, dentuman keras, dan aura ketakutan dari sana, masih berdenging di sanubarinya. Ia tak bisa melupakan setiap suara dan bunyi yang ia dengar. Sungguh menghantuinya.
"RALAN...!" ah, pekikan itu menambah kecemasannya. Ditambah suhu panas di kamar ini. Tidak bisakah ibunya itu memasang AC di dalam ruangan sempit dan sesak ini. Ruangan tiga kali lima meter yang hanya terdapat poster klub sepak bola asal spanyol, Barcelona–menampilkan enam orang pemain handalnya. Tak ada yang tertempel lagi di dinding, kecuali poster itu dan jam dinding. Begitu hampa layaknya kamar anak laki–laki yang super masa bodoh.
"Kenapa, Ma?" sahut Ralan tanpa semangat. Dia masih terbaring lesu ditempat tidurnya. Melirik jam tangannya. Dia baru ingat, hari ini ada pesanan katering yang harus ia antarkan.
Sebagai kurir katering dari usaha yang dimiliki ibunya, Ralan selalu mengantarkan puluhan hingga ratusan makanan kepada pemesan. Tentu itu bukan hal yang menggembirakan baginya.
Mengagetkan! Pintu itu dibuka dengan galaknya oleh seorang ibu bertubuh gemuk yang menggelung rambutnya. Lalu berkata dengan suara tinggi untuk mengingatkan kembali anak bungsunya tersebut. Menuntut kewajiban yang seharusnya dikerjakan, meski tak mendapatkan upah sekalipun.
Ralan mengangkat kuat–kuat tubuhnya. Ada ribuan batu kerikil yang seolah menimbun tubuh kurusnya. Dan tentunya ratusan semut yang menggelitik dan mengejangkan tulang sendinya, serta membuat kakinya mati rasa.
"Buruan! Malah bengong lagi..." gertak ibunya ketika melihatnya terduduk diam di atas tempat tidur.
Ralan tak mau kalah. "Bentar, Ma! Kesemutan!"
Syukurlah, mamanya bisa memakhlumi kesemutannya tersebut dan memutuskan untuk menunggunya di bawah. Bayangkan jika mamanya sama jahilnya dengan dirinya. Bisa saja ia mendepak kakinya yang sedang kesemutan. Seperti yang ia lakukan dengan banyak orang, semisal kakak perempuannya dan April. Betapa lucunya mereka, menahan ngilu dan pegal. April? Oh tidak. Nama itu teringat kembali olehnya. Setiap kebiasan dalam hari–harinya tidak mungkin terlepas dari kata "April".
Seratus lima puluh nasi box untuk acara selamatan sudah berbaris dan tertumpuk rapi di lantai–tepat di depan anak tangga. Yang disebelahnya sudah dihadapkan oleh dapur sederhana dengan segala tektek bengeknya.
Usaha rumahan ini berjalan dengan amat baik sejak tiga tahun yang lalu, meski selalu ada pasang surutnya. Setiap minggu selalu saja ada orang yang memesan katering milik Bu Rani. Pelanggannya kebanyakan adalah golongan etnis Tionghoa dan Kristiani.
Ketika sedang memindahkan nasi box ke dalam mobil van, terasa getaran di saku jeans–nya. Ralan menyelukan jarinya ke saku untuk mengambil ponselnya yang bergetar itu. Waktu mengambilnya, Ralan sangat antusias. Ternyata benar saja, itu telepon dari Alex. Tuhan... Mungkinkah April dan Lisa sudah ditemukan dan pulang dengan selamat.
"Halo... Bagaimana April dan Lisa?" suaranya penuh kobaran semangat.
Bibir itu terasa begitu kering layaknya kismis yang terselip di dalam roti.
Ralan mengkonsumsi lebih banyak udara ke dalam rongga mulutnya, karena ia mengangakan mulutnya. Entah apa yang dikatakan dari sambungan telepon di seberang sana sampai membuat Ralan tertegun tak bisa berkata apa–apa.
Catatan : Superstitious, dalam kamus besar bahasa Inggris berarti percaya
takhayul.
