Lisa mengintip pada celah jendela di ruang tamu, karena mendengar deru sebuah mobil. Sebuah ambulans? Apa mungkin Harvey telah melaporkan kejadian ini kepada polisi, dan para medis datang untuk membawa dia dan April? Itukah sebabnya, mengapa mobil ambulans itu tiba?
Sial! Lisa menggerutu dalam hati. Ia menggertak tubuhnya untuk segera keluar menghampiri ambulans tersebut dengan wajah yang marah.
Ketika deru mesin mobil ambulans itu mati, Lisa menggedor jendela mobil sebelah kiri dengan satu tangannya. Matanya membelalak kesal.
"What the hell?!" pekiknya saat seorang pria keluar dari kursi kemudi.
Ekspresi yang begitu tenang lagi–lagi menukik dari bibirnya. Dengan mulut yang sedikit terbuka, Harvey membuang napasnya dalam–dalam. Kembali bersabar menghadapi emosi Lisa yang membeludak belakangan ini.
"Apa maksud kamu bawa mobil ambulans ke sini?"
"Ada yang harus saya kerjakan."
Harvey tak begitu mengindahkan ketidaksukaan Lisa terhadap dirinya. Ia berjalan memasuki rumah. Di belakang tubuhnya, Lisa mengikutinya bagaikan bayangan, namun dengan mulut yang terus meracau.
"Siapa kamu sebenarnya? Sebaiknya kamu jujur sekarang, atau aku yang akan membongkar semuanya!" desak Lisa ketika Harvey membuka pintu kamar April. April masih tak sadarkan diri dihari ketiganya.
"Go ahead!" tegasnya. "Apa yang kamu tahu tentang aku?" kali ini Harvey memusatkan perhatiannya kepada Lisa.
Kaki Lisa gemetar. Liar, tatapan itu mengitari bola mata Harvey. Bunyi gemertak antara gigi gerahamnya bersatu padu. Ada penyampaian yang tertahan dalam diri Lisa. Sesuatu yang akan merubah segalanya. Dia sudah tahu siapa Harvey sebenarnya. Dan dia baru mengetahuinya tak lebih dari dua jam yang lalu, waktu Harvey tidak ada di rumah.
Lisa memilih bungkam. Dia belum siap mengatakan apa yang telah ia ketahui. Ia takut jika mengakui kejahatan terselubung yang sedang dilakukan Harvey dapat mengancam keselamatannya. Dia belum siap, dan sepertinya tidak akan siap hingga seseorang datang untuk menolongnya.
Harvey mengenyahkan pandangannya kepada Lisa. Sekarang ia menaruh perhatian lebih kepada April. Memeriksa infus dan peralatan medis lainnya. Dia merasakan aliran darah di dalam tubuh April yang semakin hari terasa dingin. Warna kulitnya semakin lesi. Harvey sekuat tenaga melakukan yang terbaik untuk April. Apapun akan ia lakukan untuk gadis itu.
"Aku harus memindahkan April." ucapan ringan terdengar di udara. “Dia membutuhkan serangkaian perawatan yang intensif, dan beberapa operasi besar.”
Lisa semakin bingung dengan semua ini. Dia harus menghentikan Harvey secepatnya, sebelum semua terkubur dan tak kembali selamanya. Tapi bagaimana? Lisa hilang akal. Tangan kirinya masih terasa nyeri setiap kali ia melonjakkan emosinya lebih kuat. Perasaan hatinya benar–benar tidak seimbang. Lebih baik kupatahkan saja tangan ini! Ide gilanya tercetus begitu saja. Seolah menyalahkan sesuatu yang telah membuatnya menderita.
Langkah itu bergerak keluar dari ruangan. Harvey bergerak cepat. Entah, apa yang akan ia perbuat lagi selanjutnya. Lisa hanya memerhatikan perangai Harvey yang tegas dan dingin itu.
Cukup lama Harvey tidak kembali, agaknya sudah dua puluh menit. Kira–kira ke mana pria itu. Lisa masih menuggunya di kamar April. Dia duduk di kursi–menghadap April yang sedang berbaring. Air mukanya bersedih hati, waswas, prihatin, dan ketakutan. Lisa tidak tahu harus berbuat apa tanpa seorang April.
Dahulu, April selalu saja membantunya selagi ia mendapatkan masalah. Lisa seorang fatalis yang mudah putus asa. Selalu melihat masalah sebagai akhir dari segalanya. Jiwanya rapuh. Tak seperti April yang idealistis dan optimistis, melihat peluang dari kegagalan. Itu sebabnya, April bisa menjadi penulis best seller, meskipun dulu naskahnya sering sekali ditolak penerbit.
Lisa sering sekali menyalahkan diri sendiri ketika tak mampu menyelesaikan masalah. Bahkan saat ini dia bingung harus berbuat apa. Situasi kritis seperti ini bisa melenyapkan nyawanya. Dia takut apa yang ia perbuat akan membawanya dalam maut. Namun ada kemungkinan besar bila dia tidak melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri, risikonya akan jauh lebih fatal. Lisa belum siap untuk mati. Ia sangat takut dengan hal itu.
"Pril, bangun..." terdengar suara sengau dan sedu–sedan. "Kita harus keluar dari sini bareng–bareng. Gue nggak tahu, Pril kalau nggak ada lo. Gue bingung harus gimana."
Terdengar bunyi benturan antara kenop pintu dan dinding yang didorong secara paksa. Lisa terperanjat, lalu bangkit dari kursinya. Harvey datang membawa brankar ambulans (sebuah ranjang/tandu darurat yang biasanya terdapat di ambulans). Diiringi dan dibantu oleh dua orang pria berwajah bule. Kira–kira usia mereka di atas tiga puluh tahun. Pria yang sama ketika membantu Harvey menolong April di malam kejadian. Lisa pun tampak tidak mengenali mereka.
"Kamu mau ngapain? Apa yang mau kamu lakukan pada April!" daya melindungi Lisa namun tampak cemas, memancar. Layaknya perisai yang terbuat dari lapis baja, Lisa menghalangi Harvey dan dua orang itu untuk mendekati April.
Tatapan Harvey tajam, seolah menikam Lisa yang terlihat ketakutan.
Tetapi Lisa masih sanggup menyergah Harvey. "Jawab dulu pertanyaan aku!"
"Saya harus segera memindahkan April dari sini. Dia harus segera dioperasi. Kondisinya semakin memburuk!"
"Operasi apa? Apa kamu mau membawa dia ke rumah sakit?"
Pandangan jemu dari mata Harvey terlihat. "Kamu tidak usah banyak tanya! Kalau kamu mau tahu, kamu boleh ikut."
Lisa pun luluh seketika. Dia menggeser tubuhnya ke sisi kiri–mengizinkan Harvey dan dua orang itu membawa April. Semoga pilihannya tidak salah. Mungkin ini peluang bagi Lisa untuk menyelamatkan diri, dan mencari pertolongan kepada polisi untuk membebaskan April dari tangan Harvey. Lagi pula, ia juga tidak memiliki pilihan lain selain membiarkan Harvey membawa April. Apa yang bisa diperbuat dari seorang gadis dengan lengan yang terkilir.
Dalam perjalanan menuju ambulans, Lisa mengiringi mereka. Memerhatikan setiap gerak–gerik mereka. Semua ini terlihat deskriptif, membawa seorang gadis yang sedang koma. Lisa yakin semua akan jauh lebih rasional dengan pemikiran positifnya. Dia percaya kalau Harvey akan membawa April ke rumah sakit tempatnya bekerja, lalu melakukan operasi di sana. Lagi pula, Harvey tidak akan bisa menyalahgunakan ambulans resmi milik sebuah rumah sakit untuk sesuatu yang di luar akal sehat. Dia bisa terancam pidana.
Dua pasang mata itu tampak mengagah di dalam ambulans. Ditengah–tengah perjalanan yang gonjang–ganjing, mobil ambulans ini melewati ranting–ranting dan semak belukar kecil di dalam hutan. Sudah sepuluh menit berkendara di dalam hutan, tidak ditemui jalan utama atau jalan raya.
Perhatian lebih Harvey kepada April membuat Lisa semakin termangu–mangu. Padahal Lisa sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, namun belas kasih yang diperlihatkan Harvey untuk April membuat dirinya mengalami
disinformasi. Dirinya tenggelam lebih jauh dalam kelam kabut.
Lebih mencengangkan lagi, Lisa melihat adegan yang tak sepatutnya ia saksikan–silap mata yang membuatnya tertegun. Sebuah kekeliruan yang seakan menjadi dogma dan harus dibenarkan. Harvey mencium tangan April dengan hanyutnya. Lisa semakin muak melihatnya.
Sekejap, Harvey menyadari keberadaan Lisa. Kemudian ia memandanginya dengan datar tanpa makna. Sekiranya ia tak memikirkan apa yang baru saja ia perbuat. Atau mempermasalahkan penilaian Lisa terhadapnya. Satu–satunya yang dia tahu, ia tidak peduli dengan semuanya, terkecuali April.
"Saya lagi berusaha mencari pendonor kornea mata untuk April." tiba–tiba Harvey berbicara kepada Lisa yang tertunduk lesu, namun seketika tergugah karena perkataan tersebut.
"Apa yang terjadi dengan matanya April?" tidak ada cahaya dari matanya–redup dan dalam.
Dada Harvey mengembung, kembali ia mengisi dadanya dengan udara agar pernapasannya tak tersekat karena harus menjelaskan insiden yang memilukan ini.
Pelan–pelan, ia mulai menjelaskan. "Kornea mata April rusak akibat kecelakaan pada malam itu. Dia mengalami kebutaan dan... satu–satunya cara, dia harus melakukan operasi transplantasi kornea mata." dia berhenti sejenak. "Sekarang saya lagi mencari pendonor kornea untuk dia." entah, sepertinya Harvey lebih terpukul dari pada Lisa. Tapi bukan berarti Lisa tidak prihatin dengan kondisi ini.
"Saya tidak mau hal yang sama terulang kembali."
Sesaat Lisa heran dengan yang barusan Harvey katakan. Apa maksudnya dia tidak ingin mengalami hal yang sama? Mungkinkah musibah ini pernah terjadi dengan seseorang yang dikenal Harvey?
Lisa mencondongkan kepalanya–membiarkan matanya menilik jawaban tersebut di wajah Harvey. "Aku nggak ngerti maksud kamu apa? Memangnya, ini pernah terjadi sebelumnya?"
"Sudahlah..." keengganan Harvey tampak jelas. "Jangan biarkan saya menceritakan hal ini kepada kamu."
Lisa memilih untuk tidak menyesak Harvey. Lagipula, Lisa sudah memiliki jawaban tersendiri mengenai pertanyaan itu dalam bentuk versinya. Dia juga ingin lebih berhati–hati dan waspada terhadap Harvey. Dia percaya kalau Harvey memiliki maksud tertentu karena telah menolong dirinya dan April. Tampaknya, April akan menjadi sebuah nama yang memiliki arti untuk Harvey. Suatu saat nanti, Harvey akan mengukir punggungnya dengan nama bertuliskan "April", mungkin saja.
Setengah jam sudah mereka berada di dalam ambulans. Selama itu pula Lisa dan Harvey tak berbincang. Sekarang, terdengar suara tidak jelas dari depan sana–dikursi kemudi. Dua bule itu sedang berbincang menggunakan bahasa yang aneh. Agak asing bagi Lisa. Aksennya pun bukan seperti orang Amerika atau Inggris.
Tak lama dari obrolan dua pria bule tersebut, akhirnya roda ambulans ini berhenti berputar di sebuah rumah berdinding kaca di pelosok hutan. Seberapa besar dan luaskah hutan ini, sampai–sampai mereka harus menempuh setengah jam untuk sampai ke tempat tujuan.
Rumah ini jauh lebih besar dengan dinding–dinding yang dilapisi kaca tembus pandang. Berasitektur modern dan kontemporer. Lisa dapat melihat bagaimana rumah tersebut tampak kosong di dalamnya. Sekiranya tidak ada perabotan di dalam rumah itu yang bisa ia lihat dari luar. Entahlah, dia belum betul–betul mengetahuinya sampai ia memasuki rumah tersebut.
Harvey, dibantu dua pria bule menurunkan April dari ambulans dan membawanya memasuki rumah. Ruang tamu kelihatan hampa dengan lantai keramik berwarna hitam berbintik putih. Dua sofa sedikit meramaikan sepinya rumah. Saking sunyinya ruangan itu, suara Lisa menggema ketika berbicara.
Di ruang tengah, ada satu rak buku berukuran besar. Tapi sayangnya rak itu hanya terisi beberapa buku saja, tanpa pajangan apapun. Rak buku itu masih menjadi pengamatan Lisa, apalagi saat salah satu pria bule tersebut mendorong rak itu ke sisi kanan. Harvey dan satu temannya juga berhenti menghadap brankar beroda yang ditiduri April. Mereka menunggu pria bule berkumis itu melaksanakan tugasnya. Keberadaan mereka dua meter dari rak buku yang sedang di dorong. Sepertinya rak buku itu memiliki roda di bawahnya, sehingga mudah untuk digeser.
Pemandangan yang berbeda pun disajikan. Tapi tidak ada yang istimewa selain lukisan kontemporer yang tertempel di dinding. Sebuah lukisan kontemporer abstrak seukuran pintu rumah. Lisa tampak keheranan, kenapa dibalik rak buku ini ada sebuah lukisan kanvas sebesar itu. Rasanya seperti ada yang mereka sembunyikan.
Lisa membuang napas kuat–kuat untuk menghilangkan kesal hatinya. Tidakkah mereka hanya membuang–buang waktu. Sebenarnya apa yang sedang pria bule itu lakukan.
Kemudian, pria bule tadi melepaskan lukisan tersebut dari tempatnya. Namun tunggu. Ada wujud tak biasa di balik lukisan besar itu–sebuah pintu berdinding kaca. Agaknya itu bukan sebuah ruangan, tapi melainkan sebuah lift. Lift di dalam rumah? Rumah ini sepertinya hanya memiliki dua lantai saja, tapi kenapa harus ada lift? Sekujur tubuh Lisa merinding. Ada sensasi yang tak biasa padanya.
Namun tak berselang lama, Harvey mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah ponsel pintar miliknya. Dia menggeser–geser layar ponsel itu. Lewat satu menit kemudian, terdengar bunyi "beep" sebanyak tiga kali. Tak diduga, seketika itu juga pintu kaca tersebut bergeser tanpa menciptakan bunyi.
Lisa menganga terkejut. Baiklah, rasanya memang tidak terlalu berlebihan bila di rumah sebesar dan sefuturistis ini memiliki sebuah lift di dalamnya. Lisa sudah pernah mendengar hal tersebut, meskipun belum pernah menemuinya secara langsung. Tentu saja kejadian ini membuatnya tercengang. Di mana lagi dia dapat menemukan sebuah lift di dalam rumah, kalau bukan di rumah besar modern yang misterius ini.
Pertanyaan yang sedari tadi dipikirkannya seketika menghilang. Bagai debu tertiup angin. Perasaan curiga kepada Harvey perlahan tersingkirkan. Lisa kembali memercayai Harvey, walau dia telah mengetahui kebenaran yang tak terbantahkan. Setidaknya, untuk saat ini Harvey tidak melakukan hal yang mencelakaan dirinya atau April.
Yang menjadi pertanyaannya sekarang, rumah siapakah ini? Lalu di mana rumah sakitnya, bukankah Harvey akan melakukan operasi terhadap April? Dan mengapa pemilik rumah ini harus membangun rumah modern di pelosok hutan, yang bahkan belum tentu dilirik oleh orang? Satu hal lagi yang mengganggu pikirannya, kenapa lift itu begitu canggih–menggunakan remote control berupa smartphone? Ini antara terobosan terbaru atau Lisa yang memang gagap teknologi dan kurang update?
Ruangan lift ini cukup luas. Mereka semua dapat masuk di dalamnya, walaupun agak sedikit berdesakan. Ini karena ranjang ambulans yang lumayan panjang dan besar. Lisa harus berdiri menghadap ranjang itu–tepat di kakinya April, diujung lift paling dalam bersama satu orang pria bule yang berkumis lebat.
Lift ini berlantai kayu mahoni yang di cat putih. Tidak seperti kebanyakan lift di gedung–gedung perkantoran, lift ini justru didesain senatural mungkin dengan dinding yang dilapisi wood panel. Anehnya, tidak ada tombol yang melekat di lift ini. Lift ini hanya bisa dioperasikan dengan ponsel pintar yang dipegang Harvey.
