Aku adalah setrika listrik. Orang-orang yang berada di dalam rumah ini memanggilku dengan sebutan gosokan. Tidak masalah. Karena cara aku melicinkan pakaian adalah dengan cara di gosok-gosok lembut. Aku senang membuat pakaian orang-orang di rumah ini menjadi apik. Belum lagi, dua perempuan yang tinggal di sini selalu menyirami baju mereka dengan wewangian sebelum menempelkan diriku untuk melicinkannya.
“Lo nggak jelas banget. Kalau iya, iya, kalau enggak, enggak! Jangan bikin gue bingung. Udah nungguin keputusan lo berminggu-minggu, tapi nggak ada jawaban juga sampai sekarang. Seharusnya lo kasihan noh sama Emak, Bapak lo!” pria berjerawat terjongkok di depan pintu kamar seorang gadis. Mulutnya dipenuhi makan siang dengan lauk yang banyak. Dengar-dengar, ia selalu menghabiskan lauk pauk di dalam rumah ini.
Aku sering mendengarnya. Ini terjadi sejak dua bulan yang lalu. Tapi ada sebagian pertengkaran mereka yang tidak aku dengar, sebab kehadiranku tidak selalu berada di antara mereka. Bahkan, aku pernah ditempatkan di sebuah dimensi gelap, di dalam lemari.
“Intimidasi itu menggentari gadis malang ini untuk kesekian kalinya. Seorang gadis yang saat ini sedang menggunakan aku untuk melicinkan pakaian keluarganya. Kasihan sekali dia. Padahal dia baru saja pulang dari sekolah, lalu langsung menyempatkan diri menggosok pakaian. Tapi mengapa abang pertamanya itu malah memarahinya.”
“Kau sok tahu sekali! Bahkan kau sendiri tidak tahu apa permasalahannya.” selalu, si cerewet tempat tidur osteoporosis menanggapi setiap perkataanku.
Maaf sekali mengenai penghinaan itu. Tapi itu kenyataan. Dia barang rongsok. Dan akibat dari kerongsokannya itu, ia hampir mencelakakan setiap orang yang berbaring di tubuhnya. Panggilan osteoporosis sangat pas untuk dirinya. Bagaimana tidak, kerangka besi lantaknya membersil keluar. Sehingga tubuhnya harus dibalut seprai bertebal satu cm dan harus dilipat tiga kali agar ketebalannya sempurna, sampai dirasa besi itu tak melukai ketika ditiduri. Bila diibaratkan manusia, ia seperti orang yang mengalami insiden kecelakaan. Namun herannya, dia masih saja dipertahankan oleh si pemilik. Meski aku pernah mendapati gadis rumah ini meminta dibelikan kasur baru. Tapi permintaannya tak dituruti orang tuanya lantaran sedang mengalami krisis ekonomi.
“Aku tahu permasalahannya. Gadis bernama Alia ini dipaksa untuk menikahi teman abangnya, kan? Kau tak lihat, Alia baru saja meneteskan air matanya!” aku dikesempingkan olehnya. Kulihat, Alia meneteskan air matanya. Lalu ia menyekanya dengan cepat supaya tidak ada orang lain yang melihat air mata itu. Tapi telat Alia, aku sudah melihatnya.
“Kau sok tahu sekali! Bahkan kau sendiri tidak tahu apa permasalahannya.” selalu, si cerewet tempat tidur osteoporosis menanggapi setiap perkataanku.
Maaf sekali mengenai penghinaan itu. Tapi itu kenyataan. Dia barang rongsok. Dan akibat dari kerongsokannya itu, ia hampir mencelakakan setiap orang yang berbaring di tubuhnya. Panggilan osteoporosis sangat pas untuk dirinya. Bagaimana tidak, kerangka besi lantaknya membersil keluar. Sehingga tubuhnya harus dibalut seprai bertebal satu cm dan harus dilipat tiga kali agar ketebalannya sempurna, sampai dirasa besi itu tak melukai ketika ditiduri. Bila diibaratkan manusia, ia seperti orang yang mengalami insiden kecelakaan. Namun herannya, dia masih saja dipertahankan oleh si pemilik. Meski aku pernah mendapati gadis rumah ini meminta dibelikan kasur baru. Tapi permintaannya tak dituruti orang tuanya lantaran sedang mengalami krisis ekonomi.
“Aku tahu permasalahannya. Gadis bernama Alia ini dipaksa untuk menikahi teman abangnya, kan? Kau tak lihat, Alia baru saja meneteskan air matanya!” aku dikesempingkan olehnya. Kulihat, Alia meneteskan air matanya. Lalu ia menyekanya dengan cepat supaya tidak ada orang lain yang melihat air mata itu. Tapi telat Alia, aku sudah melihatnya.