***
Alex keluar dari kamar adiknya yang bersebelahan dengan kamarnya sendiri, yang sekarang ini ditempati oleh April dan Lisa. Namun sosok Lisa juga keluar dari kamar Alex. Mereka saling berpapasan, tersenyum dan tersipu. Sepasang bola mata berwarna hitam dan biru itu masih menatap canggung, namun dengan makna yang berbeda–makna yang membuatnya saling berbinar–binar.
Tubuh Lisa seperti tersetrum, gerakan tubuhnya salah tingkah. Jauh berbeda dengan Alex, yang terlihat lebih tenang. Namun lirikan matanya tak bisa menutupi kecanggungan yang terjadi.
Alex mewarnai kecanggungan dan kesipuan itu dengan pertanyaan. "You ready?" mereka baru saja memulai hari pertamanya untuk berwisata.
Dengan energik, Lisa mengangguk bahagia.
Tidak dipastikan apa yang terjadi dengan pikiran Alex. Hilangnya Lisa dan April membuat ingatannya melayang kebeberapa jam yang lalu. Ketika ia masih bisa melihat dua gadis itu. Tak mungkin semua ini terjadi begitu cepat dan mengayunkan kebahagiaan begitu jauh. Dia baru saja bertemu dengan April dan Lisa. Menghabiskan satu hari bersama mereka. Tetapi apa yang terjadi. Mereka hilang karena rencana bodohnya. Semua begitu tak masuk akal. Bahkan Alex belum sempat mengucapkan "selamat ulang tahun" untuk Lisa.
Keenan membawa mobil muscle tuanya ke garasi rumah. Mengistirahatkannya sejenak setelah tiga jam terus–menerus dipacu di jalanan, sebelum esok hari mereka akan memulai pencarian kembali. Atau mungkin, mobil muscle tua itu akan diberi kejutan dengan memarkirkannya di depan kantor polisi Saugerties, untuk melaporkan kehilangan April dan Lisa. Tetapi rasanya terlalu dini bila ia melaporkan kehilangan ini ke kantor polisi. Sebab, kepolisian pasti menyuruhnya untuk memastikan kalau April dan Lisa benar–benar menghilang. Bukan hanya sekedar laporan fiktif. Belum lagi, ia harus menunggu dua puluh empat jam sebelum laporan itu ditindaklanjuti.
Esok paginya.
Suara drum kosong berdempang hebat ketika seorang anak laki–laki menendangnya. Wajah putih itu merah padam, bagaikan bibir wanita yang tersiram lipstik. Alex mengusap wajahnya dengan gusar, seolah ada serangga yang menyengatnya. Dia kesal, kecewa, marah, dan menyesal atas kehilangan April dan Lisa. Sampai–sampai, drum kosong yang tergeletak di sebuah parkiran menjadi bulan–bulanannya.
Pagi ini, Alex dan Keenan mendatangi kantor kepolisian Saugerties untuk melaporkan kehilangan April dan Lisa. Lalu Alex dimintai keterangannya perihal kronologis sebelum April dan Lisa menghilang oleh seorang inspektur kepolisian tersebut.
Sudah sekian jam pula Alex menahan amarah saat dimintai keterangan oleh inspektur Tobias Myers. Menurutnya ini tidak manusiawi. Pertanyaan itu bagaikan interogasi terselubung. Seakan–akan polisi itu menganggapnya sebagai otak dibalik hilangnya April dan Lisa.
Alex mengepal jarinya kuat–kuat. Urat–urat ditangannya membersil dengan gagahnya.
"What are you doing?" selalu saja, kehadiran daddy–nya itu seraya obat penenang, mampu melunakkan hatinya.
Kepalan itu mengendur. Alex tertunduk lesu menghampiri daddy–nya.
"We have to find them!" Alex berkata kepada Keenan saat keberadaan mereka sudah di depan pintu mobil.
Keenan terpaku menatap anaknya di depan pintu mobil kemudi–memegangi bendul pintu mobilnya. Dia memandangi anaknya yang juga berdiri di depan pintu kanan mobil–dalam keadaan pintu yang masih tertutup. Ia berpikir sejenak. Air mukanya menyiratkan kesan persetujuan yang semu. Lalu ia menggeleng jemu. "No, Alex!" ia masuk ke dalam mobil. Disusul Alex kemudian.
