Pagi ini, cuaca di Saugerties sangat cerah. Pupa menggedor penuh pekat kantung kepompong, seraya tidak ingin melewatkan hari cerah ini–memegaskan sayap barunya di selongsong udara. Demografi Saugerties yang kurang lebih 4.955 penduduk ini memiliki iklim benua lembab dengan musim panas yang lindap dan teduh.
Pukul 08.00 pagi, Alex, April dan Lisa mencuci mata dan penciuman mereka di perjalanan menuju sekolah Zadie di Junior High School. Arak pagi berhembus dari arah barat, mengiringi gerak langkah mereka ketika tiba di lobi sekolah. Ramainya para murid yang berlalu–lalang di lobi menambah kompleksitas pada penglihatan mereka untuk mencari Zadie. Apalagi Lisa yang melihat semua murid laki–laki di sini berwajah serupa.
Sepasang mata mengawaskan pengelihatannya. Dia celingak–celinguk di depan bus sekolah yang terhenti diparkiran sekitar dua puluh menit yang lalu. Menyandang ransel berwarna hitam dan mengenakan topi berlogo WHO (World Health Organization). April melambaikan tangan kepada bocah laki–laki yang berdiri di parkiran itu–berjarak sembilan yard darinya. Mendadak, Lisa dan Alex menyadari lambaian April dan mengikuti ke mana mata alamat dari lambaian itu.
Mereka bertiga memutuskan untuk menghampiri bocah dua belas tahun yang memiliki rambut berwarna hitam pudar itu, warna rambut yang jauh lebih diferensial dengan Alex. Zadie, begitulah kiranya ia dipanggil. Ia baru saja pulang dari acara perkemahan yang diadakan sekolahnya. Keenan lah yang menjadi pelopor agar Alex menjemput adiknya, sepulangnya ia dari acara perkemahan itu.
"Hai..." senyum April ramah dari jarak tiga kaki.
"April?" ucap Zadie ketika April sudah ada dihadapannya. Suasana terasa canggung. Tak ada sambutan yang antusias dari Zadie. Tersenyum pun tidak. Zadie memang tidak bisa mengungkapkan ekspresinya. Dia cenderung pasif dan introvert. Tidak ceria seperti anak–anak seusianya. Meski dengan orang terdekatnya sekalipun.
April kikuk ketika melihat Zadie yang tak begitu bahagia atas kehadirannya. Ia seperti berada di posisi yang menyulitkan bila dihadapkan oleh bocah artistik itu. Namun karena April begitu rindu dengan Zadie, dia hanya mampu menunjukan perasaan senangnya dengan cara merangkulnya. Ia juga sangat berhati–hati, sebab ia tahu, Zadie tidak begitu suka akan kontak fisik.
Zadie mengingsutkan tangan April yang bertengger pada pundaknya sembari tersenyum samar. April pun mengikutinya dengan baik, membiarkan tangannya disingkirkan, namun ia tak begitu memedulikannya. April masih mencurahkan rasa rindunya itu dengan basa–basi.
Kamera video berkategori handycam bertenggek di sebuah telapak tangan. Siku tangannya bersandar pada bendul jendela mobil. Sesekali, helaian rambut hitam itu menyentuh semua objek yang berkaitan–tertiup hembusan angin dari kaca mobil yang terbuka lebar. April, merekam adegan sepanjang perjalanan di dalam mobil yang melaju lambat. Frame demi frame gambar, tersimpan dalam kamera videonya dengan format digital video.
Zadie yang duduk bersebelahan dengan April di bangku belakang mobil, terdiam membisu menonton layar handycam April yang dipenuhi bulevar, rumah, dan beberapa pepohonan yang tidak dihinggapi dedaunan. Telinganya pun tersumpal dengan headset yang dikenakannya.
"Zee...?" panggilan akrab Alex dan Keenan ketika memanggil Zadie. Dia terdiam beberapa saat menunggu sahutan Zadie. Pandangan matanya terbagi kedua arah. Dia melirik Zadie lagi dari kaca spion, dan dia baru menyadari bahwa Zadie memakai headset di telinganya. Jelas saja bocah itu tuli!
Alex menggemik kepada April, meminta bantuannya untuk menyadarkan Zadie. Sontak tangan April pun langsung menyambar kabel headset Zadie hingga terlepas dari telinganya. April tersenyum jahil melihat ekspresi Zadie yang sinis kepadanya.
"What?"
"Can we lunch first, before go home?"
"Ya."
Velg alloy wheel melingkar pada roda sebuah mobil, radius putarnya 5,4 m–terhenti di sebuah restoran makanan Amerika kontemporer yang berlokasi di Partition Street, Saugerties. Terdapat lima mobil sedan terparkir di depan restoran tersebut. Alex rupanya sudah merencanakan tempat makan siang yang berkelas, namun dengan suasana pedesaan yang indah.
Ketika mereka keluar dari dalam mobil, semua termangu dengan pemikiran yang berbeda–beda. Mereka memandang bangunan formdiable itu bersama. Analisis Lisa berubah menjadi impresi yang meragukan terhadap restoran itu. Apalagi Alex sempat berkata di sampingnya, bahwa restoran ini memiliki kedai minuman/bar dan hotel di dalamnya.
Saat kaki mereka menapak ruangan di dalam restoran, banyak atmosfir Dickensian yang menghalau pintu. Lantainya terlihat bergelimpang dengan struktur ruangan yang luas, yang mana memamerkan kilang angin di atasnya. Enam kasau besar terpasang melintang seolah memberikan nuansa mewah yang dirancang untuk tempat berlindung. Di puncak atap sana, terdapat area tempat makan dengan jendela yang amat besar–menuju mata air terjun di sungai kecil Esopus. Di atas sungai Esopus membentang jembatan pejalan kaki. Ini terlihat seperti snazzy, modern dan dramatik.
Alex membawa mereka ke sisi restoran di lantai dua, di mana terdapat balkon besar yang menyuguhkan pemandangan air terjun sungai Esopus–di kelilingi tebing besar di ujung sana yang menghadap restoran ini. Balkon ini dilindungi pagar besi. Di sini tersedia beberapa kursi dan meja makan. Alex memilih salah satu meja makan, lengkap dengan empat buah kursi yang saling berhadap–hadapan.
"Come on, guys!" Alex mempersilahkan.
Tiba–tiba terdengar suara antusias, penuh minat, dan energetik, bergemuruh. April dan Lisa mengambil ancang–ancang untuk memulai selfie. Menambahkan daftar foto ke dalam smartphone mereka. Dan memamerkannya ke Instagram. Alex ikut senang dengan kebahagian dan keceriaan mereka. Ternyata dia tidak salah memilih tempat.
Saat makan siang berlangsung, April menyarankan Zadie agar ikut ke Lighthouse setelah makan siang. Tidak ada salahnya juga kan, bila Zadie ikut bergabung dan jalan–jalan bersama, lagipula sudah lama sekali rasanya April tidak menghabiskan waktu bersama bocah itu.
“Gue udah bikin list perjalanan untuk hari ini.” pekiknya excited manaruh buku itu di atas meja.
April tidak pernah ketinggalan membawa buku catatan ke mana pun ia pergi. Bahkan saat desak–desakan di dalam angkutan umum, dia sempa–sempatnya mencatat beberapa hal menarik yang dilihatnya.
Lisa mengambilnya, lalu ia melihat dan membacanya dalam hati.
“Kenapa lo nggak cerita sama gue, Pril kalau lo bikin daftar kaya gini?" Lisa masih terfokus membaca daftar perjalanan di buku itu.
"Lo kan, tinggal terima beres doang."
“Okey.” Lisa menutup buka catatan itu dengan ekspresi biasa. Ia bahkan tak tertarik membahas satu per satu daftar perjalanan yang telah ia baca. Yang Lisa tahu, selama perjalanannya ditemani Alex, sudah pasti dia akan senang.
Dengan nada seringan pelampung, April berdehem dan menyudahi makan siangnya.
Saugerties Lighthouse : Parking & Nature Trail Next Right (tanda panah ke kanan)
Di bawahnya ada tambahan,
Overflow Parking: Park perpendicular to fence. (tanda panah ke kanan)
DO NOT parallel park or block drive.
Papan penunjuk itu dikaitkan dengan rantai ikat balok dan kayu kasau usang yang dipancangkan di tanah. Pohon–pohon besar yang rindang juga mengitari tempat tersebut. Mobil mereka terhenti di area parkir. Tempat parkir yang lebih mirip dengan hutan wisata alam ini, hanya terdapat tiga mobil saja. Tempat parkir ini begitu terbuka, tidak ada penjagaan khusus seperti yang biasa ditemukan di mall. Langsung terhubung ke jalan raya–semua tepiannya berderet pohon–pohon besar.
Alex mendekati seorang pria berusia setengah abad. Memiliki rambut kaku yang ditumbuhi uban dan sedikit rambut hitam yang masih tersisa. Pria itu memakai rompi berwarna kuning gading yang lusuh. Pria bernama Eric itu ternyata seorang turis domestik dari Washington. Dia baru saja tiba di parkiran setengah jam yang lalu setelah mengunjungi Lighthouse. Mereka sedikit berbincang di sisi yang berbeda. Terpisah dari April dan Lisa yang sedang mengabadikan momen mereka melalui kamera.
"Hey, guys! Come on!" Alex memanggil April, Lisa dan Zadie yang berdiri di sisi mobil.
