Di dalam sebuah café di Kemang, Jakarta Selatan, terlihat seorang gadis berpakaian stunning dan eksklusif, duduk seorang diri menatap kosong keluar café. Tak ada kudapan yang menemaninya untuk menunggu kehadiran seseorang yang masih berada di tengah kemacatan jalan Ibu Kota.
Wajah dan garis matanya memburaikan usia yang baru menginjak dewasa, kira–kira dua puluh tahun. Style pakaiannya trendy dan selektif, tampak dari keselarasan pakaian dan aksesoris yang digunakannya. Warna kulit khas Indonesia, sawo matang dan mempunyai rambut panjang yang sedikit ikal berwarna cokelat.
Setengah jam sudah ia hanya ditemani meja kosong, hatinya mulai cemas dan gelisah–dia terlihat tak begitu menikmati kesendiriannya di dalam café. Smartphone yang menjadi pelipur lara dikalangan masyarakat modern, sepertinya tak lagi ada artinya. Karena sedari tadi, smartphone itu hanya diam membisu di atas meja. Dan sudah satu jam pula ia berdiam di sana menghadap dua sofa yang kosong.
Tangannya mulai menyentuh smartphone–nya yang sempat diabaikan. Lalu dia menempatkan smartphone–nya tepat di telinga kanannya untuk menelepon seseorang.
“Ihh, kok nggak diangkat, sih?!” pekiknya seraya memaki ponsel pintarnya tersebut.
Beberapa menit kemudian dari panggilan yang dilakukan gadis tersebut, April terlihat berjalan memasuki café, memakai scarf kelabu dengan kemeja dan rambut tergerai, serta membawa tas selempang berwarna putih–bermotif kepala tengkorak. Penampilan yang terlihat chic.
Sepertinya April sudah mengetahui ke mana ia harus melangkahkan kakinya. Tepat sekali, langkahnya terhenti pada seorang gadis berambut ikal cokelat yang sedari tadi menunggunya.
“Hai... Sorry ya, gue telat." April tersenyum ragu.
"Macet banget, gila! Jalanan." tambahnya yang terlihat riuh ramai dengan tas dan buku–buku tebalnya. April berusaha memosisikan barang bawaannya di sisi sofa yang kosong. Dia juga mencecah rambut yang menghalangi separuh wajahnya.
Lisa mengamatinya dengan sungguh–sungguh. Dia membuka sedikit bibirnya hingga membentuk huruf O.
"Lo lusuh banget deh, Pril." Lisa menyeringai melihat April yang terlihat berantakan. Mulai dari rambutnya yang sedikit morat–marit. Helaian rambut di dahi yang basah karena terkena keringat. Dan nafas yang agak terengah.
April melongo beberapa saat untuk mengambil nafas. "Oh, gitu ya?" dia mulai mengundai rambutnya yang panjang itu. "Masa, sih?" ucapnya masih tak percaya. Padahal sebelum berangkat, dia sudah setengah jam berdandan sedemikian rupa untuk tampil memesona dihadapan sahabatnya itu. Walau hanya memolesi wajahnya dengan bedak saja. Sisa waktunya terbuang lebih banyak untuk mencari pakaian yang cocok. Kalau saja April tak berlama–lama di bawah terik matahari, mungkin dia tidak terlihat berantakan seperti ini.
"Lo kayanya harus dandan, deh! Ke toilet dulu sana! Lo bawa make up, nggak? Kalau nggak bawa, pinjam punya gue, nih!?" sarannya terlihat memaksa.
April memandang cewek eklektik itu dengan segan.
Lisa memang sangat mengutamakan penampilan. Elegansinya harus tercipta sebelum ia keluar rumah. Dan itu menjadi prioritas utama. Berbeda dengan April yang sangat cuek dengan penampilan. Cuek bukan berarti dia berpergian dengan memakai piama atau semacamnya. Cueknya April itu simple. Dia tetap menarik meski tampil apa adanya. Dia cewek naturalistis.
"Udah, deh...! Emang lo kira gue mau casting apa pakai dandan segala." April memegang smartphone–nya sejajar menghadap wajahnya, dia bercermin di layar smartphone yang kedap cahaya. Memastikan sesuatu masih merekat pada wajahnya. "Perasaan, di rumah, gue tadi udah bedakan."
Lisa bersilengah terhadap April. Bukan hal yang mengejutkan lagi bila April selalu menolak jika diminta merias wajah. Memang, wajahnya April putih bersih, tapi tetap saja, perempuan kurang afdal bila tidak ada blush on, lipstick, pensil alis, dan eyelinear di wajahnya. April hanya sungguh–sungguh memakai make up bila ada acara resmi saja. Dan make up yang digunakan juga terlihat biasa sekali. Tidak mencolok.
"Ya udah luntur lah! Lo kan naik angkutan umum. Desak–desakan, kena asap rokok, polusi udara. Yang ada juga muka lo dibedakin sama debu!"
“Maklum lah, namanya juga Jakarta.”
Lisa menyingkirkan pandangannya ke tepi jendela dengan gusar. Lalu dia menghadap April dengan cepat.
"Cowok lo mana?"
"Ya Tuhan! Tadi tuh gue telat gara–gara nungguin dia." April semakin menggelora. "Lo tahu nggak? Gue tuh hampir setengah jam nungguin dia di jalan."
"Emang enak!" sela Lisa, nada suaranya penuh kemenangan. Ia bersyukur karena tak seorang diri menunggu. Sebab ditempat berbeda, April juga menunggu–di bawah terik matahari yang tajam pula. Betapa tidak beruntungnya dia. "Lagian lo ngapain sih nungguin dia, kalau dianya nggak bisa?"
"Ihh... Awalnya dia minta berangkat bareng. Gue disuruh nungguin dia di halte, tempat biasa. Eh, nggak tahunya gue udah nungguin setengah jam, dia nelpon gue, terus tiba–tiba nyuruh gue berangkat duluan, nanti dia nyusul. Kan ngeselin banget!"
Ralan, cowok yang sudah menjalin hubungan dengan April hampir dua tahun ini memang disibukkan dengan kuliah dan pekerjaannya sebagai kurir catering–usaha rumahan milik ibunya. Karena pekerjaannya itu dia beberapa kali tidak menepati janjinya kepada April. Tapi nantinya dia selalu memberikan kejutan yang tidak romantis untuk permohonan maaf.
April mengerlingkan matanya ke sekitar meja. "Eh! Lo yakin nih, belum mesan apa–apa dari tadi?"
Lisa ingkah dari tempat duduknya. "Lo mau apa?" ucapnya. "Biar gue yang beli."
Dua tangan April meraih dompet dari tasnya. Dia mengeluarkan satu lembar mata uang senilai seratus ribu rupiah. Namun dengan cepat Lisa menolaknya. Seperti biasa, Lisa selalu rajin bila mentraktir para sahabatnya. Dia tak pernah perhitungan dengan materiil. Berkaitan dengan harta benda milik orangtuanya yang sangat cukup dan bahkan berlebih untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya. Jadi Lisa tak pernah memedulikan hal tersebut. Toh, ayahnya itu adalah pengusaha sukses dan ibunya seorang wanita karier.