Lengan kanan Lisa terpaksa harus bergesekkan beberapa kali dengan
tangan gagah pria tesebut. Itu membuat Lisa risih dan ketakutan, sehingga ia harus beberapa kali menundukan kepalanya untuk menstabilkan keresahannya. Lama kelamaan, pria berkumis itu mengerling kepada Lisa, lalu tersenyum menggoda. Dia memanggil satu temannya yang terlihat jauh lebih muda darinya. Kemudian mengajaknya sedikit berbicara menggunakan bahasa Perancis, dengan gerak nakal bibirnya yang cengengesan.
Seolah mengerti dengan obrolan kotor para pria, Harvey pun menegur mereka. "Don't try it!" tanpa menoleh kepada mereka semua.
Semua memandangi Harvey, terutama kedua pria itu yang terlihat menyesal dan ketakutan. Namun berbeda dengan wajah polos Lisa yang tampak bodoh.
Lift ini berjalan ke lantai bawah menuju ruang bawah tanah. Beberapa menit kemudian lift berhenti, dan pintu terbuka secara otomatis. Betapa terkejutnya Lisa saat melihat ruangan bawah tanah ini. Sebuah lorong panjang dan lebar yang dilapisi dinding kaca di kanan kirinya. Di dalam lorong tersebut terdapat beberapa ruangan. Harvey dan dua pria tersebut mengantar April ke salah satu ruangan yang di pintu kacanya tertulis Holding Room.
Lisa hanya mengiringi mereka dari belakang, sambil celingukan memerhatikan ruangan putih bersih dengan dinding–dinding kaca. Dia merasa seperti berada di ruangan steril tanpa satu debu pun yang terlihat. Ketika matanya kembali terfokus kepada April, dia sudah melihat April terbaring di ranjang yang berbeda. Ranjang yang lebih besar–yang terdapat di ruangan tersebut.
Dua pria bule itu keluar dari ruangan sembari membawa ranjang ambulans. Tampaknya mereka akan mengembalikan ranjang darurat tersebut ke dalam mobil ambulans. Sementara itu, Harvey sedang merapikan alat–alat medis yang hinggap ditubuh April. Tidak lupa, ia juga memeriksa keadaan April yang tampak pucat itu.
"Ini ruangan apa?"
"Holding room." tak beralih dari kesibukannya.
Lisa merekatkan bibirnya dengan jengkel. "Gue juga tahu. Tadi gue juga baca di depan pintu." Lisa mendekatkan dirinya kepada April–berseberangan dengan Harvey. "Kondisi April sekarang baik–baik aja, kan?" kerutan cemas di matanya kembali terlihat.
Harvey tak menyahut.
Suasana kian membara. Layaknya jago merah yang sudah melalap sebuah rumah. Andri merasakannya, api yang seakan telah membakar hatinya. Kini, semerbak aroma lembut musk dan rosewood dari koper yang baru saja ia buka, membuat ingatannya kembali pada dekapan terakhir itu–perpisahannya di bandara bersama April. Wewangian ini menyadarkan Andri bahwa sebagian kenangan akan terserap disetiap pancaindra, khususnya penciuman. Tak akan pernah terlupakan olehnya.
Andri masih tak percaya, semua pakaian yang ada dikoper adiknya, justru malah menyisahkan duka. Dia belum siap menyaksikan pakaian ini tanpa jasadnya. Tidak mungkin semua pakaian dengan aroma wangi ini hanya tertata rapi tanpa dikenakan pemiliknya.
24 jam yang lalu.
Wina mendekap erat anak sulungnya di tengah–tengah keramaian pengunjung bandara. Beliau menangis histeris dipelukan anaknya. Untuk kedua kalinya ia melakukan perpisahan di bandara. Namun dengan atmosfir yang jauh lebih berbeda.
Cerahnya hari tak mampu melonggarkan sesak di hatinya. Kali ini ia harus merelakan anak pertamanya untuk terbang ke Saugerties. Karena sebelumnya, kerelaannya melepaskan April berlibur ke Saugerties empat hari yang lalu, harus berujung malapetaka. Serta membuat hatinya porakporanda.
Kehilangan April empat hari yang lalu membuat Andri menekatkan dirinya untuk terbang ke Saugerties. Ini seperti sebuah panggilan hati, dan kewajiban yang harus ia penuhi. Tidak ada satu orangpun yang bisa hidup tenang ditengah–tengah kecemasan. Menunggu kabar dari seseorang yang entah berada di mana.
Tetapi Andri tak mengizinkan mamanya untuk ikut ke Saugerties bersamanya. Wina harus tetap waras di Jakarta, menjalani kehidupan sesuai kodratnya. Dan menunggu kabar dari Saugerties–kabar darinya. Andri yakin sekali, mamanya akan tambah terpukul dan bertengkar hebat dengan Keenan bila ia ikut ke Saugerties.
Andri juga telah berjanji kepada mamanya akan membawa April pulang ke Jakarta dengan selamat. Meskipun ia sendiri tidak pernah membenarkan janji itu. Ungkapan itu hanya wacana untuk mengurangi kadar depresi dan kecemasan mamanya saja. Namun bukan berarti hal itu mustahil untuk ia lakukan. Karena ia yakin dan percaya dengan takdir yang dituliskan Tuhan. Walau takdir itu harus berakhir dengan air mata, atau happy ending.
Sehari yang lalu pula, sebelum keberangkatannya ini, Andri dan Wina sudah melaporkan kejadian tersebut kepada kementerian luar negeri. Mereka meminta bantuan, dan mendesak untuk menegakan hak asasi manusia April dan Lisa sebagai WNI yang telah dinyatakan hilang di negara Paman Sam.
Menteri luar negeri mengatakan bahwa akan menindaklanjuti kasus kehilangan ini segera. Melaporkannya kepada konsultan Jendral Republik Indonesia di New York. Tetapi mereka juga tidak ingin gegabah atas hilangnya April dan Lisa di luar negeri. Mereka takut jikalau semua ini hanya kesalahpahaman saja. Jadi, pihak keluarga diminta untuk bersabar.
“Insyaallah... April pasti baik–baik aja, Ma.” kedua tangan Andri mencengkram kepala bahu Wina. "Mama berdoa aja supaya April cepat ketemu ya…” Andri bersusah hati melihat Wina yang terluka harus ditinggalkan anaknya kembali. Meski kepergian Andri adalah untuk mencari April, dan mengikuti perkembangannya.
Mereka kemudian saling bertimbang pandang. Di belakang Wina ada tante Andri, adik kandung dari ibunya yang sedang bermenung memandangi perpisahan mereka berdua. Tak lupa, kehadiran Ralan juga menambah anggota yang bukan keluarga, namun turut merasakan kesedihan. Ia juga akan menjadi penumpang pesawat dengan tujuan penerbangan ke New York bersama Andri. Tentu saja, menurut detektif Walter Haynes, Ralan merupakan saksi kunci.
Wangi itu... Kamar siapa ini? Kenapa aroma itu memeluk ruangan ini? Seolah menjentik ingatannya. Bahkan ia menganggap kalau April ada di dalam kamar ini. Perlahan, Ralan mendekati Andri yang terjongkok di lantai–dia seperti menghadap pada sesuatu, tapi sayangnya tak terjangkau oleh pandangan Ralan.
Detik demi detik membawa tubuh Ralan bersanding di sisi Andri. Sekarang dia tahu apa yang ada di hadapan Andri. Sebuah koper yang menyajikan pemandangan pakaian dan perlengkapan perempuan lainnya. Di samping koper yang terbuka itu, juga ada sebuah koper lagi, sudah dipastikan itu koper Lisa.
Ralan berusaha tegar di depan Andri. Dengan nada rendahnya ia berucap, "Ini yang bakalan jadi kamar tidur kita?" dia bangkit dan duduk di kasur.
Andri segera menutup koper itu. Tidak biasanya ia memperlihatkan kesedihannya di depan sesama laki–laki. Apalagi ia tahu bahwa Ralan terlihat lebih kokoh dari pada dirinya. Mata Ralan tak terlihat membengkak seperti matanya. Selama mengetahui kabar buruk ini, Andri memang selalu menangis disetiap kesempatan. Ia merasa sedih setiap kali mengingat April. Pori–porinya seakan dibanjiri air mata.
"Hei... Kalian mau makan malam dulu, atau mau langsung istirahat?" Keenan mengucapkannya dengan kekok dan sangat hati–hati. Rasanya ia ingin menarik ucapan itu lagi, menelannya dan mengubur setiap kata, bila ia ingat pada sebuah penyesalan.
Andri salah satu orang yang merasakan luka itu. Tetapi ia tak pernah menyalahkan pihak manapun, termasuk Alex dan Keenan.
Sebenarnya tidak ada salahnya bila Keenan menanyakan hal semacam itu, sebab waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Dia juga paham sekali dengan kondisi seseorang yang mengalami depresi. Mereka cenderung mengurangi porsi makan, atau bahkan tidak nafsu makan sama sekali.
"Aku tidur aja, Om." sahut Andri lebih terbuka.
Keenan mengangguk. Sangat memahaminya.
Ralan agak canggung untuk mengeluarkan keinginannya. Dia sejujurnya sangat kelaparan. Sejak di pesawat ia hanya mengunyah satu sandwich saja.
Dia bergumam bimbang sebelum mengutarakan maksudnya. Ralan memang benar–benar seseorang yang selalu tidak enak hati. "Aku laper."
"Oh, kalau gitu... kamu makan dulu di bawah. Come on, Om sudah siapkan makanannya."
Ralan begitu nirselera dengan makanan itu. Padahal perutnya sudah keroncongan sedari tadi. Tapi ketika dihadapkan oleh makanan, ia justru tak tertarik. Tak ada yang mengetahui perasaannya saat ini. Mungkinkah ada yang salah dengan makanannya atau memang bayangan April tak pernah lepas dari pandangannya.
Setelah makan malam yang tak bergairah itu, Ralan kembali ke lantai atas untuk melelapkan tubuhnya dalam cahaya temaram. Dia ingin cepat–cepat menutup hari ini. Ingin menemukan hari lain di esok hari yang membuatnya tergugah untuk mencari April dan Lisa. Dia juga menantikan bagaimana detektif Haynes mewawancarainya terkait sambungan telepon dengan April dan Lisa sebelum mereka menghilang.
Timur membentang, fajar menyingsing mulai terlihat. Cahaya kebiru–biruan mengecoh setiap insan dengan aroma lembabnya. Tanah yang basah dan suhu di bawah dua puluh derajat celcius, secara inkognito membaur dengan
jiwa–jiwa pretensi.
Detektif Haynes baru saja turun dari mobilnya. Janggut tipis yang berada di bawah dagunya ia usap–usap dengan halus. Keenan sudah menyambutnya tepat di ambang pintu, dan mempersilahkannya masuk.
Tak ada basa–basi dan ucapan tak berguna yang dilontarkan Keenan kepada Haynes. Langsung saja ia memperkenalkan Haynes dengan Ralan dan Andri. Haynes sangat membuka diri kepada mereka. Namun sayangnya, mereka tak sehangat yang dipikirkannya. Disituasi genting seperti ini, mereka mengurangi formalitas dan selera humornya. Namun Haynes cukup memahami itu.
Tilikan Haynes penuh dengan perhatian setelah ia mendengar kronologis yang diceritakan Ralan kepadanya. Tetapi ia tak lekas–lekas menyimpulkan apa yang terjadi. Pikirannya masih bekerja cukup keras untuk menentukan sesuatu yang dapat ditimbang dengan rasional, menyangkut fakta–fakta yang ada.
Ralan mengatakan kepada Haynes bahwa saat April dan Lisa tersesat di suatu tempat pada malam itu, mereka mengatakan berada di sebuah jalan tak bertepi dengan sisi–sisi jalan yang dipenuhi pohon–pohon besar. Tak ada rumah yang terlihat setelah mereka menempuh hampir tiga belas kilometer jauhnya dari jalan Main Street. Ditambah, minimnya penerangan di jalan tersebut.
Semua keterangan tersebut membuat Haynes mengambil tindakan yang insentif. Segera dia pamit untuk menemui inspektur Tobias Myers di kantornya.
Sehari yang lalu, ketika keterangan itu meluncur dari mulut Ralan. Sore harinya anggota polisi mulai diterjunkan untuk mencari kembali dengan target wilayah yang sudah dianalisis sebelumnya. Namun agaknya, pencarian tersebut belum jua membuahkan hasil minimum sekalipun.
Inspektur Myers kembali turun tangan. Hari ini, ia dan tiga orang polisi dikerahkan untuk menyelusuri bagian barat Saugerties. Daerah pelosok di Ulster County, yakni High Falls Road–jalan menuju pegunungan Catskill. Saat mencapai jalanan sepi yang di kiri–kanannya terdapat hutan dengan pepohonan lebat, Myers memutuskan untuk menepikan mobilnya, serta memeriksa jalanan dan hutan tersebut.
Grillo, melekatkan hidungnya ke aspal jalan dengan liar. Kakinya yang kecil menapak begitu lincah–lurus ke depan. Berjalan lima yard dari mobil polisi yang menepi. Hank, seorang petugas kepolisian mengawal dari belakang. Tangannya berusaha mempertahankan kekuatannya memegangi tali yang terhubung ke leher Grillo, si anjing Labrador Retriever berwarna putih.
Grillo menghentikan langkahnya, mengendus sesuatu di aspal. Hank pun ikut berjongkok untuk melihat ada apa di aspal tersebut. Sebuah titik–titik cairan yang membeku, berwarna merah kehitam–hitaman. Bahkan merah itu sudah hampir tak kentara–menyerap ke dalam aspal. Namun agaknya Grillo lebih mengetahui apa titik–titik cairan yang sudah mengering itu. Penciuman Grillo begitu mengisyaratkan sesuatu, anjing ini bahkan menjilati cairan mengering itu.
Tetapi Hank mencoba mengendalikannya supaya lebih tenang.
"What happened, Dude?" panggilan akrab terdengar dari mulut Myers kepada Hank.
"There's something." Hank menunjuk kepada aspal.
Ketika Inspektur Myers mengamati cairan mengering tersebut, dia sudah yakin kalau ini bercak darah. Layaknya Grillo, untuk memastikan lebih lanjut, Myers menjorokkan hidungnya ke aspal. Di sisi lain, Hank terlihat kewalahan menghadapi tenaga Grillo yang mengajaknya ke dalam hutan. Tetapi Hank masih mempertahankan dirinya untuk menunggu Inspektur Myers.
"Sir...?" imbauan Hank menyadarkan Myers, dan membawa mereka memasuki hutan mengikuti Grillo.
Myers mengambil HT–nya dan meminta dua orang polisi lain–yang datang bersamanya, untuk bergabung. Melalui ponselnya, Inspektur Myers menghubungi detektif Haynes untuk memintanya segera datang ke tempat di mana ia berada.
Kembali Grillo terhenti. Kali ini ia mengendus ke salah satu ranting pohon tumbang yang terselip di dalam semak belukar. Myers dan Hank saling berpandang meminta jawaban. Mereka keheranan melihat Grillo menggonggong begitu keras di depan ranting, dan sesekali ia mendengus.
Myers meminta Hank untuk menjauhi Grillo dari ranting tersebut. Dia melibatkan dirinya untuk melihat lebih dekat ranting pohon di semak belukar itu. Menariknya, dan melepaskan jeratan semak belukar dari ranting pohon. Namun anehnya, Myers tidak menemukan atau melihat apapun dari ranting pohon tersebut.
Masih membabi buta, Grillo menyalak dan mencoba mendekatkan dirinya kembali ke dalam semak belukar. Barangkali, apa yang dimaksudkan Grillo tidak sampai ke dalam pancaindra Myers.
Melihat hal itu, Myers meminta Hank untuk memberi kebebasan kepada Grillo. "Let it be!"
Longgaran tali yang diberikan Hank kepada anjing itu, membuat Grillo lebih leluasa. Dia memasuki semak belukar yang tajam dengan berhati–hati dan terus menyalak. Lalu menarik sebuah pohon berdiameter tujuh sentimeter. Myers membantu Grillo mengeluarkan pohon itu dari semak belukar. Dan menempatkannya di tanah yang jauh lebih luas.
Grillo kembali mengendus salah satu ranting pohon tumbang itu. Dia menemukan sesuatu. Sebuah darah mati yang menempel disalah satu ranting pohon kecil tersebut. Lalu Grillo menemukan sebuah gelang yang tersangkut di ranting itu dan menggigit gelang itu di mulutnya.
Inspektur Myers melipat kedua lututnya di tanah, dan bertumpu pada telapak kakinya. Dia mengambil ranting itu dan mengamatinya dengan saksama. Sementara Hank mengambil gelang di mulut Grillo.
"Bracelet?" Hank keheranan melihat gelang itu. Sebuah gelang berbentuk seperti tali berwarna hitam. Biasanya yang memakai gelang seperti ini adalah anak–anak remaja.
Kini Hank memusatkan pandangannya kepada Myers yang sedang melihat ranting. "What's that?" Hank mengerutkan dahinya.
"Bloods."
Suara tamparan baru saja terdengar.
