Maskapai mereka sempat transit di airport Changhai Singapore dan Frankfurt German. Sehabis menjelajahi bentangan langit dan bergumul dengan awan yang bergelombang siang malam, akhirnya mereka tiba di bandara JFK (John F. Kennedy), Jamaica, Queens, Kota New York, Amerika Serikat. Mereka masih menjaga sendi–sendi mereka agar tidak lepas dari asalnya.
April dan Lisa menghirap dalam kerumunan orang yang berlalu–lalang, layaknya aliran air yang melalui lereng terjal. April dan Lisa berputar kayun di seputaran bandara. Lisa terkagum melihat bangunan bandara yang dirancang dengan sangat modern. Struktur beton bertulang dengan bentuk–bentuk ekspresif melengkung yang ekstrim secara mengagumkan menunjukan analogi dari bentuk burung. Ini kali kedua Lisa take off di bandara JFK, sementara April sudah akrab sekali sehingga langkahnya sudah tahu harus ke mana.
Mereka berdua masih terus berjalan, sampai akhirnya terhenti di depan bandara JFK. Sepanjang torehan pijakan mereka yang solid, April sangat aktif terhadap smartphone–nya. Sesekali matanya menoleh ke kanan kiri–memastikan Lisa berada di dekatnya. Sedangkan Lisa lebih mengakurasi setiap wajah yang ada di bandara. Pandangannya semakin korektif ketika melihat cowok–cowok berwajah tampan, berpakaian hip hop seperti t–shirt yang dipadukan snap back.
Kebanyakan cowok yang bergaya suit (work–attire) terlihat seperti para pria usia matang dan pria pebisnis super sibuk yang menggenggam ponsel dan meletakannya ditelinga.
Tak jauh dari keberadaan mereka di depan bandara, ada taxi kuning yang berjejer di tepian, bak perahu berlabuh di tepian pantai. Alex meminta April dan Lisa untuk menunggunya di sana.
Keenan tidak dapat berpartisipasi dalam penjemputan tersebut karena pekerjaannya yang tak bisa ditinggalkan. Ia sudah ada janji dengan beberapa pasiennya di rumah sakit tempat ia bekerja. Jadi dia akan menemui keponakannya setelah pulang bekerja.
Sejak kematian abangnya empat tahun yang lalu, Keenan sudah menganggap April sebagai anak kandungnya sendiri, bahkan saat Rifat masih ada sekalipun. Keenan mengetahui betul bagaimana April tumbuh saat masih tinggal di Saugerties bersamanya. Ia masih ingat ketika jemarinya menatah April belajar berjalan. Menyuapinya saat malam tiba dengan rebusan brokoli dan wortel yang dihaluskan. Dan betapa polosnya April saat menentukan binatang kesukaannya.
Keenan tahu benar rasa sayangnya kepada keponakannya itu. Meski saat April dilahirkan ia sudah terlebih dahulu memiliki seorang anak laki–laki yang berusia tiga tahun lebih tua dari April, yang bernama Alex. Dan Andri dua tahun lebih tua dari Alex kala itu. Mereka menjadi kesatuan yang utuh layaknya bait–bait indah dalam puisi.
Senyuman tersungging dibibirnya, tak ada yang bisa membuat cowok ini bahagia selain apa yang dilihatnya saat ini. Tak ada jejak langkah terburu–buru, hanya ada temu ramah di balik alas sepatunya. Posisinya yang menyerong dan membias dari pandangan, memang sulit ditebak dengan begitu banyaknya pengunjung. Hanya dia yang benar–benar meyakini apa yang dilihat.
Bulu roma berbaring malas pada sebuah tangan seorang cowok. Tangan itu menyentuh dengan euforia, sebuah bahu perempuan sebelah kanan–bahu kecil dan mungil. Lantas, April tersentak dan mengenyahkan tangan cowok itu dengan cepat. Astaga, itu Alex! Dia baru saja tiba. Bagaimana caranya dia mengetahui keberadaan dua gadis ini, sementara mereka saja yang sedari tadi mencari tidak kunjung ketemu.
Mereka saling menyapa dan menanyakan kabar. Tak lupa pelukan hangat mewarnai suasana yang begitu intim. Peluk kerinduan mereka berjatuhan seiring dengan pertemuan ini. Rambut merah kecokelat–cokelatan itu sudah terlihat berbeda sekarang, tampak lebih berantakan dan gondrong. Dan sejak kapan rambut itu berponi–menutupi sebagian keningnya. Oh, bulu mata itu! Terlalu lentik dan indah untuk seorang laki–laki. Kedipannya itu tak kunjung membuat Lisa mengalihkan pandangannya. Lisa tersesat di dalam sana. Pekat dan begitu memikat.
Meski lahir dan besar di Amerika, Alex cukup lancar berbahasa Indonesia. Masa kecilnya yang ia habiskan dengan Andri, tanpa disadari membuatnya belajar bahasa tanah air. Walau ada beberapa kosakata yang tak diketahuinya, tapi untuk bahasa formal dan sehari–hari, ia cukup memahaminya. Keenan, ayah kandungnya, kadang pula berbicara bahasa Indonesia dengannya disetiap kesempatan. Meskipun dialektalnya terdengar memiliki perbedaan struktural dari aksen orang Indonesia tulen.