Sedotan plastik berwarna putih berlambai–lambai di dalam sebuah gelas plastik transparan yang terisi setengah larutan kopi dingin. Jemari Lisa menggoncang–goncangkan sedotan itu semakin kencang, namun seketika dihentakkan dengan kuat. "Cerita sekarang aja, Pril!"
Mereka sudah satu jam berbincang di café dengan obrolan khas wanita. Namun tujuan pertemuan ini sebenarnya, belum juga diketahui Lisa.
"Tunggu Ralan dulu lah, dia kan yang punya ide."
"Tapi mana orangnya? Gila, udah sejam nih nungguin dia!"
"Tuh!" April melemparkan pandangan ke jendela, dagu dan bibirnya seraya menyatu untuk menunjukan seseorang yang berada di luar sana.
Ralan bergerak cepat menghampiri mereka. Dada dan lubang hidungnya mengembang dan mengempis dengan cepat.
"Maaf ya telat."
"Iya, nggak apa–apa, kok." April tersenyum bahagia melihat kehadiran Ralan. Dia meminta Ralan untuk duduk di sebelahnya. Sebelumnya ia berpindah ke sofa yang satunya– dekat jendela.
Lisa mencibir, "Bagi lo nggak apa–apa. Gue nih yang keberatan
April dan Lisa sudah menjalin hubungan sebagai sahabat sejak duduk di sekolah dasar. Saat April kembali ke Indonesia, setelah berimigrasi hampir empat tahun lamanya di Amerika, orang yang April kenal pertama kali di Indonesia adalah Lisa. Ketika itu usia mereka baru lima tahun. Kebetulan ayahnya April membeli rumah tepat di samping kediaman keluarga Lisa.
Hubungan pertemanan mereka semakin erat kala April masuk sekolah dasar yang sama dengan Lisa. Baik di rumah dan di sekolah, mereka selalu bermain bersama. Sayangnya ketika memasuki sekolah menengah pertama, Lisa harus pindah rumah, sebab ayahnya terbelit hutang, dan mengharuskannya menjual rumah tersebut.
Hubungan pertemanan mereka tidak terputus begitu saja. Mereka sering bertemu dan bersilahturahmi. Terutama ayahnya April yang perannya sangat besar dalam keluarga Lisa. Rifat Kailani sering sekali membantu ayahnya Lisa sebelum ia sukses sebagai pengusaha besar seperti saat ini. Itu mengapa hubungan baik masih terjaga hingga sekarang.
Ralan memandang tak enak hati dan merasa bersalah. Pandangannya redup dan tertunduk.
Lisa tampak iri dengan pasangan itu. Bayangkan saja, mereka mempunyai kegemaran yang sama–pecinta buku. Sama–sama menyukai hewan berbulu, meski April memelihara kucing dan Ralan memelihara anjing, tapi itu bukan permasalahan yang serius. Mereka pasangan yang tidak kekanak–kanakan. Dan bahkan mereka berdua sangat intelektual dan berpikir kritis tentang pelajaran ataupun masalah kehidupan. Ya, walaupun mereka berbeda agama, namun sikap toleran dan saling menghormati satu sama lain sangat tinggi.
Permasalahan yang dapat menimpa pasangan ini hanya ada satu, yaitu restu orang tua. Ibunya April sangat agamawi dan berpegang teguh pada nilai–nilai agama dari kitab Al-qur'an. Begitu juga dengan keluarga Ralan yang sangat berpedoman dengan kitab Injil dan selalu ke gereja setiap weekend.
Kehadiran mereka di sini bukan sekedar hangout atau temu kangen semata. Ide yang keluar begitu saja pada malam hari itu merupakan bentuk motivasinya kepada April. Ralan tahu betul, saat ini April sedang diserang writer's block yang berkepanjangan. Dia juga prihatin bila hal itu akan menjadi perhentian terakhir April untuk menjadi penulis. Dia harus tetap men–support April dan memberikannya jalan keluar.
"Nah gini..." Ralan memajukan posisi duduknya. "Kalian kan sudah libur akhir semester. Kenapa nggak coba buat liburan bareng, ke mana gitu?!" sarannya. “Nanti perjalanan kalian bisa dibuat journey untuk buku April yang kelima. Biar lebih realistis.”
Lisa memberikan respon yang baik dan kembali menyusun saran yang baru. Dia menyarankan untuk liburan ke Saugerties, New York, tempat di mana dahulu April berimigrasi.
"Kenapa harus luar negeri? Kan di Indonesia masih banyak tempat wisata yang keren.”
April memandang Lisa dengan tajam. Sementara Ralan terlihat canggung diantara dua perempuan yang saling bersawala.
"Udah, Pril. Ke Saugerties aja! Kita kan bisa ngirit dana. Lagian gue belum pernah ke sana. Kan aku mau ketemu bebep Alex."
Alex adalah sepupu April yang tinggal di Saugerties. Dan kebetulan sekali, Lisa menyukai cowok tampan itu.
"Kita bisa numpang tinggal di rumah Om, lo."
Keenan Erlangga Kailani, seorang pria Indonesia yang berimigrasi ke Amerika sejak 19 tahun yang lalu untuk menjalankan beasiswa SI–nya di Universitas New York. Adik dari Rifat Kailani ini sudah menetap dan menjadi warga negara Amerika sekarang. Dia tinggal di kota Saugerties di pedesaan Ulster County, New York.
"Om Keenan?" satu alis matanya naik.
"Iya..." sahut Lisa menggebu. "Bokapnya Alex." Lisa mempertegas sesuatu yang bahkan sudah diketahui April.
Di dalam kamar berukuran lima kali delapan meter, April kembali melamunkan sesuatu. Kamar yang berisi satu lemari pakaian besar, sebuah meja belajar dan sebuah rak buku, serta berbagai barang berbau retro dan vintage ini, selalu menjadi tempat meditasi terbaik baginya.
Berkas sinar berwarna putih dan berbentuk pilar terpancar dari mentari pagi, menerobos memasuki ruang kamar melalui dinding kaca yang sebagian tidak terutup gorden, membuat tubuh gadis berusia dua puluh tahun ini terhangatkan. Sinarnya berkilap menerangi sebagian tubuhnya, seperti tangan kanan dan separuh wajahnya, dan tanpa membuatnya terganggu–dengan kesadarannya gadis remaja berbulu mata lentik ini sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya terlihat sangat ganar.
Sejak perbincangannya dengan Lisa dan Ralan kemarin, April masih memperhitungkan resiko dan keputusan yang tepat. Gagasan Lisa tentang liburan ke Saugerties itu masih menjadi pertimbangannya. April takut bila liburan ke Saugerties akan membangkitkan kenangannya kembali dengan almarhum ayahnya. Dan itu akan membuatnya sedih dan semakin terpuruk nantinya. Mana mungkin dalam keadaan seperti itu dia bisa mendapatkan inspirasi dan hal menarik dari journey-nya.
Sebuah foto yang terletak di atas meja belajarnya, mengevokatif nostalgia. Seketika itu juga April terenyuh melihat sesosok pria yang tertempel di balik bingkai kaca foto tersebut. Fotograf yang mengingatkan tentang satu orang yang sangat berjasa dalam keluarganya. Seolah kebersamaan keluarga tidak lengkap tanpa kehadiran sosok tersebut. Sosok yang dahulu pernah ada di sampingnya dan satu atap dengannya. Seorang pemimpin keluarga yang gugur ditengah kehidupan.
