When It's Exclusive (Afeksi Lampau - Chapter 6)

    Tungku perapian yang tersusun dari batu bata alami yang ditata rapi dibiarkan padam di ruangan sebuah rumah. Rumah yang begitu sederhana dengan dinding kayu mahoninya, serta dua sofa berwarna mencolok yang menghadap meja. Rak buku berwarna putih susu yang tertanam di dinding kayu–di sisi kanan perapian, yang juga memajang buku–buku tebal di dalamnya. Tiga lilin menjulang–tertancap di candle holder bercabang tiga, terletak di atas tungku perapian. Begitu klasik dan elegan.

    Tak jauh dari sana, di sebelah utara ruangan tersebut, terdapat sebuah tangga menuju lantai dua. Di sampingnya ada perpustakaan kecil dengan rak buku berkayu natural yang membelakangi dinding–menghadap ke timur. Di tengah rak itu, tersembul jendela berukuran satu kali satu meter. Ada tangga sigai untuk memanjat rak buku di posisi paling atas. Dan sebuah meja kayu beserta tiga buah kursi yang mengelilinginya berada di depan mereka. Satu buah piring terletak di atasnya, menyisahkan beberapa potong roti yang tidak habis, dan setengah jus jeruk di sebuah gelas.

      Mata angin arah barat, ada dua buah kamar yang saling bersebelahan. Salah satu pintu kamar itu terbuka separuhnya–kamar yang menghadap tangga. Mengidentifikasikan sosok kaki manusia yang terlihat sedang terbaring di tempat tidur dari balik pintu yang setengah terbuka. Berhubung kasur itu terletak di samping pintu masuk, jadi sosok tubuh itu tak terlihat sepenuhnya. Melalui celah pintu itu juga, terlihat dinding kamar yang masih berbahan dasar yang sama, yakni kayu mahoni berwarna cokelat muda. Tak terlihat ada yang menarik lagi di dinding kamar tersebut. Tulen, hanya dinding kayu bercorak serat–serat halus.

    Sepasang pelupuk mata terangkat begitu beratnya, seolah ada getah yang melekatkannya. Masih dengan mata yang setengah terpicing, secara refleks, jemarinya menggaruk perutnya yang putih bersih. Ada gejolak panas akan ingatan terakhirnya. Sekuat tenaga ia memaksakan matanya agar terbuka. Dan menyadari bahwa dirinya sudah berada di sebuah kamar sederhana yang tak ditemukan hiasan di dindingnya. Ruangan yang terasa asing di benaknya. Ia meyakini bahwa dirinya masih waras, dan dia mengingat jelas kejadian sebelum ia berada di ruangan asing ini. Tabrakan dahsyat!

    Lisa mencoba mengangkat tubuhnya dengan menekan kedua telapak tangannya pada kasur. Ough! Untuk pertama kalinya, dia merasakan seluruh otot dan sendi–sendi tulangnya nyeri dan pegal luar biasa. Terutama pada bagian tangannya ketika ia mencoba untuk menopang tubuhnya. Dia tak berdaya, dan memasrahkan tubuhnya untuk berbaring kembali. Apalagi, kepala itu terasa begitu berat dan pusing bukan main.
    
    Tetapi dia menyadari satu hal. Lalu di mana aku berada? Seharusnya aku berada di rumah sakit sekarang, bukan di ruangan ini. Astaga! Bagaimana pula keadaan April? Lisa kembali teringat ketika April tertabrak dan terhempas begitu kuat dan kencang.

    Lisa melawan rasa sakitnya. Dia berhasil mengangkat tubuhnya dan menurunkan kakinya ke lantai kayu ek yang bermotif bagaikan daging ikan salmon, bedanya, warnanya cokelat pekat. Lisa berdiri dan merasakan ada yang salah dengan siku di tangan kirinya. Terasa bengkak dipersendian sikunya. Bahkan, sikunya terlihat membiru dan kehitam–hitaman. Begitu nyeri ketika digerakan. Ia akhirnya memegangi lengannya tersebut dan berjalan terseok–seok meninggalkan ruangan itu untuk mencari April.

    Dia menemui pemandangan yang tak biasa di rumah ini. Log house dengan arsitektur klasik, elok dan hangat. Ruang keluarga yang dipadupadankan dengan ruang baca, tampak begitu apik dan teratur. Ia yakin kalau penghuni rumah ini pasti orang berumur yang ditinggal anak–anaknya ke kota.

    Lisa menemukan sebuah bingkai yang tertempel di dinging kayu–tepat di sebelah pintu kamarnya. Bingkai berwarna hitam itu menampilkan sebuah foto sepasang kekasih di dalamnya. Entah mereka sepasang kekasih atau apa. Yang jelas, seorang perempuan sedang mencium pipi seorang pria di sampingnya. Dengan pemandangan sebuah bangunan universitas ternama di Amerika. Namun Lisa lupa dengan nama perguruan tinggi tersebut.

    Tunggu! Sepertinya, perempuan yang berada difoto itu tidak asing baginya. April? Mungkinkah? Foto perempuan yang mirip sekali dengan April, berfoto dengan seorang pria berwajah Asia yang tak dikenali Lisa.

    Matanya seraya dihalangi awan lembap yang melayang di hadapannya. Lisa sedikit meringis menahan sakit. Dia memajukan kepalanya untuk melihat lebih dekat foto itu, memastikan kalau apa yang dilihatnya salah. Tidak mungkin itu April.

    Tak lama, sebuah tangan menyentuh pundaknya dan membuatnya terperanjat hebat. Posisi tubuhnya pun tak lagi seimbang, dia lemah karena rasa sakitnya, sehingga ia ingin jatuh. Namun dengan tanggapnya, seorang pria menahan tubuhnya dan membuatnya kembali seimbang.

