Barangkali, menulis bagi sebagian orang adalah kegiatan yang membosankan. Jangankan menulis, membaca buku saja rasanya menjadi aktivitas yang tak menarik.Jujur saja, dahulu saya juga memiliki kekurangan saat kecil. Di usia 8 tahun, saya masih belum lancar membaca. Padahal saya sudah duduk di bangku sekolah dasar.
Namun seiring berjalannya waktu, semua dapat diatasi.
Saya memiliki perkembangan yang buruk dalam verbal. Sulit berkomunikasi dengan orang-orang baru. Bahkan teman sekolah pun dapat dihitung jari.
Masa kecil yang buruk karena faktor keluarga dan lingkungan, membuat jiwa saya kosong. Entah, ada sesuatu yang kurang. Mungkin pula hilang.
Saya tak mudah membagi kisah kepada semua orang. Saya tertutup. Saya rasa, orang lain juga tak akan peduli dan mengerti kegelisahan saya. Maka dari itu, di kelas 4 sekolah dasar, saya mulai mencurahkan hati melalui buku diary.
Di sekolah menengah pertama, saya mulai suka membaca buku. Di mulai dari novel bekas pertama saya yang dibelikan oleh ibu saya. Novel teenlit itu adalah novel pertama yang saya baca. Dalam 200 halaman, saya bisa menyelesaikannya dalam waktu dua hari saja. Setiap hari saya hanya membaca.
Itu kali pertama saya mengenal novel. Karena jujur saja, keluarga saya agak kolot. Ibu, bapak saya tidak mengenyam pendidikan yang tinggi. Abang-abang saya terlalu menutup diri dengan yang namanya pendidikan. Jangankan rak buku dengan puluhan buku yang terpajang. Buku sekolah usang saja, hanya dijadikan bungkusan ikan asin dan gorengan.
Semenjak mengenal novel, saya mulai meninggalkan saluran televisi yang selalu menjadi pelipur lara dan kejenuhan di waktu-waktu senggang. Saya mulai tertarik untuk membeli novel-novel bekas yang dijual tak jauh dari rumah. Bukan tak ingin membeli novel baru di toko buku, tapi rasanya uang cukup berharga untuk dibelikan buku baru. Karena membayar uang sekolah saja, rasanya masih terkendala.
Tak tahu apa yang salah dengan diri saya. Saya tak pernah merasa puas. Bagi saya, membaca saja rasanya masih kurang menarik. Perlahan, saya mencoba untuk menulis sebuah kisah. Well, I'm a great imagination. My brain of infinity.
Saya menulis novel amatir saya di kelas 2 SMP. Saya berpikir, kalau orang lain saja bisa menciptakan kisah. Saya juga tidak mau kalah.
Ketika menulis saya bisa menjadi individu yang berbeda. Menuangkan perasaan terdalam saya yang tak bisa saya ungkapkan kepada siapapun. Bahkan kepada ruangan kosong.
Menulis menjadi terapi saya ketika saya mulai jatuh. Membuat saya kembali bangkit dan bergairah untuk tetap berdiri. Jiwa saya yang pernah lumpuh, lambat-lambat lentur kembali.
Saya tak peduli jika harus menulis dan membuat kisah sampai akhir hayat. Saya tak peduli jika karya saya tak dihargai oleh orang-orang. Karena selama saya menikmati semua ini, sampai kapan pun saya tak akan pernah rugi.
0 komentar