Rifat Kailani tersenyum ceria hingga memperlihatkan giginya. Di sisinya terdapat April yang memeluknya dengan erat. Berlatarbelakang lembah gunung es, tampak mereka berdua mengenakan baju hangat yang super tebal.
April mendekati meja itu. Ia masih terus memandangi penuh perhatian kepada foto tersebut. Tubuhnya tepat berada di depan meja. April meraih foto itu dan masih memandanginya dengan penuh keseduan. Matanya mulai berladung air mata yang sekuat tenaga dia tahan, namun ia tak mampu. Ia mencoba tegar untuk tidak mengingat serpihan kenangan yang tersisa bersama ayahnya.
Sudah empat tahun yang lalu ayahnya dipanggil oleh Sang Pencipta karena sebuah penyakit. Penyakit yang sudah diderita hampir satu tahun lamanya. Rifat divonis mengidap kanker pankreas. Saat itu April masih duduk dibangku tiga SMA. Sungguh suatu pukulan yang menyakitkan ketika dia mengetahui ayahnya terserang kanker. Setiap malam April harus mendengar rintihan pahit yang keluar dari suara ayahnya, sebelum ayahnya dinyatakan meninggal seminggu kemudian di rumah sakit.
Mengingat sosok Rifat Kailani yang sangat disegani sebagai kepala keluarga, sahabat, dan seorang guru, baik bagi keluarga, anak, dan murid–muridnya. Dia seorang yang filantropis, bijaksana, dan baik terhadap sesama, khususnya keluarga. Meski tampangnya dingin dan serius, tapi beliau sangat mencintai keluarganya dengan penuh perhatian. Tak dipungkiri jika kepergiannya meninggalkan duka teramat dalam bagi keluarga, sanak saudara, murid–murid, dan sahabat terdekatnya.
Sepertinya April harus mengesampingkan kesedihannya itu, sebab ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. April menyeka butir air mata di pipi dan matanya. Dia berusaha tegar kembali. Ia juga tidak mungkin menunjukan kesedihannya di depan orang lain, termasuk mamanya sendiri.
"Masuk!" seru April sembari meletakkan kembali bingkai foto meja tersebut.
"Hai, Beb!" dengan ceria seorang Lisa mendekati April dan memeluknya erat. Sementara itu, tanpa diketahui Lisa, April kembali menggosok–gosok matanya sampai kering, memastikan agar jejak air mata tak terlihat.
April agak risih dengan pelukan itu, dia melepaskannya dengan hati–hati.
"Gimana... lo setuju kan, kita liburan ke Saugerties?" Lisa mengorak senyum, memperlihatkan gigi–giginya.
April memangutkan wajahnya dan menatap Lisa rekat–rekat, menelaah sesuatu yang implisit darinya.
"Gue sih tahu, lo ke sana cuma mau ketemu Alex kan!”
Mukanya merah, tersipu–sipu. Ada tarikan kebahagiaan dari pipinya. Matanya pun tampak bersinar. Lisa bersorak bahagia melalui senyumannya.
Sudah enam tahun yang lalu Lisa mengenal sebuah nama, yaitu Alex. Cowok beramata biru azurit itu merupakan kakak sepupu April, anak sulung dari Keenan Kailani.
Lisa dan Alex sering berbincang melalui skype semalaman suntuk. Lisa dan Alex memang mandapatkan kecocokan satu sama lain. Walaupun status mereka tidak jelas.
"Gue harus izin dulu sama nyokap. Mending kalau dia ngizinin, kalau nggak?" April berhelat.
Lisa menjungurkan bibirnya. "Gue udah bilang sama nyokap lo. Kata dia boleh."
April pun memasang wajah tercengang. "Hah.. Kapan lo bilangnya?"
"Tadi barusan. Gue kan ketemu nyokap lo tadi. Sebelum ke kamar lo, gue sempat ngobrol dulu sama nyokap lo. Terus gue dikasih sarapan."
"Enak banget lo dikasih sarapan." nada suaranya tinggi. "Gue aja yang anaknya sendiri belum sarapan.”
“Yeh! Lo nya aja nggak keluar kamar. Jadi nyokap lo kira, lo masih tidur.”
Tiga hari kemudian.
Rumah minimalis yang dihuni oleh empat orang manusia–satu diantaranya seorang pelayan, dan dua ekor kucing. Rumah ini tak terlalu luks, tapi tidak pula terlihat biasa. Hanya tampak koherensi dengan susunan rak buku berkulit kayu jati arkais yang rempak di setiap ruangan, termasuk ruang makan.
Puluhan atau bahkan ratusan buku–buku tebal meramaikan rumah tersebut. Karena memang keluarga Kailani senang sekali mengoleksi buku. Meski tak semenarik baliho, tapi buku–buku itu mampu membuat orang yang melihatnya sengkak.
Ralan melewati rumah yang penuh dengan rak–rak buku yang tersebar di setiap ruangan.
"Masuk, Lan! Gue panggilin April dulu." penerimaan yang baik dari seorang Andri.
Anak sulung yang mempunyai nama lengkap Andri Erlangga Kailani ini sudah menjadi kebanggaan bagi keluarga Kailani. Walau pembawaannya daif, namun ia menurunkan sikap kearifan dari ayahnya. Telaten dalam mengerjakan sesuatu dan bertanggung jawab tinggi. Sekarang ini ia sedang mengemban studinya di Universitas ternama di Jakarta dan sudah memasuki semester akhir. Ia juga harus disibukkan sebagai tulang punggung keluarga semenjak ayahnya tiada. Menjalankan bisnis properti ayahnya.
Tak lama dari hilangnya Andri dibalik anak–anak tangga, Wina keluar dari kamarnya yang tidak begitu jauh dari ruang keluarga. Kebetulan ruang keluarga dan ruang tamu jadi satu. Wina tak sengaja melihat Ralan yang terduduk di sofa. Wina tak menyambut baik kedatangan Ralan, hanya senyuman gusar yang tampak dari raut mukanya. Wina berlalu begitu saja, mengikuti kata hatinya, entah mau ke mana ia.
Ralan menarik napas panjang dan tertunduk lesu. Sepertinya dia yang salah. Seharusnya ia menyapa calon mertuanya (kalau hubungannya berjalan baik dengan April) atau mengucapkan salam kepadanya, lalu kenapa dia malah diam saja.
April menuruni anak tangga dengan kaki lincahnya. Ia sempat melihat ibunya di dapur, namun ia mengabaikannya dan langkahnya hanya terfokus dengan ruang tamu–tempat di mana Ralan berada. Wina tidak membiarkan April segampang itu mengambil pilihannya. Ia menyadarkan April dengan memanggil namanya. Terpaksa April harus mendahului yang satu ini.
"Kamu yang nyuruh dia ke sini malam–malam?" tatapannya penuh curiga.
April belum sempat menjawabnya. Namun mamanya menggusarinya dengan bersungut–sunggut. Bagaikan eksplosi granat.
