Bila ku geledah sedikit waktu, aku akan menemukan kisah yang lebih menyakitkan tentang diriku. Khususnya apa yang aku alami selama ini. Aku kecil hidup di dalam sebuah pertikaian, aku kira semua ini sementara, namun nyatanya tidak. Aku menyadarinya, namun aku tak tahu harus berbuat apa. Hingga waktu mengajarkanku bahwa semua kekacauan ini merupakan kelaziman.
Semua ini menjadi absurd ketika aku tumbuh menjadi gadis remaja. Aku sudah sangat frustasi menjadi anak bungsu dari enam bersaudara. Hari-hariku dipenuhi dengan tangan dan wajah yang selalu berkeringat dingin, jantung berpacu kencang, dan gerak tubuh yang tidak stabil. Aku hanya ingin berdiam diri dan menjadi diriku yang ringkih.
Saat kembali dalam pelukan hangat keluarga, rasanya kepalaku terbakar hebat. Bukan lagi kehangatan, tapi sebuah kebakaran. Keluarga tak pernah memberikanku solusi akan semua ini. Hari demi hari berlalu, aku menjalaninya dengan keputusasaan. Tak ada teman, hanya seekor kucing yang setia menemaniku ketika aku mengalami hari-hari yang berat.
Titik balik kehidupanku terjadi ketika aku SMK. Entah apa yang telah terjadi kepada diriku. Aku mampu mengubah persepsi pikiranku yang negatif menjadi sebuah titik kulminasi yang jauh lebih positif. Aku menyadari bahwa lingkungan membentuk sikap seseorang. Namun selama ini aku buta, buta kalau keadaan keluarga yang buruk telah membawaku masuk lebih dalam. Aku hanya bisa melihat titik hitam, dan tak pernah mencoba mencari celah yang ada.
Hingga aku berpikir kalau aku mampu, mampu dan berhak mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku bisa membuktikan kalau perkataan mereka salah.
Bukan cerita namanya kalau semua ini harus berakhir dengan bahagia. Bahagia saja tidak cukup, tanpa adanya rasa aman. Karena disetiap detik aku bisa saja tertawa karena mendengar lelucon atau melihat hal lucu. Atau tiba-tiba menangis karena mengingat kenangan pahit.
Waktu mengajakku ke dalam dimensi yang berbeda. Ia memintaku untuk merasakan apa itu rasa sakit yang sesungguhnya.
Aku kembali dalam usiaku yang miris, usia 17 tahun. Aku melihat kulit ibu dan ayah yang sudah menggelembur, mereka telah menua, dan sering sakit-sakitan. Ayah juga sudah tak segalak dahulu. Dia mengurangi sungutannya kepada ibu.
Ibarat kilat yang tampak seperti bola cahaya, bergerak cepat di sepanjang objek mati. Tuhan merenggut semuanya begitu cepat –waktu dan nyawa. Saat itu waktu terasa lambat dan lemah. Aku seperti berjalan di dalam labirin, dan tak memiliki peta. Sesak, ingin menjerit, suhu badan panas, namun tak ada yang bisa menolong.
0 komentar