Mereka berjalan menghampiri sebuah mading berukuran 2x2 meter. Sebuah papan yang dilapisi kaca tembus pandang, di dalamnya tertempel seperti majalah yang menampilkan gambar disertai tulisan dalam bahasa Inggris. Tak ada pemandu wisata yang dapat menjelaskan semua ini. Namun sekiranya, Alex bisa saja menggantikan pemandu wisata di sini untuk menuju Lighthouse. Alex sudah tiga kali mengunjungi tempat ini bersama daddy, adik dan teman–temannya. Dia juga sudah tahu latarbelakang sejarah Lighthouse. Meskipun agak meragukan, April dan Lisa mencoba mendengarkan Alex berbicara sambil menunjukan tulisan–tulisan di mading itu.
Tepat di sisi kiri mading, berdiri pagar besi kokoh yang membentuk sebuah pintu gerbang–terbagi dua partisi pintu. Seperti pintu untuk memasuki taman wisata alam. Di atas pintu pagar itu tertulis, SAUGERTIES LIGHTHOUSE : Ruth Reynolds Glunt Nature Preserve. Pintu itu mendorong mereka memasuki jalanan setapak di dalam hutan dan hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki. Pantas saja mereka harus memarkirkan mobil di luar sana. Ternyata aksesnya tak memungkinkan mobil memasuki area ini.
"Jalanannya sepi banget, ya... Cuma kita berempat doang. Kok lo nggak cerita sih Pril, kalau tempat wisatanya kaya begini." bulu tengkuknya meremang, sehingga dia menghangatkannya dengan telapak tangan.
Beberapa menit berjalan, mereka menemukan sebuah anak panah yang meminta mereka untuk belok kiri. Walau dihadapan mereka, jalanan setapak itu belum terputus. Mereka pun ditampakkan sebuah arboreal yang sejalan dengan penunjuk anak panah. Tak jauh dari sana, mereka menemukan sebuah jembatan berdiameter satu kaki dengan panjang satu yard–memiliki sandaran tangan di setiap sisinya.
Setelah menempuh setengah mil perjalanan melewati jalan setapak–merenggut mereka ke bawah pohon willow indah dan pohon kapas. Melewati sepanjang genangan dari air pasang, menemui bunga–bunga liar, menghindari biji–biji dari buah berangan Eurasian yang berduri dan bertanduk tajam-berserakan di tanah berlumpur.
Tak jauh, mereka sudah dapat melihat bangunan bergaya arsitektur Italianete dengan titik fokus ketinggian 42 kaki–dilindungi pagar besi setinggi satu meter. Mercusuar yang berada di sungai Hudson bagian utara Saugerties ini di bangun pertama kali pada tahun 1869. Dengan fondasi granit, serta konstruksi batu bata bercorak natural membuat menara suar ini terlihat square, meski dari kejauhan. Tak terlupakan dari khas menara api ini yang memiliki lentera hitam di atas bangunannya.
Saat ini, Lighthouse dikelola oleh sukarelawan dari konservasi Lighthouse, Saugerties dan telah mengalami perbaikan. Yang mana menawarkan tempat penginapan untuk para wisatawan. Musium kecil ini juga masih memajang artefak asli Lighthouse dan tersimpan baik di dalamnya. Lighthouse Saugerties ini terdaftar dalam National Park Service's sebagai salah satu mercusuar bersejarah di New York.
Lisa berlari kearah bangunan Lighthouse, melewati lantai berpapan kayu yang tiangnya menancap ke dasar danau, dengan pembatas tali tambang yang diikat pada tiang yang berdiri tegak sejajar. Alex, April dan Zadie tampak berjalan lebih santai di belakang Lisa, bahkan jarak mereka juga sangat jauh. Lisa berjalan ragu mendekati pintu bangunan tersebut. Lalu dia memandang Alex yang terlihat tertawa dan berfoto ria bersama April dan Zadie. Lisa agak curiga, tampaknya, sedari tadi dia merasa diasingkan oleh mereka bertiga
Lisa ragu memasuki bangunan itu. Dengan prakarsa sendiri, ia berjalan mengelilingi bangunan Saugerties Light ini atau lebih dikenal dengan Saugerties Lighthouse. Di belakang bangunan, ia menemui sebuah dek indah yang dihiasai beberapa kursi di sana untuk duduk bersantai menikmati danau. Lisa memutuskan untuk melepas lelah di sana dan mengabadikan pemandangan yang luar biasa.
Lisa melambaikan tangan kepada Alex dan Zadie yang berjalan ke sisi kiri. Alex terlihat sangat datar dan tidak merespon setiap gerakan perhatian yang diberikan Lisa kepadanya. Senyum pun tidak. Meski Lisa selalu memberikan senyum terbaik dan tulus kepadanya.
Alex terpaksa meninggalkan mereka berdua di Partition Street. Sebab, ia sudah mempunyai acara lain bersama dengan teman–temannya. Lagi pula, ia juga ingin membebaskan dua wanita ini untuk menghabiskan waktu memburu makanan dan barang–barang yang dijual di toko sepanjang jalan Partition Street.
"Pril, Alex marah ya, sama gue?"
April mengambil tas di dalam mobil. Mobil itu terparkir di depan toko sepatu.
Alex memang meminta April untuk membawa mobilnya, dan ia bisa memakai mobil itu sepuasnya. Asalkan mobil itu sampai di rumah dengan selamat. Berhubung rumah teman Alex tidak jauh dari Partition Street, jadi ia hanya perlu menggunakan kakinya sedikit untuk sampai di rumah temannya.
"Nggak tahu, deh."
Lisa merengut. "Lo kenapa sih, berdua? Aneh banget!"
"Kenapa apanya?"
"Lo nggak kaya biasanya." ia tertunduk kecewa, lalu mendongak dengan cepat. Lisa menunduk ke bawah dan tak sengaja menemukan ujung celana jeans–nya yang basah.
Toko–toko di sepanjang jalanan Saugerties didekorasi dengan arsitektur neoklasik yang sederhana. Mereka dipenuhi dengan barang dagangan yang kreatif–beberapa batu cadas dari pantai, serta makanan lezat dan manis. April dan Lisa menemukan rasa yang nyata dan sempurna di Saugerties.
Mereka juga mengunjungi beberapa toko di Partition Street, seperti toko fashion dan busana vintage, perlengkapan rumah, perkakas, cokelat, buku, bingkisan, dan barang antik (tempat yang paling diminati April). Salah satunya, mereka mendapati toko gift unik bernama Rock Star Rodeo (design house and boutique). Dari luar toko itu menyajikan pemandangan etalase yang memamerkan barang yang tidak biasa, yaitu sebuah gitar melodi yang melingkar pada tubuh patung tanpa kepala. Beberapa dress wanita dengan warna colorful. Frame yang tergantung di dinding bagian kiri. Papan bergaya vintage. Dan serbah–serbih barang dan perlengkapan lainnya yang tertempel di semua sudut toko.
Meski April pernah kesini sebelumnya, namun ia masih memiliki antusias dan ketertarikan yang lebih kepada toko ini. Disuapi dengan beberapa barang aneh dan antik. Saat menyentuh barang–barang itu pun, April sedikit berhati–hati. Ia juga menemukan macam–macam aksesoris, ornamentasi, kolase, dan barang antik lainnya yang bersifat dekoratif. Secara elegan toko ini menjual old fashion, dan itu sungguh bernilai baginya. Hitung–hitung April bisa menjualnya lagi di toko milik kakak sepupunya nanti.
"Pril, lo bisa kan ngedit video?" suara itu terdengar sangat lantang di telinga kanan April.
Sepuluh jari anak tangan memegang kemudi mobil. Tangan itu melekat plaid shirt berwarna navy yang dilipat hingga siku. Memakai jam di tangan kirinya. April menerjang aspal jalan yang gelap pekat, namun terselamatkan oleh lampu sorot mobil yang sedang ia kendarai. Waktu menunjukan pukul 11 malam. Mereka sudah puas menghabiskan waktu di Partition Street, Market Street, dan Main Street. April dan Lisa menikmati perjalanan hari ini. Mungkin berkendara mengelilingi kota Saugerties pada malam hari akan memberikan penutup yang indah sebelum kelopak mata benar–benar terpejam.
"Ya... bisa sih. Tapi amatiran." ia mengucek–ngucek matanya. Disertai dengan mulut yang menguap. Tampaknya April mulai mengantuk. Dengan suara yang agak rendah April melanjutkan, "Niatnya sih, pengen gue bikin kaleidoskop gitu videonya."
"Apa tuh?"
Dia agak berseru. "Itu loh. Semacam video singkat." namun kembali seimbang. "Tapi nanti, kalau semua wisata udah kita datangin."
Mereka membisu beberapa saat.
Mobil ini melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan bebas hambatan. Deruan dari mesin mobil ini sangat halus sehingga tak mengganggu kenyamanan perjalanan. Beberapa kali mobil ini melewati deretan perumahan yang terlelap di tengah malam. Rumah yang satu dengan rumah yang lain memiliki jarak yang cukup jauh. Berbeda dengan rumah–rumah di Livingston Street, tempat kediaman Alex. April pun sepertinya tidak tahu dengan nama jalan yang sedang dilewatinya saat ini. Dia hanya terus mengemudi tanpa tahu juntrungannya.