"Kamu tahu kan, ini udah jam berapa? Kamu besok harus bangun pagi, Pril. Jam lima subuh kamu harus berangkat ke bandara. Mama nggak mau kamu ketinggalan pesawat. Mending kamu tidur! Biar Mama yang ngomong sama Ralan."
April tak berani menentang mamanya, namun ia meminta sedikit waktu untuk berbicara dengan Ralan. Dan alhasil, pintanya berhasil dikabulkan, meski mamanya harus mengawasinya dari meja makan.
Desusan mengalun dari mulut April ke telinga Ralan. Dia agak menjinjit ketika melakukannya. Postur tubuh Ralan yang tinggi menjadi sedikit kendala baginya. "Kamu ngapain ke sini?"
Wina mulai ketir–ketir saat melihat posisi tubuh anaknya mendekati Ralan. Sebelumnya ia berpikiran buruk jika anaknya ingin mencium pemuda itu, namun kecemasannya berkurang ketika ia sudah melihat apa yang dilakukan April.
"Nggak tahu kenapa. Aku jadi kepikiran terus..." Ralan agak gelisah. Tubuhnya terlihat tak berdaya. Ia sesekali melirik gamam ke arah Wina yang ada di seberang sana–mengamati mereka.
April menoleh ke arah mamahnya.
Wina terduduk membisu sambil mengupas kulit buah apel dengan sebilah pisau. Matanya menatap tajam Ralan dan April yang berjarak dua puluh meter darinya. Ruangan yang terbuka lebar, tak ada sekat yang membatasi pandangan. Sekali–sekali ia menjaga keseimbangan gerak motorik tangannya dengan melirik pisau dan apel merah yang sedang dikupas.
April memejamkan matanya sebentar. Sepertinya kegelapan menjadi tempat ternyaman untuk meredam perasaan yang kompleks. Ia meminta Ralan duduk di salah satu sofa yang dapat membelakangi mamanya, hitung–hitung Ralan akan lebih tenang bila tak melihat mamanya. Namun dugaannya salah. Kecemasan Ralan masih tak bisa diatasi.
Ralan meminta suasana tenang, barangkali di depan teras rumahnya itu jauh lebih baik dari pada di sini. Di sana ada beberapa bangku kayu mahoni dengan larik indah menghadap langit. Dengan segera, April menarik tangan Ralan dan membawanya ke tempat itu– teras.
Wina tergugah dari kursi nyamannya. Apa yang akan dilakukan anak perempuannya itu. Dia memanggil nama April untuk mencegah sesuatu yang tak diinginkan terjadi.
"Aku diteras depan, Ma. Nggak lama....!"
April dan Ralan tertawa bersama setelah terbebas dari jeratan tatapan tajam yang membelenggu hati. Sedari tadi hati mereka bagai kaki–kaki ayam yang terserimpung tali. Berbeda dengan April yang tertawa lepas, Ralan masih saja jaim di depan April, bahkan untuk urusan tertawa sekalipun.
Ralan seketika hilang rasa humornya. Raut wajahnya mendingin. Membuat April menghentikan tawanya.
"Kenapa aku cemas ya? Seandainya aku bisa ikut ke sana." bola mata itu memang benar, dia tak pernah bisa bersembunyi. Bola mata pedih seraya terkena uap dari kulit limau yang dikupas.
April tersenyum culas. "Makanya ikut dong...! Biar nggak cemas."
"Kamu batalin aja deh, liburannya...?!"
April heran dengan sifat Ralan yang berubah–ubah itu. Ada apa sih dengan dia? April menggerutui Ralan. Dia tak ingin liburannya kali ini gagal hanya karena ketidakpastian cara berpikir Ralan yang membingungkan. Seharusnya Ralan tak perlu menjadikan semuanya seperti permainan kubus rubik. Itu merumitkan! April harus memecahkan teka–teki mekanik dengan berbagai rumus. Dan April membenci pelajaran hitung–menghitung. Jadi hentikan!
Ralan akhirnya menyerah. Ia tidak bisa meleburkan sikap keras kepala April.
"Oke!" tegas Ralan membisukan April, setelah beberapa menit mereka masuk ke dalam situasi rumit. "Aku cuma mau kamu jaga diri di sana. Selalu hubungi aku ke mana pun kamu pergi. Jangan pernah matiin hp kamu ya!?" nadanya lemah, selemah perasaannya.
Dia mencekuh sesuatu di saku bajunya. Sebuah gelang retro pandora yang terbuat dari material environmental alloy and bracelet thick silver plated. Gelang ini diimpor dari luar negeri. Dan dibeli Ralan secara online. Ralan memakaikan gelang itu di pergelangan tangan kanan April. Ralan sudah melihat terlalu banyak gelang yang tersangkut di pergelangan tangan kiri April.
"Jangan pernah lepasin gelang ini."
"Kamu lebay banget, deh. Kaya aku pergi setahun aja." April terkikik.
Romantisme itu tak berlangsung lama. Suara pekikan yang menyeruakan nama April, mengudara begitu mengganggu.
“April…” Wina memanggil April dari ruang tamu. "Masuk, ini sudah malam. Besok kamu harus bangun pagi. Kalau nggak masuk sekarang juga, Mama bakal kunci pintunya!"
Ralan dan April menarik kuat–kuat posisi tubuh mereka dari kursi beserta komponennya.
"Ya udah, aku pulang ya...?!" Ralan masih memegang tangan kanan April. "Titip salam buat Mama sama Abang kamu." ia berjalan terhuyung menghampiri sepedanya dan pergi meninggalkan April.
Ada satu kalimat yang terlupakan April. Bagaimana bisa ia melupakan kalimat itu. Oh tunggu, Ralan belum cukup jauh. Ia masih berada di depan gerbang.
"Ralan, thank you ya..?" tempik April dengan perasaan suka citanya.
Ralan mendengarnya. Ia mengacungkan jempolnya.
Adveksi udara malam ini mampu menyejukan setiap tubuh yang disentuhnya. Menciptakan titik–titik uap di atas daun yang berliuk dengan eloknya. Seperti malam–malam biasanya, April tak mau ketinggalan untuk menyaksikan dari sekian luasnya alam semesta menunjukan fitrah mereka. Membiarkan dirinya merasakan udara sejuk malam hari dengan duduk lesehan di balkon kamarnya. Buku agenda yang selalu menemaninya dalam kesendirian, ia peluk erat seraya memeluk dirinya sendiri.
April menerawang jauh ke langit–langit gelap. Membuka mata lebar–lebar agar lebih memahami keindahan bintang–bintang. Bulan sabit yang menyembunyikan sebagian dirinya seolah memandang April dengan sedunya. April selalu melakukannya, mengamati alam semesta yang syarat akan probabilitas. Tak ada tipu daya di sana, semua hanya terlihat luas.
Setelah cukup puas ia menikmati dan mengamati apa yang dipandang dan dirasakannya, tangannya mulai membuka buku agenda berkulit cokelat itu. Buku itu ia dapatkan dari Ralan setahun yang lalu. Tak tersadar, senyuman hangat yang reaktif muncul ketika ia mengetahui bahwa buku agendanya hanya tersisa dua lembar lagi. Mungkin saatnya ia harus mengakhiri buku agenda itu.