Kau seharusnya jujur mengenai perasaanmu, Alia. Karena, mana mungkin ibu dan abang kandungmu yang lain mengerti perasaanmu saat ini. Mereka mungkin menginginkanmu untuk menikahi pria kaya raya tersebut. Mereka sudah dibutakan, Alia. Dengan kondisi keluargamu yang sekarang ini jatuh miskin.
“Alia seharusnya bersyukur, setrika! Semua ini bisa membantu memperbaiki kondisi keluarganya. Bayangkan saja, pria itu akan membiayai sekolah Alia hingga ia lulus nanti. Dia akan dibelikan mobil kalau dia mau menikah dengan pria itu. Belum lagi, abangnya yang berhasil menjodohkan dia dengan Alia, akan mendapatkan motor besar berharga puluhan juta. Dan satu abangnya lagi, dia akan dikasih modal untuk memulai bisnis. Dan yang pasti, ibu dan bapak Alia akan dibiayai naik haji. Kurang menggiurkan apa coba?!” tampat tidur osteoporosis membelalak tergoda.
Apa juga untungnya bagi dia? Kurasa, benda mati yang satu ini tidak bisa berpikiran rasional. Dia bodoh atau apa. Tidak tahukah dia, dengan Alia menerima pria itu otomatis barang-barang rongsok akan disingkirkan dari rumah ini, termasuk dirinya, dan digantikan dengan yang baru. Untung saja aku baru dua tahun di rumah ini. Kondisiku masih sehat wal’afiat.
“Alia bahkan tidak kenal dengan pria yang akan dijodohkannya itu. Kenapa dia harus menerimanya? Semua janji itu masih abstrak! Apa yang dapat diharapkan?! Kalau dia benar-benar pria yang menginginkan Alia untuk menjadi pasangannya, mengapa tidak ia sendiri saja yang berbicara kepada Alia? Kau ini sudah lapuk, pandir pula! Bersyukurlah aku, tidak pernah bersentuhan dengan kulit rapuhmu.”
“Iya udah apa! Nanti juga aku kasih tahuin.” suara Alia bergetar layaknya sedang merasakan fluktuasi. Ia kembali menyentuhku dan mencengkramku dengan kuat, kembali melicinkan pakaiannya. Meski kutahu, hatinya dipenuhi desiran amarah.
“Alia seharusnya bersyukur, setrika! Semua ini bisa membantu memperbaiki kondisi keluarganya. Bayangkan saja, pria itu akan membiayai sekolah Alia hingga ia lulus nanti. Dia akan dibelikan mobil kalau dia mau menikah dengan pria itu. Belum lagi, abangnya yang berhasil menjodohkan dia dengan Alia, akan mendapatkan motor besar berharga puluhan juta. Dan satu abangnya lagi, dia akan dikasih modal untuk memulai bisnis. Dan yang pasti, ibu dan bapak Alia akan dibiayai naik haji. Kurang menggiurkan apa coba?!” tampat tidur osteoporosis membelalak tergoda.
Apa juga untungnya bagi dia? Kurasa, benda mati yang satu ini tidak bisa berpikiran rasional. Dia bodoh atau apa. Tidak tahukah dia, dengan Alia menerima pria itu otomatis barang-barang rongsok akan disingkirkan dari rumah ini, termasuk dirinya, dan digantikan dengan yang baru. Untung saja aku baru dua tahun di rumah ini. Kondisiku masih sehat wal’afiat.
“Alia bahkan tidak kenal dengan pria yang akan dijodohkannya itu. Kenapa dia harus menerimanya? Semua janji itu masih abstrak! Apa yang dapat diharapkan?! Kalau dia benar-benar pria yang menginginkan Alia untuk menjadi pasangannya, mengapa tidak ia sendiri saja yang berbicara kepada Alia? Kau ini sudah lapuk, pandir pula! Bersyukurlah aku, tidak pernah bersentuhan dengan kulit rapuhmu.”
“Iya udah apa! Nanti juga aku kasih tahuin.” suara Alia bergetar layaknya sedang merasakan fluktuasi. Ia kembali menyentuhku dan mencengkramku dengan kuat, kembali melicinkan pakaiannya. Meski kutahu, hatinya dipenuhi desiran amarah.
“Jaga ucapanmu!” tempat tidur osteoporosis merasa terhina oleh ucapanku. Setelah itu, tak terdengar suara lagi darinya hampir satu menit.