Dalam perjalanan darat dari bandara JFK menuju Saugerties, tempat tinggal Alex, setidaknya membutuhkan waktu dua jam. Bukan waktu yang sebentar untuk menuju kota bernama Saugerties. Saugerties kota kecil yang berada di sebelah timur laut pusat kota Amerika Serikat. Baik wisatawan domestik maupun mancanegara dari luar Amerika berkunjung ke kota kecil ini. Kota hangat dengan hamparan sawah dan kebun milik penduduk lokal menjadi atraktif tersendiri.
Saugerties juga diapit oleh lembah sungai Hudson dan pegunungan Catskill. Ia menawarkan air murni, kesenian, teater, taman, perbelanjaan, restoran terbaik dan komunitas yang bersahabat. Bukan hanya itu saja, Saugerties memiliki penghijauan yang sangat sensibilitas. Dihidupkan oleh orang–orang kreatif yang mendukung pekerjaan bisnis bersama alam sekitar.
Tidak adanya ingar bingar suara klakson atau tatapan beringas dari pengendara mobil pribadi di Saugerties. Jalanan jarang dilalui kendaraan, sehingga udara masih sangat segar. Berbeda sekali dengan jantung kota New York City yang tersohor dengan kota yang tidak pernah tidur. Lantung–lantung jenis kendaraan pribadi maupun umum memadati jalanan hingga sesak. Penuh dengan gedung pencakar langit
Sesampainya mereka di kediaman Keenan di Livingston Street, tak ada sambutan istimewa untuk mereka. Tak terlihat pula tanda–tanda keberadaan Keenan di dalam rumah.
Mulanya Lisa sangat terkesima dengan rumah–rumah di kota ini. Rumah dengan arsitektur Amerika ini dikenal dengan desain federal. Halaman depan yang tidak terlalu luas, cukup untuk menempatkan satu mobil dan terdapat satu garasi untuk menyimpan mobil yang lain.
Halaman belakang cukup luas untuk bermain trampolin dan bersantai serta bermanja ria disebuah ayunan yang dikaitkan di dua pohon besar. Rumah berbentuk kotak sederhana, dengan susunan pintu dan jendela yang simetris. Pintu masuk rumah berada tepat di bagian tengah rumah. Rumah ini mempunyai jendela yang cukup banyak. Jendela diatur secara simetris di sisi kanan dan kiri pintu masuk rumah. Konfigurasi jendela di rumah ini ada lima di lantai dua dan empat di lantai pertama.
April dan Lisa memerhatikan setiap sudut ruangan. Banyak perubahan di sana sini setelah tidak dikunjingi April empat tahun yang lalu. Cat ruang tamu yang dulunya berwarna abu–abu berubah menjadi medium sea green.
Beberapa barang bertambah, seperti rak buku dan meja modular yang ditaruh satu buah lampu duduk. Ada yang bertambah, pasti ada yang hilang. Televisi tabung sudah berganti dengan televisi LCD yang pipih.
Keenan sudah meminta Alex untuk mengosongkan kamarnya sementara waktu, selama April dan Lisa bermalam satu minggu. Karenanya, Alex untuk sementara waktu harus tidur di kamar adiknya, Zadie. Sebab rumah ini hanya memiliki tiga buah kamar. Tak ada kamar tamu seperti yang dimiliki rumah April di Jakarta. Rumah sederhana yang klasik.
Lisa tidak ingin membuang waktu sedetik pun untuk menganggurkan keberadaan Alex. Ia selalu membuka perbincangan–perbincangan yang aktual dan hangat. Dibumbui dengan banyaknya pertanyaan yang tidak masuk akal darinya. Lisa baru saja menanyakan tempat pangkas rambut yang biasa dikunjungi Alex ketika memotong rambut. Alex menjawab, bahwa ia selalu memangkas rambutnya seorang diri di rumah, bila mengalami kesulitan, dia hanya meminta bantuan daddy–nya. Sesederhana itu, kah? Lisa masih belum bisa memercayai ucapan Alex. Cowok setampan Alex seharusnya menjadikan penampilan itu yang utama. Sudahlah, lupakan tentang pemangkas rambut. Alex akan selalu menjadi yang sempurna di mata Lisa.
April tak menanggapi perbincangan mereka berdua. Dia terbawa dengan keadaan ruang tamu, dengan segala bingkai foto dan pigura yang terpampang di dinding dan meja. Salah satu ilustrasi dari foto yang mewakili kenangannya di masa lampau, tiba–tiba terputar kembali dalam memorinya yang dalam.
Seorang gadis berusia empat tahun sedang berlarian di halaman belakang sebuah rumah. Di sana terdapat danau buatan yang tak terlalu luas. Ia berlari melewati satu buah trampolin yang memantulkan seorang anak laki–laki berusia sembilan tahun–melakukan akrobat di atasnya. Air liurnya menetes dari mulutnya seperti hujan rinai di tengah hari. Air liur itu mengungkapkan rasa takut dan kebahagiannya karena dikejar oleh bocah laki–laki berusia tujuh tahun. Bocah laki–laki itu mengenakan topeng karakter monster yang menakutkan.
Gadis kecil eskapisme yang selalu berilusi mengenai bidadari cantik yang bersemayam di dalam sebuah senter. Dan akan keluar bila senter itu hinggap di matanya. Melihat topeng dengan karakter jahat sontak membuatnya takut. Namun ketakutan itu seperti sebuah ketertarikan yang tidak sampai maknanya. Dia terus berlari menghindari bocah lelaki itu.
April kembali memasuki zaman gadget yang berseliweran di manapun ia berada. Halaman belakang yang hanya menjadi persinggahan rumput liar. Bidadari cantik yang sekarang entah ke mana. Dunia ini bukanlah batas elastik. Ia mencuraikan memori masa lampaunya–memasuki enigma yang eviden. Dunia dan masanya saat ini.