    "Who are you?" seru Lisa dengan cemasnya. Kini pori–pori wajahnya membesar, ia berkeringat dingin.

    Dia si pria Asia bernama Harvey, yang menyelamatkannya pada malam terjadinya insiden kelam tersebut.

    Harvey mengangkat kedua telapak tangannya. Memberikan reaksi berserah sebagai ungkapan damainya. Ia khawatir bila Lisa menunjukan ancaman kepadanya atau menendang area vitalnya. Adegan itu sering kali terjadi difilm, dan ia takut kalau–kalau Lisa menirunya.

    Tampaknya Lisa bukan ancaman. Kakinya yang kecil itu, mungkin saja tak mampu menendangnya. Harvey pun melebarkan kedua matanya, mencari jawaban selanjutnya dari gadis tersebut. Dan perlahan menurunkan tangannya waktu melihat reaksi Lisa yang tiba–tiba pasif.

    Karena saat ini wajah Lisa begitu pucat dan berkeringat, seperti menahan sakit yang luar biasa. Bahkan, dia tak henti–hentinya memegangi lengan bawahnya sembari menyeringai kesakitan. Ia seperti sudah tak peduli dengan pria yang tak dikenalnya itu. Tidak ada waktu untuk mencurigai seorang pria asing dengan keadaannya yang tidak meyakinkan seperti saat ini.

    "My hand..." rintihnya, pertanda bahwa ia membutuhkan pertolongan.

    "I can help you."

    Harvey menuntun Lisa dengan lembutnya, membawanya ke sofa yang tak jauh dari sana. Lalu memeriksa tangan Lisa yang terus ia pegangi. Memang ada yang salah dengan tangan Lisa, dan ia melewatkannya. Terlihat adanya pembengkokan yang abnormal pada sendi di sikunya. Agaknya, tangannya terkilir.

    Tanpa mengucapkan apapun, Harvey beranjak dan berjalan ke salah satu ruangan di belakang. Lima menit berlalu, dia kembali, membawa kantung es, pembalut (perban) elastis, dan pil yang ditaruh di dalam tempat obat transparan. Lalu ia menempelkan kantung es itu ke lengan Lisa dan sikunya. Sontak, Lisa menjerit histeris.

    Dua menit merasakan sakit luar biasanya, akhirnya Harvey mengakhirinya dengan membalut siku dan pergelangan tangan Lisa dengan perban gulung elastis. Saat Harvey sedang melakukan hal tersebut, Lisa memberanikan diri untuk bertanya kepada pria itu. Namun dengan lebih ramah.
"Who are you?"

    Matanya tak mengerling sedikit pun ke arah Lisa. Harvey masih memusatkan tatapannya kepada tangan Lisa yang sedang ia perban.

    "I'm Harvey."

    "You save me?" terdengar aksen amatir dalam bahasa Inggris yang diujarkannya.

    Harvey mengangguk samar. Bahkan hampir tak terlihat. Dia melilit perban itu dengan kencang dan menyakiti Lisa.

    "Hey! This is hurt me!" Lisa memekik. Dia ingin mengungkapkan sesuatu namun ia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Bahasa Inggrisnya terlalu buruk dan terkesan amatir. Banyak kosa kata yang tidak ia ketahui dalam bahasa Inggris.

    Lisa mencondongkan kepalanya untuk melihat wajah Harvey, hingga sebagian rambutnya menjuntai.

    "I'm sorry." Harvey memalingkan wajahnya, seolah tidak ingin dilihat Lisa.

    Lisa kembali menyeringai waktu Harvey selesai merekatkan perban tersebut di lengan dan sikunya. Harvey pun meminta Lisa untuk meminum obat berbentuk pil. Tetapi Lisa tampak ragu dengan obat itu. Dia takut kalau Harvey bukan orang baik–baik. Dia pun tak tahu siapa Harvey sebenarnya, dan bagaimana ia bisa menyelamatkan dirinya. Lalu di mana April?

    Ia menatap Harvey tajam. Seakan menyimpan dendam kesumat kepadanya.

    "No way!" tegasnya. "You want to poison me, right?" Lisa menukas dengan curiga.

    Harvey terheran–heran. Ia bingung dengan apa yang dimaksud Lisa.

    "Excuse me..." apa dia baru saja mengucapkan "poison"? Mana mungkin aku meracuninya dengan obat pereda rasa nyeri. Harvey masih tak habis pikir.

    "Oke..." Lisa bangkit dari sofa. Ia terlihat seperti dosen yang baru saja mendapatkan ilham untuk seminarnya, dan mencoba menjelaskan kepada para hadirin. "Where my friend?" terdengar kecadelan yang tak disengaja. "April."

    "She was in the intensive care."

    "Please, show me!"

    "No." tidak tahu ada apa dengan pria misterius ini. Dia terlihat begitu dingin tanpa ekspresi yang berarti.

    "Why not?"

    "Tell me what happened?"

    Lisa pun menyetujuinya. Dan membiarkan mulutnya yang bekerja untuk menjelaskan apa yang terjadi. Siapa April dan dirinya. Kenapa mereka bisa berada di Saugerties. Kapan mereka tiba di Saugerties. Bagaimana kecelakaan ini bisa terjadi. Dan di mana mereka menetap di Saugerties.

***

    Dua hari setelah hilangnya April dan Lisa, lima puluh orang polisi diterjunkan ke lapangan untuk mencari mereka. Dan seorang detektif bernama Walter Haynes mendatangi rumah Keenan di Livingston Street. Sehari sebelumnya, laporan Keenan ke kantor kepolisian setempat kurang mendapatkan respon yang cepat. Dua hari bukanlah waktu sebentar bagi keluarga yang kehilangan anggota keluarganya. Tidak ada yang tahu bagaimana Alex dan Keenan dirundung ketakutan dan kecemasan tinggi selama April dan Lisa menghilang.

