Kami mendengar deru mesin pemotong rumput. Sementara ia bersusah payah memperbaiki sepeda motor yang mogok. Sesekali aku menyeka peluhnya. Basah dan hangat.
Lalu mesin pemotong rumput itu melontarkan batu kecil ke keningnya. Sekilas aku melihat. Dia mengelus-ngelus pelipisnya yang terkena batu. Astaga, untung saja adegan itu tak setragis final destinasion yang pernah ku saksikan. Dahinya hanya sedikit merah. Aku terkikik, dan setengah prihatin.
Lima belas menit kemudian sepeda motor itu berhasil hidup kembali, kami memulai perjalanan kembali.
Aku mendekapnya dari belakang. Bukan karna manja atau takut terjatuh, tapi hanya karna kedekatan kami begitu erat. Jadi sedikit kontak fisik pun rasanya tak salah.
Selama perjalanan kami lebih banyak terdiam. Sesekali dia memunculkan kelakar yang membuatku tertawa. Sampai kami lupa bahwa Truk peti kemas menyesaki pemandangan dan pernapasan kami karena gas knalpot yang dihasilkannya. Dia menyalip, aku semakin mendekap erat.
Aku merenung, menerawang jauh ke pikiran namun dengan tatapan lurus ke depan-menghadap jalanan.
Kupikir, hidup ini memang seperti perjalanan. Kadang harus menemui banyak kendala. Mulai dari kendaraan yang mogok, ban kempes, hingga ban bocor.
Kadang pula, jalanannya tak selalu mulus. Mungkin kita selalu meminta yang terbaik, tapi di depan sana selalu ada kerikil besar atau batu besar yang diselipkan di dalam lubang.
Kita hanya harus tetap fokus agar tak terjeblos atau terjatuh. Setidaknya, kita juga harus memiliki tujuan perjalanan kita. Jangan pernah melakukan perjalanan tanpa tahu tujuannya. Selain melelahkan, kita juga akan membuang banyak biaya dan waktu. Begitulah sekiranya hidup. Sama seperti perjalanan.
Tapi yang terpenting, jangan sampai tersesat.
0 komentar