Menikmati Neraka KehidupanRelia mengecup bibir pria itu dengan perasaan antusias. Aku tak pernah melihat dia sebahagia itu sebelumnya, terutama bersama pria itu.
Tentu saja, pria itu tak harus mengibarkan bendera putih. Dia harus berbangga hati sekarang. Setelah sekian lama dia menjadi budak untuk Relia. Namun belas kasihnya itu tersampaikan dengan baik kepada Relia.
Aku mengerti apa yang Relia rasakan ketika pertama kali bertemu dengan pria itu. Waktu itu Relia bagaikan kucing kampung kelaparan yang sangat butuh dikasihani. Kebetulan pria itu melihat kehadirannya yang sudah hampir sekarat. Kantung mata sehitam luka bakar yang membekas, setelan baju lunyai seperti korban kebakaran, wajah sepucat mayat, dan bibir pecah-pecah seraya kekurangan vitamin c. Aku pun tak jauh berbeda dengannya.
Ketika Relia sudah tak memiliki siapa-siapa lagi akibat kejadian tragis yang menimpa keluarganya, pria itu datang bak malaikat tak bersayap. Aku mengutipnya dari lagu Dee Lestari. Yang sekarang menjadi trend.
Pria itu menyediakan tempat tinggal untuk kami plus sebuah kasur, lemari pakaian, karpet plastik bergambar Micky Mouse dan makanan enak.
Waktu luruh bagaikan rambut seorang wanita yang kusut. Relia mendapatkan masalah ketika berada di rumah pria itu. Dia dianggap sebagai orang yang menyusahkan, dan perusak hubungan orang lain.
Ya, saat itu, pria tersebut menyukai Relia secara diam-diam. Padahal pria itu sudah memiliki seorang tunangan, yang setahun lagi akan menikah.
Hati Relia menggelegak bagai gejolak matahari. Dia menentang sikap salah pria itu. Hasrat kuat dari pria yang bahkan tak diharapkannya ada.
Relia masih cukup takut dengan rasa cinta. Karena sebelumnya dia tak pernah merasakan apa itu cinta. Yang dia tahu, cinta itu dingin, gelap dan mencekam. Dia menilai itu ketika ayahnya membunuh istrinya sendiri, ibu kandung Relia karena faktor cemburu buta. Itu lah mengapa mimpi buruk itu selalu mewujudkan perlakuan keras dan tindakan abnormal kepada ibunya sendiri. Relia terasa terbunuh ketika harus kembali menyaksikan kematian ibunya secara tragis meski hanya dalam mimpi.
Sampai suatu hari, Relia mengabaikan pria itu. Dan memilih untuk hidup mandiri bersamaku. Kami sama-sama bekerja keras. Relia sempat menjumpai topeng-topeng scream di luar sana. Membunuhnya dari belakang. Dunia kerja itu keras. Relia harus beberapa kali menelan kekecewaan. Merasa terfitnah atau tersakiti. Namun demi sesuap nasi, dia tetap bertahan.
Baginya, pekerjaan tanpa jiwa itu adalah perbudakan. Dia harus bangun pagi, dan pulang malam. Di jalan, dia menemui kemacatan dan suara klakson yang memekikan telinga. Terkadang, dia harus melihat pengendara motor yang terjatuh atau tertabrak mobil, ada pula pengendara yang saling menyalakan satu sama lain karena sangking keruhnya kemacatan dan keributan di jalan.
Jiwa Relia merasa kosong. Kosong seperti ruangan yang tak memiliki perabotan di dalamnya. Tak ada radio untuk mendengarkan musik. Tak ada televisi untuk melihat berita. Tak ada karya untuk dinikmati. Begitulah hidupnya dahulu.
Namun sekarang dia memilih untuk meninggalkan semua itu. Meninggalkan gaji yang setiap bulan di dapatkannya, atau bonus tahunan dari atasannya. Relia mengikuti kata hatinya dua tahun ini. Melatih bakatnya yang ada sebagai penulis dan komikus. Membuat komik dengan cerita-cerita lucu, namun dengan sindiran keras.
Barangkali, karya itu belum sanggup menggajinya setiap bulan. Tapi setiap project yang berhasil dibuatnya untuk suatu perusahaan, dia bisa mengantungi beberapa upah untuk makan sehari-hari.
Namun jika tidak ada, pria itu lah yang membantunya.
Suatu hari Relia bercerita kepadaku. Kami bercengkerama cukup baik saat itu. Tak ada makian, hanya sebuah kisah.
"Menurutmu bagaimana kalau aku membuka hati untuknya?" tanyanya.
"Sebaiknya tidak. Pria itu bukan orang yang tepat untukmu. Bahkan dia tak pernah menghargaimu." aku menatapnya ragu. Dan berpaling secepatnya. Takut jika ucapanku tak sesuai lagi.
Dia menarik napas panjang, seolah polusi udara diluar sana menghambat saluran pernapasannya. "Itu dulu. Tapi sekarang, dia sangat mendukungku. Bahkan kebaikannya mampu meluluhkan hatiku." tempiknya halus. "Sampai kapan aku harus mencari seseorang yang sempurna. Tidak ada orang yang bisa mengerti diriku. Termasuk diriku sendiri. Banyak pertentangan yang terjadi antara aku dengan diriku. Jadi... Menurutku wajar-wajar saja jika sesekali aku dan dia mengalami pertentangan. Itulah konflik sosial. Mungkin kau harus lebih membuka diri terhadap dirinya, biar hubunganmu dengan dirinya tak begitu buruk."
Enak saja dia. Memangnya dia siapa menyuruhku menerima pria itu agar dia menerima restu dariku. Kau tak perlu restu dariku jika ingin menjalin hubungan lebih dengannya. Pilihanku tetap sama, tak akan pernah membiarkanmu terluka untuk sekian kali.
"Lagipula..." tambahnya tiba-tiba. "Aku cukup lelah menentang neraka yang sudah ada di depan mata. Aku sudah terbakar hidup-hidup. Buat apa aku mencoba keluar dari sana, kalau lingkungan ini sudah tercemar oleh kobaran api. Lebih baik aku menikmatinya, meski harus hangus."
Mulai lagi, kiasan itu keluar dari mulutnya. Aku tak mengerti apa yang dimaksudkan dia dengan kata sebuah neraka. Toh, kita masih di dunia.
Karena melihat tampang keherananku, dia akhirnya menggertak, "Ya, neraka kehidupan." katanya. "Aku dicintai oleh seorang pria yang sudah bertunangan. Ibuku mati secara tragis. Ayahku bunuh diri karena kesalahan yang diperbuatnya. Kakak-kakakku memilih jalan hidupnya masing-masing, dan tak saling peduli. Itu kan neraka!?" dia membelalak. "Memangnya maksudmu apa? Aku tak pernah membicarakan neraka sesudah kita mati, atau neraka sesudah kiamat nanti! Atau metafor-metafor yang kau dengar dikitab dan dongeng nenek moyang kita."
Aku menelan ludah. Tak sanggup mengatakan apapun.
"Lebih baik aku menerima apa yang ada di depan mata dan apa yang sudah terlanjur terjadi. Beginikan cara menjalani hidup ala kebanyakan orang..."
To be continued...
0 komentar