Cahaya bulan yang bersibak oleh gelapnya malam, menuangkan nuansa sengit dalam jantung hati. Lisa mulai resah ketika melihat jalanan semakin sepi. Tak ada kendaraan lain selain mobil mereka. Dan jika tadi mereka masih melewati rumah meski dengan jarak yang cukup jauh, sekarang mereka tidak melihat rumah lagi di kanan kiri jalan.
April menatap segan kepada adimarga yang sepi tak bertepi pandang. Begitu gelap dan menakutkan. Deretan pohon di tepi jalan seolah–olah menyapa mereka tanpa henti. Menatap mereka tajam tanpa keramahan hati. Lisa tidak berani memandang ke depan ataupun ke samping–tidak cukup berani melihat sensasi malam yang menguji keberaniannya.
Lisa beberapa kali memutar video di handycam April untuk meredakan rasa gamangnya akan kegelapan malam. Video dalam format AVI itu mengeluarkan suara April, Lisa dan Alex yang sedang berbincang dan sesekali terdengar gemericik tawa, serta kehebohan yang tiada henti. Menimbulkan rasa menggelitik di perut April dan Lisa. Meski tak seheboh saat pertama kali mereka melihat video tersebut. Sebab dalam perjalanan, Lisa sudah memutarnya belasan
kali. Dan sensasi humornya perlahan pudar.
April menambah akselerasi mobil di atas rata–rata pengendara normal ketika ia diharuskan melewati kawasan menyeramkan itu. Hanya rembulan yang mengiringi perjalanan mereka dari atas sana. Dirinya pun menjadi semakin panik dan was–was saat pandangannya beralih ke sisi kanan dan kiri jalan.
"Pril, pulang yuk! Ini udah jam sebelas lewat. Ngantuk gue!" Lisa mendesah kuat–kuat untuk menghilangkan kesal hatinya. Dia merasa perjalanan ini hanya membuat jantungnya berdebar lebih kuat dan cepat.
Lisa nggak ingat apa ya? begitu kiranya yang dipikirkan April dalam hati. Dia melirik cemas kepada Lisa yang wajahnya merengut. April mulai terlihat kalut dan tidak tenang. Dia menggigit bibirnya sebagai isyarat motorik dari pikirannya yang terlihat susah.
"Mending kita jemput Alex dulu, baru kita pulang."
Tidak tahukah Lisa, bahwa Alex diantar pulang oleh temannya. Alex sendiri yang mengatakannya saat berpisah di Partition Street. Sekarang ini yang dicemaskan April bukan lagi Alex, tetapi nasib dirinya dan Lisa. Sejak memasuki kawasan dengan rumah yang berjarak cukup jauh dari rumah yang lain, April sebenarnya sudah tak tahu sedang berada di mana. Anehnya, April tidak memberitahukan soal itu, dia hanya terus mengemudi dan mengemudi. Berharap menemukan jalan keluar. Hingga mencapai titik jalanan dengan pemandangan hutan yang sunyi ini, April justru semakin merasakan lebih dalam tersesat. Belum lagi, mobil mereka sudah melewati lebih dari lima persimpangan jalan.
"Lo bodoh banget! Kenapa lo nggak bilang dari tadi? Kita kan bisa mutar balik, nggak akan nyasar sejauh ini!" Lisa menggelengkan kepalanya, menandakan bentuk kekecewaannya. "Lo emang nggak ingat tadi belok ke mana aja?"
April hanya terdiam menatap jalanan. Dia menyesal, karena mobil ini tidak dilengkapi GPS. Beberapa detik kemudian, ponselnya berbunyi. April mengangkatnya dengan cepat setelah mengetahui nama penelepon di layar smartphone–nya.
"Halo, Lan? Aku lagi di jalan."
"Di sana bukannya udah jam setengah dua belas malam, ya? Kok kamu masih di jalan? Emang belum sampai rumah juga?" suara di seberang sana terdengar bergetar dan cemas bukan kepalang.
Terakhir kali April menghubungi Ralan itu saat ia makan siang. Dan sejak saat itu mereka tidak saling menelepon lagi. Karena perbedaan waktu yang mereka alami benar–benar membatasi komunikasi mereka melalui sambungan telepon. Apalagi mereka memiliki kegiatan masing–masing dalam lingkup tempat yang berbeda. Jadi mereka lebih sering chatting di Whatsapp dan BBM, meski di balasnya sangat lama.
Dengan kasar Lisa merebut smartphone April yang tertempel di telinganya. Namun April tak terlihat marah, justru wajahnya mendefinisikan kesediaannya agar Lisa menjelaskan apa yang telah terjadi. April tidak ingin jika telinganya yang menjadi imbas kemarahan Ralan. Sudah pasti Ralan akan marah besar mengenai hal ini.
"Gara–gara cewek lo nih, kita berdua jadi nyasar!" Lisa terlihat memaki pada ponsel itu.
"Nyasar gimana? Kok bisa? Terus sekarang kalian di mana? Alex nya mana?"
"Pake nanya lagi di mana. Nggak tahu lah! Udah tahu kita nyasar!"
"Kalian berdua doang apa sama Alex?"
"Jadi tuh, tadi Alex minta diturunin di pinggir jalan, dekat rumah temannya....” dinamika suaranya sangat bersemangat. Rupanya Lisa senang sekali menitikberatkan April dalam masalah ini. April seolah tidak mendengarkan pembicaraan Lisa dengan Ralan.
Ralan tidak bisa berkomentar lagi di telinga Lisa ketika mendengar cerita itu. Dia harus berbicara langsung dengan kekasihnya. Dan meminta Lisa untuk memberikan kembali ponselnya kepada April. Benar saja, waktu ponsel itu berada pada April, April mendapatkan semprotan panas dari mulut Ralan. Namun Ralan tidak ingin menggurui April tanpa memberikan solusi. Ia meminta April untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu. Besar risikonya bila berkendara sambil menelepon.
Sepasang kaki mendapat tumpuan pada aspal jalan yang hitam pekat bagai tinta cumi–cumi. Burai malam membatasi pandangan dalam dinginnya malam. Alex dan Zadie baru saja keluar dari sebuah mobil milik temannya. Mereka baru saja tiba di Livingston Street.. Alex mengucapkan terima kasih kepada seorang laki–laki yang berada di dalam kemudi mobil. Tak lama, mobil itu meninggalkan mereka dengan asap kecil yang keluar dari knalpot mobil–mengimpresif indra pencium Alex dan Zadie. Sehingga Zadie membuang napasnya dengan kuat untuk melepaskan aroma knalpot mobil itu.
Alex menjinjing dua buah goodie bag berukuran sedang dan besar. Ia memberikan beberapa menit waktunya untuk melihat smartphone–nya. Cahaya terang yang memancar dari smartphone itu menyinari wajahnya. Dia tersenyum kecil memandangi layar smartphone tersebut dan menonaktifkan ponselnya. Setelah itu, Alex menaruh kembali ponselnya di saku celana.
Dia dan Zadie berjalan perlahan memasuki rumahnya. Di sisi kanan rumahnya telah terparkir mobil tua milik daddy–nya. Kemungkinan besar Keenan sudah ada di rumah. Dan biasanya, Keenan terlelap pukul 11 malam. Sekarang ini jam sudah menunjukan pukul 11.35 waktu setempat.
Mereka menghampiri sisi kiri rumah, di mana terdapat pintu samping. Entah, pintu itu sudah dikunci atau belum, karena umumnya, Keenan tidak pernah mengunci pintu samping rumahnya kalau Alex belum pulang di bawah jam 12 malam. Ada kemungkinan pintu itu memang belum terkunci, Alex harus memastikannya.
Saat pijakannya menyentuh anak tangga kecil di depan pintu masuk, Alex menutupi kepalanya dengan tudung jaketnya.
Pintu itu tidak terkunci. Efek perlahan–lahan dari pergerakan jemarinya membuka kenop pintu–membungkam pintu itu agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Alex menjulurkan kepalanya dari balik pintu, memastikan tidak ada daddy–nya di sana. Pintu samping menghubungkan dapur dan ruang makan. Dan di sana, rupanya tidak ada siapa–siapa. Sepertinya, daddy–nya memang benar–benar sudah tertidur. Ini kesempatan bagus bagi Alex untuk menyusun rencananya.
Zadie mengikuti Alex dari belakang, namun terpisah saat ia menemukan tangga. Ia berlari menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu, menuju kamarnya.
"Hei...! You don't want to help?" Alex berseru saat melihat Zadie berlari menaiki tangga. Namun Zadie tak menghiraukannya. Ia menggeleng kecil sambil meletakan dua goodie bag di atas meja makan.
Di atas sana, tepatnya ketika Zadie ingin masuk ke kamarnya, ia menjumpai Keenan yang baru saja keluar dari kamarnya. Kiranya Keenan sedang menunggu mereka pulang. Dia tidak mungkin pergi tidur disaat anak–anaknya belum tiba di rumah, belum lagi satu keponakan dan sahabat keponakannya pergi seharian bersama anak–anaknya. Sebagai orangtua yang menaggung budi kepada mereka. Keenan tidak bisa tidur nyenyak tanpa mengetahui kabar dari anak–anak dan keponakannya.
"What time is it?" Keenan menatap tajam dengan suara beratnya.
Bola mata Zadie melirik ke bawah–melihat sepasang kakinya yang terasa mati rasa seraya disuntik pentotal. Ia kembali memandang Keenan dengan lemah, lalu merekatkan bibirnya dalam–dalam karena bingung ingin menjawab apa. Rasanya dia tidak sanggup berbicara, ia hanya butuh istirahat total.
