Orangtua kolot bilang, kerjaan anak jaman sekarang itu aneh-aneh. Mulai dari selalu ngecek smartphone sampai berjam-jam, hingga lupa ritual (beribadah), lupa makan (tidak berlaku bagi anak yang perutnya buncit), lupa segala-galanya termasuk lupa sekitar. Realitas itu memang ada benarnya. Tapi berbahagialah kamu jika orangtuamu masih menegur (renungkan jika mereka tidak ada).
Menurut pandangan saya, smartphone itu bisa dijadikan sesuatu yang bijak dan bermanfaat. Tapi disatu sisi, ia juga bisa menjadi senjata mematikan bagi si pengguna.
Mungkin smartphone bisa dibilang menguras banyak waktu, tapi pertanyaannya, apakah waktu itu dibuang secara sia-sia atau tidak?
Karena perkembangan di abad 21 ini bukan lagi peradaban yang buta akan teknologi (tapi masih buta batinnya). Semua manusia bebas berekspresi sesuai kehendak mereka (bukan ekspresi alay saat mau selfie).
Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) jumlah penduduk di Indonesia pada 2018 mencapai 265 juta jiwa. Itulah sebabnya makin banyak sarjana pengangguran yang menghabiskan waktu di depan smartphone karena lapangan pekerjaan yang semakin menipis (layaknya isi dompet abang yang setipis tempe)
"Kalau setipis tempe itu masih ada duitnya, neng. Isi dompet abang itu setipis kartu BPJS yang nunggak selama dua bulan."
#obrolan tidak berfaedah..
Sisi positif dari smartphone bagi generasi millenials dan generasi Z adalah, munculnya peluang-peluang baru untuk mewujudkan kreativitas pengangguran. Contohnya dengan populernya Youtuber, Blogger, Selebgram, Freelance hingga segala macam sebutan yang berbasis kreativitas (atau mungkin sesuatu yang nyeleneh).
Bahkan sepertinya, kata "viral" harus masuk ke dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) agar nantinya menjadi sejarah bagi generasi setelah peradaban ini. Agar generasi nanti tahu betapa alaynya nenek moyang mereka (viral karena joget ala-ala bengek).
Namun saya beranggapan kalau smartphone adalah virus jenis mematikan yang menjadikan manusia layaknya mayat hidup. Tidak bisa berkutik kecuali hanya jemarinya saja.
Mungkin kita memang harus berbenah diri, mengendalikan sesuatu yang seharusnya tak digunakan secara berlebihan. Sah-sah saja berselancar di dunia maya. Tapi akan jauh lebih bermanfaat jika smartphone ini digunakan sebagai ladang ilmu, dan mencari penghasilan (pengangguran optimis).
Kunci utamanya adalah pengendalian diri. Saya sendiri pun sudah jarang update di media sosial, kecuali jika dirasa perlu (untuk mempromosikan artikel biar banyak yang baca). Tapi untuk mengulik kehidupan orang lain, saya sudah tidak pernah melakukannya lagi. Karena realitas lebih banyak mengajarkan saya apa arti hidup sesungguhnya, dari pada dunia semu yang tampak palsu di layar ponsel. Sebab semua bisa dimanipulasi, apapun bentuknya.
Belum lagi maraknya body shaming yang dilontarkan para netijen yang berbudiman di kolom komentar instagram seleb. Saya masih belum mengerti mengapa jari mereka selicin belut. Saya tahu ini karena pernah suatu hari mengintip kolom komentar salah satu akun seleb yang lagi viral waktu itu, sebut saja Lucinta Luna. Di sana banyak sekali netijen yang berkomentar. Memang sih membaca komentar-komentar itu bikin mood boster saya meningkat (ternyata saya sama saja). Tapi itu dulu, sekarang saya buka instagram saja sudah sangat-sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah.
Saya pun tidak bisa menyalahkan siapapun atas fenomena di atas. Saya sudah pernah memosting di blog ini kalau kehidupan ini tidak akan asik tanpa bumbu-bumbu drama. Bahkan banyak orang yang mencari keuntungan dengan menjatuhkan orang lain. Intinya, mengoreksi diri sendiri jauh lebih penting ketimbang menghujat atau mencaci maki orang lain.