Gadis ini bahkan tidak mengetahui seberapa besar kekuatannya untuk menampar seorang pria dewasa. Namun sudah dipastikan bahwa tamparan itu telah terjadi. Tangan kirinya yang masih diperban rapi karena terkilir, terasa begitu nyeri sekarang. Seolah kejahatan yang dilakukan tangan kanannya berdampak juga pada tangan kirinya.
Harvey masih belum percaya apa yang telah dialami dirinya saat ini. Tamparan kali pertama dari seorang wanita yang melesat di pipi kanannya seolah telah merubuhkan harga dirinya. Tapi entah kenapa wajah itu tak pernah bisa berubah menjadi evildoer saat dirinya terancam. Bahkan wajah genialnya tak bisa disingkirkan. Tampak innocent dan bersahaja.
Sebuah ledakan luar biasa dari Lisa meletup ketika mengetahui beberapa fakta yang didekam Harvey selama ini. Bahwasanya, Harvey telah menyembunyikan ponsel pintar miliknya dan April. Lisa tak sengaja menemukannya disalah satu laci lemari yang berada di kamar mandi. Dia juga membuang kartu ponsel mereka. Padahal selama ini, Harvey mengatakan bahwa ponsel mereka hilang entah ke mana. Mungkin ini salah satu bentuk Harvey memutuskan akses dari dunia luar.
Dari perkara itu juga, Lisa tak memedulikan lagi akan kegentarannya untuk membongkar semua fakta yang telah ia ketahui secara tidak sengaja. Namun kiranya, Harvey tidak risau atau panik sekali pun. Sewajarnya dia tak mempunyai daya ekspresivitas sedikit pun. Bahkan waktu tamparan itu mendarat di wajahnya, tidak ada ekspresi yang berarti di sana.
Deruan mesin mobil terdengar dari jarak jauh, menyabur dengan dengihan Lisa yang cabar karena tindakan berani yang telah ia lakukan. Harvey menatap Lisa dengan waspada, sebelum akhirnya mengintip dari sela jendela. Moncong mobil yang ia kenali mulai terlihat dari balik hutan. Harvey pun bergegas ke lantai dua–di kamarnya untuk mengambil sesuatu.
Tak lama, dia kembali. Sementara itu, di depan rumahnya telah terparkir mobil sedan hitam dan satu mobil polisi.
"Come here, please!" selembut malaikat, Harvey mengajak Lisa ke ruang bawah tanah yang berada di log house rumahnya ini.
Ruang bawah tanah itu berada di halaman belakang rumahnya. Pintunya menyatu dengan tumbuhan liar, seolah sengaja untuk mengamuflase pintu yang terbuat dari kayu ek tersebut. Harvey menarik pintu itu–pintu yang dirancang sedemikian rupa, menghadap ke sebuah lubang berdiameter enam puluh sentimeter.
Matahari tak mampu menyinari ruang bawah tanah tersebut. Lisa tak dapat melihat apapun di bawah sana. Hanya lembah dalam yang hitam pekat.
Harvey menjejakkan kakinya pada anak–anak tangga di bawah pintu tersebut. "Come on, follow me!" tatapannya meyakinkan dan berharap penuh supaya Lisa mau mengikutinya. "I'll show you."
Lisa merengut dan tampak murung. "Sepertinya tadi ada tamu. Gimana kalau kita temuin mereka dulu?" kepalanya merunduk, melihat Harvey di bawah sana. “Dan kenapa kamu membawa aku ke sini?”
Harvey mendesah tidak puas. Dia kembali ke atas dengan gelagat yang kasar dan deras. Lekas, Harvey mencengkeram bahu Lisa dengan kuat, menyuntikkan obat bius ke lengan kanannya. Tak kuasa, Lisa meronta dan berteriak ketakutan. Namun Harvey membekap mulut Lisa kemudian, sebelum akhirnya rontaan dan jeritan itu perlahan mengendur dan sirna. Lisa tak berdaya. Dan Harvey menggendongnya memasuki ruang bawah tanah.
"Can you hear... something?" Myers melayangkan pandangan ke segala penjuru. Lalu memusatkannya ke rumah yang ada dihadapannya.
Haynes membuat keputusan pasti dengan melangkah besar mendekati pintu rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Sementara Myers lebih menaruh curiga dengan suara samar yang didengarnya tadi. Meskipun Haynes tak memungkiri hal itu, ia seperti mendengar semacam pekikan samar.
Keputusan detektif Haynes tak membuahkan hasil. Sudah sepuluh menit mengetuk, pemilik rumah belum membukakan pintu. Selagi itu, Inspektur Myers sudah tak terlihat di tempatnya. Dia berjalan mengitari rumah berdinding kayu. Sampai tibanya di halaman belakang, ia menemukan seorang pria sedang berkutat pada tumbuhan liar dan semak–semak.
Myers menyapanya dan bertanya kepada pria tersebut. Dibenaknya, ia menduga kalau pria ini seorang imigran. Dia harus meminta data lengkap dan surat–surat dari pria ini, sebelum ia memutuskan bahwa pria tersebut adalah imigran gelap.
Haynes dan Myers dibawa masuk ke dalam sebuah rumah dokter bedah. Tak ada yang mencurigakan di sini. Hanya seorang imigran yang telah menjadi warga negara Amerika dan sudah bekerja secara sah di rumah sakit Saugerties. Semua data itu lengkap, Haynes dan Myers telah memeriksanya.
Sampai akhirnya, Myers mengungkapkan kedatangannya yang secara mendadak tersebut. Dia menceritakan kepada pria dengan panggilan Harvey ini bahwa seminggu yang lalu mereka telah menemukan sebuah bercak darah, dan tanda–tanda tak wajar di hutan. Bukan saja ditemukan bercak darah, tapi polisi juga menemukan sebuah gelang dan beberapa helai rambut yang rontok di TKP. Seperti telah terjadi sesuatu.
Dari bukti dan sampel yang ditemukan, ahli genealogi genetik dan forensik kepolisian telah mengungkapkan bahwa darah, helai rambut dan gelang tersebut milik gadis yang selama ini sedang mereka cari, sejak menghilang dua minggu yang lalu.
DNA telah menyatakannya. Dua jam setelah bukti tersebut ditemukan, Andri selaku kakak kandung dari April dimintai sampel biologis untuk mengidentifikasikan bukti–bukti tersebut. Polisi juga meminta sampel Wina, ibu kandung April, yang sampel darahnya diterbangkan langsung dari Indonesia. Polisi bertindak seakurat mungkin, serta keberanian mereka meminta sampel DNA milik Andri dan Wina, semata–mata hanya untuk melengkapi sumber dan bukti yang telah ditemukan. Myers tahu kalau penciuman Grillo tidak bisa dipandang sebelah mata.
Andri pun mengungkapkan bahwa gelang yang ditemukan itu memang milik adiknya. Dia sangat menyakininya, meski di dunia ini ada jutaan gelang yang sama dan dipakai oleh orang yang berbeda. Tapi, Andri sangat percaya akan hal itu. Lagi pula, pendapat Ralan mengenai gelang itu tak jauh berbeda dengan Andri. Ralan juga meyakini bahwa gelang itu milik April. Sebab selama ini, April sangat menyukai segala jenis aksesoris, khususnya gelang. Dan gelang hitam itu selalu dipakainya di pergelangan tangan kirinya.
Namun pengujian sampel DNA membuat keluarga dari pihak korban was–was dan putus asa. Mereka berprasangka kalau tes DNA yang diminta telah mengarahkan polisi mengungkapkan kasus ini dalam bentuk afrasia kepada keluarga korban–pihak keluarga April. Bagaimana tidak, sampel itu hanya berbentuk bercak darah dan helai rambut, tanpa ditemukan jasadnya.
Hasil tes DNA tersebut keluar seminggu kemudian, dan hasilnya cukup mencengangkan. Dari hasil DNA mengungkapkan dengan akurat, mengidentifikasikan jejak seorang gadis bernama April. Walaupun polisi belum menemukan bukti lain terkait satu temannya lagi yang hilang, yaitu Lisa. Atau keterlibatan orang lain di dalamnya. Semua masih dalam penyelidikan kembali.
"Go ahead." kata Harvey mempersilahkan inspektur dan detektif itu untuk memeriksa rumahnya.
Sekitar setengah jam sudah mereka memeriksa rumah sederhana ini. Namun tak ditemukan hal–hal yang mencurigakan. Tidak lengah, Myers mengingat sesuatu yang hampir terlupakan olehnya. Halaman belakang. Dia harus ke sana dan menyelidikinya. Sebab dia menemukan gelagat yang mencurigakan dari dokter bedah yang terlihat tergesa–gesa waktu ia datang menghampiri.
Harvey sempat tertegun dan berpikir sejenak saat inspektur itu meminta dirinya untuk menemaninya ke halaman belakang. Tak disangka, dengan sejujurnya Harvey menceritakan bahwa di halaman belakang rumahnya terdapat ruang bawah tanah yang dijadikannya sebagai gudang. Dan tadi, ia habis dari sana untuk menaruh kardus tak terpakai, katanya.
Difusi cahaya merelap redup dari pintu di ruang bawah tanah ketika dibuka. Serbuk halus berupa debu berterbangan di gudang bersama pancaran sinar matahari di atas sana. Penerangan terbatas tak menggentarkan semangat inspektur dan detektif ini untuk melihat–lihat.
Seolah tak keberatan, Harvey membiarkan mereka menuruni anak tangga lebih dulu, dia menyusul kemudian. Tidak ada yang menarik di bawah sini, kecuali aroma kecoa, kotoran tikus dan tumpukan debu disetiap barang yang tergeletak tidak karuan.
Ruangan ini didominasi kardus tak terpakai. Dua buah kursi dengan sandaran dan kaki yang rusak serta patah. Berbagai alat rumah tangga lain, dan segala tektek bengek sudah tak berguna ditempatkan di sini.
Haynes tertarik pada salah satu lemari usang yang berkaca. Seperti baru saja jatuh cinta pada pandangan pertama, tiba–tiba terdengar bunyi kerat dan kereket dari dalam lemari tersebut. Sontak, bunyi itu mengaggetkan Myers yang mencoba untuk membuka sebuah koper berukuran besar, namun terabaikan dan memilih untuk mendekati sumber suara di dalam lemari.
Perlahan Haynes mendekati lemari tua tersebut. Sementara Myers sempat memandang Harvey dengan curiga dan liar. Harvey pun tak kalah waspada dan was–was, gerakan matanya terbagi kedua arah–antara Haynes yang sedang mencoba membuka lemari dan Myers yang seolah ingin memborgolnya.
Engsel lemari yang berkarat itu menciptakan suara berderit yang menyiksa telinga.
"Oh... Jesus!" Haynes terperanjat. Diikuti dengan seekor tikus yang berlari melewati kakinya.
Pupil mata Haynes dan Myers beradptasi dengan cahaya matahari yang terang ketika baru saja keluar dari ruang bawah tanah. Pulih kembali dalam waktu tiga menit. Mereka menyudahi penyelidikan di dalam ruang bawah tanah. Fakta telah membuktikan tidak ada sesuatu yang mencurigakan di rumah ini, termasuk gudang bawah tanah.
"Thanks, Doctor Sugarto." Myers tersenyum kepadanya. Sugarto merupakan nama belakang dari Harvey, sesuai dengan kartu identitas yang menuliskan namanya, Harvey Dwiarga Sugarto.
Setelah Haynes dan Myers meninggalkannya, Harvey lekas–lekas membuka kembali pintu ruang bawah tanah, lalu memasukinya. Dia membuka koper besar berwarna hitam yang sebelumnya ingin dibuka inspektur tadi, namun sayangnya tidak sempat.
Di koper itu terbaring seorang Lisa yang meringkuk–tulang lututnya terbenam bersama wajahnya di dalam koper sempit untuk ukuran badannya yang besar. Namun Lisa masih tak sadarkan diri akibat obat bius yang disuntikkan Harvey kepadanya. Wajah dan seluruh tubuhnya dibanjiri keringat.
Harvey seketika panik, ketika meraba denyut nadi Lisa yang tidak dapat teraba olehnya. "Oh, God!" dia menggendong Lisa dan membawanya ke atas–
keluar dari ruangan hampa udara itu.
“Kenapa kau mencari pendonor mata?” sebaris mata itu bermufakat–saling memandang penuh curiga dan penuh harap.
Keenan sudah merasa putus harapan dengan semua yang telah menimpa dirinya. Kehilangan keponakan dan teman keponakannya dua minggu yang lalu, telah membuat dirinya bagaikan partikel debu yang terhembus tinggi, membawanya ke tempat yang belam. Dan sekarang ia malah diperintahkan oleh rekan kerja seprofesinya untuk mencari pendonor kornea mata. Ayolah, tidak ada waktu untuk memikirkan masalah orang lain, apalagi harus melibatkan diri menolongnya, rintih Keenan.
“Ada pasien yang mengalami kebutaan. Dia harus segera mendapatkan pendonor mata.”
“Siapa? Di rumah sakit ini tidak ada pasien yang membutuhkan donor kornea mata.”
“Pasien dari rumah sakit lain.”
Keenan menaruh syak kepada pria berbibir tipis itu. "Apa kamu pernah bertemu dengan Inspektur Myers dan Detektif Haynes?" pertanyaan Keenan menukasi seorang pria yang bekerja disatu rumah sakit yang sama dengannya. "... Kau pasti tahu, karena baru kemarin mereka mengunjungi rumahmu." Keenan menyahuti pertanyaannya sendiri. Kecurigaannya semakin kuat kepada pria yang sedang duduk di hadapannya–tepat di ruang kerjanya di rumah sakit.
"Sudah saya bilang, saya tidak ada hubungannya dengan semua ini." nadanya keras dan penuh pembelaan.
"Lalu siapa pasien yang kamu maksud itu?"
"Kau bisa memercayai saya. Atau kau sendiri yang akan malu telah menuduh." hening sejenak. "Inspektur dan Detektif itu telah membuktikannya sendiri. Mereka tidak menemukan apapun di rumah saya." tatapan sejuknya tak dapat mendesak Keenan untuk lebih keras melontarkan pertanyaan–pertanyaan yang menuduh.
Tetap saja, tatapan Keenan menaruh ragam yang khusus dan kompleksitas wasangka yang tak bisa disembunyikan. Dia harus mengusut dengan cermat semua ini. Mencari kebenaran atas DNA keponakannya yang ditemukan tak jauh dari rumah rekan kerjanya itu.
Sejak polisi mengumumkan sampel darah yang menjadi barang bukti tersebut, Keenan tak menyangka sekali kalau itu merupakan darah April, keponakannya sendiri. Selama ini dia selalu berdoa, meminta Tuhan untuk mempertemukan dirinya dengan April dan Lisa, lalu dengan senyuman–Nya, Tuhan justru memberikan kejutan yang mengerikan dari DNA darah milik keponakannya. Darah yang sama–mengalir pada tubuhnya.
Meskipun begitu, Keenan dan keluarga besar masih berharap penuh kalau April dan Lisa masih hidup. Mereka selalu mencuci otak mereka dengan kalimat tersebut. "April dan Lisa masih hidup! Tuhan selalu menyertai mereka, di mana pun mereka berada." frasa yang tak pernah mati. Harapan yang masih berkobar itulah yang membuat keluarga percaya.
Bila mana terkait tentang hal itu, ketika pertama kali mendengar hal tersebut semua keluarga tampak tak menduga, khususnya Wina selaku ibu kandung dari April sendiri. Beliau mendengar kabar buruk itu melalui sambungan telepon dari Andri, anak sulungnya yang masih berada di Saugerties. Awalnya Andri tidak ingin mamanya tahu mengenai hal ini, namun itu tidak mungkin. Karena Wina juga sudah menerbangkan sampel darahnya ke sana. Sebagai ibu kandung April, dia harus mengetahui semua kabar yang menimpa anaknya, baik–buruknya kabar tersebut.
Andri juga dibuat susah hati. Sehari setelah memberikan kabar buruk itu kepada mamanya, esoknya beliau jatuh sakit, dan masih dirawat sampai saat ini. Andri pun sempat dilema, dia ingin sekali pulang dan melihat kondisi mamanya. Namun sayang, kasus April tidak bisa ditinggalkannya begitu saja, apalagi setelah ada babak baru dari penyelidikan polisi terkait diumumkannya DNA itu.
Ralan masih meneteskan butiran air mata disetiap malamnya setelah mengetahui hal itu. Membuatnya terjaga ditengah malam. Menggumal bersama guling di tengah malam dengan kondisi mata yang membengkak. Hanya sekedar menutupi mulut dan air matanya, agar tak ada seorangpun yang dapat mendengar atau melihatnya menangis. Meskipun dia tahu kalau semua orang yang berada di rumah itu mengalami hal yang sama dengannya.