    Detektif Walter Haynes diminta oleh Keenan sendiri untuk menyelidiki kasus kehilangan yang menimpa keponakan dan teman keponakannya ini. Seperti yang diketahui, kasus kehilangan yang terjadi kepada April dan Lisa bukanlah kasus baru. Dari sekian banyak kasus kehilangan di Saugerties dan daerah sekitarnya, hanya sedikit kasus yang dapat dipecahkan. Dan sedikit yang berhasil ditemukan sudah mengalami hilang ingatan. Serta rata–rata dari mereka ditemukan setelah lima sampai lima belas tahun menghilang. Sejauh ini polisi tidak pernah menemukan orang–orang hilang dalam waktu singkat.

    Kejadian ini sudah banyak terjadi, khususnya menimpa turis dari luar daerah atau luar negeri yang sedang berwisata ke Saugerties dan kota–kota kecil lain di New York. Banyak dari mereka yang dikabarkan menghilang setelah berkeliling ke salah satu tempat wisata, dan sebagian dari mereka tidak pernah kembali. Kasus kehilangan memang selalu menyisahkan banyak misteri. Bahkan beberapa kasus tak berhasil dipecahkan, dan terkubur sekian tahun lamanya.

    Fakta ini membuat Keenan resah. Bertahun–tahun yang lalu ia tak pernah merasa khawatir seakut ini jika melihat surat kabar atau siaran televisi yang memberitakan hilangnya seseorang. Tapi ia tak pernah menyangka bila kejadian ini menimpa keponakan dan teman keponakannya sendiri. Membuatnya kurang tidur dan depresi berat. Bahkan kemarin, dia baru saja berbincang, serta berkonsultasi dengan ahli psikologi menyangkut hal ini.

    Haynes sering mendapatkan tugas untuk memecahkan kasus ini, namun sayangnya belum pernah berhasil. Akhirnya beberapa tahun belakangan, dia lebih memilih menangani dan menyelidiki kasus kejahatan yang meliputi perampokan, narkotika dan sebagainya. Namun, karena ia sudah mengenal Keenan dengan cukup baik, dan diminta langsung menangani ini oleh Keenan sendiri, akhirnya ia mau mendedikasikan dirinya untuk menyelidiki kasus ini.
Sekarang ini, detektif Haynes sedang berbincang bersama Keenan dan Alex di ruang tamu. Ia mencoba menggali lebih banyak informasi tentang April dan Lisa. Mengumpulkan data sebanyak mungkin dari Keenan dan Alex. Namun nampaknya, Alex terlihat jauh lebih pucat dan tak bernutrisi. Sudah dua hari ia dihantui rasa bersalah hingga tidak nafsu makan.

    Sementara itu, Keenan sangat memercayai Haynes. Dia detektif ternama di kota ini. Sudah ratusan kasus dia tangani. Dan dia sudah lima belas tahun bekerja sebagai detektif. Meskipun tidak pernah berhasil menangani kasus kehilangan, tetapi Keenan menyerahkan semuanya kepada Haynes.

    Jika ditimbang lagi, kejadian ini memang sangat rumit. April dan Lisa tidak diketahui keberadaannya. Mereka menghilang saat mengendarai mobil di malam hari. Keterangan yang Haynes peroleh dari Keenan, April dan Lisa sempat tersesat di jalan. Lalu setelah itu, komunikasi terputus antara Lisa dan Ralan, kekasihnya April. Tidak tahu perbincangan semacam apa yang sempat mereka bahas. Yang jelas, hanya Ralan yang mengetahuinya.

    Keenan masih meyakini bahwa April dan Lisa memang tersasar di suatu tempat. Dia sungguh–sungguh percaya dan menegaskan hal tersebut kepada Haynes. Meski sampai saat ini April dan Lisa belum bisa di akses melalui ponsel yang mereka bawa. Ponsel mereka pun tak dapat dilacak. Namun Keenan bersikeras mempertahankan hipotesisinya, dan meminta Haynes untuk segera mencari dan menyelidikinya sesegera mungkin.

    Keenan juga berasumsi kalau April dan Lisa kehilangan akses untuk menghubunginya atau menemukan kantor polisi terdekat. Makanya, ponsel mereka tidak dapat dilacak. Dia yakin bahwa mereka tersasar ke suatu pelosok daerah yang jauh dari keramaian. Seperti yang dikabarkan Ralan waktu meneleponnya malam itu. Atau mungkin saja mereka sedang asik berwisata ke salah satu tempat di New York. Menonaktifkan ponsel mereka agar bisa menikmati liburan tanpa gangguan dari siapapun. Come on! New York itu negara bagian yang luas.

    Detektif dengan kumis yang lebat dan melintang tersebut, agak ragu dengan keterangan absurd dari Keenan. Ia kira, tidak mungkin bagi dua orang gadis muda menonaktifkan ponsel mereka. Karena seperti yang kita tahu, anak–anak diusia mereka tidak pernah bisa terlepas dari ponsel pintarnya.

    Mungkinkah telah terjadi sesuatu yang aneh dengan April dan Lisa di luar sana. Serta merta, sangat mustahil bila mereka tersasar namun belum kunjung pulang juga setelah dua hari lamanya. Mungkin memang benar jika awalnya mereka tersesat disuatu daerah, tapi setelah itu tidak ada yang pernah tahu apa yang telah terjadi dengan mereka berdua.

    Agar keterangan ini lebih konsisten dan eviden tanpa kesimpangsiuran,
Haynes meminta Keenan untuk membawa saksi lain dalam kasus ini, khususnya Ralan. Dia bisa menjadi saksi kunci dalam hilangnya April dan Lisa. Sebab, dia orang terakhir yang berbicara langsung dengan mereka. Pasti dia mengetahui keluh kesah mereka pada saat malam itu terjadi.