Penuh minat, April menuangkan perasaannya yang akan berlibur ke New York–kembali ke kota kecil Saugerties, tempat sejarah masa kecilnya. Semoga dua lembar itu akan menjadi tulisan terakhir yang mengesankan.
Wajah dan garis matanya memburaikan usia yang baru menginjak dewasa, kira–kira dua puluh tahun. Style pakaiannya trendy dan selektif, tampak dari keselarasan pakaian dan aksesoris yang digunakannya. Warna kulit khas Indonesia, sawo matang dan mempunyai rambut panjang yang sedikit ikal berwarna cokelat.
Setengah jam sudah ia hanya ditemani meja kosong, hatinya mulai cemas dan gelisah–dia terlihat tak begitu menikmati kesendiriannya di dalam café. Smartphone yang menjadi pelipur lara dikalangan masyarakat modern, sepertinya tak lagi ada artinya. Karena sedari tadi, smartphone itu hanya diam membisu di atas meja. Dan sudah satu jam pula ia berdiam di sana menghadap dua sofa yang kosong.
Tangannya mulai menyentuh smartphone–nya yang sempat diabaikan. Lalu dia menempatkan smartphone–nya tepat di telinga kanannya untuk menelepon seseorang.
“Ihh, kok nggak diangkat, sih?!” pekiknya seraya memaki ponsel pintarnya tersebut.
Beberapa menit kemudian dari panggilan yang dilakukan gadis tersebut, April terlihat berjalan memasuki café, memakai scarf kelabu dengan kemeja dan rambut tergerai, serta membawa tas selempang berwarna putih–bermotif kepala tengkorak. Penampilan yang terlihat chic.
Sepertinya April sudah mengetahui ke mana ia harus melangkahkan kakinya. Tepat sekali, langkahnya terhenti pada seorang gadis berambut ikal cokelat yang sedari tadi menunggunya.
“Hai... Sorry ya, gue telat." April tersenyum ragu.
"Macet banget, gila! Jalanan." tambahnya yang terlihat riuh ramai dengan tas dan buku–buku tebalnya. April berusaha memosisikan barang bawaannya di sisi sofa yang kosong. Dia juga mencecah rambut yang menghalangi separuh wajahnya.
Lisa mengamatinya dengan sungguh–sungguh. Dia membuka sedikit bibirnya hingga membentuk huruf O.
"Lo lusuh banget deh, Pril." Lisa menyeringai melihat April yang terlihat berantakan. Mulai dari rambutnya yang sedikit morat–marit. Helaian rambut di dahi yang basah karena terkena keringat. Dan nafas yang agak terengah.
April melongo beberapa saat untuk mengambil nafas. "Oh, gitu ya?" dia mulai mengundai rambutnya yang panjang itu. "Masa, sih?" ucapnya masih tak percaya. Padahal sebelum berangkat, dia sudah setengah jam berdandan sedemikian rupa untuk tampil memesona dihadapan sahabatnya itu. Walau hanya memolesi wajahnya dengan bedak saja. Sisa waktunya terbuang lebih banyak untuk mencari pakaian yang cocok. Kalau saja April tak berlama–lama di bawah terik matahari, mungkin dia tidak terlihat berantakan seperti ini.
"Lo kayanya harus dandan, deh! Ke toilet dulu sana! Lo bawa make up, nggak? Kalau nggak bawa, pinjam punya gue, nih!?" sarannya terlihat memaksa.
April memandang cewek eklektik itu dengan segan.
Lisa memang sangat mengutamakan penampilan. Elegansinya harus tercipta sebelum ia keluar rumah. Dan itu menjadi prioritas utama. Berbeda dengan April yang sangat cuek dengan penampilan. Cuek bukan berarti dia berpergian dengan memakai piama atau semacamnya. Cueknya April itu simple. Dia tetap menarik meski tampil apa adanya. Dia cewek naturalistis.
"Udah, deh...! Emang lo kira gue mau casting apa pakai dandan segala." April memegang smartphone–nya sejajar menghadap wajahnya, dia bercermin di layar smartphone yang kedap cahaya. Memastikan sesuatu masih merekat pada wajahnya. "Perasaan, di rumah, gue tadi udah bedakan."
Lisa bersilengah terhadap April. Bukan hal yang mengejutkan lagi bila April selalu menolak jika diminta merias wajah. Memang, wajahnya April putih bersih, tapi tetap saja, perempuan kurang afdal bila tidak ada blush on, lipstick, pensil alis, dan eyelinear di wajahnya. April hanya sungguh–sungguh memakai make up bila ada acara resmi saja. Dan make up yang digunakan juga terlihat biasa sekali. Tidak mencolok.
"Ya udah luntur lah! Lo kan naik angkutan umum. Desak–desakan, kena asap rokok, polusi udara. Yang ada juga muka lo dibedakin sama debu!"
“Maklum lah, namanya juga Jakarta.”
Lisa menyingkirkan pandangannya ke tepi jendela dengan gusar. Lalu dia menghadap April dengan cepat.
"Cowok lo mana?"
"Ya Tuhan! Tadi tuh gue telat gara–gara nungguin dia." April semakin menggelora. "Lo tahu nggak? Gue tuh hampir setengah jam nungguin dia di jalan."
"Emang enak!" sela Lisa, nada suaranya penuh kemenangan. Ia bersyukur karena tak seorang diri menunggu. Sebab ditempat berbeda, April juga menunggu–di bawah terik matahari yang tajam pula. Betapa tidak beruntungnya dia. "Lagian lo ngapain sih nungguin dia, kalau dianya nggak bisa?"
"Ihh... Awalnya dia minta berangkat bareng. Gue disuruh nungguin dia di halte, tempat biasa. Eh, nggak tahunya gue udah nungguin setengah jam, dia nelpon gue, terus tiba–tiba nyuruh gue berangkat duluan, nanti dia nyusul. Kan ngeselin banget!"
Ralan, cowok yang sudah menjalin hubungan dengan April hampir dua tahun ini memang disibukkan dengan kuliah dan pekerjaannya sebagai kurir catering–usaha rumahan milik ibunya. Karena pekerjaannya itu dia beberapa kali tidak menepati janjinya kepada April. Tapi nantinya dia selalu memberikan kejutan yang tidak romantis untuk permohonan maaf.
April mengerlingkan matanya ke sekitar meja. "Eh! Lo yakin nih, belum mesan apa–apa dari tadi?"
Lisa ingkah dari tempat duduknya. "Lo mau apa?" ucapnya. "Biar gue yang beli."
Dua tangan April meraih dompet dari tasnya. Dia mengeluarkan satu lembar mata uang senilai seratus ribu rupiah. Namun dengan cepat Lisa menolaknya. Seperti biasa, Lisa selalu rajin bila mentraktir para sahabatnya. Dia tak pernah perhitungan dengan materiil. Berkaitan dengan harta benda milik orangtuanya yang sangat cukup dan bahkan berlebih untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya. Jadi Lisa tak pernah memedulikan hal tersebut. Toh, ayahnya itu adalah pengusaha sukses dan ibunya seorang wanita karier.
Sedotan plastik berwarna putih berlambai–lambai di dalam sebuah gelas plastik transparan yang terisi setengah larutan kopi dingin. Jemari Lisa menggoncang–goncangkan sedotan itu semakin kencang, namun seketika dihentakkan dengan kuat. "Cerita sekarang aja, Pril!"