Di dapur–tepat di atas meja makan, Alex masih menyibukkan dirinya dengan isi di dalam goodie bag yang dibawanya. Dia mengeluarkan kotak kecil berpita merah muda dari dalam goodie bag tersebut. Memandanginya, tersenyum puas, lalu meletakkan kotak kecil itu di atas meja. Pandangannya terbagi dua. Kemisteriusan pandangan yang bersifat refleksi itu mengaggetkan dirinya. Dia melihat piyama putih di samping meja makan–tempat di mana ia menaruh kotak kecil tersebut. Alex tahu itu bukanlah hantu penunggu rumah atau penjahat kriminal yang mencoba menodongkan pistol di kepalanya. Siapa yang tidak tahu dia. Keenan si kepala rumah tangga.
"Di mana April dan temannya itu?" sepertinya ini akan menjadi perbincangan yang sengit.
Alex mendongakkan kepalanya, menghadap wajah daddy–nya.
"Let me to make clear...?!"
Tubuh membeku, serasa dicambuk oleh kedinginan dan kegelapan. Diwaktu ini juga mereka harus bijaksana menanganinya. Mobil yang menepi di pinggir jalan, juga tidak dapat memberikan masukan yang cukup berarti. Suara matra di ujung telepon sana masih memecahkan kesunyian ini. Namun tidak benar–benar memecahkan, suara itu bahkan terdengar seperti frekuensi radio dengan pengiriman sinyal elektromagnetik yang buruk. Suara yang keluar dari smartphone itu mengalami gangguan, terputus–putus dan terdengar aneh.
Lisa terus–menerus memekik kepada smartphone April. Ralan menjadi subjek sasaran dari pekikan dan kemarahan itu. Sedangkan di tempat yang berbeda, justru Ralan yang kembali memekik keras hingga suaranya terdengar seperti kaset rusak. April hanya berdiam diri. Ia tidak cukup kuat untuk menimpalinya. Kantuknya sudah menjalar bagai tumbuhan larak.
"Co..ba lo buka goo.. ma..ps, hidupin... –nya..!" suara itu masih terdengar terputus–putus. Sinyal sudah tak bersahabat lagi sekarang.
"Ngomong apa sih lo? Putus–putus!" Lisa terlihat kesal. "Aduh, Alex ke mana ya, kok nggak aktif handphone–nya?!" rengekan itu semakin membuat April muak. "Om Keenan juga nggak bisa dihubungin!"
April menarik napas panjang dan membenarkan posisi duduknya–jauh lebih tegap, semata–mata karena mendengar keributan itu.
Lisa sudah mencoba menghubungi Alex dan Om Keenan berkali–kali, namun ponsel mereka tidak aktif hingga detik ini. Buruknya, April juga tidak hafal nomor telepon rumah om Keenan.
Sinar redup dari kejauhan mengalir seperti cahaya lembayung di langit barat. Ia meresap, mengembang bagai tinta yang tumpah pada kertas putih. Memecah kegelapan, menyinari jalanan beserta mobilnya yang terlihat menepi.
April melirik pada insert mirror atau kaca spion tengah di dalam mobilnya. Cahaya besar itu semakin mendekat. Dia membuka jendela mobilnya dan melihat kaca spion kiri yang berada di luar sana. Terlihat moncong sebuah truk peti kemas di jalanan lurus tanpa kelokkan. Namun lajunya tampak tak meyakinkan ketika mendekati area jalur, di mana mobil April dan Lisa menepi.
Pria paruh baya dengan kumis tebal berwarna merah kecokelatan, terduduk dengan daya yang meragukan. Dia memegang arak di tangan kirinya. Pelupuk matanya terasa berat untuk dinaikan. Seakan pelupuk mata itu ingin membalut bola matanya dengan sangat erat.
Ia tersengguk beberapa kali sambil memaksakan diri agar kemudinya tak jatuh di jalur yang salah. Tetapi dalam keadaan fisik dan mental seperti itu, rasanya tidak cukup meyakinkan. Pengaruh minuman alkohol berdampak sangat buruk. Kemudinya pun tidak seratus persen terkendali dengan baik. Kiranya, dia sudah tak dapat mengendalikan rasa kantuk dan mabuknya itu. Tak lama kemudian, anggukan kepalanya itu membentur kemudi mobilnya–melekatkan dahinya secepat air bah yang tumpah dari tanggul yang jebol.
April melihat kaca spion dalam kembali, pantulan truk peti kemas sudah berjarak lima meter dari mobilnya yang sedang menepi. Firasatnya kali ini sangat matang–sebuah pertanda buruk. Karena panik, dan waktu sudah tak memberikannya kesempatan sedikit pun, April tidak sempat menghidupkan mesin mobilnya yang mati. Bahkan dia tak melihat kunci kontak yang seharusnya tertancap di sana. Dia lupa, di mana kunci mobil itu berada.
Vibrasi suara Lisa masih menggema di dalam mobil. Dia masih bertutur dengan jasad yang tak terlihat.
"Kita harus keluar dari sini!" tempik April kuat–kuat. Lalu membuka pintu mobilnya.
Lisa menoleh ke belakang. Cahaya kuning gading yang tajam, begitu kental menyinari wajahnya. Rasanya, mata ini seperti disengat oleh cahaya tersebut. Smartphone itu tergelincir turun dari telinganya. Sebuah panggilan keras dari mesin mobil terdengar di belakang sana–keras dan menimbulkan rasa takut yang hebat. Lisa seolah menemui malapetaka dalam hidupnya. April berhasil keluar dari dalam mobil. Sayangnya, Lisa tidak. Peringatan April kepada Lisa tercerna jelas di telinga. Namun Lisa tak cukup memahaminya dalam waktu yang begitu singkat. Kepanikan yang luar biasa melumpuhkan daya antisipatif mereka.
Secepat kilat.
BOOM...!!!
Sekonyong–konyong, truk peti kemas dengan tonase 12 ton lebih itu menabrak mobil mereka yang sedang menepi–melaju dengan kecepatan sangat tinggi. Pria paruh baya terkapah–kapah di dalam truk. Kepalanya terbentur beberapa kali di kemudi mobil dengan dentaman yang begitu kuat. Dia panik, hilang akal, gemetar, dan takut. Ia kehilangan kendali dan bingung harus berbuat apa.
Smartphone yang di pegang Lisa seketika tercampak dari genggamannya. Jatuh ke alas kaki karet di dalam mobil. "Halo, Lisa?... April...? Hey, Apa yang terjadi...? Eh, kalian jangan bercanda, ya...!" Tut.. Tut.. Tut... Sambungan terputus.
Lisa tak mengenakan sabuk pengaman ketika truk peti kemas itu menabrak mobilnya. Perangkat Supplemental Restraint System (SRS) Airbag pada mobil tersebut mengembang seirama dengan benturan yang terjadi. Kepala Lisa membentur kantung udara beberapa kali.
Kejadian tersebut terjadi begitu cepat. April yang berhasil keluar dari dalam mobil, rupanya tak lebih beruntung dari Lisa. April tak memiliki waktu melarikan diri untuk menjauhi mobil yang tertabrak tersebut. Memburu selamat yang dilakukannya gagal. Tabrakan tersebut terjadi sangat akut. Layaknya kelereng yang disentil, mobil itu melesat menyenggol tubuh April yang tampak terperanjat. April tertabrak, kepalanya ditubruk kaca mobil depan dengan hebatnya, sebelum akhirnya, tubuhnya memutar hingga terpilin. Terpelanting jatuh sejauh lima meter ke dalam hutan. Telungkup di semak belukar yang bercabang tajam.
Truk peti kemas yang memiliki warna merah orange yang menghiasai kepalanya ini, masih tak terkendali ketika sudah menghantam mobil yang ditumpangi Lisa. Truk tersebut masih menyeret mobil minibus ini sejauh tujuh meter, melesat dan terlempar memasuki hutan yang ditumbuhi semak belukar dan menerobosnya. Seperti tidak ingin meninggalkan jejak misterius di jalan raya sunyi ini. Lalu tak jauh dari hutan yang syarat akan nuansa kepekatan hitam ini, terdapat pohon rindang yang menghentikan laju mobil tersebut. Truk peti kemas mengiringi mobil yang ditumpangi Lisa.
Saat itu juga, atmosfer menjadi bisu. Embun halus yang berputar seperti asap pada malam hari, mengiringi duka malam itu. Keruhnya malam seperti menyembunyikan malapetaka yang terjadi. Angin bergelayut di sekujur tubuh yang terdiam. Hanya meninggalkan asap putih yang berkibar di sekitar mobil yang telah tertabrak. Truk peti kemas itu sudah terdiam sekarang, di belakang mobil yang terdapat Lisa di dalamnya. Bagian depannya sudah tak berbentuk seperti wajah truk–remuk bagaikan barang usang. Besinya menganga layaknya orang yang menyeringai kesakitan.
Sementara itu, mobil yang ditumpangi Lisa masih mengeluarkan asap dari mesin mobil. Oh, tidak. Jangan bertanya. Separuh mobil itu remuk redam–di bagian belakang mobil yang meliputi kursi belakang. Tabrakan ini begitu kuat hingga melenyapkan bagian belakang kursi mobil. Roda belakang mobil pun sudah tidak tersangkut sebagaimana mestinya. Kerangka belakang sudah berubah menjadi lempengan besi yang berlipat–lipat layaknya uang kertas. Bagian depan mobil, khususnya mesin mobil, menganga dan mengeluarkan asap. Lampu mobil hancur, meninggalkan serpihan di tanah. Syukurlah, area kemudi mobil masih utuh–tempat di mana Lisa berada.