    Sementara itu di Partition Street, beberapa mobil polisi terparkir di sisi jalan. Sebagian dari mereka menyelusuri jalan itu sambil berjalan kaki. Dua anjing pelacak diikutsertakan, anjing jenis Labrador Retriever untuk membantu polisi menyelusuri keberadaan April dan Lisa–anjing ini mempunyai daya penciuman yang baik. Semoga keberadaan mereka sungguh–sungguh membantu.

    Polisi berpencar, membagi tugas untuk memasuki semua toko di sana. Menurut laporan dari toko–toko yang mereka masuki, penjaga atau pemilik toko mengatakan, bahwa toko mereka pernah dimasuki oleh dua orang gadis berwajah Asia, dua hari yang lalu pada sore hari. Ciri–cirinya persis dengan foto April dan Lisa yang ditunjukkan polisi. Ternyata memang benar, April dan Lisa sempat berjalan–jalan dan mampir di Partition Street.

    "Are you sure?" tanya seorang inspektur kepolisian.

    "Yes." pria pemilik toko Rock Star Rodeo sangat percaya diri.

    April dan Lisa memang mengunjungi toko vintage tersebut sebelum mereka hilang. Mereka disambut ramah oleh pria bernama James ini. Adanya kabar kehilangan dari dua orang gadis itu membuat James sangat prihatin. Dia mengatakan bahwa mereka adalah turis Indonesia pertama yang membeli banyak barang antik dari tokonya. Mereka pun sempat berbincang bersama dengan percikan bumbu humor disetiap ucapannya. Seingatnya, salah satu gadis itu tidak begitu lihai berbahasa Inggris.

    James menambahkan lagi ketika polisi mulai mengingatkannya ke mana gadis itu selanjutnya pergi. James teringat sesuatu, curhatan yang tak sengaja dikatakan oleh salah satu dari gadis tersebut. Gadis dengan rambut tergerainya. Gadis yang wajahnya sudah ia hafal sejak lima tahun yang lalu–karena selalu berkunjung ke tokonya. Namun sayangnya ia lupa dengan nama gadis tersebut.

    Gadis itu mengatakan, akan berkeliling lagi ke Main Street dan Market Street untuk mengajak temannya berbelanja. Serta memperkenalkan Saugerties kepada temannya. Karena ini kali pertama temannya berkunjung ke Saugerties. Lalu James memperingatkan mereka untuk tidak berpergian jauh saat malam tiba. Dan satu hal lagi, gadis itu membeli sebuah buku jurnal klasik di tokonya. Gadis itu mengatakan, ia akan menulis semua liburannya di buku jurnal tersebut. Setelah itu, kedua gadis tersebut hanya tersenyum ramah dan pergi meninggalkan tokonya.

    Inspektur yang memiliki kantung mata besar di bawah matanya,
mengangguk cukup puas. Dia menenggak kopi hangat yang dipegangnya. Memandang lurus ke depan sana. Kereta bayi terlihat dua yard di depan. Ada ketertarikan ketika kereta bayi itu perlahan menghampiri dan melintasinya. Inspektur kepolisian itu tersenyum kepada si ibu bayi, lalu mengelus lembut pipi bayi berusia satu tahun, kiranya.

    "Thank you for your information. I will to consider."

    James tersenyum penuh kepedulian. Dia melangkah memasuki tokonya dan meninggalkan inspektur itu di luar.

    Tobias Myers, inspektur kepolisian bertubuh agam ini melihat James yang menghilang di balik pintu tokonya. Dia mengambil HT yang ditempatkan di pinggangnya, menekan salah satu tombol di sana selama satu detik. Suara 'beep' terdengar kemudian. Dia menyebutkan kata istilah standar dalam kepolisian untuk meminta teman–temannya berkumpul dan menyudahi pencarian di Partition Street.

***

    Gagang telepon itu tercekal begitu kuatnya. Urat–urat di sekitar tangannya kejat. Gelembur kulit terlihat jelas, menandakan usia yang tidak muda lagi. Suara disambungan telepon mencekam suasana. Membuat ibu paruh baya ini tak berkutik lagi. Baru saja, lima menit yang lalu ia menyia–nyiakan suaranya terbuang begitu saja. Mengungkapkan kepanikan yang tak dapat dibendung, dan menuntut pertanggungjawaban dari seseorang diujung telepon sana, waktu menerima kabar bahwa anak bungsu, perempuan satu–satunya, hilang.

    Sangat sulit dipercaya. Semua ini datang tanpa adanya peringatan terlebih dahulu. Tanpa intuisi dan firasat sedikit pun. Wina baru menyadarinya satu hari yang lalu, ketika semua akses untuk menghubungi anaknya tertutup. April yang biasanya meneleponnya atau sekedar mengirim pesan singkat saat berada jauh darinya, sehari yang lalu ia tidak mendapatkan kabar dari anaknya. Dan begitu ia menghubungi anaknya, ponselnya tidak aktif. Begitu pula dengan Keenan dan Alex yang tidak menjawab teleponnya. Kemudian, semuanya terjawab sudah hari ini. Keenan mengakui penyesalannya.

    Wina tidak bisa menerimanya begitu saja. Bahwa anaknya sudah menghilang dua hari yang lalu. Keenan mencoba menenangkan dirinya dengan mengatakan bahwa semua akan baik–baik saja, dan dia juga sudah melaporkan kasus ini kepada kepolisian setempat. Memangnya dia kira, dengan laporan itu akan menjamin keselamatan April di luar sana. Polisi itu juga tidak tahu April dan Lisa berada di mana. Wina tahu, New York tak seindah yang ia bayangkan. Banyak kasus kehilangan di sana. Dan ia tak ingin anaknya masuk dalam daftar orang hilang!
"Saya akan ke sana!" dia memutuskan sambungan itu dengan pancaran air mata yang mulai turun.

