Aku tak sebaik apa yang kau anggap
Tak sedingin apa yang mereka sangkaMasa laluku tetap menjadi masa lalu
Masa kiniku akan menjadi pilihan yang menyulitkan untuk masa depan
Dan masa depanku akan tetap menjadi misteri seperti genre novel yang kusuka
Beberapa orang menganggap dunia ini edan, mungkin memang kita sudah melupakan fitrah kita sebagai manusia.
Dan sebagian orang mencoba beradaptasi dan terkikik di depan kamera smartphone, sambil memamerkan segala kebahagiaannya.
Setengah orang lebih memilih jujur, mencoba mengungkapkan kesedihannya lewat media sosial.
Kamu yang mana?
Aku bicara soal kejujuran, bukan sindiran petaka yang kau takuti selama ini (menganggap diriku lebih baik dari siapapun).
Kau salah, aku pendosa, hanya saja aku pintar menutupinya.
Aku banyak berceloteh malapetaka, mengomentari kacaunya dunia. Toh, aku sendiri pun kacau. Aku mengalami krisis identitas sejak aku dilahirkan. Bahkan identitas yang kupunya hanya bersimbolkan KTP. Namun jiwaku...
Jika aku menghilang, kemanakah kau akan mencariku?
Jika aku tak pulang, kemanakah aku pergi?
Dan jika aku sendiri, maukah kau menemaniku?
Nyatanya, tak seorangpun yang peduli.
Kau yang menemukanku, tapi waktu mengacaukannya atau mungkin takdir yang mengacaukannya.
Seharusnya kita sudah sama-sama tahu.
Banyak sebagian orang yang mencari apa arti hidup ini. Para sastrawan mengungkapkannya lewat buku, tentang kegelisahan mereka dan sepertinya mereka menyadari ada sesuatu yang salah dengan dunia ini. Kabar buruknya, mereka menyadari hanya saja terjebak di dalamnya.
Sementara para topeng profesional lebih memilih untuk menikmatinya dan melupakan kalau ada kekacauan, termasuk kacaunya diri mereka sendiri.
Mungkin itu mengapa banyak manusia yang tak pernah puas. Ibarat luasnya samudera atau langit yang tak bertepi. Hasrat itu tak pernah mati.
Cobalah mulai bertanya, seperti aku yang selalu berbicara dengan pikiranku. Bertanya segala aspek kehidupan.
0 komentar