Aku sudah dua tahun membantu Alia di dalam menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Sejujurnya, dahulu aku jauh lebih dekat dengan ibunya yang cergas. Ia bagaikan manuver militer. Ketika menggosokan pakaian, gerakannya sangat cepat dan tangkas. Berbeda dengan Alia yang sangat memperhatikan setiap sudut pakaian. Ia juga tak membiarkan cela di pakaiannya tidak terkena wewangian. Sampai tubuhku harus dibiarkan menempel beberapa menit dipakaian akibat wewangian yang terlalu banyak disemprotkan hingga membuatnya basah.
Satu hal yang kuingat dari semboyan ibu kandung Alia. “Harus gesit dalam melakukan pekerjaan. Yang penting cepat selesai, meski hasilnya tidak memuaskan. Agar dapat mengistirahatkan tubuh lebih awal.” Wajar saja bila motonya seperti itu. Karena dia sudah seharian penuh mengabdikan diri untuk keluarga dan rumah ini. Kelelahan yang memaksanya untuk membuat semboyan seperti itu.
Lagi pula, Alia baru satu tahun terakhir ini, benar-benar memegang diriku. Dahulu dia lebih memilih menghabiskan waktu di depan komputer untuk menulis novelnya. Atau sekedar menonton siaran televisi. Tapi setidaknya yang kusuka darinya, dia tidak seperti anak gadis lain yang menghabiskan waktu di luar rumah untuk hal yang kurang bermanfaat. Sedikit bocoran, Alia ingin sekali menjadi penulis profesional.
Keluarga Alia jatuh miskin sejak empat tahun yang lalu. Ayahnya sudah tidak bisa menjadi tulang punggung keluarga karena terserang jantung, enam tahun yang lalu. Saat ini kondisinya semakin memburuk saat kembali diserang penyakit yang tak diketahui. Setiap malam dia hanya memekik keras kepada dinding-dinding langit.
Andalan keluarga saat ini adalah kedua abangnya yang juga tidak mempunyai pekerjaan tetap. Abang pertamanya yang bernama Aga, bekerja sebagai asisten pribadi seorang pengusaha restoran Rusia. Kerjaannya hanya memastikan kalau restoran baik-baik saja. Dia bekerja kalau sedang dibutuhkan. Sebab, restoran itu buka dengan seenak jidatnya. Mungkin seminggu hanya tiga hari dibuka. Sisanya, para karyawan yang bekerja di sana dibiarkan menghabiskan harinya sesuka hati. Barangkali karena peminat makanan Rusia di Jakarta sangat minim.
Abang keduanya yang bernama Fardi memilih untuk tidak menjadi budak kekejaman manusia. Namun tak dipungkiri kalau dirinya menjadi budak dunia. Ia jual beli batu cincin. Dari usaha itu lah, ia mengenal seorang pria berstatus duda yang sekarang sedang dijodohkan dengan adik perempuan semata wayangnya. Pria itu bernama Dedi dan ia mempunyai satu anak berusia lima tahun. Sebelumnya Dedi sudah menikah dengan seorang wanita. Tetapi sayangnya harus kandas di tengah jalan.
Dedi sudah beberapa kali berkunjung ke rumah ini untuk membicarakan batu cincin milik Fardi, lebih-lebih ketika Alia masih SMP. Boleh jadi, itu sebabnya Dedi mempunyai niatan untuk menikahi Alia. Walau Alia tak pernah mengetahui rupa dan perawakan seorang Dedi. Sebab Alia tidak pernah mempedulikan siapa saja teman abangnya yang datang ke rumah. Tambahan lagi, abangnya selalu membawa temannya itu ke kamar, membicarakan bisnis dan semacamnya.
“Jangan entar... entar! Jawab sekarang! Masalahnya orangnya udah nungguin jawabannya! Lo bikin Abang lo marah aja!” Fardi membelalak dengan galaknya.
Astaga! Alia sudah menyelesaikan pekerjaannya. Sesaat lagi aku akan disembunyikan dari hadapannya. Oh tidak, jangan lagi! Aku masih ingin menyaksikan peristiwa ini.
Alia membawa semua pakaiannya dan memasukinya ke dalam lemari mahoni. Tak kusangka, pekerjaan yang melibatkan diriku mampu membuat semua ruangan harum oleh minyak neroli. Namun tampaknya, aroma neroli tidak membuat perasaannya membaik. Ucapan abangnya bagaikan celoteh penuh caci maki yang membuat air mukanya masam.
Tubuhku terangkat. Alia meletakanku di atas meja yang terbuat dari kayu jati. Di sana juga, televisi tabung berada. Syukurlah, aku hanya ditempatkan di sini. Semoga aku tak didespersi jauh dari jangkauannya.