Keenan masih membayangkan wajah nelangsa mereka ketika berada di rumah. Menyaksikan nyawa–nyawa yang mencoba bertahan ditengah situasi yang bernafsu menyerang pikiran mereka. Keenan pun juga merasakan hal yang sama. Anak sulungnya, Alex, bahkan sudah tak pernah bicara lagi dengannya karena mendengar kabar buruk itu. Dia menjadi anti sosial–mengurung dirinya di kamar dan tidak melakukan kontak sosial dengan siapapun, termasuk teman–temannya.
"Kau tidak perlu mencurigai saya dokter Kailani. Kita rekan kerja di rumah sakit ini. Kau sudah mengenal saya sejak lima tahun yang lalu, dan kita juga..." senyuman muslihat terpantik di tepi bibirnya. "Ayolah, kita menjalani bisnis yang sama!" katanya. "Bagaimana bisa kau mencurigaiku?"
"Itu tidak menjamin apapun."
“Intinya. Saya butuh pendonor kornea mata secepatnya. Jika dalam waktu dekat pasien saya sudah siuman dari komanya, dan belum juga ditemukan pendonor kornea mata, maka saya akan memberikanmu sebuah kejutan.”
Keenan menatap tajam. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud dengan rekan kerjanya itu.
Bukan karena Inspektur Myers dan detektif Haynes yang datang ke rumah rekan kerjanya terkait kasus ini, lalu membuatnya menuduh rekan seprofesinya sendiri. Sungguh pun itu menjadi titik berat dari bahan pertimbangannya, tetapi Keenan memiliki alasan dan bukti lain kenapa ia menuduh rekan kerjanya sendiri. Belakangan ini ia melihat gelagat Harvey yang aneh.
Putih, dinding kaca, aroma karbol dan obat–obatan, bersih, dan steril. Dia merasakan hal yang sama–sesuatu yang pernah ia jumpai.
Astaga, tangan terkilir ini belum kunjung pulih. Lebih lagi, sakit dan nyerinya makin menggila. Obat bius? Pria berwajah Asia? Tidak mungkin! Dia telah melakukan tindakan kriminal kepadanya. Tidak tahu tepatnya kapan, bahkan ia juga tidak tahu sejak kapan sudah berada di tempat ini. Satu yang dia ingat, sebuah peristiwa pahit yang menimpa dirinya.
Ternyata memang benar, semua fakta yang ditemukannya menjadi momok yang menakutkan bagi dirinya. Dia harus bertindak cepat sebelum kejadian yang ditakutkannya selama ini akan menimpanya–jauh lebih buruk. Semua bukti yang ia ketahui akan menjadi ancaman bagi Harvey, si pria misterius yang memiliki hasrat jahat dalam dirinya.
Terbukti sudah. Waktu ia bertengkar dan mencaci maki Harvey, dia mengungkapkan semua yang telah ia ketahui kepada pria itu. Meskipun yang tertuduh tidak merasa marah, tapi tindakan Harvey yang sudah membiusnya dan membawanya ke ruang bawah tanah, menjadi tanda kegusaran Harvey terhadap dirinya.
Lisa harus segera keluar dari tempat ini, dan melaporkan kejadian ini kepada polisi. Tapi bagaimana caranya? Ruang rahasia bawah tanah ini hanya bisa diakses oleh Harvey–dia yang memegang remote berupa ponsel pintarnya untuk mengendalikan lift. Apakah ada cara lain untuk keluar dari sini tanpa lift
itu?
Jarum infus itu ditarik secara paksa olehnya. Wajahnya menyeringai kesakitan. Lisa merasakan tubuhnya begitu rapuh, laksana ranting daun yang mudah patah–getas dan tak berdaya. Lirikan matanya liar saat ia berhasil bangkit dari ranjang–mencoba untuk melarikan diri. Mencari satu tempat yang bisa membawanya keluar dari ruangan ini.
April? Nama itu teringat kembali ketika Lisa melihat ruangan di depannya–di sana terbaring April yang sepertinya belum kunjung terjaga dari tidur panjangnya. Lisa membuka pintu ruangan itu, namun tidak bisa dibuka. Entahlah, ada kode rahasia yang sepertinya harus ditekan terlebih dahulu sebelum pintu ini terbuka. Astaga, ruangan macam apa ini? Kenapa keamanannya begitu ketat? Lisa masih tak habis pikir.
Lalu sekarang apa?
Langkah–langkah besar berjalan di atas tanah humus dan dedaunan kering. Sesekali langkahnya berpapasan dengan beberapa ranting hingga menimbulkan suara derak halus. Berbalutkan sepatu pantofel berwarna hitam berkilau. Di belakangnya terparkir sebuah mobil Rover hitam. Silir–semilir angin menghembuskan dedaunan kering, menyertai langkahnya memasuki sebuah rumah berdinding kaca di tengah hutan.
Ponsel pintarnya menjadi pengendali sebuah lift. Dalam ketidakpastian dia melangkah memasuki lift yang telah terbuka. Dirinya tampak gelisah di dalam lift. Saat lift terbuka–di ruang bawah tanah, dari jarak satu yard, dia dibuat tercengang dengan seorang gadis yang menodongkan pistol tepat ke wajahnya.
Harvey melihat betapa tertekannya Lisa memegang senjata itu. Mencoba tak gentar, namun geletar tubuh dan tangan itu tidak bisa menipu penglihatannya. Harvey masih tak bergeming, menatapnya dengan waspada. Lalu mengerling pada senjata yang digenggam Lisa. Penglihatannya pun tajam ketika melihat lengan Lisa yang mengalir darah segar.
Rupanya tatapan Harvey tersebut membuat todongannya makin bergemetar hebat. Ancang–ancang Harvey untuk menggerakan beberapa anggota tubuhnya, terlihat oleh Lisa.
"Jangan bergerak, atau kamu mati."
"Okey." Harvey mengeluarkan wajah pasrah dan patuhnya, sambil mengangkat kedua tangannya. Dia tidak begitu kaget dengan pistol yang dipegang Lisa saat ini. Karena memang pistol itu adalah miliknya, yang disembunyikan di dalam ruangan sterilisasi di sebelah ruang operasi. Lengkap dengan beberapa pelurunya.
"Keluarkan aku dan April dari sini!" serunya dengan mulut yang menggigil karena bersemangat, marah dan takut. Lisa tak memedulikan tangan kirinya yang masih sakit karena terkilir.
"Bagaimana kamu bisa keluar dari ruangan itu?"
"Kamu lupa ya... Waktu kamu bawa aku ke sini, diam–diam aku merhatikan kode yang kamu tekan di pintu itu."
Harvey tidak bergerak sedikit jua. Diamnya tampak aneh bagi Lisa. Kemudian Lisa menggertak dan mengancamnya lagi. Harvey pun menuruti kemauan Lisa. Membuka pintu kaca itu dengan menuliskan empat digit kode rahasia. Ketika pintu terbuka, Lisa berlari mendekati April. Sedangkan Harvey terlihat berlari ke ruangan sterilisasi.
Saat Lisa berbalik, Harvey terlihat tergesa–gesa menghampirinya.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Nothing."
Lisa cemas sembari menodongkan pistol itu ke arah Harvey kembali. Pandangan liarnya mencari objek lain dalam tubuh Harvey. "Apa yang kamu sembunyikan?"
"Tidak ada!" Harvey mengangkat tangannya kembali. Menunjukkan bahwa tidak ada yang disembunyikan olehnya.
"Cepet! Sekarang bawa kita keluar dari sini."
Seruan Lisa tak dihiraukan oleh Harvey. Dia hanya berdiri mematung dihadapan Lisa dengan wajah datarnya.
"Kenapa kamu diam? Aku nggak main–main!" Lisa semakin panik. Atmosfir mencengkam terjadi.
Perlahan, tangan yang terangkat itu mulai turun. Kepatuhan serasa memudar dari diri Harvey. Seolah pistol berpeluru timah itu tak mampu menggoyahkan keputusannya. Menganggap pistol itu bagai pistol mainan yang sering dimainkannya saat kecil dulu.
Lisa melangkah mundur dua langkah. Harvey sebaliknya–melangkah maju mendekati Lisa.
"Jangan mendekat! Atau aku akan menembak kamu!"
"Silahkan." katanya enteng. Tak ada emosi yang berarti dari nada suaranya. Justru Harvey yang mendominasikan situasi sekarang. "Silahkan tembak."
Merasa terancam dengan keberanian Harvey, Lisa segera menekan pelatuknya. Tangannya menggeletar hebat ketika pelatuk itu ia tekan. Namun tidak ada sesuatu yang terjadi. Bahkan suasana masih sesunyi tadi. Tidak terdengar letusan tembakan ketika pelatuk itu ditekan.
Rupanya, saat Harvey berkesempatan memasuki ruangan sterilisasi, dia sempat membuka salah satu lemari–di mana ia menyembunyikan pistolnya di sana. Tetapi dia masih melihat peluru beserta selongsongnya di sana. Itu berarti sejak tadi Lisa menodongkan dirinya dengan pistol tanpa peluru.
Harvey merebut pistol itu dari tangan Lisa, dan dengan reaktif menangkap tubuh Lisa dari belakang sebelum akhirnya ia memanggul Lisa dengan kasarnya.
Lisa meronta dan memukuli punggung Harvey dengan tenaga yang ala kadarnya. Namun apa daya, tangan kirinya yang masih terbalut perban, serta tangan kanannya yang mengalami perdarahan akibat infus yang ditariknya secara paksa membuatnya begitu lunglai. Tetapi pukulan itu tak berpengaruh pada Harvey. Ia tetap membawa Lisa keluar dari tempat ini.
Saat Harvey menekan digit angka dalam kunci keamanan pintu, sesuatu yang mencengangkan terjadi. April menggerakan kepalanya dengan dengkik–terlalu sayup dan lemah. Jari–jarinya bergerak kecil seperti sebuah kedutan. Seraya sebuah indikasi yang tak terjangkau oleh pandangan orang lain.
Tak lama setelah Harvey keluar dari ruangan tersebut, April mulai mengeluarkan suara desah yang berujung menggumam.
Introduksi dalam sebuah acara berita disaluran televisi nasional terdengar bagaikan melodi. Gambar televisi pun seketika berubah drastis. Menampilkan seorang wanita berambut pirang menggunakan kacamata yang dinobatkan sebagai pembawa acara berita tersebut.
Air mukanya yang biasa saja tiba–tiba berubah menjadi sungguh-sungguh ketika membacakan berita yang pertama. Dengan nada tegasnya, dia mengatakan ikhtisar dari berita yang dibacakan. Bahwasannya, anggota kepolisian Ulster County menemukan beberapa jasad yang terkubur di kawasan Catskill, tepatnya di pelosok Cauterskill Road.
Pembawa berita itu mengajak para pemirsa menyaksikan keadaan langsung yang terjadi di tempat kejadian. Dia melantingkan seorang reporter bernama Thomas untuk melaporkan secara langsung bagaimana kondisi di sana.
Sembari menyelesaikan beberapa kalimat yang belum selesai, layar terbagi dua dengan gambar seorang pria memegang mikrofon. Thomas menunggu pembawa acara berita mengizinkannya untuk berbicara. Angel, pembawa berita bermata lebar itu akhirnya meminta Thomas untuk melaporkan keadaan langsung di tempat kejadian.
Layar televisi sekarang disesaki oleh wajah Thomas yang dengan cekatan melaporkan berita. Ia mengatakan bahwa kepolisian telah menemukan enam jasad yang belum diketahui identitasnya di sebuah hutan di pelosok Cauterskill Road. Jasad–jasad tersebut ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan. Beberapa dari mereka tidak memiliki bola mata. Dan organ-organ tubuhnya sudah tidak lengkap, teridentifikasi dari tubuh-tubuh mereka yang dipenuhi jahitan.
Kepala Inspektur New York City, Joan Crewson, yang sempat diwawancarainya mengatakan, peristiwa ini adalah bentuk kriminalitas dan tindakan ilegal yang merenggut nyawa manusia dengan kejam. Ada konspirasi terselubung terkait jasad–jasad tersebut. Dan ia menugaskan polisi untuk menyelidikinya lebih dalam, serta mencari dalang dari semua ini.
Thomas kembali terlihat di layar televisi setelah Kepala Inspektur selesai memberikan keterangannya. Dia kembali melaporkan, jasad-jasad itu telah dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi. Pihak otoritas setempat sedang mencari data relevan dari jasad–jasad tersebut. Dan untuk keluarga yang merasa kehilangan salah satu anggota keluarganya diharapkan untuk datang ke kantor kepolisian Ulster County.
Sepasang mata saling mengerling ketika melihat berita tersebut. Ralan menatap tajam dan terpaku–merangkam ujung sofa dengan rangsangan kuatnya. Begitu pula dengan Andri dan Alex, raut wajah mereka sangat kencang dan ketir–ketir tak karuan. Sudah pasti mereka merasakan hal yang sama. Sesuatu yang masih menjadi misteri hingga saat ini.
“Aaa... aaa..” Andri memulai pembicaraan dengan tergagap–gagap sambil bangkit dari tempatnya terduduk. Dia mencemaskan adiknya yang belum kunjung ditemukan. Sampel darah itu telah membuat kecemasannya semakin mendidih. “Aku nggak bisa terus–terusan diam kaya gini!” roman mukanya merah padam. Mengandung kebencian atas semua musibah ini. “Kita harus mencarinya!”
“Kita sudah mencarinya!” Alex menegaskan.
Ralan ikut bangkit juga. “Kita nggak boleh menyerah! Kita harus selesaikan daftar pencarian itu!”
Keenan yang berdiri di samping sofa terlihat sependapat dengan mereka berdua. Beda halnya dengan Alex yang masih tampak tak berdaya dengan semua ini.
“Sebaiknya kita melihat jasad–jasad itu terlebih dulu.”
Semua membelalak terkejut. Layaknya pelanduk di cerang rimba, gelisah dan kehilangan akal. Andri merasa tidak terima dengan perkataan om nya sendiri. Apa maksud Keenan mengajaknya untuk melihat mayat dari korban pembunuhan sadis itu? Apakah dia menganggap kalau April atau Lisa menjadi korban dari pembunuhan tersebut? Persetan!
Andri menggeleng dengan tidak puas, menyayangkan ucapan Keenan tersebut. Menganggap Keenan sudah keterlaluan. Namun Keenan menyadari hal itu dengan cepat. Memberikan penjelasan lebih terkait perkataannya barusan. Dia meyakinkan Andri untuk selalu berpikiran postif. Namun bukan berarti meniadakan deteksi yang ada. Setidaknya mereka harus menimbang hipotesis dari setiap pengutaraan, salah satunya mengetahui lebih lanjut tentang mayat yang ditemukan itu.
Kali ini Ralan harus semupakat dengan Keenan. Lagipula memang tidak ada salahnya untuk mengetahui jasad–jasad tersebut. Lagian, bukankah April dan Lisa juga sudah tidak ditemukan hampir sembilan hari lamanya? Andri tidak boleh menyangkal kenyataan dan fakta yang ada.
Sejam kemudian, mereka tiba di kantor kepolisian Ulster County. Mereka bertemu dengan Inspektur Tobias Myers yang sedang bertugas di sana. Wajah–wajah serius yang kekurangan humor tersebut menghampiri inspektur itu.
Myers dan Keenan sempat berbicara empat mata di ruangannya. Dia mengatakan kepada Keenan bahwa tidak ditemukannya ciri–ciri fisik yang sama dengan April dan Lisa. Sebagian besar dari mereka adalah turis dari luar Amerika, seperti Eropa dan Australia. Sejauh ini, belum ditemukan turis Asia. Kemungkinan besar, karena Myers telah melihatnya sendiri dengan cermat, dibantu oleh beberapa ahli. Tetapi ia tidak akan menahan Keenan bila dia ingin memeriksanya sendiri.
Lima belas menit berlalu, Keenan keluar dari kamar mayat dengan wajah yang tampak serius. Diantara Andri, Ralan dan Alex tidak ada yang berani menanyakan apa yang telah dilihat Keenan di dalam kamar yang berisi jasad–jasad yang sudah tak bernyawa itu. Sebelumnya, mereka pun tidak ada yang mau mendampingi Keenan ke ruangan mengerikan itu.
“Mereka tidak ada di sana.”
Semua saling mengerling. Ragu–ragu antara ingin bersyukur atau malah makin terpuruk.
Sial! Lisa menggerutu dalam hati. Ia menggertak tubuhnya untuk segera keluar menghampiri ambulans tersebut dengan wajah yang marah.
Ketika deru mesin mobil ambulans itu mati, Lisa menggedor jendela mobil sebelah kiri dengan satu tangannya. Matanya membelalak kesal.
"What the hell?!" pekiknya saat seorang pria keluar dari kursi kemudi.