Mereka sudah satu jam berbincang di café dengan obrolan khas wanita. Namun tujuan pertemuan ini sebenarnya, belum juga diketahui Lisa.
"Tunggu Ralan dulu lah, dia kan yang punya ide."
"Tapi mana orangnya? Gila, udah sejam nih nungguin dia!"
"Tuh!" April melemparkan pandangan ke jendela, dagu dan bibirnya seraya menyatu untuk menunjukan seseorang yang berada di luar sana.
Ralan bergerak cepat menghampiri mereka. Dada dan lubang hidungnya mengembang dan mengempis dengan cepat.
"Maaf ya telat."
"Iya, nggak apa–apa, kok." April tersenyum bahagia melihat kehadiran Ralan. Dia meminta Ralan untuk duduk di sebelahnya. Sebelumnya ia berpindah ke sofa yang satunya– dekat jendela.
Lisa mencibir, "Bagi lo nggak apa–apa. Gue nih yang keberatan
April dan Lisa sudah menjalin hubungan sebagai sahabat sejak duduk di sekolah dasar. Saat April kembali ke Indonesia, setelah berimigrasi hampir empat tahun lamanya di Amerika, orang yang April kenal pertama kali di Indonesia adalah Lisa. Ketika itu usia mereka baru lima tahun. Kebetulan ayahnya April membeli rumah tepat di samping kediaman keluarga Lisa.
Hubungan pertemanan mereka semakin erat kala April masuk sekolah dasar yang sama dengan Lisa. Baik di rumah dan di sekolah, mereka selalu bermain bersama. Sayangnya ketika memasuki sekolah menengah pertama, Lisa harus pindah rumah, sebab ayahnya terbelit hutang, dan mengharuskannya menjual rumah tersebut.
Hubungan pertemanan mereka tidak terputus begitu saja. Mereka sering bertemu dan bersilahturahmi. Terutama ayahnya April yang perannya sangat besar dalam keluarga Lisa. Rifat Kailani sering sekali membantu ayahnya Lisa sebelum ia sukses sebagai pengusaha besar seperti saat ini. Itu mengapa hubungan baik masih terjaga hingga sekarang.
Ralan memandang tak enak hati dan merasa bersalah. Pandangannya redup dan tertunduk.
Lisa tampak iri dengan pasangan itu. Bayangkan saja, mereka mempunyai kegemaran yang sama–pecinta buku. Sama–sama menyukai hewan berbulu, meski April memelihara kucing dan Ralan memelihara anjing, tapi itu bukan permasalahan yang serius. Mereka pasangan yang tidak kekanak–kanakan. Dan bahkan mereka berdua sangat intelektual dan berpikir kritis tentang pelajaran ataupun masalah kehidupan. Ya, walaupun mereka berbeda agama, namun sikap toleran dan saling menghormati satu sama lain sangat tinggi.
Permasalahan yang dapat menimpa pasangan ini hanya ada satu, yaitu restu orang tua. Ibunya April sangat agamawi dan berpegang teguh pada nilai–nilai agama dari kitab Al-qur'an. Begitu juga dengan keluarga Ralan yang sangat berpedoman dengan kitab Injil dan selalu ke gereja setiap weekend.
Kehadiran mereka di sini bukan sekedar hangout atau temu kangen semata. Ide yang keluar begitu saja pada malam hari itu merupakan bentuk motivasinya kepada April. Ralan tahu betul, saat ini April sedang diserang writer's block yang berkepanjangan. Dia juga prihatin bila hal itu akan menjadi perhentian terakhir April untuk menjadi penulis. Dia harus tetap men–support April dan memberikannya jalan keluar.
"Nah gini..." Ralan memajukan posisi duduknya. "Kalian kan sudah libur akhir semester. Kenapa nggak coba buat liburan bareng, ke mana gitu?!" sarannya. “Nanti perjalanan kalian bisa dibuat journey untuk buku April yang kelima. Biar lebih realistis.”
Lisa memberikan respon yang baik dan kembali menyusun saran yang baru. Dia menyarankan untuk liburan ke Saugerties, New York, tempat di mana dahulu April berimigrasi.
"Kenapa harus luar negeri? Kan di Indonesia masih banyak tempat wisata yang keren.”
April memandang Lisa dengan tajam. Sementara Ralan terlihat canggung diantara dua perempuan yang saling bersawala.
"Udah, Pril. Ke Saugerties aja! Kita kan bisa ngirit dana. Lagian gue belum pernah ke sana. Kan aku mau ketemu bebep Alex."
Alex adalah sepupu April yang tinggal di Saugerties. Dan kebetulan sekali, Lisa menyukai cowok tampan itu.
"Kita bisa numpang tinggal di rumah Om, lo."
Keenan Erlangga Kailani, seorang pria Indonesia yang berimigrasi ke Amerika sejak 19 tahun yang lalu untuk menjalankan beasiswa SI–nya di Universitas New York. Adik dari Rifat Kailani ini sudah menetap dan menjadi warga negara Amerika sekarang. Dia tinggal di kota Saugerties di pedesaan Ulster County, New York.
"Om Keenan?" satu alis matanya naik.
"Iya..." sahut Lisa menggebu. "Bokapnya Alex." Lisa mempertegas sesuatu yang bahkan sudah diketahui April.
***
Di dalam kamar berukuran lima kali delapan meter, April kembali melamunkan sesuatu. Kamar yang berisi satu lemari pakaian besar, sebuah meja belajar dan sebuah rak buku, serta berbagai barang berbau retro dan vintage ini, selalu menjadi tempat meditasi terbaik baginya.
Berkas sinar berwarna putih dan berbentuk pilar terpancar dari mentari pagi, menerobos memasuki ruang kamar melalui dinding kaca yang sebagian tidak terutup gorden, membuat tubuh gadis berusia dua puluh tahun ini terhangatkan. Sinarnya berkilap menerangi sebagian tubuhnya, seperti tangan kanan dan separuh wajahnya, dan tanpa membuatnya terganggu–dengan kesadarannya gadis remaja berbulu mata lentik ini sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya terlihat sangat ganar.
Sejak perbincangannya dengan Lisa dan Ralan kemarin, April masih memperhitungkan resiko dan keputusan yang tepat. Gagasan Lisa tentang liburan ke Saugerties itu masih menjadi pertimbangannya. April takut bila liburan ke Saugerties akan membangkitkan kenangannya kembali dengan almarhum ayahnya. Dan itu akan membuatnya sedih dan semakin terpuruk nantinya. Mana mungkin dalam keadaan seperti itu dia bisa mendapatkan inspirasi dan hal menarik dari journey-nya.
Sebuah foto yang terletak di atas meja belajarnya, mengevokatif nostalgia. Seketika itu juga April terenyuh melihat sesosok pria yang tertempel di balik bingkai kaca foto tersebut. Fotograf yang mengingatkan tentang satu orang yang sangat berjasa dalam keluarganya. Seolah kebersamaan keluarga tidak lengkap tanpa kehadiran sosok tersebut. Sosok yang dahulu pernah ada di sampingnya dan satu atap dengannya. Seorang pemimpin keluarga yang gugur ditengah kehidupan.