Satu hal yang kuingat dari semboyan ibu kandung Alia. “Harus gesit dalam melakukan pekerjaan. Yang penting cepat selesai, meski hasilnya tidak memuaskan. Agar dapat mengistirahatkan tubuh lebih awal.” Wajar saja bila motonya seperti itu. Karena dia sudah seharian penuh mengabdikan diri untuk keluarga dan rumah ini. Kelelahan yang memaksanya untuk membuat semboyan seperti itu.
Lagi pula, Alia baru satu tahun terakhir ini, benar-benar memegang diriku. Dahulu dia lebih memilih menghabiskan waktu di depan komputer untuk menulis novelnya. Atau sekedar menonton siaran televisi. Tapi setidaknya yang kusuka darinya, dia tidak seperti anak gadis lain yang menghabiskan waktu di luar rumah untuk hal yang kurang bermanfaat. Sedikit bocoran, Alia ingin sekali menjadi penulis profesional.
Keluarga Alia jatuh miskin sejak empat tahun yang lalu. Ayahnya sudah tidak bisa menjadi tulang punggung keluarga karena terserang jantung, enam tahun yang lalu. Saat ini kondisinya semakin memburuk saat kembali diserang penyakit yang tak diketahui. Setiap malam dia hanya memekik keras kepada dinding-dinding langit.
Andalan keluarga saat ini adalah kedua abangnya yang juga tidak mempunyai pekerjaan tetap. Abang pertamanya yang bernama Aga, bekerja sebagai asisten pribadi seorang pengusaha restoran Rusia. Kerjaannya hanya memastikan kalau restoran baik-baik saja. Dia bekerja kalau sedang dibutuhkan. Sebab, restoran itu buka dengan seenak jidatnya. Mungkin seminggu hanya tiga hari dibuka. Sisanya, para karyawan yang bekerja di sana dibiarkan menghabiskan harinya sesuka hati. Barangkali karena peminat makanan Rusia di Jakarta sangat minim.
Abang keduanya yang bernama Fardi memilih untuk tidak menjadi budak kekejaman manusia. Namun tak dipungkiri kalau dirinya menjadi budak dunia. Ia jual beli batu cincin. Dari usaha itu lah, ia mengenal seorang pria berstatus duda yang sekarang sedang dijodohkan dengan adik perempuan semata wayangnya. Pria itu bernama Dedi dan ia mempunyai satu anak berusia lima tahun. Sebelumnya Dedi sudah menikah dengan seorang wanita. Tetapi sayangnya harus kandas di tengah jalan.
Dedi sudah beberapa kali berkunjung ke rumah ini untuk membicarakan batu cincin milik Fardi, lebih-lebih ketika Alia masih SMP. Boleh jadi, itu sebabnya Dedi mempunyai niatan untuk menikahi Alia. Walau Alia tak pernah mengetahui rupa dan perawakan seorang Dedi. Sebab Alia tidak pernah mempedulikan siapa saja teman abangnya yang datang ke rumah. Tambahan lagi, abangnya selalu membawa temannya itu ke kamar, membicarakan bisnis dan semacamnya.
“Jangan entar... entar! Jawab sekarang! Masalahnya orangnya udah nungguin jawabannya! Lo bikin Abang lo marah aja!” Fardi membelalak dengan galaknya.
Astaga! Alia sudah menyelesaikan pekerjaannya. Sesaat lagi aku akan disembunyikan dari hadapannya. Oh tidak, jangan lagi! Aku masih ingin menyaksikan peristiwa ini.
Alia membawa semua pakaiannya dan memasukinya ke dalam lemari mahoni. Tak kusangka, pekerjaan yang melibatkan diriku mampu membuat semua ruangan harum oleh minyak neroli. Namun tampaknya, aroma neroli tidak membuat perasaannya membaik. Ucapan abangnya bagaikan celoteh penuh caci maki yang membuat air mukanya masam.
Tubuhku terangkat. Alia meletakanku di atas meja yang terbuat dari kayu jati. Di sana juga, televisi tabung berada. Syukurlah, aku hanya ditempatkan di sini. Semoga aku tak didespersi jauh dari jangkauannya.
“Kenapa kau tidak pergi dari ruangan ini? Aku lelah beranggar lidah denganmu!” tempat tidur osteoporosis mulai kembali berbicara.
“Semestinya kau senang! Karena cuma aku, benda mati yang mau membicarakan mengenai perasaan Alia. Lihat semua benda di sini. Mereka terdiam, tidak menanggapi pembicaraan kita.”
“Semestinya kau senang! Karena cuma aku, benda mati yang mau membicarakan mengenai perasaan Alia. Lihat semua benda di sini. Mereka terdiam, tidak menanggapi pembicaraan kita.”