    Kaki itu melangkah memasuki rumah. Andri baru saja tiba di depan pintu rumahnya. Ia baru pulang dari kampusnya dengan wajah yang semarak. Headphone terpasang dikedua telinganya, menerangkan sesuatu yang konkret dari istilah generasi Y.

    Laju langkah itu semakin memburu saat melihat mamanya menangis menjerit–jerit di sofa ruang keluarga. Dia bergegas menghampiri mamanya. Air mukanya pun tak lagi berbinar. Tangisan itu membuat hatinya teriris. Siapa yang tega membuat mamanya sesedih ini? Ini kali kedua ia melihat mamanya menangis sehisteris ini. Sebab tangisan histeris pertamanya tumpah ketika ia mendampingi suaminya yang telah terbujur kaku di rumah dengan gema ayat kursi.

    Apa gerangan yang membuat mama menangis sesedih ini? Aku belum siap dan tampak ragu mendengar alasan itu, bila sekarang aku melihat mama begitu terluka.

    "Ma, ada apa?" Andri terbawa suasana. Seruak matanya lirih. Dia datang layaknya sinar bulan–sedikit menerangi malam yang gelap.

    "Adikmu!" sorot mata itu dalam dan kosong, serta berkata dengan suara sedu–sedan.

    "April?" ia berkata sayup–sayup. Memegangi pundak mamanya dengan tegar. "Kenapa Ma, dengan April?" Mamanya menggeliang tak karuan. Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Andri memposisikan kehadirannya dengan sebaik mungkin. Mencoba meredakan tubuh dan hati mamanya yang menggeletar.

    "Ma, istigfar! Tenang dulu..."

    Wina menyebutkan astaghfirullahalazim dengan lemah.

    Andri tidak mau membuang–buang kesempatan ini begitu saja. Dia berlari mengambilkan air putih di dapur dan memberikan kepada mamanya. Dia percaya dengan cara seperti ini mamanya akan lebih baik. Ia juga harus tetap positif jika menerima ungkapan pahit nantinya. Bila ia tumbang, mamanya akan jauh lebih tak sadarkan diri.

    "Coba Mama jelasin pelan–pelan sama aku. Ada apa sebenarnya?"

    "April hilang..." air matanya menetes kembali. "Keenan menyembunyikan hal ini. Dia nggak buru–buru ngasih tahu Mama. Mama pikir... satu hari yang lalu, waktu April nggak ngasih kabar ke Mama, dia baik–baik aja di sana. Ternyata nggak! Adikmu hilang, Dri..." Wina kembali menangis, dia meracau tak terima.

    "Maksudnya hilang itu bagaimana, Ma? Gara–gara apa dia bisa hilang?"

    Wina mengarahkan tangannya ke udara. Meminta Andri untuk mencari tahu sendiri. Dia tak cukup kuat menceritakan kejadian itu dari awal, meskipun ia mengetahuinya dari Keenan barusan disambungan telepon. "Kamu tanya aja sama pamanmu itu!"

    Dari awal, Wina tak memiliki firasat buruk saat April pergi liburan ke Saugerties. Dia justru merasa terselamatkan dan nyaman menitipkan anaknya kepada adik iparnya sendiri. Yang menurutnya lebih terpercaya karena Keenan merupakan adik dari suaminya. Lalu kenapa?

    Sejenak, Andri melamun. Memikirkan sesuatu yang membuatnya bersusah hati. Sesekali ia melirik mamanya dengan tatapan tertekan dan harap–harap cemas. Semua ini bukan lah drama duka yang harus dilebih–lebihkan. Andri menyemangati dirinya sendiri. Intuisinya berkata bahwa April baik–baik saja, dan akan ada kabar gembira nantinya, yang menyatakan bahwa April telah ditemukan. Sebagai keyakinannya tersebut, dia harus mendapatkan informasi secara jelas dari Keenan untuk memperkuat intuisinya itu.

    "Mama pengen ke sana, Dri!" mendadak, mamanya melunturkan lamunannya.

    Andri menoleh prihatin.

    "Nanti kita bicarain lagi ya, Ma?! Aku harus menghubungi Om Keenan dulu."

***
    Bagaimana dengan Alex dan om Keenan di sana. Mereka pasti sudah kelimpungan setengah mati dibuatnya. Dia tidak ingin semua menjadi panik dan gempar karena apa yang telah terjadi. Atau mungkin mereka sedang nanar mencari keberadaannya saat ini. Dua hari bukanlah waktu yang sebentar bagi seseorang yang sedang kehilangan orang terdekatnya.

    Ungkapan Harvey tak sepenuhnya bisa ia yakini. Dia bahkan merawat Lisa tanpa memberitahukan pihak kepolisian atau medis setempat. Baiklah, setidaknya Lisa sudah dibuat percaya dengan pengakuan Harvey yang merupakan seorang dokter bedah. Dan menurutnya, ia bisa menangani Lisa dan April tanpa perlu ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Tetap saja semua terasa begitu aneh.
Kalau saja Harvey tidak menunjukan bukti kartu nama yang memperlihatkan dia seorang dokter bedah yang bekerja di salah satu rumah sakit di Saugerties, sudah jelas Lisa akan memandang dia sebagai penculik. Bersyukurlah dia akan profesinya itu.

    Harvey mengaku bahwa ia lahir dan besar di Indonesia. Berhubungan dengan itu, Lisa cukup lega mengetahuinya. Setidaknya, dia tak perlu membuka kamus bahasa Inggris untuk berbincang dengan Harvey tadi.

