Lemari tua dengan engsel yang berderit ketika
dibuka, menyimpan baju-baju usang yang sudah tak terpakai semenjak kalian
pergi. Setiap kali aku membukanya, aku mencium aroma kayu kamper. Aku menyentuh
baju itu, terasa dingin karena sudah lama tidak ada yang memakainya.
Aku mengerling kepada tangga kayu kuno yang dibangun
belasan tahun silam. Sudah agak rapuh dan menciptakan gerakan saat sedang digunakan.
Tangga kayu mahoni itu menghubungkan lantai satu dan lantai dua. Biasanya aku
dan kau menggunakan tangga itu untuk naik ke lantai dua. Aku berlari
tergesah-gesah untuk melihat meriahnya kembang api di malam tahun baru
bersamamu.
Tempat tidur yang sudah rusak dan ditengah-tengahnya
tersembul pegas dari bilah baja tipis. Kau tutupkan dengan lipatan selimut agar
tidak melukai diriku dan dirimu ketika sedang tidur. Kalian tidak bisa
membelikan kasur baru karena tidak ada uang. Dan aku sebagai anak hanya bisa
pasrah.
Sepi. Ya, semenjak kepergian ayah dan ibu, rumah
seolah terlihat lebih besar dan senyap. Rumah kolot yang biasanya kutinggali
dengan kalian berdua, kini hanya ditinggali oleh sebagian ringkih tubuhku.
Setengahnya hanya kenangan dan kedinginan di malam hari.
Sekarang, semua pertanyaan itu terjawab sudah.
Terjawab dengan kepedaran hati yang kurasakan secara realistis. Bagi sebagian
mereka yang sudah pernah ditinggalkan oleh orang terdekat dan tersayang,
mungkin saja dianggap wajar. Pedih diawal dan terbiasa kemudian. Namun, bagi
sebagian orang yang separuh nyawa dan hidupnya pergi bersama orang yang telah
meninggalkannya, itu suatu pukulan terberat, barangkali sampai akhir hayat.
Aku tidak percaya sampai detik ini. Dengan tubuh
sintal, wajah yang selalu berseri, dan kekonyolan disetiap waktu, mampu
mengalahkan yang namanya takdir. Selama ini aku berpikir kalau ibuku adalah
orang yang kuat dan tegar. Karena selama ini dia telah mengurus anak-anak dan
suaminya yang pernah terserang stroke. Dia bisa
menangani semuanya, termasuk sifat manjaku. Tetapi sekian lama fisik itu
terlihat kuat, tiba-tiba harus melemah seperti marsmellow. Ibu harus jatuh sakit, hingga harus dirawat.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk dirawat, seminggu
kemudian ibu minta dipulangkan. Kami sebagai anak akhirnya menurutinya, karena
kata ibu, keadaannya sudah membaik. Aku bersikeras kepada diriku sendiri bahwa
ibu bisa sembuh dan aku juga telah berjanji untuk menjadi anak yang tidak
menyusakannya lagi.
Namun, seiring berjalannya waktu, kondisi ibu
kembali menurun. Berminggu-minggu kemudian dia tidak bisa menumpuhkan kakinya
di lantai, dia mengalami kelumpuhan. Aku tidak kuasa, air mataku selalu
meluncur dengan deras. Setiap malam pikiran getir itu selalu membebaniku.
Hingga sampai akhirnya ibu di panggil oleh Sang
Pencipta. Ayah yang ketika itu juga sedang sakit, dan mengalami kelumpuhan
harus bisa merelakan kepergian ibu yang selama ini sudah ikhlas mengurusi
dirinya. Tidak pernah aku merasakan mata dan pipiku selalu basa dengan air
mata. Air mataku ibarat air terjun yang tidak ada hentinya.
Tiga hari setelah kepergian ibu, kembali, ayah juga
harus menyusul menemui ibu. Entah apa yang salah dengan kenyataan ini. Aku
tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Air mata yang belum kering,
nyatanya harus tumpah lagi. Beribu wajah yang merawankan hati, berusaha untuk
menabahkan diriku.
Minggu-minggu terberat dalam
hidupku, aku hanya bisa menghabiskannya di dalam kamar. Terkadang, teman dan
saudaraku datang untuk melihat kondisiku. Tapi sesungguhnya bukan itu yang aku
harapkan. Dalam kesepian aku mencoba memahami apa yang sebenarnya harus ku
mengerti.
Berjalannya waktu, aku tetap
berusaha untuk beradaptasi dengan kesendirian dan kesepian. Disaat semua orang
hanya bisa mengasihaniku, aku semakin menunjukan daya kekuatanku. Kupikir,
hanya orang-orang putus asa saja yang terus-menerus meminta belas kasihan. Dan
aku bukan seperti itu.
Aku berusaha kuat dan tidak pernah
menceritakan kesedihan terdalamku kepada mereka. Namun, menulislah yang menjadi
objek mati, yang justru lebih kupercaya. Dia telah menemukanku dikondisi
kritisku. Aku tak segan-segan lagi mencurahkan ratusan kata dalam sebuah buku
jurnal atau komputer bututku.
Di dalam kesepian, aku menemukan dinamisme
dalam menentukan jati diriku kelak. Memiliki prinsip dogma kehidupan yang aku
yakini. Mengekspose ke dalam sebuah frasa dan literasi. Aku mendapatkan
semangat dan kepercayaan diriku lagi melalui tulisan.
Tidak ada elegi, epigram, dan puisi yang sebagus nasihat ibu.
Aku hanya menjadikan nasihat itu sebagai mata tombak dalam kehidupanku.
Mungkin rumah, tempat tidur, dan
dapur tidak lagi semarak dahulu. Bohlam lampu yang temaram di kamar mandi juga
akan lebih mendekatkanku kepada kesepian. Ribuan titik-titik hujan akan lebih
dekat mengakrabkanku pada rasanya kesendirian, di dalam kamar berukuran 5x3
meter.
Namun kesepian telah memapahku ke
dalam dimensi yang berbeda. Mengenalkanku, bagaimana aku menghargai kenangan
ketimbang menjalaninya dengan terpaksa. Meyakinkanku bahwa kesepian tidak harus
menjadi momok yang menakutkan. Sebab, semua manusia membutuhkan kesendirian dan
kesepiannya masing-masing. Dengan cara seperti itu, manusia bisa lebih
menghargai segalanya. Dengan begitu aku akan
menyebutnya, “Lintas Insidental”
0 komentar