Rifat Kailani tersenyum ceria hingga memperlihatkan giginya. Di sisinya terdapat April yang memeluknya dengan erat. Berlatarbelakang lembah gunung es, tampak mereka berdua mengenakan baju hangat yang super tebal.
April mendekati meja itu. Ia masih terus memandangi penuh perhatian kepada foto tersebut. Tubuhnya tepat berada di depan meja. April meraih foto itu dan masih memandanginya dengan penuh keseduan. Matanya mulai berladung air mata yang sekuat tenaga dia tahan, namun ia tak mampu. Ia mencoba tegar untuk tidak mengingat serpihan kenangan yang tersisa bersama ayahnya.
Sudah empat tahun yang lalu ayahnya dipanggil oleh Sang Pencipta karena sebuah penyakit. Penyakit yang sudah diderita hampir satu tahun lamanya. Rifat divonis mengidap kanker pankreas. Saat itu April masih duduk dibangku tiga SMA. Sungguh suatu pukulan yang menyakitkan ketika dia mengetahui ayahnya terserang kanker. Setiap malam April harus mendengar rintihan pahit yang keluar dari suara ayahnya, sebelum ayahnya dinyatakan meninggal seminggu kemudian di rumah sakit.
Mengingat sosok Rifat Kailani yang sangat disegani sebagai kepala keluarga, sahabat, dan seorang guru, baik bagi keluarga, anak, dan murid–muridnya. Dia seorang yang filantropis, bijaksana, dan baik terhadap sesama, khususnya keluarga. Meski tampangnya dingin dan serius, tapi beliau sangat mencintai keluarganya dengan penuh perhatian. Tak dipungkiri jika kepergiannya meninggalkan duka teramat dalam bagi keluarga, sanak saudara, murid–murid, dan sahabat terdekatnya.
Sepertinya April harus mengesampingkan kesedihannya itu, sebab ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. April menyeka butir air mata di pipi dan matanya. Dia berusaha tegar kembali. Ia juga tidak mungkin menunjukan kesedihannya di depan orang lain, termasuk mamanya sendiri.
"Masuk!" seru April sembari meletakkan kembali bingkai foto meja tersebut.
"Hai, Beb!" dengan ceria seorang Lisa mendekati April dan memeluknya erat. Sementara itu, tanpa diketahui Lisa, April kembali menggosok–gosok matanya sampai kering, memastikan agar jejak air mata tak terlihat.
April agak risih dengan pelukan itu, dia melepaskannya dengan hati–hati.
"Gimana... lo setuju kan, kita liburan ke Saugerties?" Lisa mengorak senyum, memperlihatkan gigi–giginya.
April memangutkan wajahnya dan menatap Lisa rekat–rekat, menelaah sesuatu yang implisit darinya.
"Gue sih tahu, lo ke sana cuma mau ketemu Alex kan!”
Mukanya merah, tersipu–sipu. Ada tarikan kebahagiaan dari pipinya. Matanya pun tampak bersinar. Lisa bersorak bahagia melalui senyumannya.
Sudah enam tahun yang lalu Lisa mengenal sebuah nama, yaitu Alex. Cowok beramata biru azurit itu merupakan kakak sepupu April, anak sulung dari Keenan Kailani.
Lisa dan Alex sering berbincang melalui skype semalaman suntuk. Lisa dan Alex memang mandapatkan kecocokan satu sama lain. Walaupun status mereka tidak jelas.
"Gue harus izin dulu sama nyokap. Mending kalau dia ngizinin, kalau nggak?" April berhelat.
Lisa menjungurkan bibirnya. "Gue udah bilang sama nyokap lo. Kata dia boleh."
April pun memasang wajah tercengang. "Hah.. Kapan lo bilangnya?"
"Tadi barusan. Gue kan ketemu nyokap lo tadi. Sebelum ke kamar lo, gue sempat ngobrol dulu sama nyokap lo. Terus gue dikasih sarapan."
"Enak banget lo dikasih sarapan." nada suaranya tinggi. "Gue aja yang anaknya sendiri belum sarapan.”
“Yeh! Lo nya aja nggak keluar kamar. Jadi nyokap lo kira, lo masih tidur.”
***
Tiga hari kemudian.
Rumah minimalis yang dihuni oleh empat orang manusia–satu diantaranya seorang pelayan, dan dua ekor kucing. Rumah ini tak terlalu luks, tapi tidak pula terlihat biasa. Hanya tampak koherensi dengan susunan rak buku berkulit kayu jati arkais yang rempak di setiap ruangan, termasuk ruang makan.
Puluhan atau bahkan ratusan buku–buku tebal meramaikan rumah tersebut. Karena memang keluarga Kailani senang sekali mengoleksi buku. Meski tak semenarik baliho, tapi buku–buku itu mampu membuat orang yang melihatnya sengkak.
Ralan melewati rumah yang penuh dengan rak–rak buku yang tersebar di setiap ruangan.
"Masuk, Lan! Gue panggilin April dulu." penerimaan yang baik dari seorang Andri.
Anak sulung yang mempunyai nama lengkap Andri Erlangga Kailani ini sudah menjadi kebanggaan bagi keluarga Kailani. Walau pembawaannya daif, namun ia menurunkan sikap kearifan dari ayahnya. Telaten dalam mengerjakan sesuatu dan bertanggung jawab tinggi. Sekarang ini ia sedang mengemban studinya di Universitas ternama di Jakarta dan sudah memasuki semester akhir. Ia juga harus disibukkan sebagai tulang punggung keluarga semenjak ayahnya tiada. Menjalankan bisnis properti ayahnya.
Tak lama dari hilangnya Andri dibalik anak–anak tangga, Wina keluar dari kamarnya yang tidak begitu jauh dari ruang keluarga. Kebetulan ruang keluarga dan ruang tamu jadi satu. Wina tak sengaja melihat Ralan yang terduduk di sofa. Wina tak menyambut baik kedatangan Ralan, hanya senyuman gusar yang tampak dari raut mukanya. Wina berlalu begitu saja, mengikuti kata hatinya, entah mau ke mana ia.
Ralan menarik napas panjang dan tertunduk lesu. Sepertinya dia yang salah. Seharusnya ia menyapa calon mertuanya (kalau hubungannya berjalan baik dengan April) atau mengucapkan salam kepadanya, lalu kenapa dia malah diam saja.
April menuruni anak tangga dengan kaki lincahnya. Ia sempat melihat ibunya di dapur, namun ia mengabaikannya dan langkahnya hanya terfokus dengan ruang tamu–tempat di mana Ralan berada. Wina tidak membiarkan April segampang itu mengambil pilihannya. Ia menyadarkan April dengan memanggil namanya. Terpaksa April harus mendahului yang satu ini.
"Kamu yang nyuruh dia ke sini malam–malam?" tatapannya penuh curiga.
April belum sempat menjawabnya. Namun mamanya menggusarinya dengan bersungut–sunggut. Bagaikan eksplosi granat.
"Kamu tahu kan, ini udah jam berapa? Kamu besok harus bangun pagi, Pril. Jam lima subuh kamu harus berangkat ke bandara. Mama nggak mau kamu ketinggalan pesawat. Mending kamu tidur! Biar Mama yang ngomong sama Ralan."