Pukul 08.00 pagi, Alex, April dan Lisa mencuci mata dan penciuman mereka di perjalanan menuju sekolah Zadie di Junior High School. Arak pagi berhembus dari arah barat, mengiringi gerak langkah mereka ketika tiba di lobi sekolah. Ramainya para murid yang berlalu–lalang di lobi menambah kompleksitas pada penglihatan mereka untuk mencari Zadie. Apalagi Lisa yang melihat semua murid laki–laki di sini berwajah serupa.
Sepasang mata mengawaskan pengelihatannya. Dia celingak–celinguk di depan bus sekolah yang terhenti diparkiran sekitar dua puluh menit yang lalu. Menyandang ransel berwarna hitam dan mengenakan topi berlogo WHO (World Health Organization). April melambaikan tangan kepada bocah laki–laki yang berdiri di parkiran itu–berjarak sembilan yard darinya. Mendadak, Lisa dan Alex menyadari lambaian April dan mengikuti ke mana mata alamat dari lambaian itu.
Mereka bertiga memutuskan untuk menghampiri bocah dua belas tahun yang memiliki rambut berwarna hitam pudar itu, warna rambut yang jauh lebih diferensial dengan Alex. Zadie, begitulah kiranya ia dipanggil. Ia baru saja pulang dari acara perkemahan yang diadakan sekolahnya. Keenan lah yang menjadi pelopor agar Alex menjemput adiknya, sepulangnya ia dari acara perkemahan itu.
"Hai..." senyum April ramah dari jarak tiga kaki.
"April?" ucap Zadie ketika April sudah ada dihadapannya. Suasana terasa canggung. Tak ada sambutan yang antusias dari Zadie. Tersenyum pun tidak. Zadie memang tidak bisa mengungkapkan ekspresinya. Dia cenderung pasif dan introvert. Tidak ceria seperti anak–anak seusianya. Meski dengan orang terdekatnya sekalipun.
April kikuk ketika melihat Zadie yang tak begitu bahagia atas kehadirannya. Ia seperti berada di posisi yang menyulitkan bila dihadapkan oleh bocah artistik itu. Namun karena April begitu rindu dengan Zadie, dia hanya mampu menunjukan perasaan senangnya dengan cara merangkulnya. Ia juga sangat berhati–hati, sebab ia tahu, Zadie tidak begitu suka akan kontak fisik.
Zadie mengingsutkan tangan April yang bertengger pada pundaknya sembari tersenyum samar. April pun mengikutinya dengan baik, membiarkan tangannya disingkirkan, namun ia tak begitu memedulikannya. April masih mencurahkan rasa rindunya itu dengan basa–basi.
Kamera video berkategori handycam bertenggek di sebuah telapak tangan. Siku tangannya bersandar pada bendul jendela mobil. Sesekali, helaian rambut hitam itu menyentuh semua objek yang berkaitan–tertiup hembusan angin dari kaca mobil yang terbuka lebar. April, merekam adegan sepanjang perjalanan di dalam mobil yang melaju lambat. Frame demi frame gambar, tersimpan dalam kamera videonya dengan format digital video.
Zadie yang duduk bersebelahan dengan April di bangku belakang mobil, terdiam membisu menonton layar handycam April yang dipenuhi bulevar, rumah, dan beberapa pepohonan yang tidak dihinggapi dedaunan. Telinganya pun tersumpal dengan headset yang dikenakannya.
"Zee...?" panggilan akrab Alex dan Keenan ketika memanggil Zadie. Dia terdiam beberapa saat menunggu sahutan Zadie. Pandangan matanya terbagi kedua arah. Dia melirik Zadie lagi dari kaca spion, dan dia baru menyadari bahwa Zadie memakai headset di telinganya. Jelas saja bocah itu tuli!
Alex menggemik kepada April, meminta bantuannya untuk menyadarkan Zadie. Sontak tangan April pun langsung menyambar kabel headset Zadie hingga terlepas dari telinganya. April tersenyum jahil melihat ekspresi Zadie yang sinis kepadanya.
"What?"
"Can we lunch first, before go home?"
"Ya."
Velg alloy wheel melingkar pada roda sebuah mobil, radius putarnya 5,4 m–terhenti di sebuah restoran makanan Amerika kontemporer yang berlokasi di Partition Street, Saugerties. Terdapat lima mobil sedan terparkir di depan restoran tersebut. Alex rupanya sudah merencanakan tempat makan siang yang berkelas, namun dengan suasana pedesaan yang indah.
Ketika mereka keluar dari dalam mobil, semua termangu dengan pemikiran yang berbeda–beda. Mereka memandang bangunan formdiable itu bersama. Analisis Lisa berubah menjadi impresi yang meragukan terhadap restoran itu. Apalagi Alex sempat berkata di sampingnya, bahwa restoran ini memiliki kedai minuman/bar dan hotel di dalamnya.
Saat kaki mereka menapak ruangan di dalam restoran, banyak atmosfir Dickensian yang menghalau pintu. Lantainya terlihat bergelimpang dengan struktur ruangan yang luas, yang mana memamerkan kilang angin di atasnya. Enam kasau besar terpasang melintang seolah memberikan nuansa mewah yang dirancang untuk tempat berlindung. Di puncak atap sana, terdapat area tempat makan dengan jendela yang amat besar–menuju mata air terjun di sungai kecil Esopus. Di atas sungai Esopus membentang jembatan pejalan kaki. Ini terlihat seperti snazzy, modern dan dramatik.
Alex membawa mereka ke sisi restoran di lantai dua, di mana terdapat balkon besar yang menyuguhkan pemandangan air terjun sungai Esopus–di kelilingi tebing besar di ujung sana yang menghadap restoran ini. Balkon ini dilindungi pagar besi. Di sini tersedia beberapa kursi dan meja makan. Alex memilih salah satu meja makan, lengkap dengan empat buah kursi yang saling berhadap–hadapan.
"Come on, guys!" Alex mempersilahkan.
Tiba–tiba terdengar suara antusias, penuh minat, dan energetik, bergemuruh. April dan Lisa mengambil ancang–ancang untuk memulai selfie. Menambahkan daftar foto ke dalam smartphone mereka. Dan memamerkannya ke Instagram. Alex ikut senang dengan kebahagian dan keceriaan mereka. Ternyata dia tidak salah memilih tempat.
Saat makan siang berlangsung, April menyarankan Zadie agar ikut ke Lighthouse setelah makan siang. Tidak ada salahnya juga kan, bila Zadie ikut bergabung dan jalan–jalan bersama, lagipula sudah lama sekali rasanya April tidak menghabiskan waktu bersama bocah itu.
“Gue udah bikin list perjalanan untuk hari ini.” pekiknya excited manaruh buku itu di atas meja.
April tidak pernah ketinggalan membawa buku catatan ke mana pun ia pergi. Bahkan saat desak–desakan di dalam angkutan umum, dia sempa–sempatnya mencatat beberapa hal menarik yang dilihatnya.
Lisa mengambilnya, lalu ia melihat dan membacanya dalam hati.
“Kenapa lo nggak cerita sama gue, Pril kalau lo bikin daftar kaya gini?" Lisa masih terfokus membaca daftar perjalanan di buku itu.
"Lo kan, tinggal terima beres doang."
“Okey.” Lisa menutup buka catatan itu dengan ekspresi biasa. Ia bahkan tak tertarik membahas satu per satu daftar perjalanan yang telah ia baca. Yang Lisa tahu, selama perjalanannya ditemani Alex, sudah pasti dia akan senang.
Dengan nada seringan pelampung, April berdehem dan menyudahi makan siangnya.
***
Saugerties Lighthouse : Parking & Nature Trail Next Right (tanda panah ke kanan)
Di bawahnya ada tambahan,
Overflow Parking: Park perpendicular to fence. (tanda panah ke kanan)
DO NOT parallel park or block drive.
Papan penunjuk itu dikaitkan dengan rantai ikat balok dan kayu kasau usang yang dipancangkan di tanah. Pohon–pohon besar yang rindang juga mengitari tempat tersebut. Mobil mereka terhenti di area parkir. Tempat parkir yang lebih mirip dengan hutan wisata alam ini, hanya terdapat tiga mobil saja. Tempat parkir ini begitu terbuka, tidak ada penjagaan khusus seperti yang biasa ditemukan di mall. Langsung terhubung ke jalan raya–semua tepiannya berderet pohon–pohon besar.
Alex mendekati seorang pria berusia setengah abad. Memiliki rambut kaku yang ditumbuhi uban dan sedikit rambut hitam yang masih tersisa. Pria itu memakai rompi berwarna kuning gading yang lusuh. Pria bernama Eric itu ternyata seorang turis domestik dari Washington. Dia baru saja tiba di parkiran setengah jam yang lalu setelah mengunjungi Lighthouse. Mereka sedikit berbincang di sisi yang berbeda. Terpisah dari April dan Lisa yang sedang mengabadikan momen mereka melalui kamera.
"Hey, guys! Come on!" Alex memanggil April, Lisa dan Zadie yang berdiri di sisi mobil.
