Banyak orang yang hidup dalam mata terpicing. Sekalinya terjaga, hanya memahami segelintir peristiwa dalam kehidupan. Kita sering sekali menemukan persimpangan jalan yang bercabang, pasti di sana tertulis, ke mana tujuan yang akan kita capai. Sama halnya dengan kehidupan, banyak persimpangan dan petunjuk jalan yang harus kita pilih. Kita menyadari petunjuk itu, anggap saja, ada yang benar dan ada yang salah. Namun, akurasi sering kali terabaikan oleh kita, kita lebih memilih suatu hal yang menjembatani kepada animo semata. Kita memilihnya dengan mengikuti, apa itu permintaan hati.
Aspirasi yang tertanam dalam diri, terjadi akibat perubahan evolusi dan antroposofi. Kita tidak bisa menyamakan adab 700 tahun yang lalu dengan abad ke-21. Alegori yang diperdengarkan dari nenek moyang 700 tahun yang lalu terdengar berbeda setiap memasuki peradaban yang baru.
Akibat perubahan tersebut, manusia cenderung mengikat diri ke dalam kepuasan hasrat dan sifat otoriter. Mereka disokong oleh konsep wewenang hukum, kekayaan, atau agama. Mendirikan undang-undang contohnya. Sehingga memaksa kita untuk mengikuti semua itu. Dampaknya, kesetaraan juga merusak karena membuat kita semua menjadi munafik, secara sadar maupun tidak.
Aksi-aksi teror yang belakangan ini tersiar di televisi adalah bentuk nyatanya. Mereka merusak dan menumpahkan darah di sana-sini. Dan mereka tergabung dalam suatu kelompok dan tak sedikit yang mengatasnamakan Tuhan. Saya sering berpikir, mengapa atas dasar agama. Apakah agama tercipta untuk menebar kebencian? Dan saya beranggapan bahwa ini tidak beres. Selayaknya, kita telah membuat neraka bagi diri sendiri.
Dalam perspektif agama, semua kitab mengajarkan kepada kebaikan. Dan tahukah, hampir semua kitab dimasing-masing agama menceritakan sejarah. Saya yang notabenenya lahir dalam keluarga muslim, pernah membaca Al-quran surah Yunus ayat 100, “Dan tidak seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak mengerti.”
Maksud dari kata “mengerti” saya ibaratkan seperti belajar di sekolah. Seringkali, kebanyakan anak-anak sekolah karena tuntutan dan keharusan, agar menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa dikemudian hari. Tetapi, tidak semua aspirasi itu terlaksana dengan baik bila si anak malas belajar. Mereka hanya dipaksa untuk hadir di sekolah tanpa tahu apa yang mereka pelajari seharian di sana. Waktu di sekolah hanya dihabiskan untuk bermain dan mengabaikan pelajarannya. Jadi, istilah kata “mengerti” adalah mau belajar, memahami sungguh-sungguh, mencermati, berkomitmen dan terakhir, menerapkannya. Semua akan berjalan baik, jika semua itu kontinuitas.
Teror yang mengatasnamakan Tuhan adalah kebodohan dan ambisi bagi kepentingan kelompoknya semata. Saya pernah mendengar suatu kutipan disebuah buku, “Setelah diusir dari taman Firdaus, kita menjadi terpisah dengan Tuhan, mengingat kejahatan itu pada intinya adalah ketidakhadiran Tuhan, maka setelah kejatuhan manusia kejahatan menjadi hal yang lazim di dunia.” Dari pernyataan tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa aksi teror yang terjadi akhir-akhir ini yaitu bentuk jauhnya seseorang dengan Tuhan. Mereka merasa paling dekat dengan Tuhan, tapi mereka tidak tahu bahwa daftar hitam mereka talah membawa Tuhan menjauh.
Surah Al-Imran ayat 83, “Maka mengapa mereka mencari din (sistem) yang lain selain din Allah, padahal apa yang di langit dan di bumi berserah diri kepada-Nya, (baik) dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan?”
Mengulik sedikit dengan kehidupan dan alam semesta. Bila kita amati, tidak ada satu pun alam semesta yang berpaling dari-Nya, kecuali manusia. Manusia ialah makhluk egoisitis yang pernah diciptakan. Lihatlah tumbuhan, mereka tumbuh tanpa membuat ulah atau berusaha menentang-Nya. Liriklah hewan, semisal harimau, buaya dan hewan buas lainnya, mereka saling membunuh karena satu alasan, bertahan hidup. Menjalankan hukum alam dan melaksanakan tugas sebagai rantai makanan. Perhatikan manusia, mereka saling menteror, membunuh, meledakan bom dengan beribu-ribu alasan untuk menghilangkan nyawa manusia. Manusia bahkan tak punya naluri seperti hewan untuk memahami dunia di sekitar mereka.
Bukan Tuhan yang meminta kita untuk memilih agama. Tetapi orang tua yang mewariskan agama kepada kita, dan mereka juga diwariskan dari nenek moyangnya. Begitu seterusnya kepada generasi selanjutnya. Tuhan hanya meminta kita untuk mematuhi hukumnya. Menjalankannya dengan pola kehidupan yang benar, bukan menyimpang. Hanya saja, birokrasi lembaga agama buatan manusia yang kelewat rumit dan tidak alami.
“Sekarang, anak cucu Adam tersesat dalam kebingungan moral. Kita tidak lagi mengenal kebaikan secara naluriah.” Begitulah kiranya. Kebaikan hakiki sudah tampak samar. Teror bom bunuh diri dikerumunan orang sudah menjadi suatu hal yang dianggap benar bagi mereka. Penembakan membabi buta seperti memercikan ribuan dosa dari dirinya. Dan menjadi bencana besar bagi si korban.
Terorisme, perwujudan dalam kesalahan memahami agama. Ketahuilah, apapun yang bercampur dengan tangan manusia akan mengakibatkan kerusakan di muka bumi. Begitu banyak atribut yang tertempel di seragam akan menjadi lambang yang tak berarti apa-apa bila kita tak mewujudkannya. Jangan jadikan kekerasaan sebagai pacuan kehidupan. Janganlah menjadi manusia yang egoistis tanpa mementingkan generasi selanjutnya, anak cucu kita.
Memangnya kita mau, melihat anak cucu kita menanggung dosa dan kesalahan yang dibuat oleh nenek moyang terdahulunya. Mengikuti jejak yang salah dan mengabaikan nilai kebenara n yang hakiki.
0 komentar