April tak berani menentang mamanya, namun ia meminta sedikit waktu untuk berbicara dengan Ralan. Dan alhasil, pintanya berhasil dikabulkan, meski mamanya harus mengawasinya dari meja makan.
Desusan mengalun dari mulut April ke telinga Ralan. Dia agak menjinjit ketika melakukannya. Postur tubuh Ralan yang tinggi menjadi sedikit kendala baginya. "Kamu ngapain ke sini?"
Wina mulai ketir–ketir saat melihat posisi tubuh anaknya mendekati Ralan. Sebelumnya ia berpikiran buruk jika anaknya ingin mencium pemuda itu, namun kecemasannya berkurang ketika ia sudah melihat apa yang dilakukan April.
"Nggak tahu kenapa. Aku jadi kepikiran terus..." Ralan agak gelisah. Tubuhnya terlihat tak berdaya. Ia sesekali melirik gamam ke arah Wina yang ada di seberang sana–mengamati mereka.
April menoleh ke arah mamahnya.
Wina terduduk membisu sambil mengupas kulit buah apel dengan sebilah pisau. Matanya menatap tajam Ralan dan April yang berjarak dua puluh meter darinya. Ruangan yang terbuka lebar, tak ada sekat yang membatasi pandangan. Sekali–sekali ia menjaga keseimbangan gerak motorik tangannya dengan melirik pisau dan apel merah yang sedang dikupas.
April memejamkan matanya sebentar. Sepertinya kegelapan menjadi tempat ternyaman untuk meredam perasaan yang kompleks. Ia meminta Ralan duduk di salah satu sofa yang dapat membelakangi mamanya, hitung–hitung Ralan akan lebih tenang bila tak melihat mamanya. Namun dugaannya salah. Kecemasan Ralan masih tak bisa diatasi.
Ralan meminta suasana tenang, barangkali di depan teras rumahnya itu jauh lebih baik dari pada di sini. Di sana ada beberapa bangku kayu mahoni dengan larik indah menghadap langit. Dengan segera, April menarik tangan Ralan dan membawanya ke tempat itu– teras.
Wina tergugah dari kursi nyamannya. Apa yang akan dilakukan anak perempuannya itu. Dia memanggil nama April untuk mencegah sesuatu yang tak diinginkan terjadi.
"Aku diteras depan, Ma. Nggak lama....!"
April dan Ralan tertawa bersama setelah terbebas dari jeratan tatapan tajam yang membelenggu hati. Sedari tadi hati mereka bagai kaki–kaki ayam yang terserimpung tali. Berbeda dengan April yang tertawa lepas, Ralan masih saja jaim di depan April, bahkan untuk urusan tertawa sekalipun.
Ralan seketika hilang rasa humornya. Raut wajahnya mendingin. Membuat April menghentikan tawanya.
"Kenapa aku cemas ya? Seandainya aku bisa ikut ke sana." bola mata itu memang benar, dia tak pernah bisa bersembunyi. Bola mata pedih seraya terkena uap dari kulit limau yang dikupas.
April tersenyum culas. "Makanya ikut dong...! Biar nggak cemas."
"Kamu batalin aja deh, liburannya...?!"
April heran dengan sifat Ralan yang berubah–ubah itu. Ada apa sih dengan dia? April menggerutui Ralan. Dia tak ingin liburannya kali ini gagal hanya karena ketidakpastian cara berpikir Ralan yang membingungkan. Seharusnya Ralan tak perlu menjadikan semuanya seperti permainan kubus rubik. Itu merumitkan! April harus memecahkan teka–teki mekanik dengan berbagai rumus. Dan April membenci pelajaran hitung–menghitung. Jadi hentikan!
Ralan akhirnya menyerah. Ia tidak bisa meleburkan sikap keras kepala April.
"Oke!" tegas Ralan membisukan April, setelah beberapa menit mereka masuk ke dalam situasi rumit. "Aku cuma mau kamu jaga diri di sana. Selalu hubungi aku ke mana pun kamu pergi. Jangan pernah matiin hp kamu ya!?" nadanya lemah, selemah perasaannya.
Dia mencekuh sesuatu di saku bajunya. Sebuah gelang retro pandora yang terbuat dari material environmental alloy and bracelet thick silver plated. Gelang ini diimpor dari luar negeri. Dan dibeli Ralan secara online. Ralan memakaikan gelang itu di pergelangan tangan kanan April. Ralan sudah melihat terlalu banyak gelang yang tersangkut di pergelangan tangan kiri April.
"Jangan pernah lepasin gelang ini."
"Kamu lebay banget, deh. Kaya aku pergi setahun aja." April terkikik.
Romantisme itu tak berlangsung lama. Suara pekikan yang menyeruakan nama April, mengudara begitu mengganggu.
“April…” Wina memanggil April dari ruang tamu. "Masuk, ini sudah malam. Besok kamu harus bangun pagi. Kalau nggak masuk sekarang juga, Mama bakal kunci pintunya!"
Ralan dan April menarik kuat–kuat posisi tubuh mereka dari kursi beserta komponennya.
"Ya udah, aku pulang ya...?!" Ralan masih memegang tangan kanan April. "Titip salam buat Mama sama Abang kamu." ia berjalan terhuyung menghampiri sepedanya dan pergi meninggalkan April.
Ada satu kalimat yang terlupakan April. Bagaimana bisa ia melupakan kalimat itu. Oh tunggu, Ralan belum cukup jauh. Ia masih berada di depan gerbang.
"Ralan, thank you ya..?" tempik April dengan perasaan suka citanya.
Ralan mendengarnya. Ia mengacungkan jempolnya.
***
Adveksi udara malam ini mampu menyejukan setiap tubuh yang disentuhnya. Menciptakan titik–titik uap di atas daun yang berliuk dengan eloknya. Seperti malam–malam biasanya, April tak mau ketinggalan untuk menyaksikan dari sekian luasnya alam semesta menunjukan fitrah mereka. Membiarkan dirinya merasakan udara sejuk malam hari dengan duduk lesehan di balkon kamarnya. Buku agenda yang selalu menemaninya dalam kesendirian, ia peluk erat seraya memeluk dirinya sendiri.
April menerawang jauh ke langit–langit gelap. Membuka mata lebar–lebar agar lebih memahami keindahan bintang–bintang. Bulan sabit yang menyembunyikan sebagian dirinya seolah memandang April dengan sedunya. April selalu melakukannya, mengamati alam semesta yang syarat akan probabilitas. Tak ada tipu daya di sana, semua hanya terlihat luas.
Setelah cukup puas ia menikmati dan mengamati apa yang dipandang dan dirasakannya, tangannya mulai membuka buku agenda berkulit cokelat itu. Buku itu ia dapatkan dari Ralan setahun yang lalu. Tak tersadar, senyuman hangat yang reaktif muncul ketika ia mengetahui bahwa buku agendanya hanya tersisa dua lembar lagi. Mungkin saatnya ia harus mengakhiri buku agenda itu.
Penuh minat, April menuangkan perasaannya yang akan berlibur ke New York–kembali ke kota kecil Saugerties, tempat sejarah masa kecilnya. Semoga dua lembar itu akan menjadi tulisan terakhir yang mengesankan.
0 komentar