Mereka berjalan menghampiri sebuah mading berukuran 2x2 meter. Sebuah papan yang dilapisi kaca tembus pandang, di dalamnya tertempel seperti majalah yang menampilkan gambar disertai tulisan dalam bahasa Inggris. Tak ada pemandu wisata yang dapat menjelaskan semua ini. Namun sekiranya, Alex bisa saja menggantikan pemandu wisata di sini untuk menuju Lighthouse. Alex sudah tiga kali mengunjungi tempat ini bersama daddy, adik dan teman–temannya. Dia juga sudah tahu latarbelakang sejarah Lighthouse. Meskipun agak meragukan, April dan Lisa mencoba mendengarkan Alex berbicara sambil menunjukan tulisan–tulisan di mading itu.
Tepat di sisi kiri mading, berdiri pagar besi kokoh yang membentuk sebuah pintu gerbang–terbagi dua partisi pintu. Seperti pintu untuk memasuki taman wisata alam. Di atas pintu pagar itu tertulis, SAUGERTIES LIGHTHOUSE : Ruth Reynolds Glunt Nature Preserve. Pintu itu mendorong mereka memasuki jalanan setapak di dalam hutan dan hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki. Pantas saja mereka harus memarkirkan mobil di luar sana. Ternyata aksesnya tak memungkinkan mobil memasuki area ini.
"Jalanannya sepi banget, ya... Cuma kita berempat doang. Kok lo nggak cerita sih Pril, kalau tempat wisatanya kaya begini." bulu tengkuknya meremang, sehingga dia menghangatkannya dengan telapak tangan.
Beberapa menit berjalan, mereka menemukan sebuah anak panah yang meminta mereka untuk belok kiri. Walau dihadapan mereka, jalanan setapak itu belum terputus. Mereka pun ditampakkan sebuah arboreal yang sejalan dengan penunjuk anak panah. Tak jauh dari sana, mereka menemukan sebuah jembatan berdiameter satu kaki dengan panjang satu yard–memiliki sandaran tangan di setiap sisinya.
Setelah menempuh setengah mil perjalanan melewati jalan setapak–merenggut mereka ke bawah pohon willow indah dan pohon kapas. Melewati sepanjang genangan dari air pasang, menemui bunga–bunga liar, menghindari biji–biji dari buah berangan Eurasian yang berduri dan bertanduk tajam-berserakan di tanah berlumpur.
Tak jauh, mereka sudah dapat melihat bangunan bergaya arsitektur Italianete dengan titik fokus ketinggian 42 kaki–dilindungi pagar besi setinggi satu meter. Mercusuar yang berada di sungai Hudson bagian utara Saugerties ini di bangun pertama kali pada tahun 1869. Dengan fondasi granit, serta konstruksi batu bata bercorak natural membuat menara suar ini terlihat square, meski dari kejauhan. Tak terlupakan dari khas menara api ini yang memiliki lentera hitam di atas bangunannya.
Saat ini, Lighthouse dikelola oleh sukarelawan dari konservasi Lighthouse, Saugerties dan telah mengalami perbaikan. Yang mana menawarkan tempat penginapan untuk para wisatawan. Musium kecil ini juga masih memajang artefak asli Lighthouse dan tersimpan baik di dalamnya. Lighthouse Saugerties ini terdaftar dalam National Park Service's sebagai salah satu mercusuar bersejarah di New York.
Lisa berlari kearah bangunan Lighthouse, melewati lantai berpapan kayu yang tiangnya menancap ke dasar danau, dengan pembatas tali tambang yang diikat pada tiang yang berdiri tegak sejajar. Alex, April dan Zadie tampak berjalan lebih santai di belakang Lisa, bahkan jarak mereka juga sangat jauh. Lisa berjalan ragu mendekati pintu bangunan tersebut. Lalu dia memandang Alex yang terlihat tertawa dan berfoto ria bersama April dan Zadie. Lisa agak curiga, tampaknya, sedari tadi dia merasa diasingkan oleh mereka bertiga
Lisa ragu memasuki bangunan itu. Dengan prakarsa sendiri, ia berjalan mengelilingi bangunan Saugerties Light ini atau lebih dikenal dengan Saugerties Lighthouse. Di belakang bangunan, ia menemui sebuah dek indah yang dihiasai beberapa kursi di sana untuk duduk bersantai menikmati danau. Lisa memutuskan untuk melepas lelah di sana dan mengabadikan pemandangan yang luar biasa.
***
Lisa melambaikan tangan kepada Alex dan Zadie yang berjalan ke sisi kiri. Alex terlihat sangat datar dan tidak merespon setiap gerakan perhatian yang diberikan Lisa kepadanya. Senyum pun tidak. Meski Lisa selalu memberikan senyum terbaik dan tulus kepadanya.
Alex terpaksa meninggalkan mereka berdua di Partition Street. Sebab, ia sudah mempunyai acara lain bersama dengan teman–temannya. Lagi pula, ia juga ingin membebaskan dua wanita ini untuk menghabiskan waktu memburu makanan dan barang–barang yang dijual di toko sepanjang jalan Partition Street.
"Pril, Alex marah ya, sama gue?"
April mengambil tas di dalam mobil. Mobil itu terparkir di depan toko sepatu.
Alex memang meminta April untuk membawa mobilnya, dan ia bisa memakai mobil itu sepuasnya. Asalkan mobil itu sampai di rumah dengan selamat. Berhubung rumah teman Alex tidak jauh dari Partition Street, jadi ia hanya perlu menggunakan kakinya sedikit untuk sampai di rumah temannya.
"Nggak tahu, deh."
Lisa merengut. "Lo kenapa sih, berdua? Aneh banget!"
"Kenapa apanya?"
"Lo nggak kaya biasanya." ia tertunduk kecewa, lalu mendongak dengan cepat. Lisa menunduk ke bawah dan tak sengaja menemukan ujung celana jeans–nya yang basah.
Toko–toko di sepanjang jalanan Saugerties didekorasi dengan arsitektur neoklasik yang sederhana. Mereka dipenuhi dengan barang dagangan yang kreatif–beberapa batu cadas dari pantai, serta makanan lezat dan manis. April dan Lisa menemukan rasa yang nyata dan sempurna di Saugerties.
Mereka juga mengunjungi beberapa toko di Partition Street, seperti toko fashion dan busana vintage, perlengkapan rumah, perkakas, cokelat, buku, bingkisan, dan barang antik (tempat yang paling diminati April). Salah satunya, mereka mendapati toko gift unik bernama Rock Star Rodeo (design house and boutique). Dari luar toko itu menyajikan pemandangan etalase yang memamerkan barang yang tidak biasa, yaitu sebuah gitar melodi yang melingkar pada tubuh patung tanpa kepala. Beberapa dress wanita dengan warna colorful. Frame yang tergantung di dinding bagian kiri. Papan bergaya vintage. Dan serbah–serbih barang dan perlengkapan lainnya yang tertempel di semua sudut toko.
Meski April pernah kesini sebelumnya, namun ia masih memiliki antusias dan ketertarikan yang lebih kepada toko ini. Disuapi dengan beberapa barang aneh dan antik. Saat menyentuh barang–barang itu pun, April sedikit berhati–hati. Ia juga menemukan macam–macam aksesoris, ornamentasi, kolase, dan barang antik lainnya yang bersifat dekoratif. Secara elegan toko ini menjual old fashion, dan itu sungguh bernilai baginya. Hitung–hitung April bisa menjualnya lagi di toko milik kakak sepupunya nanti.
"Pril, lo bisa kan ngedit video?" suara itu terdengar sangat lantang di telinga kanan April.
Sepuluh jari anak tangan memegang kemudi mobil. Tangan itu melekat plaid shirt berwarna navy yang dilipat hingga siku. Memakai jam di tangan kirinya. April menerjang aspal jalan yang gelap pekat, namun terselamatkan oleh lampu sorot mobil yang sedang ia kendarai. Waktu menunjukan pukul 11 malam. Mereka sudah puas menghabiskan waktu di Partition Street, Market Street, dan Main Street. April dan Lisa menikmati perjalanan hari ini. Mungkin berkendara mengelilingi kota Saugerties pada malam hari akan memberikan penutup yang indah sebelum kelopak mata benar–benar terpejam.
"Ya... bisa sih. Tapi amatiran." ia mengucek–ngucek matanya. Disertai dengan mulut yang menguap. Tampaknya April mulai mengantuk. Dengan suara yang agak rendah April melanjutkan, "Niatnya sih, pengen gue bikin kaleidoskop gitu videonya."
"Apa tuh?"
Dia agak berseru. "Itu loh. Semacam video singkat." namun kembali seimbang. "Tapi nanti, kalau semua wisata udah kita datangin."
Mereka membisu beberapa saat.
Mobil ini melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan bebas hambatan. Deruan dari mesin mobil ini sangat halus sehingga tak mengganggu kenyamanan perjalanan. Beberapa kali mobil ini melewati deretan perumahan yang terlelap di tengah malam. Rumah yang satu dengan rumah yang lain memiliki jarak yang cukup jauh. Berbeda dengan rumah–rumah di Livingston Street, tempat kediaman Alex. April pun sepertinya tidak tahu dengan nama jalan yang sedang dilewatinya saat ini. Dia hanya terus mengemudi tanpa tahu juntrungannya.
Cahaya bulan yang bersibak oleh gelapnya malam, menuangkan nuansa sengit dalam jantung hati. Lisa mulai resah ketika melihat jalanan semakin sepi. Tak ada kendaraan lain selain mobil mereka. Dan jika tadi mereka masih melewati rumah meski dengan jarak yang cukup jauh, sekarang mereka tidak melihat rumah lagi di kanan kiri jalan.