    Tidak banyak yang diketahui Lisa dari pria beralis tebal ini. Dia begitu tertutup dengan masa lalu dan identitas dirinya. Harvey hanya mengatakan bahwa empat tahun yang lalu, dia mendapatkan beasiswa S2 di Universitas Columbia, dan dua tahun kemudian dia memutuskan untuk menjadi warga negara Amerika. Entah, ada apa dengan Indonesia sehingga ia memilih menjadi warga negara Amerika.

    Bukankah ini suatu kebetulan? Sebelumnya Lisa beranggapan kalau Harvey adalah orang Asia. Dia sempat mengira Harvey orang dari Asia Tenggara, semisal Filipina atau Thailand. Meski wajahnya tak setampan bintang film dari negara tersebut, namun ciri–cirinya sangat mendekati. Tetapi apa yang ia pikirkan ternyata salah. Dia begitu terkejut mengetahui orang yang menyelamatkannya merupakan seseorang yang berdarah Jawa campuran Bali, dengan kulit putihnya. Benar–benar di luar dugaan.

    April? Ya, nama itu tak pernah kabur dari pikirannya. Dia melihat April dua hari yang lalu saat terjadinya kecelakaan. Lisa sangat beruntung Tuhan masih membiarkannya hidup dengan kemampuan pengingat yang runcing. Walaupun kepalanya terbentur cukup parah, itu bukan halangan bagi Tuhan untuk membuat dirinya mengingat segala kejadian pahit. Lisa masih mengingat kejadian itu, ketika tubuh kecil April harus tertabrak mobil dan terhempas begitu jauh memasuki semak belukar yang lebat dan tajam. Lisa tidak tahu di mana dan bagaimana keadaan April saat ini. Harvey belum juga memberitahukannya.

    Lisa kembali menanyakan sesuatu yang membuat pikirannya bekerja lebih keras. Dan Harvey belum jua menceritakannya hingga detik ini. Lisa membuang matanya ke arah bingkai foto di seberang sana–di samping kamarnya. Foto Harvey dengan seorang wanita yang mirip sekali dengan April. Ini suatu hal yang penting, yang belum jua diungkapkan Harvey dari kemarin.

    Benarkah April dan Harvey saling mengenal? Sejujurnya ini tak terlalu mengejutkan Lisa jikalau mereka saling mengenal. Namun yang membuatnya tidak biasa adalah, kenapa Lisa tak mengetahui hal ini. Mengapa April tak pernah menceritakan sosok Harvey kepadanya. Dan kenapa April mencium pipi Harvey dengan begitu mesranya.

    "Itu!" Lisa menunjuk bingkai foto di seberang sana. Harvey pun mengikuti
tunjukan itu.

    Harvey mendengus dan mendesah, seraya penjahat yang tertangkap basah dan tidak bisa melakukan apa–apa. Memorinya melayang kebeberapa tahun lalu–merangkak ke saraf otaknya, ketika wanita yang difoto itu sedang menjumpainya di depan Universitas Columbia. Itu saat pertama kali Harvey masuk kuliah. Dan mereka berdua berpose di sana, dengan latar belakang bangunan tua yang elegan. Harvey memilih salah satu foto untuk diprint, dan itu lah hasilnya–yang terpajang di dinding kayu, di samping sebuah kamar.

    "Itu April kan? Kamu belum menjawab pertanyaan ini dari kemarin." Lisa menambahkan karena Harvey terlalu lama terdiam.

    Harvey mengangguk samar.

    "Kok bisa? Sejak kapan kalian saling kenal?"

    "SMA."

    "Oh, ya? April nggak pernah cerita. Memangnya kalian ini teman, sahabat, mantan pacar atau..." Lisa tak melanjutkannya.

    "Mantan." katanya singkat, seolah tidak ingin digerek lebih dalam lagi.

    Baru saja mulut nyinyir itu ingin bertanya lagi, namun dengan cepat Harvey menyelanya. "Sudah, tidak usah banyak tanya! Katanya kamu mau ketemu April." katanya. "Ayo, aku tunjukin!"

    Harvey berjalan ke salah satu kamar di depan ruang keluarga–tempat di mana mereka baru saja mengobrol. Lisa mengikuti Harvey dari belakang. Awalnya, Lisa mencurigai kamar ini–kamar yang terletak tepat di samping kamarnya, karena dari kemarin Harvey bolak-balik memasukinya namun selalu dikunci olehnya. Untuk sekian kalinya Lisa dibuat tergemap ketika Harvey mengambil kunci dari saku celananya dan membuka kamar tersebut. Buat apa kamar itu dikunci.

    Harvey belum menceritakan apa–apa tentang keadaan April. Dia tak banyak berbicara, namun ia pendengar yang baik selama berbincang dengan Lisa. Padahal Lisa jauh lebih menerima bila Harvey menceritakan kondisi April
terlebih dahulu.

    Penampakan mencengangkan dan fantastis menyeruduk indra penciuman Lisa ketika pintu itu berhasil terbuka. Bau perban dan anyir darah menyatu dengan aroma khas obat–obatan, serta bau yang biasa dikunjungi di rumah sakit. Tubuhnya terasa tersengat saat pendingin ruangan membalur pijakan kaki dan tubuhnya di ambang pintu. Karena sebelumnya, kehangatan menjelang siang hari di luar sana begitu suam–suam kuku seperti temperatur tubuhnya saat ini. Kenapa kamar ini memasang pendingin ruangan. Setahu Lisa, lingkungan di sini sangat sejuk dengan banyaknya pepohonan.