Nyatanya, dia hanya dihadapkan dengan ilustrasi bingkai foto yang terpajang di dinding–diam, bisu, dan pasif. Dekat dengan pigura, sebuah lukisan neoimpresionisme. Foto gadis empat tahun, dirinya, yang memakai dress kembang–kembang, menyeringai ngeri. Di sisi kanannya terdapat Alex, bocah dengan topeng menyeramkannya. Dan di belakang mereka berdua ada Andri yang berdiri di atas trampolin, mengangkat kedua tangannya ke atas.
April tegak bertumpu di ambang pintu halaman belakang. Ia panar ketika melihat halaman belakang yang berbeda dengan apa yang dilihatnya terakhir kali. Trampolin yang sudah ada sejak ia berusia dua tahun dan menjadi ajang akrobat yang mengasikan, sudah tak terlihat lagi sekarang. Trampolin yang dianggap bertuah empat tahun lalu, ke mana perginya ia? "Where is trampoline?" ulangnya kuat.
Alex terlihat berlari menghampiri April. "What's wrong?" diikuti Lisa di belakangnya.
Trampolin itu sudah tiga tahun yang lalu disingkirkan. Kerangkanya sudah ringkih, dan karetnya juga sudah jebol. Sudah tidak bisa digunakan. Lagipula, Alex sudah tidak tertarik bermain trampolin. Dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk membuat film–film pendek bersama teman–temannya untuk di share ke YouTube. Semakin hari, Zadie juga semakin besar. Dia juga sudah meninggalkan trampolin itu sejak tiga tahun yang lalu. Dia mempunyai kegiatan lain yang lebih digemarinya, yakni bermain piano.
April menyayangkan hal itu. Padahal ia ingin sekali melompat di atas trampolin. Dia merindukan masa kanak–kanaknya dengan objek yang pernah disentuhnya dulu. Empat tahun yang lalu, ketika ia berkunjung ke sini pertama kali tanpa kehadiran Ayahnya, dia tak bisa berkutik. Seolah mati rasa. Karena banyak kenangan indah yang tercipta di sini bersama almarhum ayahnya.
Waktu menunjukan pukul tujuh malam. Terdengar suara bising mesin mobil tua yang terhenti di depan halaman rumah. Keenan baru saja pulang bekerja sebagai dokter spesialis bedah di rumah sakit kota Saugerties. Hanya membutuhkan kurang lebih delapan menit perjalanan dari kediamannya jika menaiki mobil. Terhitung sudah belasan tahun Keenan berprofesi sebagai dokter umum. Dan beberapa tahun terakhir ia mendapatkan gelar magister sebagai dokter spesialis bedah dari Universitas New York.
Mulanya Keenan tidak berniat mengambil strata dua di universitas tersebut. Setelah tragedi pahit terjadi sebelas tahun yang lalu, laksana katastrofe–malapetaka besar yang melumpuhkan semangat hidupnya secara mendadak, ibarat pusaran tornado yang meluluhlantakan sebuah rumah dan membawanya pergi ke tempat yang asing dalam keadaan hancur berkeping–keping.
Keenan kehilangan siluet dalam hidupnya, yang selalu ada di saat suka maupun duka. Istrinya meninggal dunia saat melahirkan anak kedua mereka, Zadie. Itu masa–masa di mana dia harus berjuang sendiri mengurus anak kedua tanpa istrinya.
Kehadiran Zadie ketika itu sangat membuat dirinya hancur. Dia tidak menginginkan anak itu tanpa Julia, istrinya. Kejamnya lagi, seminggu setelah Zadie diizinkan pulang dari rumah sakit, Keenan mencoba membunuh anak itu, namun gagal karena Rifat mengetahuinya. Peristiwa itu mengusik Rifat dan Wina, hingga mereka membuat keputusan untuk membawa Zadie ke Indonesia sampai keadaan dan jiwa Keenan membaik. Seperti itulah, Zadie diurus Rifat dan Wina di Indonesia selama dua tahun lamanya. Sampai ketika Keenan mulai menerima Zadie seperti anak kandungnya sendiri, dan ia telah mengikhlaskan apa yang telah terjadi.
Saat Zadie berusia lima tahun, Keenan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S2–nya. Dia jadi lebih fokus pada masa depan kedua anak laki–lakinya. Semenjak itu pula, ia menjadi ayah sekaligus ibu untuk anak–anaknya. Meski lelah, tetapi ia tak pernah mempermasalahkannya.
Sebuah mobil klasik muscle sport tua tahun 70–an sudah terparkir di depan halaman ketika April, Lisa dan Alex tiba diambang pintu. Mobil berwarna hitam pekat mengilap seperti resiknya mata air ini, baru dibeli dua tahun yang lalu di acara pelelangan mobil antik yang diselenggarakan di Colorado. Keenan harus merogoh sakunya lebih dalam untuk memasang harga yang fantastis. Sampai akhirnya, mobil klasik muscle itu jatuh digenggamannya.
April berdecak kagum. Cinta pada pandangan pertama pun muncul. “He has a nice car!” ujar April mengigit lembut bibir bawahnya dengan mata yang mengilat bagaikan berlian.
Kedua sisi ujung jas dokter bergelayut indah tertiup angin. Betapa lagi, jas putih tanpa noda itu terlihat apik dan tidak kumal setelah hampir seharian dikenakan. Keenan mempunyai integritas yang bernilai dari penampilannya, dan itu sangat mencerminkan kepribadian dirinya. Pria bertubuh tinggi lampai tanpa kumis dan cambang bauk ini menyukai hal berbau klasik dan antik. Seleranya tak jauh berbeda dengan April.