“Kalian hanya berdiskusi mengenai perjodohan ini. Tapi kalian tidak mencari tahu bagaimana keadaan dan latar belakang keluarga ini dahulu.” televisi tabung menyahuti perbincangan kami. Tumben sekali dia buka suara mengenai masalah di dalam keluarga ini. Yang kutahu, dia adalah benda mati yang pendiam. Meskipun tugas utamanya adalah menghibur manusia akan siaran-siaran yang bermunculan di wajahnya. Tapi sesungguhnya dia sangat dingin dan hampir tak pernah bersuara.
Tempat tidur osteoporosis mendecakkan lidah. Entah lidahnya berada di bagian mana, aku pun tak tahu.
Tempat tidur osteoporosis mendecakkan lidah. Entah lidahnya berada di bagian mana, aku pun tak tahu.
“Akhirnya kau mulai bersuara. Setelah sekian lama aku tidak pernah mendengar suaramu. Aku hanya bisa mendengar suara bising yang bukan berasal dari hatimu.”
Menurut benda mati lain, televisi tabung sudah berada di rumah ini sejak Alia berusia sebelas tahun. Memang belum terlalu lama. Namun, benda-benda terdahulu yang saat ini sudah tersingkirkan, semisal lemari yang sudah berada di rumah ini sejak Alia belum lahir, pernah bercerita akan masalah keluarga ini kepada si televisi tabung.
“Keluarga ini memang sering bertengkar. Umpatan, perlakuan kasar dan keegoisan sudah lazim di sini.” ucap televisi tabung dengan setengah mendesah. Ia seperti melepaskan oksigen yang besar ketika lama tidak bernapas.
Aku sebetulnya tidak terlalu mengetahui keluarga ini. Jadi kuserahkan saja catatan ini kepada si televisi tabung. Aku percaya dia mau membagi kisahnya dan menuangkannya di sini.
***
Hai… Aku cukup senang saat setrika membiarkan catatannya ditulis olehku. Setrika sudah menceritakan sedikit tentangku, bukan. Ya, aku adalah si televisi tabung penyengap. Aku pasif dan dingin. Aku memang mempunyai ribuan hiburan. Tapi itu bukanlah diriku sebenarnya. Aku hanya perantara. Bahkan hiburan yang dapat melepas penat ini tak pernah membuatku tersenyum. Aku bahkan bosan dengan peran yang di berada di dalam layar. Mereka semua semu daya. Aku tak pernah melihat kejujuran di dalamnya. Itu yang membuatku bosan dan hampir muak.
Aku juga pernah mendengar kalau manusia yang sering menonton diriku adalah orang yang tak bahagia. Benar sekali, karena tujuan aku diciptakan adalah menghibur manusia-manusia paling tidak bahagia hidupnya, contohnya saja Alia.
Aku sering melihat dia menangis, menutupi wajahnya dengan bantal di sore hari sepulang sekolah. Setelah dirasa cukup, Alia membasuh wajahnya dengan air, lalu melanjutkan aktivitasnya dengan menonton diriku atau tepatnya menonton refleksi diriku.
Dihari liburan pula, ketika semua anak menghabiskan waktu bersama teman dan keluarganya untuk jalan-jalan. Wajah iritasinya lebih memilih menyaksikan si televisi tabung 14 inch ini. Lebih tepatnya mungkin bukan memilih, tapi memang tidak ada pilihan lagi. Begitulah, betapa tidak bahagianya dia. Dari sana aku menyadari, aku bukanlah pelipur lara, tapi aku hanyalah pelampiasan.
Aku salah satu benda mati kesayangannya. Mengapa? Itu karena aku merupakan hadiah dihari ulang tahunnya yang kesebelas tahun. Dia begitu bahagia sampai tak henti-hentinya melepas pandangannya dariku. Mata bulat memercikan cahaya temaram itu bahkan membuatku jatuh cinta.
Alia gadis yang malang. Ia tumbuh sebagai remaja yang psikoneurosis. Orang tuanya sering kali bertengkar. Kedua abangnya bersifat eksplosif. Dari sana, hal positif justru memancar dari dirinya. Hasrat dan kegemarannya dalam menulis terlihat. Dalam gersangnya pendidikan kasih sayang orang tua, malah membuat Alia lebih peka akan perasaannya, serta menuangkannya dalam sebuah tulisan.
Alia gadis yang malang. Ia tumbuh sebagai remaja yang psikoneurosis. Orang tuanya sering kali bertengkar. Kedua abangnya bersifat eksplosif. Dari sana, hal positif justru memancar dari dirinya. Hasrat dan kegemarannya dalam menulis terlihat. Dalam gersangnya pendidikan kasih sayang orang tua, malah membuat Alia lebih peka akan perasaannya, serta menuangkannya dalam sebuah tulisan.