Ekspresi yang begitu tenang lagi–lagi menukik dari bibirnya. Dengan mulut yang sedikit terbuka, Harvey membuang napasnya dalam–dalam. Kembali bersabar menghadapi emosi Lisa yang membeludak belakangan ini.
"Apa maksud kamu bawa mobil ambulans ke sini?"
"Ada yang harus saya kerjakan."
Harvey tak begitu mengindahkan ketidaksukaan Lisa terhadap dirinya. Ia berjalan memasuki rumah. Di belakang tubuhnya, Lisa mengikutinya bagaikan bayangan, namun dengan mulut yang terus meracau.
"Siapa kamu sebenarnya? Sebaiknya kamu jujur sekarang, atau aku yang akan membongkar semuanya!" desak Lisa ketika Harvey membuka pintu kamar April. April masih tak sadarkan diri dihari ketiganya.
"Go ahead!" tegasnya. "Apa yang kamu tahu tentang aku?" kali ini Harvey memusatkan perhatiannya kepada Lisa.
Kaki Lisa gemetar. Liar, tatapan itu mengitari bola mata Harvey. Bunyi gemertak antara gigi gerahamnya bersatu padu. Ada penyampaian yang tertahan dalam diri Lisa. Sesuatu yang akan merubah segalanya. Dia sudah tahu siapa Harvey sebenarnya. Dan dia baru mengetahuinya tak lebih dari dua jam yang lalu, waktu Harvey tidak ada di rumah.
Lisa memilih bungkam. Dia belum siap mengatakan apa yang telah ia ketahui. Ia takut jika mengakui kejahatan terselubung yang sedang dilakukan Harvey dapat mengancam keselamatannya. Dia belum siap, dan sepertinya tidak akan siap hingga seseorang datang untuk menolongnya.
Harvey mengenyahkan pandangannya kepada Lisa. Sekarang ia menaruh perhatian lebih kepada April. Memeriksa infus dan peralatan medis lainnya. Dia merasakan aliran darah di dalam tubuh April yang semakin hari terasa dingin. Warna kulitnya semakin lesi. Harvey sekuat tenaga melakukan yang terbaik untuk April. Apapun akan ia lakukan untuk gadis itu.
"Aku harus memindahkan April." ucapan ringan terdengar di udara. “Dia membutuhkan serangkaian perawatan yang intensif, dan beberapa operasi besar.”
Lisa semakin bingung dengan semua ini. Dia harus menghentikan Harvey secepatnya, sebelum semua terkubur dan tak kembali selamanya. Tapi bagaimana? Lisa hilang akal. Tangan kirinya masih terasa nyeri setiap kali ia melonjakkan emosinya lebih kuat. Perasaan hatinya benar–benar tidak seimbang. Lebih baik kupatahkan saja tangan ini! Ide gilanya tercetus begitu saja. Seolah menyalahkan sesuatu yang telah membuatnya menderita.
Langkah itu bergerak keluar dari ruangan. Harvey bergerak cepat. Entah, apa yang akan ia perbuat lagi selanjutnya. Lisa hanya memerhatikan perangai Harvey yang tegas dan dingin itu.
Cukup lama Harvey tidak kembali, agaknya sudah dua puluh menit. Kira–kira ke mana pria itu. Lisa masih menuggunya di kamar April. Dia duduk di kursi–menghadap April yang sedang berbaring. Air mukanya bersedih hati, waswas, prihatin, dan ketakutan. Lisa tidak tahu harus berbuat apa tanpa seorang April.
Dahulu, April selalu saja membantunya selagi ia mendapatkan masalah. Lisa seorang fatalis yang mudah putus asa. Selalu melihat masalah sebagai akhir dari segalanya. Jiwanya rapuh. Tak seperti April yang idealistis dan optimistis, melihat peluang dari kegagalan. Itu sebabnya, April bisa menjadi penulis best seller, meskipun dulu naskahnya sering sekali ditolak penerbit.
Lisa sering sekali menyalahkan diri sendiri ketika tak mampu menyelesaikan masalah. Bahkan saat ini dia bingung harus berbuat apa. Situasi kritis seperti ini bisa melenyapkan nyawanya. Dia takut apa yang ia perbuat akan membawanya dalam maut. Namun ada kemungkinan besar bila dia tidak melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri, risikonya akan jauh lebih fatal. Lisa belum siap untuk mati. Ia sangat takut dengan hal itu.
"Pril, bangun..." terdengar suara sengau dan sedu–sedan. "Kita harus keluar dari sini bareng–bareng. Gue nggak tahu, Pril kalau nggak ada lo. Gue bingung harus gimana."
Terdengar bunyi benturan antara kenop pintu dan dinding yang didorong secara paksa. Lisa terperanjat, lalu bangkit dari kursinya. Harvey datang membawa brankar ambulans (sebuah ranjang/tandu darurat yang biasanya terdapat di ambulans). Diiringi dan dibantu oleh dua orang pria berwajah bule. Kira–kira usia mereka di atas tiga puluh tahun. Pria yang sama ketika membantu Harvey menolong April di malam kejadian. Lisa pun tampak tidak mengenali mereka.
"Kamu mau ngapain? Apa yang mau kamu lakukan pada April!" daya melindungi Lisa namun tampak cemas, memancar. Layaknya perisai yang terbuat dari lapis baja, Lisa menghalangi Harvey dan dua orang itu untuk mendekati April.
Tatapan Harvey tajam, seolah menikam Lisa yang terlihat ketakutan.
Tetapi Lisa masih sanggup menyergah Harvey. "Jawab dulu pertanyaan aku!"
"Saya harus segera memindahkan April dari sini. Dia harus segera dioperasi. Kondisinya semakin memburuk!"
"Operasi apa? Apa kamu mau membawa dia ke rumah sakit?"
Pandangan jemu dari mata Harvey terlihat. "Kamu tidak usah banyak tanya! Kalau kamu mau tahu, kamu boleh ikut."
Lisa pun luluh seketika. Dia menggeser tubuhnya ke sisi kiri–mengizinkan Harvey dan dua orang itu membawa April. Semoga pilihannya tidak salah. Mungkin ini peluang bagi Lisa untuk menyelamatkan diri, dan mencari pertolongan kepada polisi untuk membebaskan April dari tangan Harvey. Lagi pula, ia juga tidak memiliki pilihan lain selain membiarkan Harvey membawa April. Apa yang bisa diperbuat dari seorang gadis dengan lengan yang terkilir.
Dalam perjalanan menuju ambulans, Lisa mengiringi mereka. Memerhatikan setiap gerak–gerik mereka. Semua ini terlihat deskriptif, membawa seorang gadis yang sedang koma. Lisa yakin semua akan jauh lebih rasional dengan pemikiran positifnya. Dia percaya kalau Harvey akan membawa April ke rumah sakit tempatnya bekerja, lalu melakukan operasi di sana. Lagi pula, Harvey tidak akan bisa menyalahgunakan ambulans resmi milik sebuah rumah sakit untuk sesuatu yang di luar akal sehat. Dia bisa terancam pidana.
Dua pasang mata itu tampak mengagah di dalam ambulans. Ditengah–tengah perjalanan yang gonjang–ganjing, mobil ambulans ini melewati ranting–ranting dan semak belukar kecil di dalam hutan. Sudah sepuluh menit berkendara di dalam hutan, tidak ditemui jalan utama atau jalan raya.
Perhatian lebih Harvey kepada April membuat Lisa semakin termangu–mangu. Padahal Lisa sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, namun belas kasih yang diperlihatkan Harvey untuk April membuat dirinya mengalami
disinformasi. Dirinya tenggelam lebih jauh dalam kelam kabut.
Lebih mencengangkan lagi, Lisa melihat adegan yang tak sepatutnya ia saksikan–silap mata yang membuatnya tertegun. Sebuah kekeliruan yang seakan menjadi dogma dan harus dibenarkan. Harvey mencium tangan April dengan hanyutnya. Lisa semakin muak melihatnya.
Sekejap, Harvey menyadari keberadaan Lisa. Kemudian ia memandanginya dengan datar tanpa makna. Sekiranya ia tak memikirkan apa yang baru saja ia perbuat. Atau mempermasalahkan penilaian Lisa terhadapnya. Satu–satunya yang dia tahu, ia tidak peduli dengan semuanya, terkecuali April.
"Saya lagi berusaha mencari pendonor kornea mata untuk April." tiba–tiba Harvey berbicara kepada Lisa yang tertunduk lesu, namun seketika tergugah karena perkataan tersebut.
"Apa yang terjadi dengan matanya April?" tidak ada cahaya dari matanya–redup dan dalam.
Dada Harvey mengembung, kembali ia mengisi dadanya dengan udara agar pernapasannya tak tersekat karena harus menjelaskan insiden yang memilukan ini.
Pelan–pelan, ia mulai menjelaskan. "Kornea mata April rusak akibat kecelakaan pada malam itu. Dia mengalami kebutaan dan... satu–satunya cara, dia harus melakukan operasi transplantasi kornea mata." dia berhenti sejenak. "Sekarang saya lagi mencari pendonor kornea untuk dia." entah, sepertinya Harvey lebih terpukul dari pada Lisa. Tapi bukan berarti Lisa tidak prihatin dengan kondisi ini.
"Saya tidak mau hal yang sama terulang kembali."
Sesaat Lisa heran dengan yang barusan Harvey katakan. Apa maksudnya dia tidak ingin mengalami hal yang sama? Mungkinkah musibah ini pernah terjadi dengan seseorang yang dikenal Harvey?
Lisa mencondongkan kepalanya–membiarkan matanya menilik jawaban tersebut di wajah Harvey. "Aku nggak ngerti maksud kamu apa? Memangnya, ini pernah terjadi sebelumnya?"
"Sudahlah..." keengganan Harvey tampak jelas. "Jangan biarkan saya menceritakan hal ini kepada kamu."
Lisa memilih untuk tidak menyesak Harvey. Lagipula, Lisa sudah memiliki jawaban tersendiri mengenai pertanyaan itu dalam bentuk versinya. Dia juga ingin lebih berhati–hati dan waspada terhadap Harvey. Dia percaya kalau Harvey memiliki maksud tertentu karena telah menolong dirinya dan April. Tampaknya, April akan menjadi sebuah nama yang memiliki arti untuk Harvey. Suatu saat nanti, Harvey akan mengukir punggungnya dengan nama bertuliskan "April", mungkin saja.
Setengah jam sudah mereka berada di dalam ambulans. Selama itu pula Lisa dan Harvey tak berbincang. Sekarang, terdengar suara tidak jelas dari depan sana–dikursi kemudi. Dua bule itu sedang berbincang menggunakan bahasa yang aneh. Agak asing bagi Lisa. Aksennya pun bukan seperti orang Amerika atau Inggris.
Tak lama dari obrolan dua pria bule tersebut, akhirnya roda ambulans ini berhenti berputar di sebuah rumah berdinding kaca di pelosok hutan. Seberapa besar dan luaskah hutan ini, sampai–sampai mereka harus menempuh setengah jam untuk sampai ke tempat tujuan.
Rumah ini jauh lebih besar dengan dinding–dinding yang dilapisi kaca tembus pandang. Berasitektur modern dan kontemporer. Lisa dapat melihat bagaimana rumah tersebut tampak kosong di dalamnya. Sekiranya tidak ada perabotan di dalam rumah itu yang bisa ia lihat dari luar. Entahlah, dia belum betul–betul mengetahuinya sampai ia memasuki rumah tersebut.
Harvey, dibantu dua pria bule menurunkan April dari ambulans dan membawanya memasuki rumah. Ruang tamu kelihatan hampa dengan lantai keramik berwarna hitam berbintik putih. Dua sofa sedikit meramaikan sepinya rumah. Saking sunyinya ruangan itu, suara Lisa menggema ketika berbicara.
Di ruang tengah, ada satu rak buku berukuran besar. Tapi sayangnya rak itu hanya terisi beberapa buku saja, tanpa pajangan apapun. Rak buku itu masih menjadi pengamatan Lisa, apalagi saat salah satu pria bule tersebut mendorong rak itu ke sisi kanan. Harvey dan satu temannya juga berhenti menghadap brankar beroda yang ditiduri April. Mereka menunggu pria bule berkumis itu melaksanakan tugasnya. Keberadaan mereka dua meter dari rak buku yang sedang di dorong. Sepertinya rak buku itu memiliki roda di bawahnya, sehingga mudah untuk digeser.
Pemandangan yang berbeda pun disajikan. Tapi tidak ada yang istimewa selain lukisan kontemporer yang tertempel di dinding. Sebuah lukisan kontemporer abstrak seukuran pintu rumah. Lisa tampak keheranan, kenapa dibalik rak buku ini ada sebuah lukisan kanvas sebesar itu. Rasanya seperti ada yang mereka sembunyikan.
Lisa membuang napas kuat–kuat untuk menghilangkan kesal hatinya. Tidakkah mereka hanya membuang–buang waktu. Sebenarnya apa yang sedang pria bule itu lakukan.
Kemudian, pria bule tadi melepaskan lukisan tersebut dari tempatnya. Namun tunggu. Ada wujud tak biasa di balik lukisan besar itu–sebuah pintu berdinding kaca. Agaknya itu bukan sebuah ruangan, tapi melainkan sebuah lift. Lift di dalam rumah? Rumah ini sepertinya hanya memiliki dua lantai saja, tapi kenapa harus ada lift? Sekujur tubuh Lisa merinding. Ada sensasi yang tak biasa padanya.
Namun tak berselang lama, Harvey mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah ponsel pintar miliknya. Dia menggeser–geser layar ponsel itu. Lewat satu menit kemudian, terdengar bunyi "beep" sebanyak tiga kali. Tak diduga, seketika itu juga pintu kaca tersebut bergeser tanpa menciptakan bunyi.
Lisa menganga terkejut. Baiklah, rasanya memang tidak terlalu berlebihan bila di rumah sebesar dan sefuturistis ini memiliki sebuah lift di dalamnya. Lisa sudah pernah mendengar hal tersebut, meskipun belum pernah menemuinya secara langsung. Tentu saja kejadian ini membuatnya tercengang. Di mana lagi dia dapat menemukan sebuah lift di dalam rumah, kalau bukan di rumah besar modern yang misterius ini.
Pertanyaan yang sedari tadi dipikirkannya seketika menghilang. Bagai debu tertiup angin. Perasaan curiga kepada Harvey perlahan tersingkirkan. Lisa kembali memercayai Harvey, walau dia telah mengetahui kebenaran yang tak terbantahkan. Setidaknya, untuk saat ini Harvey tidak melakukan hal yang mencelakaan dirinya atau April.
Yang menjadi pertanyaannya sekarang, rumah siapakah ini? Lalu di mana rumah sakitnya, bukankah Harvey akan melakukan operasi terhadap April? Dan mengapa pemilik rumah ini harus membangun rumah modern di pelosok hutan, yang bahkan belum tentu dilirik oleh orang? Satu hal lagi yang mengganggu pikirannya, kenapa lift itu begitu canggih–menggunakan remote control berupa smartphone? Ini antara terobosan terbaru atau Lisa yang memang gagap teknologi dan kurang update?
Ruangan lift ini cukup luas. Mereka semua dapat masuk di dalamnya, walaupun agak sedikit berdesakan. Ini karena ranjang ambulans yang lumayan panjang dan besar. Lisa harus berdiri menghadap ranjang itu–tepat di kakinya April, diujung lift paling dalam bersama satu orang pria bule yang berkumis lebat.
Lift ini berlantai kayu mahoni yang di cat putih. Tidak seperti kebanyakan lift di gedung–gedung perkantoran, lift ini justru didesain senatural mungkin dengan dinding yang dilapisi wood panel. Anehnya, tidak ada tombol yang melekat di lift ini. Lift ini hanya bisa dioperasikan dengan ponsel pintar yang dipegang Harvey.
Lengan kanan Lisa terpaksa harus bergesekkan beberapa kali dengan
tangan gagah pria tesebut. Itu membuat Lisa risih dan ketakutan, sehingga ia harus beberapa kali menundukan kepalanya untuk menstabilkan keresahannya. Lama kelamaan, pria berkumis itu mengerling kepada Lisa, lalu tersenyum menggoda. Dia memanggil satu temannya yang terlihat jauh lebih muda darinya. Kemudian mengajaknya sedikit berbicara menggunakan bahasa Perancis, dengan gerak nakal bibirnya yang cengengesan.
Seolah mengerti dengan obrolan kotor para pria, Harvey pun menegur mereka. "Don't try it!" tanpa menoleh kepada mereka semua.
Semua memandangi Harvey, terutama kedua pria itu yang terlihat menyesal dan ketakutan. Namun berbeda dengan wajah polos Lisa yang tampak bodoh.