“Hai… April, how are you, sweetheart?!” tempik semarai Keenan dengan sangat terbuka dan hangat sehabis membuka bagasi mobilnya. Dia merenggangkan kedua belah tangannya membentuk horizontal. Mengisyaratkan permintaan pelukan hangat dari keponakan menggemaskannya itu. Walau April bukan lagi anak kecil yang dahulu sering ia gendong.
"I'm fine, Om… How about you?”
April memperkenalkan Lisa kepada Keenan. Walaupun sepertinya Keenan sudah tidak asing lagi dengan wajah itu. Yang selalu ada ketika dirinya datang ke Indonesia. Tapi saat itu Keenan tidak begitu mengenal Lisa secara personal. Namun dia tahu betul kalau Lisa itu teman baik April.
Dikesempatan lain, Alex menurunkan semua belanjaan dari dalam mobil dan membawanya ke dalam rumah. April dan Keenan tak menghiraukan kegiatan yang dilakukan Alex, mereka membuat kenangan tersendiri dengan sedikit basa–basi di samping mobil klasik tersebut.
Lisa beberapa kali memandangi Alex yang sibuk bolak–balik mengambil belanjaan. Dia ingin sekali membantu pemuda tampan itu, namun sayangnya April terus melibatkan dirinya dalam perbincangan hangat bersama Keenan. Lisa hanya menunjukan respon yang segan dengan memberikan senyum samarnya kepada Keenan. Setelah itu, senyuman menggodanya lebih tertuju kepada Alex. Sampai ketika Keenan menyadari riak Lisa yang sedikit aneh, terus–terusan memandangi anak sulungnya tersebut dengan penuh ketertarikan.
April mengatakan nada tinggi di awal kalimat untuk memulai sebuah perbincangan yang baru, menyangkut mobil klasik muscle sport milik Keenan. Lima menit kemudian, mereka berdua terhanyut dalam perbincangan itu. Mobil antik itu memiliki pengaruh besar, ia mengerti bagaimana caranya menumbuhkan soliditas antara om dan keponakannya. Hingga Alex menyadarkan mereka berdua dan memintanya untuk melanjutkan di dalam.
Keenan mempersiapkan beberapa makanan untuk dimasak. Sebagai ayah dengan segudang keletihan karena mencari nafkah, Keenan juga mempunyai sisi keibuannya tersendiri. Barangkali animismenya memercayai bahwa roh istrinya telah bersemayam dalam sanubarinya, atau mungkin saja beberapa sifat dari almarhumah istrinya telah menular kepadanya.
"Oh, my God! Grilled chicken...!" semarai Alex penuh kemenangan ketika melihat salah satu menu makan malam favorite–nya.
Lisa kasak–kusuk di telinga April. Mereka sudah terduduk di kursi yang dihadapkan meja makan, menunggu Keenan yang masih sibuk di seberang sana–berjarak lima meter dari meja makan.
"Come on! Go ahead...?!" Keenan mempersilahkan.
Alex mengambil beberapa menu di sana, tak lupa grilled chicken masuk ke dalamnya. April dan Keenan juga sudah mengambil beberapa makanan dan menaruh dipiring kosongnya.
Zadie tak terlihat dalam kebersamaan itu. Tadi pagi, ia baru saja menghadiri perkemahan yang diadakan disekolahnya dan baru akan pulang esok hari. Saat ini Zadie sedang duduk di kelas sekolah menengah pertama. Dia anak yang sangat pendiam, bahkan dengan ayahnya sendiri. Namun ia sangat dekat dengan abangnya, Alex. Selalu saja, apapun yang terjadi pada dirinya, baik suka maupun duka, Zadie selalu menceritakannya kepada Alex.
Makan malam usai, namun Keenan tidak menyudahinya dengan begitu saja. Dia mengeluarkan skillet Lasagna dari oven listriknya dan menghidangkannya di meja. Lisa tampak tergugah dengan makanan yang satu ini.
“Well, apa rencana kalian selama tinggal di sini?” tanya Keenan menyuapkan skillet Lasagna ke mulutnya. “Om harap kalian senang berada di sini.” tambahnya dengan mulut yang masih mengunyah. “Apalagi dia, nih!” tangannya memegang bahu Alex yang sedang minum. “Dia bahagia bukan main saat dapat kabar dari kalian, kalau kalian mau liburan di sini. Seminggu, kan, kalian di sini? Lebih lama juga nggak masalah. Om senang, ada dua wanita cantik di dalam rumah.” katanya tertawa ringan dengan iringan gelengan kepala–menyesali perkataan bodohnya.
Mereka saling tertawa. Dengan refleks Lisa melirik Alex yang tidak sengaja mencuri pandangan.
“Rencananya sih, kita mau liburan di sini. Pengen jelajahin kota Saugerties.” April menenggak air di dalam gelasnya. “Kalau ada waktu banyak, kita mau ke pusatnya kota New York City, Om...” ucapannya terputus karena Lisa.
“Kalau bisa sih, Om ya… Alex yang nemenin kita.” sahut Lisa dengan cepat, lalu tersenyum menggoda kepada Alex.
Permintaannya cukup masuk akal dan tidak begitu membebani. Lagipula, Keenan akan jauh lebih tenang bila ada yang menemani sekaligus menjaga mereka selama pergi ke beberapa tempat wisata di sini. Tambahan pula, Alex juga sudah memasuki libur panjangnya.