Dia pintar dalam merangkai kata. Menulis dan mengarang cerita. Membuat puisi. Dia pernah mengikuti perlombaan menulis ketika SMP. Tapi sayangnya, orang tua dan kedua abangnya tak mendukung animonya tersebut.
Semua cerita yang dituliskannya ia dapatkan berdasarkan bentuk kekesalannya akan ketidakadilan. Sisanya ia dapatkan dari mengamati lingkungan sekitar, contohnya teman, saudara, dan orang-orang yang dilihatnya.
Jangan pernah tersinggung ketika Alia mulai mengamati penampilan, cara bicara (elokuensi) dan sikapmu. Dia akan terus menatapmu dengan senyum jahilnya. Baru akan berhenti saat kau menyadarkannya dengan sindiran. Dia pengamat yang baik, meski selalu disalah artikan oleh teman-temannya. Kebanyakan teman perempuan menganggapnya aneh. Tapi teman laki-lakinya menganggap Alia tertarik kepada mereka. Alia tak merasa keberatan bila disebut aneh. Tapi dia sangat-sangat keberatan kalau para cowok-cowok itu terserang sindrom kepercayadirian yang tinggi.
***
“Eh, pulang sekolah main yuk!” gadis berhidung besar dan mata yang selalu cempering seraya terkena asap pembakaran sampah, berjingkik-jingkik penuh gairah. “Ah! Tapi jangan ke rumah Alia, ah…” nadanya tegas dicampuri humor ketika ia melirik Alia.
Seorang gadis berkacamata dengan kulit seperti gadis perselancar di pantai menanggapi, “Iya. Di rumah gue aja deh!”
“Rumah lu jauh! Di rumah Alia aja lebih deket.” gadis berjilbab memberikan pendapat.
“Iya, deket dari rumah lu. Dari rumah kita mah, jauh!” gadis berkacamata kembali menimpali. Sorot matanya dipertajam, menyuluhi si gadis berjilbab.
“Lagian, di rumahnya Alia berisik kaya pasar malam.”
Perbincangan kecil antara teman SMA-nya itu membuat Alia tersinggung. Alia mengerti benar maksud mereka. Teman-temannya itu menyindir orangtuanya yang selalu bertengkar setiap kali mereka bermain ke rumah Alia.
Aku yang menyaksikannya sendiri untuk pertama kalinya saat Alia mengajak teman SMA-nya bermain ke rumah. Kala itu mereka sedang kerja kelompok di dalam kamar Alia. Aku tak bisa bayangkan perasaan Alia ketika suasana kamarnya yang begitu tenang berubah menjadi lautan keruh yang diperciki halilintar.
Aku melihat bagaimana mereka saling membisu dan saling berpandang mata. Semua terlihat canggung dan kikuk. Alia tak membiarkan itu terjadi lama. Ia berusaha menutupi pertengkaran yang terjadi antara orangtuanya. Dia juga tak mau teman-temannya mendengar masalah yang diributkan orangtuanya. Meski suasana kembali normal, tapi kejadian itu tak dapat dilupakan saja hingga detik ini oleh mereka.
***
Siapa yang mengetahui garis lakon kehidupan diri kita? Jawabannya jelas, itu adalah enigma. Kalian bisa menciptakan drama absurd, borjuis, duka, heroik, setire atau semcamanya untuk melalaikan hati siapa saja melalui komposisi syair atau prosa. Tapi kalian tidak akan mengetahui drama apakah yang akan menimpa kalian nantinya. Ini yang terjadi kepada Alia.
Alia lahir dari keluarga yang memiliki kepuasan materi. Meski tak sekaya pejabat atau pengusaha, namun keluarganya sangat berkecukupan. Ayahnya juragan kontrakan dan mikrolet di Jakarta. Berhubung karena Ayahnya yang bernama Rajib itu adalah orang betawi asli. Warisan dari orangtuanya pun cukup banyak untuk masa depan anak, cucunya kelak. Tapi semua itu tak bisa dikelolanya dengan baik. Semua kontrakannya habis-habisan ia jual karena terbelit utang kepada lintah darat. Sementara usaha angkutan umumnya gulung tikar akibat sikap tak bertanggung jawab para supirnya, sehingga ia harus merelakan mikrolet itu dijual juga.
Mereka semua sering bertengkar karena permasalahan tersebut. Belum lagi, kedua abangnya tidak terima jika orangtuanya jatuh miskin. Mereka kecewa jika permintaannya tidak dituruti. Saling marah dan cemburu ketika diantara mereka tidak mendapatkan keadilan. Alia selalu menjadi bulan-bulanan kedua abangnya bila dia mendapatkan materiil lebih dari orang tua. Karena hal itu, Alia lebih memilih mengalah dari pada melihat abang-abangnya memusuhinya.