    Lisa melongok dari belakang Harvey untuk melihat segala keanehan yang terjadi. Sebab, tubuh tinggi Harvey menghalanginya sejak Harvey membuka pintu tersebut. Betapa terkejutnya dia waktu melihat April terbaring tak berdaya di atas kasur. Kamar ini bukan lagi menjadi apa yang Lisa pikirkan, melainkan sahabatnya yang terbaring di ranjang kamar tersebut. Dia hanya tertuju pada April. Menganga tak percaya, lalu berjalan cepat menghampirinya.

    Beberapa perlengkapan medis terpasang ditubuh April. Sebuah alat bantu pernapasan bernama rebreathing mask membekap mulut dan hidungnya. Regulator terpasang apik ditabung oksigen berukuran sedang yang tersambung keselang oksigen yang dikenakan April. Dia juga mengenakan cervical collar (penyangga leher).

    Lisa mengamati ujung kaki April hingga ke kepalanya. Dengan apa yang dilihatnya, ia seakan tak mengenali sahabatnya itu. Lisa kehilangan akal dibuatnya. Kerinduannya terbalaskan dengan kenyataan pahit yang menusuk–nusuk matanya.

    Dia pun bingung ingin memeluk April untuk melepaskan segala kepedihan hatinya. Jangankan untuk memeluk, menyentuhnya saja ia tak tega. Untuk sekedar memegang tangannya, Lisa pun merasa bimbang. Tangan kanan April menyatu dengan alat infus, dan alat pengukur saturasi oksigen dalam darah serta penghitung jumlah denyut nadi (pulse oxymetri). Sedangkan tangan kirinya terbalut carpal tunnel splint untuk menjaga pergelangan tangannya akibat cidera pada otot pergelangan tangan. Dan satu kantung darah yang sudah mau abis, mengaliri tubuhnya. Di lengan dan sikunya juga tertempel perban steril untuk menutupi lukanya.

    Apa yang menimpa April ternyata jauh lebih fatal ketimbang tangannya yang terkilir, dan kepalanya yang pusing. Bagaimana April dapat bertahan melewati ini semua. Tuhan sungguh–sungguh mencintainya. Dalam keadaan kritis seperti ini, April masih diberikan kehidupan.

    Tunggu! Ada satu kesalahan lagi yang sedari tadi tidak terlepas dari penglihatannya. Kedua mata April. Ada apa dengan kedua matanya? Kenapa sepasang mata itu ditutup dan dibalut oleh perban steril?

    "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa April bisa kaya gini?" terdengar gelombang yang bergetar, takut dan cemas. Air mata jatuh bertitik–titik merosot ke pipinya.

    "April mengalami cidera serius dibagian kepalanya, itu yang menyebabkan
dia tidak sadarkan diri sampai sekarang." ada sesal dan kepedihan mendalam ketika Harvey mengatakannya. Tatapannya seketika kosong melihat April. "April orang yang kuat."

    Pipi dan bibir Lisa terkelepai lesu waktu Harvey mengucapkannya. Tangisan kencang pun terdengar sekarang. Sementara itu, lamunan Harvey seketika pudar. Ia menoleh dan melihat Lisa yang menangis menggerung. Dia memandangi Lisa dengan canggung dan rikuh. Bingung harus melakukan tindakan apa. Meskipun Harvey sangat mengerti perasaan Lisa saat ini. Baginya terlalu dini bila ia menunjukan sikap simpatinya yang berlebihan kepada Lisa. Lagi pula, ia bukanlah orang yang bisa menunjukan ekspresi berlebihan kepada orang lain.

    Lisa menggeleng tidak terima. Ada sesuatu yang sumbang di sini. Sesuatu yang aneh dan tidak biasa. Dia harus memutuskan benang kusut ini. Lekas–lekas, ia menyeka air matanya. Menghardik dirinya untuk mencari pertolongan. Dan segera memberitahukan Alex dan om Keenan.

    "Aku harus menghubungi seseorang."

    "Apa maksud kamu? Kalian aman di sini, sampai kalian sembuh."

    Lisa menatap liar pada kedua mata Harvey. "Aman?" ia tak yakin. "Kita udah dua hari di sini. Aku dan April punya keluarga yang sekarang lagi nyariin kita. Dan kamu mengulur–ulur waktu, tanpa melakukan sesuatu yang benar. Ini sama aja tindak kejahatan!"

    "Apa maksudmu, ini tindak kejahatan? Saya menolong kalian berdua." ia mendesah kesal. "Kalau saya tidak menemukan dan menolong kalian pada malam itu, mungkin saja kalian sudah jadi mayat. Dan tidak ada yang tahu jasad kalian. Mungkin kalian sudah menjadi santapan binatang buas di hutan!"

    Tubuh Lisa berayun tak tentu arah. Tanah seolah berguncang di ruangan itu. Pendingin ruangan yang tadinya membekukan tubuh, sekarang kalah dengan gelegak hati yang ganar.

    “Jangan mentang-mentang kamu mengenal April, jadi kamu seenaknya aja merawat dia di sini tanpa diketahui keluarganya. Seenggaknya, keluarganya harus tahu di mana dia sekarang!”

    “Saya akan menghubungi Om nya nanti. Kamu nggak perlu khawatir.”

    Lisa menyerkah dengan dahsyat. Ia mengingat sesuatu yang hampir saja terlupakan olehnya. "Oh, iya!" gertaknya. "Di mana pengemudi truk yang waktu itu menabrak kita?" nada puas dan tatapan was–was menempel di wajahnya.

    Harvey terdiam beberapa saat. Antara mengetahui namun tidak ingin memberitahu.

    Ia mendesah bosan. Bosan akan perbincangan ini. "Pengemudi itu melarikan diri."