Alex bergumam.
“Of course..." nadanya menyiratkan sesuatu. Suara lantangnya seraya letusan petasan yang baru saja disundut.
April dan Lisa menghirap dalam kerumunan orang yang berlalu–lalang, layaknya aliran air yang melalui lereng terjal. April dan Lisa berputar kayun di seputaran bandara. Lisa terkagum melihat bangunan bandara yang dirancang dengan sangat modern. Struktur beton bertulang dengan bentuk–bentuk ekspresif melengkung yang ekstrim secara mengagumkan menunjukan analogi dari bentuk burung. Ini kali kedua Lisa take off di bandara JFK, sementara April sudah akrab sekali sehingga langkahnya sudah tahu harus ke mana.
Mereka berdua masih terus berjalan, sampai akhirnya terhenti di depan bandara JFK. Sepanjang torehan pijakan mereka yang solid, April sangat aktif terhadap smartphone–nya. Sesekali matanya menoleh ke kanan kiri–memastikan Lisa berada di dekatnya. Sedangkan Lisa lebih mengakurasi setiap wajah yang ada di bandara. Pandangannya semakin korektif ketika melihat cowok–cowok berwajah tampan, berpakaian hip hop seperti t–shirt yang dipadukan snap back.
Kebanyakan cowok yang bergaya suit (work–attire) terlihat seperti para pria usia matang dan pria pebisnis super sibuk yang menggenggam ponsel dan meletakannya ditelinga.
Tak jauh dari keberadaan mereka di depan bandara, ada taxi kuning yang berjejer di tepian, bak perahu berlabuh di tepian pantai. Alex meminta April dan Lisa untuk menunggunya di sana.
Keenan tidak dapat berpartisipasi dalam penjemputan tersebut karena pekerjaannya yang tak bisa ditinggalkan. Ia sudah ada janji dengan beberapa pasiennya di rumah sakit tempat ia bekerja. Jadi dia akan menemui keponakannya setelah pulang bekerja.
Sejak kematian abangnya empat tahun yang lalu, Keenan sudah menganggap April sebagai anak kandungnya sendiri, bahkan saat Rifat masih ada sekalipun. Keenan mengetahui betul bagaimana April tumbuh saat masih tinggal di Saugerties bersamanya. Ia masih ingat ketika jemarinya menatah April belajar berjalan. Menyuapinya saat malam tiba dengan rebusan brokoli dan wortel yang dihaluskan. Dan betapa polosnya April saat menentukan binatang kesukaannya.
Keenan tahu benar rasa sayangnya kepada keponakannya itu. Meski saat April dilahirkan ia sudah terlebih dahulu memiliki seorang anak laki–laki yang berusia tiga tahun lebih tua dari April, yang bernama Alex. Dan Andri dua tahun lebih tua dari Alex kala itu. Mereka menjadi kesatuan yang utuh layaknya bait–bait indah dalam puisi.
Senyuman tersungging dibibirnya, tak ada yang bisa membuat cowok ini bahagia selain apa yang dilihatnya saat ini. Tak ada jejak langkah terburu–buru, hanya ada temu ramah di balik alas sepatunya. Posisinya yang menyerong dan membias dari pandangan, memang sulit ditebak dengan begitu banyaknya pengunjung. Hanya dia yang benar–benar meyakini apa yang dilihat.
Bulu roma berbaring malas pada sebuah tangan seorang cowok. Tangan itu menyentuh dengan euforia, sebuah bahu perempuan sebelah kanan–bahu kecil dan mungil. Lantas, April tersentak dan mengenyahkan tangan cowok itu dengan cepat. Astaga, itu Alex! Dia baru saja tiba. Bagaimana caranya dia mengetahui keberadaan dua gadis ini, sementara mereka saja yang sedari tadi mencari tidak kunjung ketemu.
Mereka saling menyapa dan menanyakan kabar. Tak lupa pelukan hangat mewarnai suasana yang begitu intim. Peluk kerinduan mereka berjatuhan seiring dengan pertemuan ini. Rambut merah kecokelat–cokelatan itu sudah terlihat berbeda sekarang, tampak lebih berantakan dan gondrong. Dan sejak kapan rambut itu berponi–menutupi sebagian keningnya. Oh, bulu mata itu! Terlalu lentik dan indah untuk seorang laki–laki. Kedipannya itu tak kunjung membuat Lisa mengalihkan pandangannya. Lisa tersesat di dalam sana. Pekat dan begitu memikat.
Meski lahir dan besar di Amerika, Alex cukup lancar berbahasa Indonesia. Masa kecilnya yang ia habiskan dengan Andri, tanpa disadari membuatnya belajar bahasa tanah air. Walau ada beberapa kosakata yang tak diketahuinya, tapi untuk bahasa formal dan sehari–hari, ia cukup memahaminya. Keenan, ayah kandungnya, kadang pula berbicara bahasa Indonesia dengannya disetiap kesempatan. Meskipun dialektalnya terdengar memiliki perbedaan struktural dari aksen orang Indonesia tulen.
Dalam perjalanan darat dari bandara JFK menuju Saugerties, tempat tinggal Alex, setidaknya membutuhkan waktu dua jam. Bukan waktu yang sebentar untuk menuju kota bernama Saugerties. Saugerties kota kecil yang berada di sebelah timur laut pusat kota Amerika Serikat. Baik wisatawan domestik maupun mancanegara dari luar Amerika berkunjung ke kota kecil ini. Kota hangat dengan hamparan sawah dan kebun milik penduduk lokal menjadi atraktif tersendiri.
