Sebelumnya saya sudah membahas mengenai fungsi dasar dan esensi manusia diciptakan, yakni mengabdi kepada Tuhan dan menjalankan fitrahnya yang sejati. Tapi, bagaimana caranya manusia menjalankan fitrahnya?
Namun terlebih dahulu kita harus mengenal sifat-sifat Tuhan. Dan juga harus tahu apa yang Dia suka dan apa yang tidak Dia suka. Ingat, selera Dia berbeda dengan kita. Karena ini hubungan hamba dan Tuan.
Dunia ini milik-Nya, jadi kita tidak bisa semena-mena menerapkan sesuatu yang bukan merupakan hukum-Nya. Jelas sekali Dia akan murka, jika makhluk ciptaannya berbuat seenaknya di ranah yang telah Dia bangun.
Bumi ini diibaratkan kebun anggur. Dan manusia diminta untuk merawatnya. Namun karena sifat buruk manusia, akhirnya kebun anggur itu tidak terawat dan bahkan dirusak. Jadi sudah tergambarkan bahwa manusia adalah pencetus kerusakan. Berarti sudah jelas, malapetaka, bencana, dan kekacauan yang terjadi pada hari ini adalah ulah manusia.
Kita diminta untuk membaca situasi hari ini (Iqra). Karena manusia memiliki derajat yang tinggi, dan manusia diberikan akal pikiran, berbeda dengan hewan dan tumbuhan. Kembali kepada fitrah kita sebagai manusia itu penting adanya. Dan memang sudah keharusan.
Hidup ini memiliki dua sisi, ada siang-ada malam, ada perempuan ada laki-laki, ada kebaikan-ada pula kejahatan, dan sebagainya. Jadi, jika dilihat dari sudut pandang kebenaran, sudah sangat jelas kita hidup di jaman kegelapan. Banyak orang yang mengaku berilmu, tapi nyatanya nihil, ilmunya tidak bisa membantu memperbaiki kemerosotan moral putra putri bangsa. Kalau sudah begitu, jadilah orang buta menuntun orang buta.
Saya miris dan prihatin dengan generasi-generasi saat ini. Jujur saja, saya juga memiliki latar belakang keluarga yang buruk. Hubungan antara ayah dan ibu saya tidah harmonis. Abang-abang saya terjerat kasus narkoba, dan sebagian lagi memiliki peringai yang buruk. Itulah sebabnya, selama ini saya mencari. Dimana jalan sirotol mustaqim (jalan yang lurus), jalan yang selalu di baca dalam setiap shalat. Jalan yang selalu diimpi-impikan banyak orang. Bagaimana saya bisa mencarinya jika hidup ini saja seperti lingkaran setan.
Tapi syukurlah, Tuhan membuka lebar mata saya. Dibalik ketidakadilan ini, dia memberi saya kepercayaan, yang akhirnya membuat saya mengerti apa tujuan hidup ini sebenarnya. Saya belajar, jalan sirotol mustaqim itu adalah jalan bagi orang-orang beriman, orang-orang muslim (tunduk patuh). Saya akan menjelaskan lebih mendalam mengenai hal ini. Muslim di sini bukan berarti kita keturunan agama Islam. Karena sudah sangat jelas, muslim adalah berserah diri, tunduk patuh. Jika itu tidak ada di diri manusia, sudah jelas dia bukan Muslim. Meskipun dia terlahir di keluarga orang Islam.
Saya akhirnya intropeksi diri, dan menyatakan bahwa selama ini saya egois. Saya hanya ingin menyenangkan hati saya, hanya ingin menuruti apa yang saya mau, bukan apa yang Tuhan mau. Saya selalu berambisi mengejar dunia, padahal saya tahu, hasrat duniawi tidak akan pernah ada habisnya. Bagaikan luasnya samudera.
Saya memarahi Tuhan, karena saya selalu menganggap bahwa hidup saya tidak adil. Saya tidak bisa mendapatkan apa yang saya mau. Saya selalu dikecewakan kehidupan. Bahkan kehilangan orangtua membuat saya semakin mengasihani diri sendiri bahwa saya adalah orang yang paling menderita di dunia.
Namun rupanya saya keliru. Selama ini saya hanya bergulat dengan ego saya sendiri, bukan dengan Tuhan. Saya paham mengapa Tuhan tak selalu mengabulkan apa yang kita mau, jujur saja, manusia itu egois, ia hanya ingin apa yang terbaik buat hidupnya. Sementara Tuhan hanya dijadikan tempat berkeluh kesah mengenai keegoisan kita, hasrat menjijikan kita yang tak pernah ada habisnya. Sedangkan kita sendiri lupa, apa yang Tuhan mau dari hambanya.
Saat ini, manusia sudah lupa akan fitrahnya. Barangkali mereka juga tak tahu apa fitrahnya ia sebagai manusia. Padahal jawabannya sangat sederhana, yakni mengabdi. Mengabdi disini adalah melalui aksi. Semua orang bisa saja mengaku bahwa dirinya beriman. Namun bagian tersulitnya adalah mengabdi.
Tuhan tidak butuh disebut-sebut namanya. Jika pengabdian itu hilang, menyebut namanya saja pun terasa percuma. Layaknya bos dan karyawan, seorang bos pasti memiliki peraturan terkait perusahan miliknya. Dan kita selaku karyawan pasti diminta untuk mengikuti semua peraturannya, dan menuruti apa yang dia minta. Bukan begitu? Jadi, jika seorang bos meminta karyawannya memfoto copy sebuah surat misalnya, namun si karyawan ini hanya memanggil nama si bosnya saja tanpa melaksanakan tugas yang diberikan. Aneh kan kedengarannya?
Begitu juga dengan Tuhan, Dia meminta kita menuruti perintahnya, bukan menyebut namanya saja. Percuma saja kita menjalankan ritus sampai jidat menghitam sekalipun, kalau apa yang diperintahkan Tuhan, kita tak mengerti dan bahkan tak mengerjakannya.
Ingat, Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum kalau bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya. Nah, kekacauan yang terjadi hari ini adalah tugas kita untuk memperbaikinya, bukannya menunggu mati dan berharap masuk surga. Padahal kita sendiri pun tahu kita banyak dosa. Dan perhatikan, dosa-dosa itu akan ditanggung anak cucu kita kelak. Jadi, jika kita tidak berubah dan memperjuangkan, lalu siapa lagi? Apa kita masih senang membiarkan lingkaran api ini menodai anak cucu kita yang tak bersalah?
source image: hindustantimes.com
Ingat, Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum kalau bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya. Nah, kekacauan yang terjadi hari ini adalah tugas kita untuk memperbaikinya, bukannya menunggu mati dan berharap masuk surga. Padahal kita sendiri pun tahu kita banyak dosa. Dan perhatikan, dosa-dosa itu akan ditanggung anak cucu kita kelak. Jadi, jika kita tidak berubah dan memperjuangkan, lalu siapa lagi? Apa kita masih senang membiarkan lingkaran api ini menodai anak cucu kita yang tak bersalah?
source image: hindustantimes.com
17 Juli 2019
0 komentar