Lift ini berjalan ke lantai bawah menuju ruang bawah tanah. Beberapa menit kemudian lift berhenti, dan pintu terbuka secara otomatis. Betapa terkejutnya Lisa saat melihat ruangan bawah tanah ini. Sebuah lorong panjang dan lebar yang dilapisi dinding kaca di kanan kirinya. Di dalam lorong tersebut terdapat beberapa ruangan. Harvey dan dua pria tersebut mengantar April ke salah satu ruangan yang di pintu kacanya tertulis Holding Room.
Lisa hanya mengiringi mereka dari belakang, sambil celingukan memerhatikan ruangan putih bersih dengan dinding–dinding kaca. Dia merasa seperti berada di ruangan steril tanpa satu debu pun yang terlihat. Ketika matanya kembali terfokus kepada April, dia sudah melihat April terbaring di ranjang yang berbeda. Ranjang yang lebih besar–yang terdapat di ruangan tersebut.
Dua pria bule itu keluar dari ruangan sembari membawa ranjang ambulans. Tampaknya mereka akan mengembalikan ranjang darurat tersebut ke dalam mobil ambulans. Sementara itu, Harvey sedang merapikan alat–alat medis yang hinggap ditubuh April. Tidak lupa, ia juga memeriksa keadaan April yang tampak pucat itu.
"Ini ruangan apa?"
"Holding room." tak beralih dari kesibukannya.
Lisa merekatkan bibirnya dengan jengkel. "Gue juga tahu. Tadi gue juga baca di depan pintu." Lisa mendekatkan dirinya kepada April–berseberangan dengan Harvey. "Kondisi April sekarang baik–baik aja, kan?" kerutan cemas di matanya kembali terlihat.
Harvey tak menyahut.
***
Suasana kian membara. Layaknya jago merah yang sudah melalap sebuah rumah. Andri merasakannya, api yang seakan telah membakar hatinya. Kini, semerbak aroma lembut musk dan rosewood dari koper yang baru saja ia buka, membuat ingatannya kembali pada dekapan terakhir itu–perpisahannya di bandara bersama April. Wewangian ini menyadarkan Andri bahwa sebagian kenangan akan terserap disetiap pancaindra, khususnya penciuman. Tak akan pernah terlupakan olehnya.
Andri masih tak percaya, semua pakaian yang ada dikoper adiknya, justru malah menyisahkan duka. Dia belum siap menyaksikan pakaian ini tanpa jasadnya. Tidak mungkin semua pakaian dengan aroma wangi ini hanya tertata rapi tanpa dikenakan pemiliknya.
24 jam yang lalu.
Wina mendekap erat anak sulungnya di tengah–tengah keramaian pengunjung bandara. Beliau menangis histeris dipelukan anaknya. Untuk kedua kalinya ia melakukan perpisahan di bandara. Namun dengan atmosfir yang jauh lebih berbeda.
Cerahnya hari tak mampu melonggarkan sesak di hatinya. Kali ini ia harus merelakan anak pertamanya untuk terbang ke Saugerties. Karena sebelumnya, kerelaannya melepaskan April berlibur ke Saugerties empat hari yang lalu, harus berujung malapetaka. Serta membuat hatinya porakporanda.
Kehilangan April empat hari yang lalu membuat Andri menekatkan dirinya untuk terbang ke Saugerties. Ini seperti sebuah panggilan hati, dan kewajiban yang harus ia penuhi. Tidak ada satu orangpun yang bisa hidup tenang ditengah–tengah kecemasan. Menunggu kabar dari seseorang yang entah berada di mana.
Tetapi Andri tak mengizinkan mamanya untuk ikut ke Saugerties bersamanya. Wina harus tetap waras di Jakarta, menjalani kehidupan sesuai kodratnya. Dan menunggu kabar dari Saugerties–kabar darinya. Andri yakin sekali, mamanya akan tambah terpukul dan bertengkar hebat dengan Keenan bila ia ikut ke Saugerties.
Andri juga telah berjanji kepada mamanya akan membawa April pulang ke Jakarta dengan selamat. Meskipun ia sendiri tidak pernah membenarkan janji itu. Ungkapan itu hanya wacana untuk mengurangi kadar depresi dan kecemasan mamanya saja. Namun bukan berarti hal itu mustahil untuk ia lakukan. Karena ia yakin dan percaya dengan takdir yang dituliskan Tuhan. Walau takdir itu harus berakhir dengan air mata, atau happy ending.
Sehari yang lalu pula, sebelum keberangkatannya ini, Andri dan Wina sudah melaporkan kejadian tersebut kepada kementerian luar negeri. Mereka meminta bantuan, dan mendesak untuk menegakan hak asasi manusia April dan Lisa sebagai WNI yang telah dinyatakan hilang di negara Paman Sam.
Menteri luar negeri mengatakan bahwa akan menindaklanjuti kasus kehilangan ini segera. Melaporkannya kepada konsultan Jendral Republik Indonesia di New York. Tetapi mereka juga tidak ingin gegabah atas hilangnya April dan Lisa di luar negeri. Mereka takut jikalau semua ini hanya kesalahpahaman saja. Jadi, pihak keluarga diminta untuk bersabar.
“Insyaallah... April pasti baik–baik aja, Ma.” kedua tangan Andri mencengkram kepala bahu Wina. "Mama berdoa aja supaya April cepat ketemu ya…” Andri bersusah hati melihat Wina yang terluka harus ditinggalkan anaknya kembali. Meski kepergian Andri adalah untuk mencari April, dan mengikuti perkembangannya.
Mereka kemudian saling bertimbang pandang. Di belakang Wina ada tante Andri, adik kandung dari ibunya yang sedang bermenung memandangi perpisahan mereka berdua. Tak lupa, kehadiran Ralan juga menambah anggota yang bukan keluarga, namun turut merasakan kesedihan. Ia juga akan menjadi penumpang pesawat dengan tujuan penerbangan ke New York bersama Andri. Tentu saja, menurut detektif Walter Haynes, Ralan merupakan saksi kunci.
Wangi itu... Kamar siapa ini? Kenapa aroma itu memeluk ruangan ini? Seolah menjentik ingatannya. Bahkan ia menganggap kalau April ada di dalam kamar ini. Perlahan, Ralan mendekati Andri yang terjongkok di lantai–dia seperti menghadap pada sesuatu, tapi sayangnya tak terjangkau oleh pandangan Ralan.
Detik demi detik membawa tubuh Ralan bersanding di sisi Andri. Sekarang dia tahu apa yang ada di hadapan Andri. Sebuah koper yang menyajikan pemandangan pakaian dan perlengkapan perempuan lainnya. Di samping koper yang terbuka itu, juga ada sebuah koper lagi, sudah dipastikan itu koper Lisa.
Ralan berusaha tegar di depan Andri. Dengan nada rendahnya ia berucap, "Ini yang bakalan jadi kamar tidur kita?" dia bangkit dan duduk di kasur.
Andri segera menutup koper itu. Tidak biasanya ia memperlihatkan kesedihannya di depan sesama laki–laki. Apalagi ia tahu bahwa Ralan terlihat lebih kokoh dari pada dirinya. Mata Ralan tak terlihat membengkak seperti matanya. Selama mengetahui kabar buruk ini, Andri memang selalu menangis disetiap kesempatan. Ia merasa sedih setiap kali mengingat April. Pori–porinya seakan dibanjiri air mata.
"Hei... Kalian mau makan malam dulu, atau mau langsung istirahat?" Keenan mengucapkannya dengan kekok dan sangat hati–hati. Rasanya ia ingin menarik ucapan itu lagi, menelannya dan mengubur setiap kata, bila ia ingat pada sebuah penyesalan.
Andri salah satu orang yang merasakan luka itu. Tetapi ia tak pernah menyalahkan pihak manapun, termasuk Alex dan Keenan.
Mungkin nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang bisa mengubahnya menjadi beras, namun hikmahnya selalu ada, bubur itu masih bisa disantap. Meskipun jauh dari ekspektasi yang ada.
Mereka pun tak bisa menutupi luka itu. Wajah–wajah mereka yang terlihat lelah dan pucat menggambarkan kondisi yang tidak baik–baik saja. Bibir mereka yang terlihat kering dan pecah–pecah seraya kumpulan orang yang dehidrasi di padang belantara. Dan sepasang mata yang terlihat sayu kelelahan. Serta suasana kebersamaan yang sedingin badai perak.
Sebenarnya tidak ada salahnya bila Keenan menanyakan hal semacam itu, sebab waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Dia juga paham sekali dengan kondisi seseorang yang mengalami depresi. Mereka cenderung mengurangi porsi makan, atau bahkan tidak nafsu makan sama sekali.
"Aku tidur aja, Om." sahut Andri lebih terbuka.
Keenan mengangguk. Sangat memahaminya.
Ralan agak canggung untuk mengeluarkan keinginannya. Dia sejujurnya sangat kelaparan. Sejak di pesawat ia hanya mengunyah satu sandwich saja.
Dia bergumam bimbang sebelum mengutarakan maksudnya. Ralan memang benar–benar seseorang yang selalu tidak enak hati. "Aku laper."
"Oh, kalau gitu... kamu makan dulu di bawah. Come on, Om sudah siapkan makanannya."
Ralan begitu nirselera dengan makanan itu. Padahal perutnya sudah keroncongan sedari tadi. Tapi ketika dihadapkan oleh makanan, ia justru tak tertarik. Tak ada yang mengetahui perasaannya saat ini. Mungkinkah ada yang salah dengan makanannya atau memang bayangan April tak pernah lepas dari pandangannya.
Setelah makan malam yang tak bergairah itu, Ralan kembali ke lantai atas untuk melelapkan tubuhnya dalam cahaya temaram. Dia ingin cepat–cepat menutup hari ini. Ingin menemukan hari lain di esok hari yang membuatnya tergugah untuk mencari April dan Lisa. Dia juga menantikan bagaimana detektif Haynes mewawancarainya terkait sambungan telepon dengan April dan Lisa sebelum mereka menghilang.
Timur membentang, fajar menyingsing mulai terlihat. Cahaya kebiru–biruan mengecoh setiap insan dengan aroma lembabnya. Tanah yang basah dan suhu di bawah dua puluh derajat celcius, secara inkognito membaur dengan
jiwa–jiwa pretensi.
Detektif Haynes baru saja turun dari mobilnya. Janggut tipis yang berada di bawah dagunya ia usap–usap dengan halus. Keenan sudah menyambutnya tepat di ambang pintu, dan mempersilahkannya masuk.
Tak ada basa–basi dan ucapan tak berguna yang dilontarkan Keenan kepada Haynes. Langsung saja ia memperkenalkan Haynes dengan Ralan dan Andri. Haynes sangat membuka diri kepada mereka. Namun sayangnya, mereka tak sehangat yang dipikirkannya. Disituasi genting seperti ini, mereka mengurangi formalitas dan selera humornya. Namun Haynes cukup memahami itu.
Tilikan Haynes penuh dengan perhatian setelah ia mendengar kronologis yang diceritakan Ralan kepadanya. Tetapi ia tak lekas–lekas menyimpulkan apa yang terjadi. Pikirannya masih bekerja cukup keras untuk menentukan sesuatu yang dapat ditimbang dengan rasional, menyangkut fakta–fakta yang ada.
Ralan mengatakan kepada Haynes bahwa saat April dan Lisa tersesat di suatu tempat pada malam itu, mereka mengatakan berada di sebuah jalan tak bertepi dengan sisi–sisi jalan yang dipenuhi pohon–pohon besar. Tak ada rumah yang terlihat setelah mereka menempuh hampir tiga belas kilometer jauhnya dari jalan Main Street. Ditambah, minimnya penerangan di jalan tersebut.
Semua keterangan tersebut membuat Haynes mengambil tindakan yang insentif. Segera dia pamit untuk menemui inspektur Tobias Myers di kantornya.
***
Hari keempat pencarian April dan Lisa, setelah mereka hilang enam hari yang lalu. Keterangan yang diberikan Ralan kemarin sudah membuka diskusi panjang antara Haynes dan Myers. Mereka mengarahkan anggota kepolisian untuk mencari April dan Lisa di pelosok–pelosok daerah. Tiga belas kilometer dari Main Street.Sehari yang lalu, ketika keterangan itu meluncur dari mulut Ralan. Sore harinya anggota polisi mulai diterjunkan untuk mencari kembali dengan target wilayah yang sudah dianalisis sebelumnya. Namun agaknya, pencarian tersebut belum jua membuahkan hasil minimum sekalipun.
Inspektur Myers kembali turun tangan. Hari ini, ia dan tiga orang polisi dikerahkan untuk menyelusuri bagian barat Saugerties. Daerah pelosok di Ulster County, yakni High Falls Road–jalan menuju pegunungan Catskill. Saat mencapai jalanan sepi yang di kiri–kanannya terdapat hutan dengan pepohonan lebat, Myers memutuskan untuk menepikan mobilnya, serta memeriksa jalanan dan hutan tersebut.
Grillo, melekatkan hidungnya ke aspal jalan dengan liar. Kakinya yang kecil menapak begitu lincah–lurus ke depan. Berjalan lima yard dari mobil polisi yang menepi. Hank, seorang petugas kepolisian mengawal dari belakang. Tangannya berusaha mempertahankan kekuatannya memegangi tali yang terhubung ke leher Grillo, si anjing Labrador Retriever berwarna putih.
Grillo menghentikan langkahnya, mengendus sesuatu di aspal. Hank pun ikut berjongkok untuk melihat ada apa di aspal tersebut. Sebuah titik–titik cairan yang membeku, berwarna merah kehitam–hitaman. Bahkan merah itu sudah hampir tak kentara–menyerap ke dalam aspal. Namun agaknya Grillo lebih mengetahui apa titik–titik cairan yang sudah mengering itu. Penciuman Grillo begitu mengisyaratkan sesuatu, anjing ini bahkan menjilati cairan mengering itu.
Tetapi Hank mencoba mengendalikannya supaya lebih tenang.
"What happened, Dude?" panggilan akrab terdengar dari mulut Myers kepada Hank.
"There's something." Hank menunjuk kepada aspal.
Ketika Inspektur Myers mengamati cairan mengering tersebut, dia sudah yakin kalau ini bercak darah. Layaknya Grillo, untuk memastikan lebih lanjut, Myers menjorokkan hidungnya ke aspal. Di sisi lain, Hank terlihat kewalahan menghadapi tenaga Grillo yang mengajaknya ke dalam hutan. Tetapi Hank masih mempertahankan dirinya untuk menunggu Inspektur Myers.
"Sir...?" imbauan Hank menyadarkan Myers, dan membawa mereka memasuki hutan mengikuti Grillo.
Myers mengambil HT–nya dan meminta dua orang polisi lain–yang datang bersamanya, untuk bergabung. Melalui ponselnya, Inspektur Myers menghubungi detektif Haynes untuk memintanya segera datang ke tempat di mana ia berada.
Kembali Grillo terhenti. Kali ini ia mengendus ke salah satu ranting pohon tumbang yang terselip di dalam semak belukar. Myers dan Hank saling berpandang meminta jawaban. Mereka keheranan melihat Grillo menggonggong begitu keras di depan ranting, dan sesekali ia mendengus.
Myers meminta Hank untuk menjauhi Grillo dari ranting tersebut. Dia melibatkan dirinya untuk melihat lebih dekat ranting pohon di semak belukar itu. Menariknya, dan melepaskan jeratan semak belukar dari ranting pohon. Namun anehnya, Myers tidak menemukan atau melihat apapun dari ranting pohon tersebut.
Masih membabi buta, Grillo menyalak dan mencoba mendekatkan dirinya kembali ke dalam semak belukar. Barangkali, apa yang dimaksudkan Grillo tidak sampai ke dalam pancaindra Myers.
Melihat hal itu, Myers meminta Hank untuk memberi kebebasan kepada Grillo. "Let it be!"
Longgaran tali yang diberikan Hank kepada anjing itu, membuat Grillo lebih leluasa. Dia memasuki semak belukar yang tajam dengan berhati–hati dan terus menyalak. Lalu menarik sebuah pohon berdiameter tujuh sentimeter. Myers membantu Grillo mengeluarkan pohon itu dari semak belukar. Dan menempatkannya di tanah yang jauh lebih luas.
Grillo kembali mengendus salah satu ranting pohon tumbang itu. Dia menemukan sesuatu. Sebuah darah mati yang menempel disalah satu ranting pohon kecil tersebut. Lalu Grillo menemukan sebuah gelang yang tersangkut di ranting itu dan menggigit gelang itu di mulutnya.
Inspektur Myers melipat kedua lututnya di tanah, dan bertumpu pada telapak kakinya. Dia mengambil ranting itu dan mengamatinya dengan saksama. Sementara Hank mengambil gelang di mulut Grillo.
"Bracelet?" Hank keheranan melihat gelang itu. Sebuah gelang berbentuk seperti tali berwarna hitam. Biasanya yang memakai gelang seperti ini adalah anak–anak remaja.