Masalah perjodohan itu menjadi pengorbanan selanjutnya yang harus difisibilitaskan di atas materialis semata. Aku tahu mengapa sampai sebulan lebih Alia belum mengambil keputusan. Ia menganggap itu bukan peluang baginya, tapi bencana. Pemikiran kerdil saja yang menyingkapi itu kesempatan. Orang yang buta perasaan pasti akan memutuskan dengan waktu cepat. Namun sayangnya, Alia bukan orang seperti itu.
Alia tak bermaksud membuat keluarganya kecewa, khususnya abang keduanya. Alia hanya tak ingin menjadi budak hasrat orang-orang tak bertanggung jawab. Ia tidak ingin harga dirinya dibayar dengan uang semata. Dan ia hanya menjadi manusia paling sengsara bila ia membohongi dirinya sendiri.
Semua ini bukan karena Alia sedang menjaga perasaan pria lain atau semacamnya. Perjodohan ini ia anggap bagaikan kepandiran manusia-manusia yang gila harta (materialistis). Mengorbankan orang lain demi kompensasi dirinya.
Aku selalu mendukung Alia. Hanya dialah satu-satunya orang yang mempunyai potensi positif bagi keluarganya. Meski dia cenderung pasif, tapi bakat-bakat dalam dirinya tak bisa ditutupi. Dia orang yang idealis dan optimistis. Aku mengerti, Alia sebenernya ingin sekali memasyhurkan keluarganya dengan caranya sendiri. Bukan dengan perjodohan itu.
Beberapa hari kemudian, Aga menghampiri Alia di kamarnya. Sepertinya ia ingin memulai sebuah perbincangan bersama adiknya. Baiklah, aku akan mengamati perbincangan mereka. Saat ini setrika tidak ada. Dia ditempatkan di lantai dua. Mungkin dia tertinggal atau bagaimana. Aku tak tahu.
Bila kalian menanyakan keadaanku. Ingar bingar menyalak, menyabur bersama bincang-bincang mereka. Tentu saja aku akan selalu aktif. Alia dan ibunya tak pernah mematikanku. Lebih-lebih Alia suka menonton film-film barat hingga larut malam. Kadang-kadang aku terlupakan olehnya. Dia selalu terlelap saat menyaksikan siaran televisi.
“Gimana…” Aga mengerutkan dahinya. “Lo udah ngasih keputusan tentang perjodohan itu?” kulihat, Alia mulai gelisah membahas hal ini.
“Ngapain sih ngomongin itu!” sergah Alia.
“Emangnya lo nggak mau apa hidup enak?! Gue kalau jadi lo, pasti udah gue terima dari awal.”
“Emangnya lo nggak tahu apa Bang? Gue kan masih sekolah. Baru kelas dua SMA lagi. Masa iya gue berhenti sekolah gara-gara harus nikah sama duda. Lagian, gue ketemu sama dia aja nggak pernah, Bang. Gue nggak tahu muka dia kaya gimana.”
Oh Tuhan! Jelas saja dia bercerai dengan istri pertamanya. Tapi aku tidak berhak menghakimi begitu saja. Urusan kegagalan rumah tangganya hanya dia yang tahu.
Alia, aku mohon. Jangan terima dia! Kau harus mengutamakan mimpimu. Jangan sampai mimpimu redup apalagi mendestruksikan harapanmu.
Aga terdiam sebentar. Dia seperti memikirkan sesuatu. Memang Aga sangat mendukung adik perempuannya ini agar berhasil sampai keperguruan tinggi. Dia tidak ingin melihat adiknya menyesal seperti apa yang ia rasakan sekarang. Sekolahnya hanya sampai SMA saja. Padahal dahulu, orang tuanya sanggup membiayainya kuliah namun ia malah menolaknya. Kalau sudah jatuh miskin begini, semuanya terasa berat. Jangankan kuliah, makan saja keteteran.
“Gak pa-pa berhenti sekolah, yang penting hidup lo berkecukupan nantinya.”
Sepertinya Aga mulai tak sadarkan diri. Kupikir dia akan membela adiknya, namun nyatanya… Tega sekali dia mengorbankan adiknya sendiri.
“Nanti lo bisa belajar naik mobil. Hidup enak. Ga melarat kaya sekarang!” geloranya tak terbendung.
Alia menarik napas panjang dengan kecewa.
