Dahulu aku pernah bertanya, bertanya kepada Sang Pencipta
yang katanya berada di atas. Atas mana? Entahlah, akupun tak tahu. Aku
bertanya, apakah semua ini adil? Segala kekacauan, ketidakadilan, dan
kehilangan yang terjadi dalam hidupku, apakah semua ini sepadan?
Aku merasakan takut yang luar biasa. Kegelapan ruangan seraya
kegelapan alam semesta yang akan runtuh. Aku penakut, jangankan dengan
kehidupan, dengan binatang reptil saja aku takut. Aku ringkih bagai cabang
pohon kering yang terinjak di tanah.
Setiap malam aku terjaga, meminta jawaban yang bahkan tak
pernah terjawabkan. Aku mengeluh, berkeluh kesah kepada tangis yang meramaikan
ruangan. Saat itu aku hanyalah remaja sederhana yang takut jika tak lagi
diperhatikan orang terdekat. Aku cemas bila harus melakukan apa-apa sendiri.
Aku resah bila tak menemui orang yang selalu ada di hari-hariku.
Dan ketika waktu itu tiba, awan perak berubah kelam. Sauk
tangis meraum layaknya harimau. Karam di
darat mendorongku hingga terjatuh. Lamunan senja sudah tak seperti biasanya,
selalu dihadiri duka dan air mata. Apa yang aku takutkan terjadi. Aku kehilangan
segalanya.
Dekapan terasa berat di pundakku. Aku ditiban beribu masalah.
Semua orang yang tadinya menghujatku, perlahan mengasihaniku. Aku seperti
kambing yang besoknya ingin dikurbankan. Aku tenggelam tanpa mengucapkan
selamat tinggal.
Aku mendekati Tuhan, menjalankan ritual yang kupercaya bisa
meredahkan segala ketakutanku. Semua itu memang benar. Tuhan membawaku ke
pelarian yang benar. Setidaknya aku tidak menghabisi diriku dengan pisau di
dapur atau tali tambang di belakang rumah. Drug
is big no! Aku tak ingin mengulang kesalahan yang pernah mereka buat.
Misalkan aku memutuskan untuk mengakhiri hidup, setidaknya aku tidak
mengakhirinya dengan cara yang sama seperti mereka.
Kehidupan itu melelahkan. Aku harus beberapa kali menelan
ludah, mengusap peluh yang selalu hadir di kening, dan telapak tanganku, belum
lagi aku harus menyeimbangkan tanganku yang gemetar, atau suaraku yang gugup
seperti orang yang tercekik.
Tapi sekarang, hidup membuatku jauh lebih mengerti. Aku tidak
pernah mengatakan bahwa aku terlalu percaya diri karena hidup membuatku lebih
kuat. Semua ini hanya soal waktu. Sangking terbiasanya dengan situasi buruk.
Aku selalu berkata dalam hati dengan lantang di saat keadaan mulai memburuk. “Jangan
takut. Ini hanya sementara, kesedihan atau buruknya keadaan saat ini, cepat
atau lambat pasti akan berlalu. Hadapi saja, masalah itu perkara waktu.
Tunjukan kepada waktu bahwa masalah bisa teratasi.”
Pernahkah kalian membuat status di media sosial seperti facebook, twitter, atau yang sedang trend seperti instastory di instagram?
Ya, saat kehidupan tak berpihak padamu, maka kamu membaginya dengan membuat
kata-kata atau foto yang mewakili perasaanmu. Dan membaginya di sana. Toh, ada
jutaan orang yang mengalami hal sama seperti kalian, termasuk aku.
Jujur saja, kalian itu hanya ingin dimengerti. Kalian
memiliki perasaan yang tak pernah dilirik oleh orang lain di dunia nyata. Atau
barangkali kalian terlalu takut untuk mengatakannya langsung. Sebab kalian
tahu, orang-orang tak begitu bersahabat belakangan ini. Maka dari itu, kalian
menunjukannya di dunia maya. Bukan perkara absurd lagi bila dunia maya lebih
eksis dibanding dunia nyata, sampai-sampai setiap orang lupa bahwa orang
terdekatnya sedang menjerit karena menanggung beban yang berat. Namun
sayangnya, kalian lebih asik dengan dunia maya dan melihat kegalauan orang lain
dari sana, yang bahkan tidak bisa kalian bantu.
Dunia maya itu ajang ekspresi. Ekspresi apa? Ekspresi emoji
yang dibuat dari teknologi. Dia memang mewakili perasaanmu. Tapi jauh di lubuk
hatimu, jiwamu itu sangat kosong dan hampa. Setelah lelah beraktivitas dan
berkeluh kesah di dunia maya, tapi tak ada yang peduli, kamu melampiaskannya
dengan cara ritual, mengunjungi Tuhan sesekali di saat dunia maya mulai terasa
bosan. Lalu tanggapan Tuhan apa? Cari tahu, karena kamu yang menjalani hidup!
Sekarang, aku mengerti. Hidup itu berat. Manusia modern melampiaskannya
dengan teknologi. Ikan besar selalu menyantap ikan kecil. Itu ibarat hidup,
manusia lemah diinjak manusia yang lebih perkasa. Bukan menyangkut kecerdasan,
kecerdasan hanya akan membawamu pada kualitas dan pemikiran yang lebih baik.
Tapi perihal moral, manusia cerdas masih mencarinya di laci-laci rumah,
sesekali dibrankas orang lain.
0 komentar