Kini Hank memusatkan pandangannya kepada Myers yang sedang melihat ranting. "What's that?" Hank mengerutkan dahinya.
"Bloods."
***
PLAAKKK!!!Suara tamparan baru saja terdengar.
Gadis ini bahkan tidak mengetahui seberapa besar kekuatannya untuk menampar seorang pria dewasa. Namun sudah dipastikan bahwa tamparan itu telah terjadi. Tangan kirinya yang masih diperban rapi karena terkilir, terasa begitu nyeri sekarang. Seolah kejahatan yang dilakukan tangan kanannya berdampak juga pada tangan kirinya.
Harvey masih belum percaya apa yang telah dialami dirinya saat ini. Tamparan kali pertama dari seorang wanita yang melesat di pipi kanannya seolah telah merubuhkan harga dirinya. Tapi entah kenapa wajah itu tak pernah bisa berubah menjadi evildoer saat dirinya terancam. Bahkan wajah genialnya tak bisa disingkirkan. Tampak innocent dan bersahaja.
Sebuah ledakan luar biasa dari Lisa meletup ketika mengetahui beberapa fakta yang didekam Harvey selama ini. Bahwasanya, Harvey telah menyembunyikan ponsel pintar miliknya dan April. Lisa tak sengaja menemukannya disalah satu laci lemari yang berada di kamar mandi. Dia juga membuang kartu ponsel mereka. Padahal selama ini, Harvey mengatakan bahwa ponsel mereka hilang entah ke mana. Mungkin ini salah satu bentuk Harvey memutuskan akses dari dunia luar.
Dari perkara itu juga, Lisa tak memedulikan lagi akan kegentarannya untuk membongkar semua fakta yang telah ia ketahui secara tidak sengaja. Namun kiranya, Harvey tidak risau atau panik sekali pun. Sewajarnya dia tak mempunyai daya ekspresivitas sedikit pun. Bahkan waktu tamparan itu mendarat di wajahnya, tidak ada ekspresi yang berarti di sana.
Deruan mesin mobil terdengar dari jarak jauh, menyabur dengan dengihan Lisa yang cabar karena tindakan berani yang telah ia lakukan. Harvey menatap Lisa dengan waspada, sebelum akhirnya mengintip dari sela jendela. Moncong mobil yang ia kenali mulai terlihat dari balik hutan. Harvey pun bergegas ke lantai dua–di kamarnya untuk mengambil sesuatu.
Tak lama, dia kembali. Sementara itu, di depan rumahnya telah terparkir mobil sedan hitam dan satu mobil polisi.
"Come here, please!" selembut malaikat, Harvey mengajak Lisa ke ruang bawah tanah yang berada di log house rumahnya ini.
Ruang bawah tanah itu berada di halaman belakang rumahnya. Pintunya menyatu dengan tumbuhan liar, seolah sengaja untuk mengamuflase pintu yang terbuat dari kayu ek tersebut. Harvey menarik pintu itu–pintu yang dirancang sedemikian rupa, menghadap ke sebuah lubang berdiameter enam puluh sentimeter.
Matahari tak mampu menyinari ruang bawah tanah tersebut. Lisa tak dapat melihat apapun di bawah sana. Hanya lembah dalam yang hitam pekat.
Harvey menjejakkan kakinya pada anak–anak tangga di bawah pintu tersebut. "Come on, follow me!" tatapannya meyakinkan dan berharap penuh supaya Lisa mau mengikutinya. "I'll show you."
Lisa merengut dan tampak murung. "Sepertinya tadi ada tamu. Gimana kalau kita temuin mereka dulu?" kepalanya merunduk, melihat Harvey di bawah sana. “Dan kenapa kamu membawa aku ke sini?”
Harvey mendesah tidak puas. Dia kembali ke atas dengan gelagat yang kasar dan deras. Lekas, Harvey mencengkeram bahu Lisa dengan kuat, menyuntikkan obat bius ke lengan kanannya. Tak kuasa, Lisa meronta dan berteriak ketakutan. Namun Harvey membekap mulut Lisa kemudian, sebelum akhirnya rontaan dan jeritan itu perlahan mengendur dan sirna. Lisa tak berdaya. Dan Harvey menggendongnya memasuki ruang bawah tanah.
"Can you hear... something?" Myers melayangkan pandangan ke segala penjuru. Lalu memusatkannya ke rumah yang ada dihadapannya.
Haynes membuat keputusan pasti dengan melangkah besar mendekati pintu rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Sementara Myers lebih menaruh curiga dengan suara samar yang didengarnya tadi. Meskipun Haynes tak memungkiri hal itu, ia seperti mendengar semacam pekikan samar.
Keputusan detektif Haynes tak membuahkan hasil. Sudah sepuluh menit mengetuk, pemilik rumah belum membukakan pintu. Selagi itu, Inspektur Myers sudah tak terlihat di tempatnya. Dia berjalan mengitari rumah berdinding kayu. Sampai tibanya di halaman belakang, ia menemukan seorang pria sedang berkutat pada tumbuhan liar dan semak–semak.
Myers menyapanya dan bertanya kepada pria tersebut. Dibenaknya, ia menduga kalau pria ini seorang imigran. Dia harus meminta data lengkap dan surat–surat dari pria ini, sebelum ia memutuskan bahwa pria tersebut adalah imigran gelap.
Haynes dan Myers dibawa masuk ke dalam sebuah rumah dokter bedah. Tak ada yang mencurigakan di sini. Hanya seorang imigran yang telah menjadi warga negara Amerika dan sudah bekerja secara sah di rumah sakit Saugerties. Semua data itu lengkap, Haynes dan Myers telah memeriksanya.
Sampai akhirnya, Myers mengungkapkan kedatangannya yang secara mendadak tersebut. Dia menceritakan kepada pria dengan panggilan Harvey ini bahwa seminggu yang lalu mereka telah menemukan sebuah bercak darah, dan tanda–tanda tak wajar di hutan. Bukan saja ditemukan bercak darah, tapi polisi juga menemukan sebuah gelang dan beberapa helai rambut yang rontok di TKP. Seperti telah terjadi sesuatu.
Dari bukti dan sampel yang ditemukan, ahli genealogi genetik dan forensik kepolisian telah mengungkapkan bahwa darah, helai rambut dan gelang tersebut milik gadis yang selama ini sedang mereka cari, sejak menghilang dua minggu yang lalu.
DNA telah menyatakannya. Dua jam setelah bukti tersebut ditemukan, Andri selaku kakak kandung dari April dimintai sampel biologis untuk mengidentifikasikan bukti–bukti tersebut. Polisi juga meminta sampel Wina, ibu kandung April, yang sampel darahnya diterbangkan langsung dari Indonesia. Polisi bertindak seakurat mungkin, serta keberanian mereka meminta sampel DNA milik Andri dan Wina, semata–mata hanya untuk melengkapi sumber dan bukti yang telah ditemukan. Myers tahu kalau penciuman Grillo tidak bisa dipandang sebelah mata.
Andri pun mengungkapkan bahwa gelang yang ditemukan itu memang milik adiknya. Dia sangat menyakininya, meski di dunia ini ada jutaan gelang yang sama dan dipakai oleh orang yang berbeda. Tapi, Andri sangat percaya akan hal itu. Lagi pula, pendapat Ralan mengenai gelang itu tak jauh berbeda dengan Andri. Ralan juga meyakini bahwa gelang itu milik April. Sebab selama ini, April sangat menyukai segala jenis aksesoris, khususnya gelang. Dan gelang hitam itu selalu dipakainya di pergelangan tangan kirinya.
Namun pengujian sampel DNA membuat keluarga dari pihak korban was–was dan putus asa. Mereka berprasangka kalau tes DNA yang diminta telah mengarahkan polisi mengungkapkan kasus ini dalam bentuk afrasia kepada keluarga korban–pihak keluarga April. Bagaimana tidak, sampel itu hanya berbentuk bercak darah dan helai rambut, tanpa ditemukan jasadnya.
Hasil tes DNA tersebut keluar seminggu kemudian, dan hasilnya cukup mencengangkan. Dari hasil DNA mengungkapkan dengan akurat, mengidentifikasikan jejak seorang gadis bernama April. Walaupun polisi belum menemukan bukti lain terkait satu temannya lagi yang hilang, yaitu Lisa. Atau keterlibatan orang lain di dalamnya. Semua masih dalam penyelidikan kembali.
"Go ahead." kata Harvey mempersilahkan inspektur dan detektif itu untuk memeriksa rumahnya.
Sekitar setengah jam sudah mereka memeriksa rumah sederhana ini. Namun tak ditemukan hal–hal yang mencurigakan. Tidak lengah, Myers mengingat sesuatu yang hampir terlupakan olehnya. Halaman belakang. Dia harus ke sana dan menyelidikinya. Sebab dia menemukan gelagat yang mencurigakan dari dokter bedah yang terlihat tergesa–gesa waktu ia datang menghampiri.
Harvey sempat tertegun dan berpikir sejenak saat inspektur itu meminta dirinya untuk menemaninya ke halaman belakang. Tak disangka, dengan sejujurnya Harvey menceritakan bahwa di halaman belakang rumahnya terdapat ruang bawah tanah yang dijadikannya sebagai gudang. Dan tadi, ia habis dari sana untuk menaruh kardus tak terpakai, katanya.
Difusi cahaya merelap redup dari pintu di ruang bawah tanah ketika dibuka. Serbuk halus berupa debu berterbangan di gudang bersama pancaran sinar matahari di atas sana. Penerangan terbatas tak menggentarkan semangat inspektur dan detektif ini untuk melihat–lihat.
Seolah tak keberatan, Harvey membiarkan mereka menuruni anak tangga lebih dulu, dia menyusul kemudian. Tidak ada yang menarik di bawah sini, kecuali aroma kecoa, kotoran tikus dan tumpukan debu disetiap barang yang tergeletak tidak karuan.
Ruangan ini didominasi kardus tak terpakai. Dua buah kursi dengan sandaran dan kaki yang rusak serta patah. Berbagai alat rumah tangga lain, dan segala tektek bengek sudah tak berguna ditempatkan di sini.
Haynes tertarik pada salah satu lemari usang yang berkaca. Seperti baru saja jatuh cinta pada pandangan pertama, tiba–tiba terdengar bunyi kerat dan kereket dari dalam lemari tersebut. Sontak, bunyi itu mengaggetkan Myers yang mencoba untuk membuka sebuah koper berukuran besar, namun terabaikan dan memilih untuk mendekati sumber suara di dalam lemari.
Perlahan Haynes mendekati lemari tua tersebut. Sementara Myers sempat memandang Harvey dengan curiga dan liar. Harvey pun tak kalah waspada dan was–was, gerakan matanya terbagi kedua arah–antara Haynes yang sedang mencoba membuka lemari dan Myers yang seolah ingin memborgolnya.
Engsel lemari yang berkarat itu menciptakan suara berderit yang menyiksa telinga.
"Oh... Jesus!" Haynes terperanjat. Diikuti dengan seekor tikus yang berlari melewati kakinya.
Pupil mata Haynes dan Myers beradptasi dengan cahaya matahari yang terang ketika baru saja keluar dari ruang bawah tanah. Pulih kembali dalam waktu tiga menit. Mereka menyudahi penyelidikan di dalam ruang bawah tanah. Fakta telah membuktikan tidak ada sesuatu yang mencurigakan di rumah ini, termasuk gudang bawah tanah.
"Thanks, Doctor Sugarto." Myers tersenyum kepadanya. Sugarto merupakan nama belakang dari Harvey, sesuai dengan kartu identitas yang menuliskan namanya, Harvey Dwiarga Sugarto.
Setelah Haynes dan Myers meninggalkannya, Harvey lekas–lekas membuka kembali pintu ruang bawah tanah, lalu memasukinya. Dia membuka koper besar berwarna hitam yang sebelumnya ingin dibuka inspektur tadi, namun sayangnya tidak sempat.
Di koper itu terbaring seorang Lisa yang meringkuk–tulang lututnya terbenam bersama wajahnya di dalam koper sempit untuk ukuran badannya yang besar. Namun Lisa masih tak sadarkan diri akibat obat bius yang disuntikkan Harvey kepadanya. Wajah dan seluruh tubuhnya dibanjiri keringat.
Harvey seketika panik, ketika meraba denyut nadi Lisa yang tidak dapat teraba olehnya. "Oh, God!" dia menggendong Lisa dan membawanya ke atas–
keluar dari ruangan hampa udara itu.
***
“Kenapa kau mencari pendonor mata?” sebaris mata itu bermufakat–saling memandang penuh curiga dan penuh harap.
Keenan sudah merasa putus harapan dengan semua yang telah menimpa dirinya. Kehilangan keponakan dan teman keponakannya dua minggu yang lalu, telah membuat dirinya bagaikan partikel debu yang terhembus tinggi, membawanya ke tempat yang belam. Dan sekarang ia malah diperintahkan oleh rekan kerja seprofesinya untuk mencari pendonor kornea mata. Ayolah, tidak ada waktu untuk memikirkan masalah orang lain, apalagi harus melibatkan diri menolongnya, rintih Keenan.
“Ada pasien yang mengalami kebutaan. Dia harus segera mendapatkan pendonor mata.”
“Siapa? Di rumah sakit ini tidak ada pasien yang membutuhkan donor kornea mata.”
“Pasien dari rumah sakit lain.”
Keenan menaruh syak kepada pria berbibir tipis itu. "Apa kamu pernah bertemu dengan Inspektur Myers dan Detektif Haynes?" pertanyaan Keenan menukasi seorang pria yang bekerja disatu rumah sakit yang sama dengannya. "... Kau pasti tahu, karena baru kemarin mereka mengunjungi rumahmu." Keenan menyahuti pertanyaannya sendiri. Kecurigaannya semakin kuat kepada pria yang sedang duduk di hadapannya–tepat di ruang kerjanya di rumah sakit.
"Sudah saya bilang, saya tidak ada hubungannya dengan semua ini." nadanya keras dan penuh pembelaan.
"Lalu siapa pasien yang kamu maksud itu?"
"Kau bisa memercayai saya. Atau kau sendiri yang akan malu telah menuduh." hening sejenak. "Inspektur dan Detektif itu telah membuktikannya sendiri. Mereka tidak menemukan apapun di rumah saya." tatapan sejuknya tak dapat mendesak Keenan untuk lebih keras melontarkan pertanyaan–pertanyaan yang menuduh.
Tetap saja, tatapan Keenan menaruh ragam yang khusus dan kompleksitas wasangka yang tak bisa disembunyikan. Dia harus mengusut dengan cermat semua ini. Mencari kebenaran atas DNA keponakannya yang ditemukan tak jauh dari rumah rekan kerjanya itu.
Sejak polisi mengumumkan sampel darah yang menjadi barang bukti tersebut, Keenan tak menyangka sekali kalau itu merupakan darah April, keponakannya sendiri. Selama ini dia selalu berdoa, meminta Tuhan untuk mempertemukan dirinya dengan April dan Lisa, lalu dengan senyuman–Nya, Tuhan justru memberikan kejutan yang mengerikan dari DNA darah milik keponakannya. Darah yang sama–mengalir pada tubuhnya.
Meskipun begitu, Keenan dan keluarga besar masih berharap penuh kalau April dan Lisa masih hidup. Mereka selalu mencuci otak mereka dengan kalimat tersebut. "April dan Lisa masih hidup! Tuhan selalu menyertai mereka, di mana pun mereka berada." frasa yang tak pernah mati. Harapan yang masih berkobar itulah yang membuat keluarga percaya.
Bila mana terkait tentang hal itu, ketika pertama kali mendengar hal tersebut semua keluarga tampak tak menduga, khususnya Wina selaku ibu kandung dari April sendiri. Beliau mendengar kabar buruk itu melalui sambungan telepon dari Andri, anak sulungnya yang masih berada di Saugerties. Awalnya Andri tidak ingin mamanya tahu mengenai hal ini, namun itu tidak mungkin. Karena Wina juga sudah menerbangkan sampel darahnya ke sana. Sebagai ibu kandung April, dia harus mengetahui semua kabar yang menimpa anaknya, baik–buruknya kabar tersebut.
Andri juga dibuat susah hati. Sehari setelah memberikan kabar buruk itu kepada mamanya, esoknya beliau jatuh sakit, dan masih dirawat sampai saat ini. Andri pun sempat dilema, dia ingin sekali pulang dan melihat kondisi mamanya. Namun sayang, kasus April tidak bisa ditinggalkannya begitu saja, apalagi setelah ada babak baru dari penyelidikan polisi terkait diumumkannya DNA itu.
Ralan masih meneteskan butiran air mata disetiap malamnya setelah mengetahui hal itu. Membuatnya terjaga ditengah malam. Menggumal bersama guling di tengah malam dengan kondisi mata yang membengkak. Hanya sekedar menutupi mulut dan air matanya, agar tak ada seorangpun yang dapat mendengar atau melihatnya menangis. Meskipun dia tahu kalau semua orang yang berada di rumah itu mengalami hal yang sama dengannya.