Saat keduanya berada di dalam mobil, Alex menyangkal ketidaksetujuan daddy–nya. Mereka sempat beradu mulut, saling mempertahankan kerangka acuan pemikiran masing–masing. Menurut Keenan, mencari April dan Lisa tidak semudah itu. Alex menyanggahnya, ia mengatakan bahwa April dan Lisa hilang di kota kecil yang bernama Saugerties, jadi menurutnya, mudah saja menemukan mereka.
Ingatkah pada satu pribahasa, seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Barangkali tumpukan jerami itu tak seberapa, namun yang namanya jarum hilang di dalam jerami, tetap saja sukar untuk ditemukan. Dan seumpanya April dan Lisa diibaratkan jarum, serta kota Saugerties adalah jeraminya, bagaimana cara mencarinya. Bila Alex pun tak tahu ke mana April dan Lisa pergi. Lalu ke mana dia akan memulai pencariannya?
Keenan sudah menyerahkan dan memercayakan ini kepada pihak polisi. Dia yakin karena itu adalah tugas polisi dan polisi memiliki integritas dalam melayani masyarakat.
"Dari pada kamu terus–terusan mendesak Daddy untuk mencari April, tapi tidak tahu memulai dari mana. Daddy punya ide yang lebih baik." tatapannya tajam sambil mengendarai mobil antiknya.
Alex tak menyahutinya. Dia hanya mengerling kecewa kepada Keenan.
Sesampainya di rumah, Alex bergegas menuju kamarnya, mencari kertas HVS ukuran A4 yang tersimpan teratur di dalam laci lemarinya. Kertas itu masih terbungkus dan merekat dengan baik–menandakan masih baru dan belum digunakan olehnya.
Alex memulai aksinya itu, menyalakan laptopnya yang terdapat di atas meja belajar. Membuka instagram April dan Lisa, mencari foto terbaru mereka–foto yang terakhir kali mereka upload. Rupanya April tidak banyak mengunggah foto liburan di Saugerties, sehari yang lalu. Dia hanya mengunggah dua foto dirinya. Pertama, foto candid–nya di Lighthouse dan foto selfie dirinya di dalam mobil. Alex tergugah, ia teringat kembali pakaian dan aksesoris yang dipakai April sebelum ia menghilang. Kemudian, Alex mengunduh foto selfie April yang berada di dalam mobil.
Selagi mengunduh, dia menuliskan nama Lisa dikolom pencarian orang di Instagram–nya. Ia tak menduga, foto selfie dirinya ada diurutan paling pertama. Lisa jauh lebih aktif di Instagram, bahkan ia mengunggah setiap moment selama tiba di Saugerties. Dalam sehari, mungkin ia bisa mengunggah tiga sampai lima foto. Banyak sekali unggahan Lisa yang menyangkut pautkan dirinya, terutama saat mereka selfie berdua. Alex tersenyum samar melihatnya. Hatinya seperti dihujani ribuan air. Semoga air itu tak merembes dari kelopak matanya.
Alex melihat setiap caption yang Lisa tulis disetiap foto yang ia upload. Alex semakin memburu, mencoba mencari titik terang, tapi rasanya tidak mungkin. Terakhir kali Lisa mengunggah foto dirinya itu ketika ia sedang berada di Partition Street. Terlihat sekali caption yang ia tuliskan, "He must to go! Deplorable..." begitu ungkapannya. Tak ada unggahan lagi sejak itu. Kenapa mereka tak memberikan petunjuk?
Tak ingin berlama–lama melarutkan kekecewaan, Alex mengunduh foto selfie Lisa. Lalu ia membuka Adobe InDesign di laptopnya dan mengedit foto mereka berdua. Menuliskan orang hilang dalam editannya. Tak lupa, dia juga menuliskan ciri–ciri April dan Lisa di sana terakhir mereka menghilang. Sesudah itu, ia mencetaknya ke dalam 100 lembar kertas A4.
Hello, guys! I need your help? Perkataan itu terketik digrup Whatsapp yang ia buat. Meliputi teman kampusnya. Dia pun menyibukkan dirinya dengan menghubungi seseorang melalui sambungan telepon.
0 komentar