Bahwasannya manusia memiliki tujuan hidup. Tujuan yang tidak melulu bertumpu pada egosentrisnya saja. Tujuan yang tidak selalu didasari fundamental dan paradoks nenek moyang semata. Karena selama ini kita hanya mengerjakan sesuatu berdasarkan ego, nenek moyang, doktrin, dan ketidaktahuan semata. Kita pun hanya mengikutinya tanpa tahu tujuan hidup yang pasti. Karena apa yang baik menurut manusia, belum tentu baik di mata Tuhan.
Ya, hanya bagi orang-orang yang berakal. Orang-orang yang mau berpikir dan membaca situasi serta kondisi saat ini. Tanda-tanda kekuasaan Tuhan tidak berlaku bagi orang-orang yang Zalim.
Manusia saat ini bermental perempuan. Begitu pula pemuda-pemudinya. Menganggap hidup ini sebatas masalah hati dan perasaan. Bergumul dengan masalah percintaan. Mudah patah dan mudah ringkih.
Hidup bukan sekedar itu. Itulah hasrat yang tak ada matinya. Lalu bagaimana dengan perkataan Bung Karno, "Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia!"
Itulah mengapa Tuhan memberikan kita pikiran. Kekuatan pikiran tidak bisa dianggap sepele. Jika seseorang dihidupkan dari jiwanya yang mati, semangatnya pun tidak akan mudah mati. Jika ruh itu ditiupkan kedalam qolbu, maka dia akan bersemayam di sana.
Apa benar jika bangsa kita ini sudah merdeka? Lalu bagaimana dengan kalimat yang tertera dalam UUD'45 yang menyatakan, "UUD 1945, pembukaan bahwa sesungguhnya kemerdekaan bangsa Indonesia itu berada di depan gerbang kemerdekaan... "
Loh, kok, cuma di gerbang? Apakah ini bermakna bahwa bangsa ini belum merdeka? Masih dijajah secara halus dengan bangsa lain melalui sistem kapitalismenya? Ya, kalian bisa memikirkannya sendiri. Lihat dan perhatikan baik-baik apa yang terjadi pada bangsa kita.
Ada yang bilang bangsa kita kaya, bangsa kita berada di zamrud khatulistiwa, itu yang membuatnya subur, lalu mengapa banyak yang masih menangis karena kelaparan? Mengapa banyak anak yang mengalami gizi buruk? Mengapa ada seorang anak yang bekerja mati-matian di Ibu kota dan mengorbankan pendidikannya hanya demi sesuap nasi? Dimana negeri yang subur itu?
Oleh sebab itu, apakah ritual atau ritus yang manusia kerjakan sehari-hari hanya semacam seruan semata? Atau, mungkinkah negoisasi manusia dengan Tuhan karena manusia takut dengan neraka yang digambarkan seperti api yang menyala-nyala, takut karena banyak dosa dan maksiat yang tak ada putusnya? Lalu setelah khilaf mereka minta pengampunan sendiri dengan menjalankan ritus dan setelah begitu mereka melakukan kesalahan lagi.
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَـيْسَ لَـكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلًا
wa laa taqfu maa laisa laka bihii 'ilm, innas-sam'a wal-bashoro wal-fu`aada kullu ulaaa`ika kaana 'an-hu mas`uulaa
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."
(QS. Al-Isra' 17: Ayat 36)
Padahal jelas-jelas ada ayat yang menggambarkannya. Mengapa demikian? Itu karena manusia tak tahu apa tujuan hidup ini. Apakah tujuan hidup ini hanya sekedar menjadi kaya raya, menjadi pejabat yang rekeningnya gendut, memiliki banyak uang dan wanita? Apa itu yang disebut tujuan hidup? Mencari kesenangan duniawi.
Padahal kita tahu, nabi-nabi dan para Rasul sesudahnya selalu hidup dengan sederhana. Contohnya teladan Muhammad yang seharusnya bisa kita tiru. Jangan memperjualbelikan moral, ilmu, dan ayat-ayat Tuhan.
Jika tujuan hidup manusia hanya berkutat pada kepentingan pribadi dan kesenangan duniawi, maka munculah sifat-sifat buruk dalam dirinya, seperti tamak, serakah, besar kepala, egoisme, kesombongan, dan sifat yang tak pernah puas.
Jika ada ribuan kebenaran di dunia ini menurut persepsi masing-masing, maka pasti ada satu kebenaran sejati yang tak bisa diganggu gugat. Kebenaran yang datang dari satu jalan Tuan Semesta Alam. Tuhan yang menciptakan apa yang ada di langit dan di bumi.
Kebenaran sejati tidak mungkin menyesatkan seseorang ke arah yang buruk, atau membuat seseorang justru menjadi putus asa dan mengejar sesuatu yang tidak pasti. Kebenaran sejati itu adalah kebenaran yang memberikan semangat secara rohani dan jasmani. Menghapus dosa-dosa kita dengan mengubah karakter-karakter buruk kita menjadi pribadi yang diridhoi.
Jika ada suatu kebenaran sejati yang datang kepadamu, apakah kamu akan mengelaknya apa justru menerimanya? Membuang mentah-mentah apa menelaahnya lebih mendalam? Semoga kita menjadi orang-orang yang beruntung.
source image: medium.com
28 Juli 2019
0 komentar