April menatap segan kepada adimarga yang sepi tak bertepi pandang. Begitu gelap dan menakutkan. Deretan pohon di tepi jalan seolah–olah menyapa mereka tanpa henti. Menatap mereka tajam tanpa keramahan hati. Lisa tidak berani memandang ke depan ataupun ke samping–tidak cukup berani melihat sensasi malam yang menguji keberaniannya.
Lisa beberapa kali memutar video di handycam April untuk meredakan rasa gamangnya akan kegelapan malam. Video dalam format AVI itu mengeluarkan suara April, Lisa dan Alex yang sedang berbincang dan sesekali terdengar gemericik tawa, serta kehebohan yang tiada henti. Menimbulkan rasa menggelitik di perut April dan Lisa. Meski tak seheboh saat pertama kali mereka melihat video tersebut. Sebab dalam perjalanan, Lisa sudah memutarnya belasan
kali. Dan sensasi humornya perlahan pudar.
April menambah akselerasi mobil di atas rata–rata pengendara normal ketika ia diharuskan melewati kawasan menyeramkan itu. Hanya rembulan yang mengiringi perjalanan mereka dari atas sana. Dirinya pun menjadi semakin panik dan was–was saat pandangannya beralih ke sisi kanan dan kiri jalan.
"Pril, pulang yuk! Ini udah jam sebelas lewat. Ngantuk gue!" Lisa mendesah kuat–kuat untuk menghilangkan kesal hatinya. Dia merasa perjalanan ini hanya membuat jantungnya berdebar lebih kuat dan cepat.
Lisa nggak ingat apa ya? begitu kiranya yang dipikirkan April dalam hati. Dia melirik cemas kepada Lisa yang wajahnya merengut. April mulai terlihat kalut dan tidak tenang. Dia menggigit bibirnya sebagai isyarat motorik dari pikirannya yang terlihat susah.
"Mending kita jemput Alex dulu, baru kita pulang."
Tidak tahukah Lisa, bahwa Alex diantar pulang oleh temannya. Alex sendiri yang mengatakannya saat berpisah di Partition Street. Sekarang ini yang dicemaskan April bukan lagi Alex, tetapi nasib dirinya dan Lisa. Sejak memasuki kawasan dengan rumah yang berjarak cukup jauh dari rumah yang lain, April sebenarnya sudah tak tahu sedang berada di mana. Anehnya, April tidak memberitahukan soal itu, dia hanya terus mengemudi dan mengemudi. Berharap menemukan jalan keluar. Hingga mencapai titik jalanan dengan pemandangan hutan yang sunyi ini, April justru semakin merasakan lebih dalam tersesat. Belum lagi, mobil mereka sudah melewati lebih dari lima persimpangan jalan.
"Lo bodoh banget! Kenapa lo nggak bilang dari tadi? Kita kan bisa mutar balik, nggak akan nyasar sejauh ini!" Lisa menggelengkan kepalanya, menandakan bentuk kekecewaannya. "Lo emang nggak ingat tadi belok ke mana aja?"
April hanya terdiam menatap jalanan. Dia menyesal, karena mobil ini tidak dilengkapi GPS. Beberapa detik kemudian, ponselnya berbunyi. April mengangkatnya dengan cepat setelah mengetahui nama penelepon di layar smartphone–nya.
"Halo, Lan? Aku lagi di jalan."
"Di sana bukannya udah jam setengah dua belas malam, ya? Kok kamu masih di jalan? Emang belum sampai rumah juga?" suara di seberang sana terdengar bergetar dan cemas bukan kepalang.
Terakhir kali April menghubungi Ralan itu saat ia makan siang. Dan sejak saat itu mereka tidak saling menelepon lagi. Karena perbedaan waktu yang mereka alami benar–benar membatasi komunikasi mereka melalui sambungan telepon. Apalagi mereka memiliki kegiatan masing–masing dalam lingkup tempat yang berbeda. Jadi mereka lebih sering chatting di Whatsapp dan BBM, meski di balasnya sangat lama.
Dengan kasar Lisa merebut smartphone April yang tertempel di telinganya. Namun April tak terlihat marah, justru wajahnya mendefinisikan kesediaannya agar Lisa menjelaskan apa yang telah terjadi. April tidak ingin jika telinganya yang menjadi imbas kemarahan Ralan. Sudah pasti Ralan akan marah besar mengenai hal ini.
"Gara–gara cewek lo nih, kita berdua jadi nyasar!" Lisa terlihat memaki pada ponsel itu.
"Nyasar gimana? Kok bisa? Terus sekarang kalian di mana? Alex nya mana?"
"Pake nanya lagi di mana. Nggak tahu lah! Udah tahu kita nyasar!"
"Kalian berdua doang apa sama Alex?"
"Jadi tuh, tadi Alex minta diturunin di pinggir jalan, dekat rumah temannya....” dinamika suaranya sangat bersemangat. Rupanya Lisa senang sekali menitikberatkan April dalam masalah ini. April seolah tidak mendengarkan pembicaraan Lisa dengan Ralan.
Ralan tidak bisa berkomentar lagi di telinga Lisa ketika mendengar cerita itu. Dia harus berbicara langsung dengan kekasihnya. Dan meminta Lisa untuk memberikan kembali ponselnya kepada April. Benar saja, waktu ponsel itu berada pada April, April mendapatkan semprotan panas dari mulut Ralan. Namun Ralan tidak ingin menggurui April tanpa memberikan solusi. Ia meminta April untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu. Besar risikonya bila berkendara sambil menelepon.
***
Sepasang kaki mendapat tumpuan pada aspal jalan yang hitam pekat bagai tinta cumi–cumi. Burai malam membatasi pandangan dalam dinginnya malam. Alex dan Zadie baru saja keluar dari sebuah mobil milik temannya. Mereka baru saja tiba di Livingston Street.. Alex mengucapkan terima kasih kepada seorang laki–laki yang berada di dalam kemudi mobil. Tak lama, mobil itu meninggalkan mereka dengan asap kecil yang keluar dari knalpot mobil–mengimpresif indra pencium Alex dan Zadie. Sehingga Zadie membuang napasnya dengan kuat untuk melepaskan aroma knalpot mobil itu.
Alex menjinjing dua buah goodie bag berukuran sedang dan besar. Ia memberikan beberapa menit waktunya untuk melihat smartphone–nya. Cahaya terang yang memancar dari smartphone itu menyinari wajahnya. Dia tersenyum kecil memandangi layar smartphone tersebut dan menonaktifkan ponselnya. Setelah itu, Alex menaruh kembali ponselnya di saku celana.
Dia dan Zadie berjalan perlahan memasuki rumahnya. Di sisi kanan rumahnya telah terparkir mobil tua milik daddy–nya. Kemungkinan besar Keenan sudah ada di rumah. Dan biasanya, Keenan terlelap pukul 11 malam. Sekarang ini jam sudah menunjukan pukul 11.35 waktu setempat.
Mereka menghampiri sisi kiri rumah, di mana terdapat pintu samping. Entah, pintu itu sudah dikunci atau belum, karena umumnya, Keenan tidak pernah mengunci pintu samping rumahnya kalau Alex belum pulang di bawah jam 12 malam. Ada kemungkinan pintu itu memang belum terkunci, Alex harus memastikannya.
Saat pijakannya menyentuh anak tangga kecil di depan pintu masuk, Alex menutupi kepalanya dengan tudung jaketnya.
Pintu itu tidak terkunci. Efek perlahan–lahan dari pergerakan jemarinya membuka kenop pintu–membungkam pintu itu agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Alex menjulurkan kepalanya dari balik pintu, memastikan tidak ada daddy–nya di sana. Pintu samping menghubungkan dapur dan ruang makan. Dan di sana, rupanya tidak ada siapa–siapa. Sepertinya, daddy–nya memang benar–benar sudah tertidur. Ini kesempatan bagus bagi Alex untuk menyusun rencananya.
Zadie mengikuti Alex dari belakang, namun terpisah saat ia menemukan tangga. Ia berlari menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu, menuju kamarnya.
"Hei...! You don't want to help?" Alex berseru saat melihat Zadie berlari menaiki tangga. Namun Zadie tak menghiraukannya. Ia menggeleng kecil sambil meletakan dua goodie bag di atas meja makan.
Di atas sana, tepatnya ketika Zadie ingin masuk ke kamarnya, ia menjumpai Keenan yang baru saja keluar dari kamarnya. Kiranya Keenan sedang menunggu mereka pulang. Dia tidak mungkin pergi tidur disaat anak–anaknya belum tiba di rumah, belum lagi satu keponakan dan sahabat keponakannya pergi seharian bersama anak–anaknya. Sebagai orangtua yang menaggung budi kepada mereka. Keenan tidak bisa tidur nyenyak tanpa mengetahui kabar dari anak–anak dan keponakannya.
"What time is it?" Keenan menatap tajam dengan suara beratnya.
Bola mata Zadie melirik ke bawah–melihat sepasang kakinya yang terasa mati rasa seraya disuntik pentotal. Ia kembali memandang Keenan dengan lemah, lalu merekatkan bibirnya dalam–dalam karena bingung ingin menjawab apa. Rasanya dia tidak sanggup berbicara, ia hanya butuh istirahat total.