    Sejujurnya Lisa sudah melihat kebaikan Harvey yang sudah menolong dia dan April. Menyediakan segala perlengkapan medis dan ruangan eksklusif untuk dia, khususnya April. Dia tahu, semua ini tidak mudah. Atau mungkin, profesi Harvey sebagai dokter bedah mampu membuka akses untuk mendapatkan semua ini. Tapi kenapa dia harus repot–repot membeli perlengkapan dan menyiapkan ruangan khusus? Kenapa ia tidak melapor polisi saja dan membawa mereka ke rumah sakit? Ini diluar dugaan Lisa.

    Begini jawaban Harvey, "Saya mengenal April dan saya sempat mencintainya." suaranya terlampau lemah. "Bahkan sampai detik ini saya juga masih mencintai dia." dia terdiam sejenak untuk menegarkan hatinya. "Saya juga tidak menyangka bakalan dipertemukan lagi sama dia, tapi dalam keadaan tidak adil seperti ini. Itu sebabnya, saya memutuskan untuk merawatnya sampai dia sadarkan diri. Karena ini satu–satunya kesempatan saya untuk menolongnya. Selama saya mampu, saya akan melakukan apa saja untuk April."

    Entah mengapa, pengakuan Harvey itu membuat Lisa tersentuh. Perlahan, perkataan itu pun menjemah hatinya, lalu mengelusnya hingga membuatnya berempati.

    "Tapi, aku harus mengabari om Keenan dulu. Aku nggak mau membuat dia menjadi bersalah karena hilangnya kami berdua. Seenggaknya, dia harus tahu
kalau aku dan April ada dibawah penjagaan kamu."

    "Keenan?" Harvey mengedutkan dahinya.

    "Iya, Om nya April itu namanya Keenan.” Lisa meratapi April kembali ketika ia mengulas tentang Keenan.

    Harvey bergerak cepat, menuntun Lisa untuk keluar dari kamar tersebut. April butuh ketenangan, dan agaknya Lisa juga harus istirahat kembali. Dia belum boleh banyak bergerak. Tapi nampaknya, Lisa belum rela meninggalkan April diruangan ini sendirian.

    "Come on! Aku harus membeli beberapa kantung darah dan infus."

***

    Harvey baru saja keluar dari salah satu toko di Partition Street. Membeli kebutuhan primer, seperti baju perempuan untuk Lisa dan April. Sebelumnya ia sudah membeli dua kantung darah dan lima infus untuk April di rumah sakit tempat ia bekerja.

    Kantung udara dalam paru–paru Harvey mengembang. Ia mencium aroma lembap menguap dari tanah yang ia pijak. Bau jalanan yang selalu ia benci. Temperatur hari ini cukup sejuk dan cerah, namun kelembapannya masih menekan udara pada siang hari. Membuat matahari mengeluarkan tenaga lebih untuk benar–benar menghangatkan kota ini.

    Tampak beberapa anak muda berpencar menyebarkan kertas berupa pamflet. Tiga sampai lima gadis terlihat menghampiri orang–orang yang ada di jalanan dan memberikan kertas tersebut–sedikit dari mereka berbincang menanyakan apa yang terjadi, dan gadis itu menjelaskan dengan tampak ramah. Berbeda sisi, empat anak laki–laki menempelkan pamflet tersebut di tembok atau tiang listrik. Harvey sempat mengamati mereka, sebelum akhirnya seorang gadis berwajah bulat menghampirinya.

    Apakah ini semacam kegiatan anak kampus? Ah, tentu saja. Harvey sangat yakin dengan apa yang dipikirkannya.

    "Hello, Sir!" dia tersenyum ramah sambil memberikan selebaran tersebut.

    Betapa tercengangnya ia saat melihat foto April dan Lisa di dalam kertas itu. Siapa yang membuat ini? Tak ada nama yang dicantumkan, hanya terdapat nomor telepon. Ayolah, yang benar saja! Harvey menyingkirkan kertas itu dari pandangannya. Gadis itu bertanya kepadanya mengenai foto April dan Lisa, apakah ia pernah melihat wajah mereka sebelumnya.

    Tetapi Harvey masih tertegun dan bergeming menatap seorang gadis yang berbeda. Ia rasa itu teman dari gadis ini. Langkah besar itu semakin cepat–mencoba menghampiri mereka dengan tumpukan pamflet ditangannya.

    "Hey!" gadis ini jauh lebih cantik. Pipinya tirus dan merah merona, ditambah rambut pirangnya yang tergerai indah. Dia menyapa temannya yang sedang berada di hadapan Harvey. Lalu menyapa Harvey dengan tutur kata dan sikap yang manis.

    "I'm sorry. I have to go." Harvey tampak tergesah–gesah memasukkan belanjaannya ke dalam mobil.

    Gadis berambut pirang ini sedikit heran. Seolah kehadirannya tidak diterima dengan baik oleh Harvey. Gadis berambut cokelat sedikit menceritakan prilaku tidak ramah Harvey kepadanya. Mereka berdua pun terlihat berbisik di belakang Harvey.
"Excusme, Sir!" gadis pirang menghampirinya lebih dekat. "Please, call number in the pamphlet if you see them! Thank you." katanya, lalu mengajak temannya pergi.

    Harvey tak menghiraukan gadis itu. Beberapa detik setelah mereka pergi, ia baru saja selesai menaruh semua belanjaannya di bagasi belakang mobilnya. Ia kembali menatap kertas itu, ada sesuatu yang dipikirkan olehnya, tapi tak terjemah. Dengan wajah yang terlampau datar, dia meremas kertas itu sampai menjadikannya bentuk bola. Harvey berpikir untuk membuangnya, namun ia tak melihat tong sampah di dekatnya. Akhirnya dia melempar remasan kertas itu ke dalam bagasi mobil dan menutupnya untuk melanjutkan perjalanan pulang.
0 komentar