Di samping kecanggihan internet dan segala tetek bengeknya itu, mungkin ada baiknya kita melakukan hal yang positif seperti berbagi ilmu, belajar sesuatu yang kita suka secara otodidak, atau menyebar kebaikan.
source: databoks.katadata.co.id
source image: unsplash.com
Mungkin smartphone bisa dibilang menguras banyak waktu, tapi pertanyaannya, apakah waktu itu dibuang secara sia-sia atau tidak?
Karena perkembangan di abad 21 ini bukan lagi peradaban yang buta akan teknologi (tapi masih buta batinnya). Semua manusia bebas berekspresi sesuai kehendak mereka (bukan ekspresi alay saat mau selfie).
Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) jumlah penduduk di Indonesia pada 2018 mencapai 265 juta jiwa. Itulah sebabnya makin banyak sarjana pengangguran yang menghabiskan waktu di depan smartphone karena lapangan pekerjaan yang semakin menipis (layaknya isi dompet abang yang setipis tempe)
"Kalau setipis tempe itu masih ada duitnya, neng. Isi dompet abang itu setipis kartu BPJS yang nunggak selama dua bulan."
#obrolan tidak berfaedah..
Sisi positif dari smartphone bagi generasi millenials dan generasi Z adalah, munculnya peluang-peluang baru untuk mewujudkan kreativitas pengangguran. Contohnya dengan populernya Youtuber, Blogger, Selebgram, Freelance hingga segala macam sebutan yang berbasis kreativitas (atau mungkin sesuatu yang nyeleneh).
Bahkan sepertinya, kata "viral" harus masuk ke dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) agar nantinya menjadi sejarah bagi generasi setelah peradaban ini. Agar generasi nanti tahu betapa alaynya nenek moyang mereka (viral karena joget ala-ala bengek).
Namun saya beranggapan kalau smartphone adalah virus jenis mematikan yang menjadikan manusia layaknya mayat hidup. Tidak bisa berkutik kecuali hanya jemarinya saja.
Mungkin kita memang harus berbenah diri, mengendalikan sesuatu yang seharusnya tak digunakan secara berlebihan. Sah-sah saja berselancar di dunia maya. Tapi akan jauh lebih bermanfaat jika smartphone ini digunakan sebagai ladang ilmu, dan mencari penghasilan (pengangguran optimis).
Kunci utamanya adalah pengendalian diri. Saya sendiri pun sudah jarang update di media sosial, kecuali jika dirasa perlu (untuk mempromosikan artikel biar banyak yang baca). Tapi untuk mengulik kehidupan orang lain, saya sudah tidak pernah melakukannya lagi. Karena realitas lebih banyak mengajarkan saya apa arti hidup sesungguhnya, dari pada dunia semu yang tampak palsu di layar ponsel. Sebab semua bisa dimanipulasi, apapun bentuknya.
Belum lagi maraknya body shaming yang dilontarkan para netijen yang berbudiman di kolom komentar instagram seleb. Saya masih belum mengerti mengapa jari mereka selicin belut. Saya tahu ini karena pernah suatu hari mengintip kolom komentar salah satu akun seleb yang lagi viral waktu itu, sebut saja Lucinta Luna. Di sana banyak sekali netijen yang berkomentar. Memang sih membaca komentar-komentar itu bikin mood boster saya meningkat (ternyata saya sama saja). Tapi itu dulu, sekarang saya buka instagram saja sudah sangat-sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah.
Saya pun tidak bisa menyalahkan siapapun atas fenomena di atas. Saya sudah pernah memosting di blog ini kalau kehidupan ini tidak akan asik tanpa bumbu-bumbu drama. Bahkan banyak orang yang mencari keuntungan dengan menjatuhkan orang lain. Intinya, mengoreksi diri sendiri jauh lebih penting ketimbang menghujat atau mencaci maki orang lain.
Di samping kecanggihan internet dan segala tetek bengeknya itu, mungkin ada baiknya kita melakukan hal yang positif seperti berbagi ilmu, belajar sesuatu yang kita suka secara otodidak, atau menyebar kebaikan.
source: databoks.katadata.co.id
source image: unsplash.com
0 komentar