Keenan masih membayangkan wajah nelangsa mereka ketika berada di rumah. Menyaksikan nyawa–nyawa yang mencoba bertahan ditengah situasi yang bernafsu menyerang pikiran mereka. Keenan pun juga merasakan hal yang sama. Anak sulungnya, Alex, bahkan sudah tak pernah bicara lagi dengannya karena mendengar kabar buruk itu. Dia menjadi anti sosial–mengurung dirinya di kamar dan tidak melakukan kontak sosial dengan siapapun, termasuk teman–temannya.
"Kau tidak perlu mencurigai saya dokter Kailani. Kita rekan kerja di rumah sakit ini. Kau sudah mengenal saya sejak lima tahun yang lalu, dan kita juga..." senyuman muslihat terpantik di tepi bibirnya. "Ayolah, kita menjalani bisnis yang sama!" katanya. "Bagaimana bisa kau mencurigaiku?"
"Itu tidak menjamin apapun."
“Intinya. Saya butuh pendonor kornea mata secepatnya. Jika dalam waktu dekat pasien saya sudah siuman dari komanya, dan belum juga ditemukan pendonor kornea mata, maka saya akan memberikanmu sebuah kejutan.”
Keenan menatap tajam. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud dengan rekan kerjanya itu.
Bukan karena Inspektur Myers dan detektif Haynes yang datang ke rumah rekan kerjanya terkait kasus ini, lalu membuatnya menuduh rekan seprofesinya sendiri. Sungguh pun itu menjadi titik berat dari bahan pertimbangannya, tetapi Keenan memiliki alasan dan bukti lain kenapa ia menuduh rekan kerjanya sendiri. Belakangan ini ia melihat gelagat Harvey yang aneh.
***
Berulang lagi, tubuh yang mulai membaik kembali tersadar. Hidungnya terbenam oleh alat bantu pernapasan yang disalurkan dari tabung oksigen. Infus tertancap di lengannya. Sepasang bola matanya terbuka lebar–lebar.Putih, dinding kaca, aroma karbol dan obat–obatan, bersih, dan steril. Dia merasakan hal yang sama–sesuatu yang pernah ia jumpai.
Astaga, tangan terkilir ini belum kunjung pulih. Lebih lagi, sakit dan nyerinya makin menggila. Obat bius? Pria berwajah Asia? Tidak mungkin! Dia telah melakukan tindakan kriminal kepadanya. Tidak tahu tepatnya kapan, bahkan ia juga tidak tahu sejak kapan sudah berada di tempat ini. Satu yang dia ingat, sebuah peristiwa pahit yang menimpa dirinya.
Ternyata memang benar, semua fakta yang ditemukannya menjadi momok yang menakutkan bagi dirinya. Dia harus bertindak cepat sebelum kejadian yang ditakutkannya selama ini akan menimpanya–jauh lebih buruk. Semua bukti yang ia ketahui akan menjadi ancaman bagi Harvey, si pria misterius yang memiliki hasrat jahat dalam dirinya.
Terbukti sudah. Waktu ia bertengkar dan mencaci maki Harvey, dia mengungkapkan semua yang telah ia ketahui kepada pria itu. Meskipun yang tertuduh tidak merasa marah, tapi tindakan Harvey yang sudah membiusnya dan membawanya ke ruang bawah tanah, menjadi tanda kegusaran Harvey terhadap dirinya.
Lisa harus segera keluar dari tempat ini, dan melaporkan kejadian ini kepada polisi. Tapi bagaimana caranya? Ruang rahasia bawah tanah ini hanya bisa diakses oleh Harvey–dia yang memegang remote berupa ponsel pintarnya untuk mengendalikan lift. Apakah ada cara lain untuk keluar dari sini tanpa lift
itu?
Jarum infus itu ditarik secara paksa olehnya. Wajahnya menyeringai kesakitan. Lisa merasakan tubuhnya begitu rapuh, laksana ranting daun yang mudah patah–getas dan tak berdaya. Lirikan matanya liar saat ia berhasil bangkit dari ranjang–mencoba untuk melarikan diri. Mencari satu tempat yang bisa membawanya keluar dari ruangan ini.
April? Nama itu teringat kembali ketika Lisa melihat ruangan di depannya–di sana terbaring April yang sepertinya belum kunjung terjaga dari tidur panjangnya. Lisa membuka pintu ruangan itu, namun tidak bisa dibuka. Entahlah, ada kode rahasia yang sepertinya harus ditekan terlebih dahulu sebelum pintu ini terbuka. Astaga, ruangan macam apa ini? Kenapa keamanannya begitu ketat? Lisa masih tak habis pikir.
Lalu sekarang apa?
Langkah–langkah besar berjalan di atas tanah humus dan dedaunan kering. Sesekali langkahnya berpapasan dengan beberapa ranting hingga menimbulkan suara derak halus. Berbalutkan sepatu pantofel berwarna hitam berkilau. Di belakangnya terparkir sebuah mobil Rover hitam. Silir–semilir angin menghembuskan dedaunan kering, menyertai langkahnya memasuki sebuah rumah berdinding kaca di tengah hutan.
Ponsel pintarnya menjadi pengendali sebuah lift. Dalam ketidakpastian dia melangkah memasuki lift yang telah terbuka. Dirinya tampak gelisah di dalam lift. Saat lift terbuka–di ruang bawah tanah, dari jarak satu yard, dia dibuat tercengang dengan seorang gadis yang menodongkan pistol tepat ke wajahnya.
Harvey melihat betapa tertekannya Lisa memegang senjata itu. Mencoba tak gentar, namun geletar tubuh dan tangan itu tidak bisa menipu penglihatannya. Harvey masih tak bergeming, menatapnya dengan waspada. Lalu mengerling pada senjata yang digenggam Lisa. Penglihatannya pun tajam ketika melihat lengan Lisa yang mengalir darah segar.
Rupanya tatapan Harvey tersebut membuat todongannya makin bergemetar hebat. Ancang–ancang Harvey untuk menggerakan beberapa anggota tubuhnya, terlihat oleh Lisa.
"Jangan bergerak, atau kamu mati."
"Okey." Harvey mengeluarkan wajah pasrah dan patuhnya, sambil mengangkat kedua tangannya. Dia tidak begitu kaget dengan pistol yang dipegang Lisa saat ini. Karena memang pistol itu adalah miliknya, yang disembunyikan di dalam ruangan sterilisasi di sebelah ruang operasi. Lengkap dengan beberapa pelurunya.
"Keluarkan aku dan April dari sini!" serunya dengan mulut yang menggigil karena bersemangat, marah dan takut. Lisa tak memedulikan tangan kirinya yang masih sakit karena terkilir.
"Bagaimana kamu bisa keluar dari ruangan itu?"
"Kamu lupa ya... Waktu kamu bawa aku ke sini, diam–diam aku merhatikan kode yang kamu tekan di pintu itu."
Harvey tidak bergerak sedikit jua. Diamnya tampak aneh bagi Lisa. Kemudian Lisa menggertak dan mengancamnya lagi. Harvey pun menuruti kemauan Lisa. Membuka pintu kaca itu dengan menuliskan empat digit kode rahasia. Ketika pintu terbuka, Lisa berlari mendekati April. Sedangkan Harvey terlihat berlari ke ruangan sterilisasi.
Saat Lisa berbalik, Harvey terlihat tergesa–gesa menghampirinya.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Nothing."
Lisa cemas sembari menodongkan pistol itu ke arah Harvey kembali. Pandangan liarnya mencari objek lain dalam tubuh Harvey. "Apa yang kamu sembunyikan?"
"Tidak ada!" Harvey mengangkat tangannya kembali. Menunjukkan bahwa tidak ada yang disembunyikan olehnya.
"Cepet! Sekarang bawa kita keluar dari sini."
Seruan Lisa tak dihiraukan oleh Harvey. Dia hanya berdiri mematung dihadapan Lisa dengan wajah datarnya.
"Kenapa kamu diam? Aku nggak main–main!" Lisa semakin panik. Atmosfir mencengkam terjadi.
Perlahan, tangan yang terangkat itu mulai turun. Kepatuhan serasa memudar dari diri Harvey. Seolah pistol berpeluru timah itu tak mampu menggoyahkan keputusannya. Menganggap pistol itu bagai pistol mainan yang sering dimainkannya saat kecil dulu.
Lisa melangkah mundur dua langkah. Harvey sebaliknya–melangkah maju mendekati Lisa.
"Jangan mendekat! Atau aku akan menembak kamu!"
"Silahkan." katanya enteng. Tak ada emosi yang berarti dari nada suaranya. Justru Harvey yang mendominasikan situasi sekarang. "Silahkan tembak."
Merasa terancam dengan keberanian Harvey, Lisa segera menekan pelatuknya. Tangannya menggeletar hebat ketika pelatuk itu ia tekan. Namun tidak ada sesuatu yang terjadi. Bahkan suasana masih sesunyi tadi. Tidak terdengar letusan tembakan ketika pelatuk itu ditekan.
Rupanya, saat Harvey berkesempatan memasuki ruangan sterilisasi, dia sempat membuka salah satu lemari–di mana ia menyembunyikan pistolnya di sana. Tetapi dia masih melihat peluru beserta selongsongnya di sana. Itu berarti sejak tadi Lisa menodongkan dirinya dengan pistol tanpa peluru.
Harvey merebut pistol itu dari tangan Lisa, dan dengan reaktif menangkap tubuh Lisa dari belakang sebelum akhirnya ia memanggul Lisa dengan kasarnya.
Lisa meronta dan memukuli punggung Harvey dengan tenaga yang ala kadarnya. Namun apa daya, tangan kirinya yang masih terbalut perban, serta tangan kanannya yang mengalami perdarahan akibat infus yang ditariknya secara paksa membuatnya begitu lunglai. Tetapi pukulan itu tak berpengaruh pada Harvey. Ia tetap membawa Lisa keluar dari tempat ini.
Saat Harvey menekan digit angka dalam kunci keamanan pintu, sesuatu yang mencengangkan terjadi. April menggerakan kepalanya dengan dengkik–terlalu sayup dan lemah. Jari–jarinya bergerak kecil seperti sebuah kedutan. Seraya sebuah indikasi yang tak terjangkau oleh pandangan orang lain.
Tak lama setelah Harvey keluar dari ruangan tersebut, April mulai mengeluarkan suara desah yang berujung menggumam.
***
Introduksi dalam sebuah acara berita disaluran televisi nasional terdengar bagaikan melodi. Gambar televisi pun seketika berubah drastis. Menampilkan seorang wanita berambut pirang menggunakan kacamata yang dinobatkan sebagai pembawa acara berita tersebut.
Air mukanya yang biasa saja tiba–tiba berubah menjadi sungguh-sungguh ketika membacakan berita yang pertama. Dengan nada tegasnya, dia mengatakan ikhtisar dari berita yang dibacakan. Bahwasannya, anggota kepolisian Ulster County menemukan beberapa jasad yang terkubur di kawasan Catskill, tepatnya di pelosok Cauterskill Road.
Pembawa berita itu mengajak para pemirsa menyaksikan keadaan langsung yang terjadi di tempat kejadian. Dia melantingkan seorang reporter bernama Thomas untuk melaporkan secara langsung bagaimana kondisi di sana.
Sembari menyelesaikan beberapa kalimat yang belum selesai, layar terbagi dua dengan gambar seorang pria memegang mikrofon. Thomas menunggu pembawa acara berita mengizinkannya untuk berbicara. Angel, pembawa berita bermata lebar itu akhirnya meminta Thomas untuk melaporkan keadaan langsung di tempat kejadian.
Layar televisi sekarang disesaki oleh wajah Thomas yang dengan cekatan melaporkan berita. Ia mengatakan bahwa kepolisian telah menemukan enam jasad yang belum diketahui identitasnya di sebuah hutan di pelosok Cauterskill Road. Jasad–jasad tersebut ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan. Beberapa dari mereka tidak memiliki bola mata. Dan organ-organ tubuhnya sudah tidak lengkap, teridentifikasi dari tubuh-tubuh mereka yang dipenuhi jahitan.
Kepala Inspektur New York City, Joan Crewson, yang sempat diwawancarainya mengatakan, peristiwa ini adalah bentuk kriminalitas dan tindakan ilegal yang merenggut nyawa manusia dengan kejam. Ada konspirasi terselubung terkait jasad–jasad tersebut. Dan ia menugaskan polisi untuk menyelidikinya lebih dalam, serta mencari dalang dari semua ini.
Thomas kembali terlihat di layar televisi setelah Kepala Inspektur selesai memberikan keterangannya. Dia kembali melaporkan, jasad-jasad itu telah dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi. Pihak otoritas setempat sedang mencari data relevan dari jasad–jasad tersebut. Dan untuk keluarga yang merasa kehilangan salah satu anggota keluarganya diharapkan untuk datang ke kantor kepolisian Ulster County.
Sepasang mata saling mengerling ketika melihat berita tersebut. Ralan menatap tajam dan terpaku–merangkam ujung sofa dengan rangsangan kuatnya. Begitu pula dengan Andri dan Alex, raut wajah mereka sangat kencang dan ketir–ketir tak karuan. Sudah pasti mereka merasakan hal yang sama. Sesuatu yang masih menjadi misteri hingga saat ini.
“Aaa... aaa..” Andri memulai pembicaraan dengan tergagap–gagap sambil bangkit dari tempatnya terduduk. Dia mencemaskan adiknya yang belum kunjung ditemukan. Sampel darah itu telah membuat kecemasannya semakin mendidih. “Aku nggak bisa terus–terusan diam kaya gini!” roman mukanya merah padam. Mengandung kebencian atas semua musibah ini. “Kita harus mencarinya!”
“Kita sudah mencarinya!” Alex menegaskan.
Ralan ikut bangkit juga. “Kita nggak boleh menyerah! Kita harus selesaikan daftar pencarian itu!”
Keenan yang berdiri di samping sofa terlihat sependapat dengan mereka berdua. Beda halnya dengan Alex yang masih tampak tak berdaya dengan semua ini.
“Sebaiknya kita melihat jasad–jasad itu terlebih dulu.”
Semua membelalak terkejut. Layaknya pelanduk di cerang rimba, gelisah dan kehilangan akal. Andri merasa tidak terima dengan perkataan om nya sendiri. Apa maksud Keenan mengajaknya untuk melihat mayat dari korban pembunuhan sadis itu? Apakah dia menganggap kalau April atau Lisa menjadi korban dari pembunuhan tersebut? Persetan!
Andri menggeleng dengan tidak puas, menyayangkan ucapan Keenan tersebut. Menganggap Keenan sudah keterlaluan. Namun Keenan menyadari hal itu dengan cepat. Memberikan penjelasan lebih terkait perkataannya barusan. Dia meyakinkan Andri untuk selalu berpikiran postif. Namun bukan berarti meniadakan deteksi yang ada. Setidaknya mereka harus menimbang hipotesis dari setiap pengutaraan, salah satunya mengetahui lebih lanjut tentang mayat yang ditemukan itu.
Kali ini Ralan harus semupakat dengan Keenan. Lagipula memang tidak ada salahnya untuk mengetahui jasad–jasad tersebut. Lagian, bukankah April dan Lisa juga sudah tidak ditemukan hampir sembilan hari lamanya? Andri tidak boleh menyangkal kenyataan dan fakta yang ada.
Sejam kemudian, mereka tiba di kantor kepolisian Ulster County. Mereka bertemu dengan Inspektur Tobias Myers yang sedang bertugas di sana. Wajah–wajah serius yang kekurangan humor tersebut menghampiri inspektur itu.
Myers dan Keenan sempat berbicara empat mata di ruangannya. Dia mengatakan kepada Keenan bahwa tidak ditemukannya ciri–ciri fisik yang sama dengan April dan Lisa. Sebagian besar dari mereka adalah turis dari luar Amerika, seperti Eropa dan Australia. Sejauh ini, belum ditemukan turis Asia. Kemungkinan besar, karena Myers telah melihatnya sendiri dengan cermat, dibantu oleh beberapa ahli. Tetapi ia tidak akan menahan Keenan bila dia ingin memeriksanya sendiri.
Lima belas menit berlalu, Keenan keluar dari kamar mayat dengan wajah yang tampak serius. Diantara Andri, Ralan dan Alex tidak ada yang berani menanyakan apa yang telah dilihat Keenan di dalam kamar yang berisi jasad–jasad yang sudah tak bernyawa itu. Sebelumnya, mereka pun tidak ada yang mau mendampingi Keenan ke ruangan mengerikan itu.
“Mereka tidak ada di sana.”
Semua saling mengerling. Ragu–ragu antara ingin bersyukur atau malah makin terpuruk.
0 komentar