Hidup ini hanyalah pelabuhan semata. Layaknya kapal yang berlabuh di dermaga, lalu akan ada saatnya ia bersiap untuk pergi. Oleh sebab itu, sepatutnya kita mencari tahu apa tujuan dan cara pandang kita terhadap kehidupan.
Dan ketahuilah, bahwasannya kita ada karena Tuhan yang menciptakan kita di muka bumi beserta isi dan makhluk lainnya. Maka dari itu, sepatutnya kita hanya berserah diri kepadanya bukan kepada apapun di dunia ini.
Dan tahukah, bahwa salah satu sifat Tuhan adalah Dia Maha Pencemburu, oleh sebab itu kita tidak boleh mencintai ilah-ilah lain selain Dia. Dan ketika kita mencintai ilah-ilah lain (sesuatu yang kita cintai lebih dari pada-Nya) tentu saja kita pasti akan dikecewakan. Hanya kepada-Nya lah kita harus tunduk patuh. Ingatlah, karena janji Tuhan itu pasti.
Baiklah, kita memang hidup di era modern, era globalisasi, dan di abad ke-21, tapi apakah fitrah kita sebagai manusia berubah? Tentu saja tidak. Dari zaman kerajaan Babilonia yang dipimpin Raja Nebukadnezar, zaman kerajaan Mesir kuno yang dipimpin Raja Ramses, zaman Romawi kuno yang dipimpin Herodes, semua manusia memiliki fitrah yang sama. Sejatinya tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk bangsa atau peradaban sekalipun. Kita bisa melihatnya dari sejarah terdahulu.
Jadi janganlah kita beranggapan kalau di zaman yang serba canggih ini kita melupakan tujuan awal dan fitrah kita sebagai manusia. Janganlah kita terbawa arus kegelapan dunia. Nikmat memang dan tidak disadari, namun kita diberikan qolbu (pikiran) oleh Tuhan untuk berpikir mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang buruk.
Justru di titik inilah kita hidup seperti hukum rimba. Kita hidup seperti berkompetisi. Yang kuat menindas yang lemah. Bagaikan ikan besar memakan ikan kecil. Bukankah itu lebih hina dari binatang? Apapun yang tidak sesuai dengan prosedur Tuhan pasti akan menjadi malapetaka.
Oleh karenanya banyak manusia yang tidak paham dengan tujuan hidup ini akhirnya terjebak dalam lingkaran nar (lingkaran api). Hidup seperti neraka, tidak pernah puas, mengikuti gaya hidup hedonis. Inilah fenomena yang disebut adaptasi hedonis, di mana manusia yang sebenarnya sudah berkecukupan, selalu ingin merasakan lebih, lebih dan lebih. Tolak ukur kebahagiaan di nilai dari cara kita memandang kehidupan materialistis orang lain. Tanpa sadar, manusia menuhankan (mengilahkan) uang sebagai Tuhan. Dan akhirnya banyak manusia yang depresi, dililit hutang di mana-mana. Minjam sana minjam sini.
Tapi ibadahnya, ritualnya hanya sebatas ingin dipenuhi hasrat duniawinya saja, dan condong pada keegoisan. Memohon ampun karena banyak dosa, karena takut neraka. Namun karakter buruknya masih tidak berubah. Lalu memohon ampun lagi, dan melakukan kesalahan lagi. Sehingga kemauannya dianggap sebagai kemauan Tuhan.
Lalu, bagaimana dengan derita para saudara kita di Nusantara ini? Jangankan memenuhi kebutuhan primer, kebutuhan pokok saja mereka tidak bisa. Masih banyak yang tidak bisa makan bergizi, makan sepiring nasi akik saja kadang masih untung. Lalu tidak malukah kita kepada diri sendiri?
Sudah sepatutnya kita menelaah dan mengamati situasi saat ini. Apakah kita hanya ingin Indonesia maju? Lalu mengapa kita tidak berharap Indonesia yang damai sejahtera? Percuma bangsa ini maju kalau kejahatannya malah semakin merajalela, teror di mana-mana, hidup tak tenang.
Banyak harta pun tak tenang, selalu ketakutan kerampokan dan jatuh miskin. Orang miskin pun lebih sengsara, tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sementara harga-harga kebutuhan pokok semakin mahal. Itulah kehidupan nar. Hanya kepada Tuhanlah kita berserah diri. Dan hanya kepada Tuhan lah, kamu tidak akan pernah dikecewakan karena sudah mengerti apa arti dan tujuan hidup ini.
coba mampir ke sini untuk nulis-nulis cerpen atau review2 film untuk killing time. bisa join juga sekalian di group t.me/sainsPuisi_Lab
ReplyDelete