Aku terpesona melihat keelokan dirinya karena sedang membuatkan sarapan untuk kita. Setelah dia mengajakku untuk membersihkan diri. Akhirnya kita menyantap sarapan bersama. Hidup kita memang jauh dari kata lebih, namun masih layak. Setiap harinya dia harus me-manage makanan sehari-hari untuk dikonsumsi. Sebab hanya sebulan sekali kita mendapat pasokan makanan dari seorang lelaki terdekatnya dia. Aku hanya mengikutinya saja, karena kita tinggal satu atap bersama. Di sini aku tak ingin mengulas siapa lelaki terdekatnya dia. Well, sejujurnya aku tidak terlalu suka dengan lelaki itu. Dia terlalu banyak mengobral janji, sama seperti lelaki lain. Sekarang ini aku tak bisa mempercayai siapa pun kecuali dia.
Pagi ini kami hanya sarapan nasi goreng tanpa tambahan lauk apa pun. Jujur saja rasanya tidak terlalu enak. Bahkan memang tidak enak! Makanan macam apa ini? Apakah dia mau meracuni dirinya sendiri dengan makanan seperti ini. Dia memang tidak terlalu pintar memasak, tetapi tangannya tidak berhenti untuk mengayunkan alat-alat dapur. Huh! Jika seperti ini jadinya, lebih baik aku dan dia tinggal bersama Ibu kembali. Tetapi rasanya tidak mungkin! Keluarga sudah menjadi masa lalu yang buruk bagi kami.
“Sial! Kenapa selalu saja ada yang kurang dari masakan yang kubuat. Bahkan selevel nasi goreng sekali pun. Memang aneh rasanya.” umpatnya dengan wajah menyeringai karena memakan nasi goreng tersebut.
Aku menimpali ucapannya itu. “Memang, masakanmu itu tidak pernah lezat. Terkadang kurang garam, terkadang keasinan. Dan sekarang ketidakenakan masakanmu itu bertambah. Dengan sebuah nasi goreng yang berkuah minyak!” kataku sampai aku bergidik memakan nasi goreng itu.
Seperti yang seharusnya terjadi, dia hanya menertawakan diri sendiri akan kepandirannya tersebut. Di situ lah yang kusuka darinya. Begitu bodoh dan menggemaskan. Kalau saja, dia menyadari ada sesuatu yang istimewa dalam dirinya. Yang selalu membuat orang menertawainya karena kebodohannya. Namun tetap saja, hal memelukan itu tidak pernah diketahui oleh orang lain, terkecuali diriku. Dan jangan sampai terjadi.
Penuh perasaan menyesal. Akhirnya dia membuang nasi goreng tersebut. Begitu pula dengan diriku. Aku tidak ingin kolestrol karena makan nasi goreng buatannya itu. Apakah dia pikir karena namanya nasi goreng, maka dia menggoreng nasi itu dengan minyak setara menggoreng bebek? Ah ke mana saja dia selama ini.
“Sudahlah kau tidak usah banyak menggerutu! Ini memang kesalahanku. Aku terlalu banyak menuangkan minyak ke dalam wajan. Ini karena nasinya yang terlalu sedikit. Aku pikir masih tersedia banyak nasi semalam. Eh… saat kupindahkan nasi itu ke dalam wajan. Kagetnya nasi itu justru tenggelam oleh minyak.” Katanya berdalih.
“Dasar bodoh!” pekikku hingga kerelung hatinya. “Kau membuang-buang makanan saja, akhirnya kita kelaparan dipagi ini.”
“Kita ganti saja dengan makan siang nanti.”
“Awas saja kau menghancurkan makan siangku! Apalagi sampai kau bereksperimen membuat sesuatu yang tak dapat dimakan!” amangku di telinganya.
to be continued...
0 komentar