Di dapur–tepat di atas meja makan, Alex masih menyibukkan dirinya dengan isi di dalam goodie bag yang dibawanya. Dia mengeluarkan kotak kecil berpita merah muda dari dalam goodie bag tersebut. Memandanginya, tersenyum puas, lalu meletakkan kotak kecil itu di atas meja. Pandangannya terbagi dua. Kemisteriusan pandangan yang bersifat refleksi itu mengaggetkan dirinya. Dia melihat piyama putih di samping meja makan–tempat di mana ia menaruh kotak kecil tersebut. Alex tahu itu bukanlah hantu penunggu rumah atau penjahat kriminal yang mencoba menodongkan pistol di kepalanya. Siapa yang tidak tahu dia. Keenan si kepala rumah tangga.
"Di mana April dan temannya itu?" sepertinya ini akan menjadi perbincangan yang sengit.
Alex mendongakkan kepalanya, menghadap wajah daddy–nya.
"Let me to make clear...?!"
***
Tubuh membeku, serasa dicambuk oleh kedinginan dan kegelapan. Diwaktu ini juga mereka harus bijaksana menanganinya. Mobil yang menepi di pinggir jalan, juga tidak dapat memberikan masukan yang cukup berarti. Suara matra di ujung telepon sana masih memecahkan kesunyian ini. Namun tidak benar–benar memecahkan, suara itu bahkan terdengar seperti frekuensi radio dengan pengiriman sinyal elektromagnetik yang buruk. Suara yang keluar dari smartphone itu mengalami gangguan, terputus–putus dan terdengar aneh.
Lisa terus–menerus memekik kepada smartphone April. Ralan menjadi subjek sasaran dari pekikan dan kemarahan itu. Sedangkan di tempat yang berbeda, justru Ralan yang kembali memekik keras hingga suaranya terdengar seperti kaset rusak. April hanya berdiam diri. Ia tidak cukup kuat untuk menimpalinya. Kantuknya sudah menjalar bagai tumbuhan larak.
"Co..ba lo buka goo.. ma..ps, hidupin... –nya..!" suara itu masih terdengar terputus–putus. Sinyal sudah tak bersahabat lagi sekarang.
"Ngomong apa sih lo? Putus–putus!" Lisa terlihat kesal. "Aduh, Alex ke mana ya, kok nggak aktif handphone–nya?!" rengekan itu semakin membuat April muak. "Om Keenan juga nggak bisa dihubungin!"
April menarik napas panjang dan membenarkan posisi duduknya–jauh lebih tegap, semata–mata karena mendengar keributan itu.
Lisa sudah mencoba menghubungi Alex dan Om Keenan berkali–kali, namun ponsel mereka tidak aktif hingga detik ini. Buruknya, April juga tidak hafal nomor telepon rumah om Keenan.
Sinar redup dari kejauhan mengalir seperti cahaya lembayung di langit barat. Ia meresap, mengembang bagai tinta yang tumpah pada kertas putih. Memecah kegelapan, menyinari jalanan beserta mobilnya yang terlihat menepi.
April melirik pada insert mirror atau kaca spion tengah di dalam mobilnya. Cahaya besar itu semakin mendekat. Dia membuka jendela mobilnya dan melihat kaca spion kiri yang berada di luar sana. Terlihat moncong sebuah truk peti kemas di jalanan lurus tanpa kelokkan. Namun lajunya tampak tak meyakinkan ketika mendekati area jalur, di mana mobil April dan Lisa menepi.
Pria paruh baya dengan kumis tebal berwarna merah kecokelatan, terduduk dengan daya yang meragukan. Dia memegang arak di tangan kirinya. Pelupuk matanya terasa berat untuk dinaikan. Seakan pelupuk mata itu ingin membalut bola matanya dengan sangat erat.
Ia tersengguk beberapa kali sambil memaksakan diri agar kemudinya tak jatuh di jalur yang salah. Tetapi dalam keadaan fisik dan mental seperti itu, rasanya tidak cukup meyakinkan. Pengaruh minuman alkohol berdampak sangat buruk. Kemudinya pun tidak seratus persen terkendali dengan baik. Kiranya, dia sudah tak dapat mengendalikan rasa kantuk dan mabuknya itu. Tak lama kemudian, anggukan kepalanya itu membentur kemudi mobilnya–melekatkan dahinya secepat air bah yang tumpah dari tanggul yang jebol.
April melihat kaca spion dalam kembali, pantulan truk peti kemas sudah berjarak lima meter dari mobilnya yang sedang menepi. Firasatnya kali ini sangat matang–sebuah pertanda buruk. Karena panik, dan waktu sudah tak memberikannya kesempatan sedikit pun, April tidak sempat menghidupkan mesin mobilnya yang mati. Bahkan dia tak melihat kunci kontak yang seharusnya tertancap di sana. Dia lupa, di mana kunci mobil itu berada.
Vibrasi suara Lisa masih menggema di dalam mobil. Dia masih bertutur dengan jasad yang tak terlihat.
"Kita harus keluar dari sini!" tempik April kuat–kuat. Lalu membuka pintu mobilnya.
Lisa menoleh ke belakang. Cahaya kuning gading yang tajam, begitu kental menyinari wajahnya. Rasanya, mata ini seperti disengat oleh cahaya tersebut. Smartphone itu tergelincir turun dari telinganya. Sebuah panggilan keras dari mesin mobil terdengar di belakang sana–keras dan menimbulkan rasa takut yang hebat. Lisa seolah menemui malapetaka dalam hidupnya. April berhasil keluar dari dalam mobil. Sayangnya, Lisa tidak. Peringatan April kepada Lisa tercerna jelas di telinga. Namun Lisa tak cukup memahaminya dalam waktu yang begitu singkat. Kepanikan yang luar biasa melumpuhkan daya antisipatif mereka.
Secepat kilat.
BOOM...!!!
Sekonyong–konyong, truk peti kemas dengan tonase 12 ton lebih itu menabrak mobil mereka yang sedang menepi–melaju dengan kecepatan sangat tinggi. Pria paruh baya terkapah–kapah di dalam truk. Kepalanya terbentur beberapa kali di kemudi mobil dengan dentaman yang begitu kuat. Dia panik, hilang akal, gemetar, dan takut. Ia kehilangan kendali dan bingung harus berbuat apa.
Smartphone yang di pegang Lisa seketika tercampak dari genggamannya. Jatuh ke alas kaki karet di dalam mobil. "Halo, Lisa?... April...? Hey, Apa yang terjadi...? Eh, kalian jangan bercanda, ya...!" Tut.. Tut.. Tut... Sambungan terputus.
Lisa tak mengenakan sabuk pengaman ketika truk peti kemas itu menabrak mobilnya. Perangkat Supplemental Restraint System (SRS) Airbag pada mobil tersebut mengembang seirama dengan benturan yang terjadi. Kepala Lisa membentur kantung udara beberapa kali.
Kejadian tersebut terjadi begitu cepat. April yang berhasil keluar dari dalam mobil, rupanya tak lebih beruntung dari Lisa. April tak memiliki waktu melarikan diri untuk menjauhi mobil yang tertabrak tersebut. Memburu selamat yang dilakukannya gagal. Tabrakan tersebut terjadi sangat akut. Layaknya kelereng yang disentil, mobil itu melesat menyenggol tubuh April yang tampak terperanjat. April tertabrak, kepalanya ditubruk kaca mobil depan dengan hebatnya, sebelum akhirnya, tubuhnya memutar hingga terpilin. Terpelanting jatuh sejauh lima meter ke dalam hutan. Telungkup di semak belukar yang bercabang tajam.
Truk peti kemas yang memiliki warna merah orange yang menghiasai kepalanya ini, masih tak terkendali ketika sudah menghantam mobil yang ditumpangi Lisa. Truk tersebut masih menyeret mobil minibus ini sejauh tujuh meter, melesat dan terlempar memasuki hutan yang ditumbuhi semak belukar dan menerobosnya. Seperti tidak ingin meninggalkan jejak misterius di jalan raya sunyi ini. Lalu tak jauh dari hutan yang syarat akan nuansa kepekatan hitam ini, terdapat pohon rindang yang menghentikan laju mobil tersebut. Truk peti kemas mengiringi mobil yang ditumpangi Lisa.
Saat itu juga, atmosfer menjadi bisu. Embun halus yang berputar seperti asap pada malam hari, mengiringi duka malam itu. Keruhnya malam seperti menyembunyikan malapetaka yang terjadi. Angin bergelayut di sekujur tubuh yang terdiam. Hanya meninggalkan asap putih yang berkibar di sekitar mobil yang telah tertabrak. Truk peti kemas itu sudah terdiam sekarang, di belakang mobil yang terdapat Lisa di dalamnya. Bagian depannya sudah tak berbentuk seperti wajah truk–remuk bagaikan barang usang. Besinya menganga layaknya orang yang menyeringai kesakitan.
Sementara itu, mobil yang ditumpangi Lisa masih mengeluarkan asap dari mesin mobil. Oh, tidak. Jangan bertanya. Separuh mobil itu remuk redam–di bagian belakang mobil yang meliputi kursi belakang. Tabrakan ini begitu kuat hingga melenyapkan bagian belakang kursi mobil. Roda belakang mobil pun sudah tidak tersangkut sebagaimana mestinya. Kerangka belakang sudah berubah menjadi lempengan besi yang berlipat–lipat layaknya uang kertas. Bagian depan mobil, khususnya mesin mobil, menganga dan mengeluarkan asap. Lampu mobil hancur, meninggalkan serpihan di tanah. Syukurlah, area kemudi mobil masih utuh–tempat di mana Lisa berada.
0 komentar