Saugerties juga diapit oleh lembah sungai Hudson dan pegunungan Catskill. Ia menawarkan air murni, kesenian, teater, taman, perbelanjaan, restoran terbaik dan komunitas yang bersahabat. Bukan hanya itu saja, Saugerties memiliki penghijauan yang sangat sensibilitas. Dihidupkan oleh orang–orang kreatif yang mendukung pekerjaan bisnis bersama alam sekitar.
Tidak adanya ingar bingar suara klakson atau tatapan beringas dari pengendara mobil pribadi di Saugerties. Jalanan jarang dilalui kendaraan, sehingga udara masih sangat segar. Berbeda sekali dengan jantung kota New York City yang tersohor dengan kota yang tidak pernah tidur. Lantung–lantung jenis kendaraan pribadi maupun umum memadati jalanan hingga sesak. Penuh dengan gedung pencakar langit
Sesampainya mereka di kediaman Keenan di Livingston Street, tak ada sambutan istimewa untuk mereka. Tak terlihat pula tanda–tanda keberadaan Keenan di dalam rumah.
Mulanya Lisa sangat terkesima dengan rumah–rumah di kota ini. Rumah dengan arsitektur Amerika ini dikenal dengan desain federal. Halaman depan yang tidak terlalu luas, cukup untuk menempatkan satu mobil dan terdapat satu garasi untuk menyimpan mobil yang lain.
Halaman belakang cukup luas untuk bermain trampolin dan bersantai serta bermanja ria disebuah ayunan yang dikaitkan di dua pohon besar. Rumah berbentuk kotak sederhana, dengan susunan pintu dan jendela yang simetris. Pintu masuk rumah berada tepat di bagian tengah rumah. Rumah ini mempunyai jendela yang cukup banyak. Jendela diatur secara simetris di sisi kanan dan kiri pintu masuk rumah. Konfigurasi jendela di rumah ini ada lima di lantai dua dan empat di lantai pertama.
April dan Lisa memerhatikan setiap sudut ruangan. Banyak perubahan di sana sini setelah tidak dikunjingi April empat tahun yang lalu. Cat ruang tamu yang dulunya berwarna abu–abu berubah menjadi medium sea green.
Beberapa barang bertambah, seperti rak buku dan meja modular yang ditaruh satu buah lampu duduk. Ada yang bertambah, pasti ada yang hilang. Televisi tabung sudah berganti dengan televisi LCD yang pipih.
Keenan sudah meminta Alex untuk mengosongkan kamarnya sementara waktu, selama April dan Lisa bermalam satu minggu. Karenanya, Alex untuk sementara waktu harus tidur di kamar adiknya, Zadie. Sebab rumah ini hanya memiliki tiga buah kamar. Tak ada kamar tamu seperti yang dimiliki rumah April di Jakarta. Rumah sederhana yang klasik.
Lisa tidak ingin membuang waktu sedetik pun untuk menganggurkan keberadaan Alex. Ia selalu membuka perbincangan–perbincangan yang aktual dan hangat. Dibumbui dengan banyaknya pertanyaan yang tidak masuk akal darinya. Lisa baru saja menanyakan tempat pangkas rambut yang biasa dikunjungi Alex ketika memotong rambut. Alex menjawab, bahwa ia selalu memangkas rambutnya seorang diri di rumah, bila mengalami kesulitan, dia hanya meminta bantuan daddy–nya. Sesederhana itu, kah? Lisa masih belum bisa memercayai ucapan Alex. Cowok setampan Alex seharusnya menjadikan penampilan itu yang utama. Sudahlah, lupakan tentang pemangkas rambut. Alex akan selalu menjadi yang sempurna di mata Lisa.
April tak menanggapi perbincangan mereka berdua. Dia terbawa dengan keadaan ruang tamu, dengan segala bingkai foto dan pigura yang terpampang di dinding dan meja. Salah satu ilustrasi dari foto yang mewakili kenangannya di masa lampau, tiba–tiba terputar kembali dalam memorinya yang dalam.
Seorang gadis berusia empat tahun sedang berlarian di halaman belakang sebuah rumah. Di sana terdapat danau buatan yang tak terlalu luas. Ia berlari melewati satu buah trampolin yang memantulkan seorang anak laki–laki berusia sembilan tahun–melakukan akrobat di atasnya. Air liurnya menetes dari mulutnya seperti hujan rinai di tengah hari. Air liur itu mengungkapkan rasa takut dan kebahagiannya karena dikejar oleh bocah laki–laki berusia tujuh tahun. Bocah laki–laki itu mengenakan topeng karakter monster yang menakutkan.
Gadis kecil eskapisme yang selalu berilusi mengenai bidadari cantik yang bersemayam di dalam sebuah senter. Dan akan keluar bila senter itu hinggap di matanya. Melihat topeng dengan karakter jahat sontak membuatnya takut. Namun ketakutan itu seperti sebuah ketertarikan yang tidak sampai maknanya. Dia terus berlari menghindari bocah lelaki itu.
April kembali memasuki zaman gadget yang berseliweran di manapun ia berada. Halaman belakang yang hanya menjadi persinggahan rumput liar. Bidadari cantik yang sekarang entah ke mana. Dunia ini bukanlah batas elastik. Ia mencuraikan memori masa lampaunya–memasuki enigma yang eviden. Dunia dan masanya saat ini.