“Jaman sekarang orang berlomba-lomba nyari harta. Rela ngorbanin perasaan sendiri. Jalanin rumah tangga tanpa rasa cinta, cuma nafsu semata. Wajar aja kalau banyak generasi yang berpotensi putus asa, hidup dalam keluarga yang kurang cinta.” ucap Alia dengan tegas. “Abang nggak pernah nyadar ya kalau kita ini generasi putus asa itu. Abang tahu sendiri kan, Ibu sama Bapak itu dulunya dijodohin. Coba lihat, mereka hidup hanya sekedar hidup. Ga ada tujuan yang bisa mereka capai bersama. Yang mereka jalanin cuma perut di bawah perut. Kerjaannya saling caci maki di depan anak sendiri.” nada Alia bagaikan peluru meriam yang ditembakkan ke udara. Begitu tegas dan kuat.
“Gue nggak ngerti sama omongan lo! Lo tuh orang yang nggak bisa ngertiin kondisi keluarga!” Aga segera keluar dari ruangan dengan wajah kecewa dan marah. Mata Alia hanya mengikuti gerakan abangnya yang mulai menghilang. Dia tak habis pikir dengan abang-abangnya.
Karena kejadian buruk terus menimpanya, Alia memutuskan untuk bercerita kepada ibunya. Dia juga ingin sekali meminta pendapat ibunya dengan adanya perjodohan ini. Aku melihat Alia berbincang dengan ibunya sekitar dua jam dari perginya Aga.
Benar saja, ibunya tak pernah memaksakan kehendak anaknya demi mendapatkan kehidupan layak dari orang lain yang bahkan belum ia kenal. Dia menanggapinya dengan tenang dan ringan. Seperti tak menginginkan kesalahan yang sama dari orang tua terdahulu. Ibunya hanya ingin kalau Alia menikah dengan laki-laki yang dicintainya.
***
“Setrika, aku menyerahkan catatan ini kembali. Rasanya aku tidak perlu menulis lagi mengenai masalah perjodohan ini.”
“Ada apa denganmu, televisi tabung? Apakah kau sudah tidak peduli mengenai perasaan Alia? Aku tahu, ini memang sudah berlangsung cukup lama. Aku sangat bangga dengan Alia yang belum kunjung mengambil keputusan. Misalkan dia harus mengambil keputusan hari ini juga, sudah pasti aku tahu jawabannya.”
“Sudahlah, kau tidak perlu mengkhawatirkan tentang perjodahan dan nasib Alia, kelak. Percayalah, dia akan kembali hidup normal dan mengejar impiannya menjadi penulis profesional.”
Berhubung setrika dan televisi tabung tidak melanjutkan cerita ini. Lebih baik narator yang mengambil alih.
Waktu berjalan begitu cepat, hingga detik ini berjalan, terhitung sudah lima bulan dari tawaran Fardi memaksa adiknya untuk dijodohkan dengan teman bisnisnya, Dedi. Dua bulan terakhir, sudah tidak ada kabar dari Fardi mengenai perjodohan. Dia terlihat lebih dingin dan tertutup. Ini menjadikan Aga ketir-ketir, namun ia tak berani menanyakan kabar perjodohan itu kepada Fardi. Berbeda dengan Alia, ia lebih merasa tenang karena tidak terus-terusan dituntut mengeluarkan jawaban akan perjodan itu.
Sampai akhirnya semua ini terungkap sudah. Karena nafsu yang sebesar beton menindihinya, Aga tidak bisa berdiam diri. Ia memberanikan untuk menanyakan perjodohan ini kepada Fardi, adiknya.
“Ini udah lima bulan. Lo nggak jadi, jodohin Alia sama temen lo?”
Fardi melembungkan dadanya. Wajahnya memerah seperti terjebak di arkade yang dipenuhi ular kobra.
"Nggak jadi.” jelasnya.
“Emang kenapa, kok nggak jadi?” Aga semakin penasaran.
“Penipu dia! Untung si Alia nggak jadi nikah sama dia.” nadanya berapi-api, ia berhenti sejenak karena hatinya berubah menjadi api unggun.
“Yaahh… temen lo mah emang penipu semua!”
“Dia bawa kabur batu cincin gue. Udah dua bulan kaga ada kabar tuh orang!”
“Ah, boong tuh dia. Pake segala janjiin keluarga kita kaya gitu. Paling tuh orang ngaku-ngaku orang kaya doang. Bahaya kalo dia nikah sama Alia. Bisa-bisa Alia dibawa kabur.”
“Nggak lagi-lagi dah gue maksa Alia nikah. Biarin aja dia nyari cowok yang sayang sama dia. Kita nggak boleh egois, ngorbanin adik cewek kita satu-satunya.”
Diam-diam televisi tabung mengamati perbincangan mereka.
The end
The end
0 komentar