Nyatanya, dia hanya dihadapkan dengan ilustrasi bingkai foto yang terpajang di dinding–diam, bisu, dan pasif. Dekat dengan pigura, sebuah lukisan neoimpresionisme. Foto gadis empat tahun, dirinya, yang memakai dress kembang–kembang, menyeringai ngeri. Di sisi kanannya terdapat Alex, bocah dengan topeng menyeramkannya. Dan di belakang mereka berdua ada Andri yang berdiri di atas trampolin, mengangkat kedua tangannya ke atas.
April tegak bertumpu di ambang pintu halaman belakang. Ia panar ketika melihat halaman belakang yang berbeda dengan apa yang dilihatnya terakhir kali. Trampolin yang sudah ada sejak ia berusia dua tahun dan menjadi ajang akrobat yang mengasikan, sudah tak terlihat lagi sekarang. Trampolin yang dianggap bertuah empat tahun lalu, ke mana perginya ia? "Where is trampoline?" ulangnya kuat.
Alex terlihat berlari menghampiri April. "What's wrong?" diikuti Lisa di belakangnya.
Trampolin itu sudah tiga tahun yang lalu disingkirkan. Kerangkanya sudah ringkih, dan karetnya juga sudah jebol. Sudah tidak bisa digunakan. Lagipula, Alex sudah tidak tertarik bermain trampolin. Dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk membuat film–film pendek bersama teman–temannya untuk di share ke YouTube. Semakin hari, Zadie juga semakin besar. Dia juga sudah meninggalkan trampolin itu sejak tiga tahun yang lalu. Dia mempunyai kegiatan lain yang lebih digemarinya, yakni bermain piano.
April menyayangkan hal itu. Padahal ia ingin sekali melompat di atas trampolin. Dia merindukan masa kanak–kanaknya dengan objek yang pernah disentuhnya dulu. Empat tahun yang lalu, ketika ia berkunjung ke sini pertama kali tanpa kehadiran Ayahnya, dia tak bisa berkutik. Seolah mati rasa. Karena banyak kenangan indah yang tercipta di sini bersama almarhum ayahnya.
***
Waktu menunjukan pukul tujuh malam. Terdengar suara bising mesin mobil tua yang terhenti di depan halaman rumah. Keenan baru saja pulang bekerja sebagai dokter spesialis bedah di rumah sakit kota Saugerties. Hanya membutuhkan kurang lebih delapan menit perjalanan dari kediamannya jika menaiki mobil. Terhitung sudah belasan tahun Keenan berprofesi sebagai dokter umum. Dan beberapa tahun terakhir ia mendapatkan gelar magister sebagai dokter spesialis bedah dari Universitas New York.
Mulanya Keenan tidak berniat mengambil strata dua di universitas tersebut. Setelah tragedi pahit terjadi sebelas tahun yang lalu, laksana katastrofe–malapetaka besar yang melumpuhkan semangat hidupnya secara mendadak, ibarat pusaran tornado yang meluluhlantakan sebuah rumah dan membawanya pergi ke tempat yang asing dalam keadaan hancur berkeping–keping.
Keenan kehilangan siluet dalam hidupnya, yang selalu ada di saat suka maupun duka. Istrinya meninggal dunia saat melahirkan anak kedua mereka, Zadie. Itu masa–masa di mana dia harus berjuang sendiri mengurus anak kedua tanpa istrinya.
Kehadiran Zadie ketika itu sangat membuat dirinya hancur. Dia tidak menginginkan anak itu tanpa Julia, istrinya. Kejamnya lagi, seminggu setelah Zadie diizinkan pulang dari rumah sakit, Keenan mencoba membunuh anak itu, namun gagal karena Rifat mengetahuinya. Peristiwa itu mengusik Rifat dan Wina, hingga mereka membuat keputusan untuk membawa Zadie ke Indonesia sampai keadaan dan jiwa Keenan membaik. Seperti itulah, Zadie diurus Rifat dan Wina di Indonesia selama dua tahun lamanya. Sampai ketika Keenan mulai menerima Zadie seperti anak kandungnya sendiri, dan ia telah mengikhlaskan apa yang telah terjadi.
Saat Zadie berusia lima tahun, Keenan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S2–nya. Dia jadi lebih fokus pada masa depan kedua anak laki–lakinya. Semenjak itu pula, ia menjadi ayah sekaligus ibu untuk anak–anaknya. Meski lelah, tetapi ia tak pernah mempermasalahkannya.
Sebuah mobil klasik muscle sport tua tahun 70–an sudah terparkir di depan halaman ketika April, Lisa dan Alex tiba diambang pintu. Mobil berwarna hitam pekat mengilap seperti resiknya mata air ini, baru dibeli dua tahun yang lalu di acara pelelangan mobil antik yang diselenggarakan di Colorado. Keenan harus merogoh sakunya lebih dalam untuk memasang harga yang fantastis. Sampai akhirnya, mobil klasik muscle itu jatuh digenggamannya.
April berdecak kagum. Cinta pada pandangan pertama pun muncul. “He has a nice car!” ujar April mengigit lembut bibir bawahnya dengan mata yang mengilat bagaikan berlian.
Kedua sisi ujung jas dokter bergelayut indah tertiup angin. Betapa lagi, jas putih tanpa noda itu terlihat apik dan tidak kumal setelah hampir seharian dikenakan. Keenan mempunyai integritas yang bernilai dari penampilannya, dan itu sangat mencerminkan kepribadian dirinya. Pria bertubuh tinggi lampai tanpa kumis dan cambang bauk ini menyukai hal berbau klasik dan antik. Seleranya tak jauh berbeda dengan April.
“Hai… April, how are you, sweetheart?!” tempik semarai Keenan dengan sangat terbuka dan hangat sehabis membuka bagasi mobilnya. Dia merenggangkan kedua belah tangannya membentuk horizontal. Mengisyaratkan permintaan pelukan hangat dari keponakan menggemaskannya itu. Walau April bukan lagi anak kecil yang dahulu sering ia gendong.
"I'm fine, Om… How about you?”
April memperkenalkan Lisa kepada Keenan. Walaupun sepertinya Keenan sudah tidak asing lagi dengan wajah itu. Yang selalu ada ketika dirinya datang ke Indonesia. Tapi saat itu Keenan tidak begitu mengenal Lisa secara personal. Namun dia tahu betul kalau Lisa itu teman baik April.
Dikesempatan lain, Alex menurunkan semua belanjaan dari dalam mobil dan membawanya ke dalam rumah. April dan Keenan tak menghiraukan kegiatan yang dilakukan Alex, mereka membuat kenangan tersendiri dengan sedikit basa–basi di samping mobil klasik tersebut.
Lisa beberapa kali memandangi Alex yang sibuk bolak–balik mengambil belanjaan. Dia ingin sekali membantu pemuda tampan itu, namun sayangnya April terus melibatkan dirinya dalam perbincangan hangat bersama Keenan. Lisa hanya menunjukan respon yang segan dengan memberikan senyum samarnya kepada Keenan. Setelah itu, senyuman menggodanya lebih tertuju kepada Alex. Sampai ketika Keenan menyadari riak Lisa yang sedikit aneh, terus–terusan memandangi anak sulungnya tersebut dengan penuh ketertarikan.
April mengatakan nada tinggi di awal kalimat untuk memulai sebuah perbincangan yang baru, menyangkut mobil klasik muscle sport milik Keenan. Lima menit kemudian, mereka berdua terhanyut dalam perbincangan itu. Mobil antik itu memiliki pengaruh besar, ia mengerti bagaimana caranya menumbuhkan soliditas antara om dan keponakannya. Hingga Alex menyadarkan mereka berdua dan memintanya untuk melanjutkan di dalam.
Keenan mempersiapkan beberapa makanan untuk dimasak. Sebagai ayah dengan segudang keletihan karena mencari nafkah, Keenan juga mempunyai sisi keibuannya tersendiri. Barangkali animismenya memercayai bahwa roh istrinya telah bersemayam dalam sanubarinya, atau mungkin saja beberapa sifat dari almarhumah istrinya telah menular kepadanya.
"Oh, my God! Grilled chicken...!" semarai Alex penuh kemenangan ketika melihat salah satu menu makan malam favorite–nya.
Lisa kasak–kusuk di telinga April. Mereka sudah terduduk di kursi yang dihadapkan meja makan, menunggu Keenan yang masih sibuk di seberang sana–berjarak lima meter dari meja makan.
"Come on! Go ahead...?!" Keenan mempersilahkan.
Alex mengambil beberapa menu di sana, tak lupa grilled chicken masuk ke dalamnya. April dan Keenan juga sudah mengambil beberapa makanan dan menaruh dipiring kosongnya.
Zadie tak terlihat dalam kebersamaan itu. Tadi pagi, ia baru saja menghadiri perkemahan yang diadakan disekolahnya dan baru akan pulang esok hari. Saat ini Zadie sedang duduk di kelas sekolah menengah pertama. Dia anak yang sangat pendiam, bahkan dengan ayahnya sendiri. Namun ia sangat dekat dengan abangnya, Alex. Selalu saja, apapun yang terjadi pada dirinya, baik suka maupun duka, Zadie selalu menceritakannya kepada Alex.
Makan malam usai, namun Keenan tidak menyudahinya dengan begitu saja. Dia mengeluarkan skillet Lasagna dari oven listriknya dan menghidangkannya di meja. Lisa tampak tergugah dengan makanan yang satu ini.
“Well, apa rencana kalian selama tinggal di sini?” tanya Keenan menyuapkan skillet Lasagna ke mulutnya. “Om harap kalian senang berada di sini.” tambahnya dengan mulut yang masih mengunyah. “Apalagi dia, nih!” tangannya memegang bahu Alex yang sedang minum. “Dia bahagia bukan main saat dapat kabar dari kalian, kalau kalian mau liburan di sini. Seminggu, kan, kalian di sini? Lebih lama juga nggak masalah. Om senang, ada dua wanita cantik di dalam rumah.” katanya tertawa ringan dengan iringan gelengan kepala–menyesali perkataan bodohnya.
Mereka saling tertawa. Dengan refleks Lisa melirik Alex yang tidak sengaja mencuri pandangan.
“Rencananya sih, kita mau liburan di sini. Pengen jelajahin kota Saugerties.” April menenggak air di dalam gelasnya. “Kalau ada waktu banyak, kita mau ke pusatnya kota New York City, Om...” ucapannya terputus karena Lisa.
“Kalau bisa sih, Om ya… Alex yang nemenin kita.” sahut Lisa dengan cepat, lalu tersenyum menggoda kepada Alex.
Permintaannya cukup masuk akal dan tidak begitu membebani. Lagipula, Keenan akan jauh lebih tenang bila ada yang menemani sekaligus menjaga mereka selama pergi ke beberapa tempat wisata di sini. Tambahan pula, Alex juga sudah memasuki libur panjangnya.
Alex bergumam.
“Of course..." nadanya menyiratkan sesuatu. Suara lantangnya seraya letusan petasan yang baru saja disundut.
0 komentar