"Siapapun tolong aku! Kenapa mataku diperban? Aku nggak bisa melihat!" April belingsatan di ranjang tempat ia berbaring. Kepalanya bergerak tak menentu layaknya orang yang gelisah. "Apa yang terjadi?" jeritan panjang mendengking di ruangan beraroma rumah sakit dan berdinding kaca.
Tidak butuh waktu lama, di luar pintu, Harvey membuka kunci pengaman dengan terburu–buru, mencoba menghampiri April. Mendugas langkah memasuki ruangan dan mendekati April. Didekatnya, Harvey meredakan kepanikan April yang baru sadar sehabis menjalani operasi transplantasi kornea mata.
Lebih tepatnya sehari yang lalu, sehabis berhasil menangani Lisa karena ingin membunuhnya dengan pistol yang tak berisi pelurunya, Harvey kembali ke ruangan April, dan begitu terkejut ketika melihat tubuh April mengalami tingkat komparatif yang lebih baik setelah hampir sepuluh hari tidur panjang.
Harvey memberikan perawatan insentifnya, setelah April tersadar dari komanya. Serta–merta, Harvey melakukan transplantasi kornea mata tiga jam setelah dia tersadar. Lalu sehari kemudian, tepatnya hari ini, Harvey baru sungguh–sungguh mendengarkan suara April setelah sadar dari obat bius sehabis operasinya kemarin.
Kegelisahan itu melemah, seiring dengan kehadiran dan kelembutan Harvey menenangkannya. Tetapi tetap saja, April belum bisa beradptasi dengan semua keanehan dan kegelapan ini. Di mana berkas cahaya, difusi cahaya, dan segala macam bentuk objek, pemandangan yang biasanya dapat ditangkap oleh indra penglihatannya?
Akibat ketidaknyamanan ini, April memaksa tangannya untuk melepaskan perban itu dari matanya. Namun sungguh, antisipasi Harvey begitu kuat. Dia tak membiarkan April membuka perban itu, sebab pemulihan sesudah operasi membutuhkan waktu yang cukup lama. April belum sungguh–sungguh bisa melihat sampai kornea matanya pulih. Butuh waktu setidaknya tiga bulan untuk membuatnya dapat melihat kembali.
"Hey, calm down, Honey!"
April tiba–tiba kejat ketika mendengar suara tersebut. Tak ada lagi pemberontakkan yang sia–sia. Dia menjadi begitu diam dan tenang, laksana embun yang membeku.
"Siapa kamu? Di mana aku sekarang?”
"Aku Harvey. Dokter yang menangani kamu."
"Jelasin semuanya!" pekik April.
Kamu tidak ingat apa yang telah terjadi?"
April menggeleng. Dia menaikan tubuhnya untuk mencari posisi yang nyaman–menyandarkan dirinya di dipan. "Aku nggak ingat apa–apa."
Raut wajah Harvey seketika menjadi prihatin. Namun secepat kilat berubah seraya berpiuh. Terdiam sejenak sambil memikirkan sesuatu.
"Apa yang kamu ingat? Setidaknya di kepalamu sekarang."
"Ayah... Di mana Ayah? Aku harus ke makamnya sekarang!" ada dorongan kuat ketika mengingat itu.
"Apa yang terjadi dengan Ayah kamu?"
"Dia meninggal karena kanker." walaupun tidak terlihat gerakan matanya, namun tarikan pipinya tampak bermuram durja. "Kenapa aku bisa kaya gini? Seharusnya aku berada di rumah sekarang. Mama pasti nyariin aku. Aku harus pulang sekarang!" tangan Harvey masih mengimbangi setiap gerakan April, dan mencegahnya. "Kamu harus mengantarkan aku pulang!" tegas April.
"April, aku minta kamu tenang." Harvey masih menekan bahu April dengan tangannya. Takut jika kenekatan April terulang kembali. "Sehari yang lalu kamu baru saja tersadar dari koma. Dan hari ini kamu sadar dari operasi transplantasi kornea mata."
Terdengar suara sumbang yang ragu. "Apa yang terjadi?"
"Kamu mengalami kecelakaan. Mobil yang kamu kendarai ditabrak truk besar. Dan kamu sudah koma selama sepuluh hari. Kedua mata kamu mengalami cidera trauma akibat benda tumpul. Jadi kamu harus melakukan cangkok kornea mata. Tapi aku sudah melakukannya. Kamu hanya perlu menunggu sampai matamu benar–benar kembali normal, dan bisa melihat kembali."
"Apa?" April menganga, tidak menyangka dengan apa yang dibicarakan dokter bedah itu. "Nggak mungkin!"
"Apakah kamu ingat kenapa kamu bisa berada di Saugerties?"
"Apa yang kamu omongin? Seingat aku, aku lagi di rumah. Menangis karena kematian ayah. Aku nggak pernah ke mana–mana sehabis itu." dia diam sejenak. "Mengurung diri di kamar."
"Tapi kecelakaan itu terjadi di Saugerties, Catskill Region. High Falls Road. Tidak jauh dari rumahku."
April diam saja. Mulutnya tak henti menganga, antara ingin bicara namun tak terucapkan. "Aku nggak ingat apapun soal Saugerties. Aku pernah mendengarnya, tapi..." dia tak melanjutkan.
"Ulster County. Kota kecil di New York."
Dia memegangi pelipis kanannya yang tertutupi kapas dan plester. Menyeringai saat tangannya menemui titik terlemah dalam dirinya. Lupa ingatan. Membuat seluruh kepalanya terasa nyeri. Seolah ada eksplosif aktif yang bersarang di kepalanya.
Rupanya, rasa sakit itu sedikit memberikannya ruang. Dia kembali mengingat sebuah kota kecil bernama Saugerties. Kota yang sering dikunjunginya ketika libur panjang tiba. Namun dia masih belum mengetahui ada pesona apa dibalik kota kecil itu hingga ayahnya selalu mengajaknya ke sana. Dia pun tak ingat tempat–tempat yang pernah dikunjunginya dahulu di Saugerties.
Pernyataan dan fakta yang diungkapkan dokter bedah itu tak memberikannya titik terang sekalipun. Dia tak ingat kenapa bisa berada di Saugerties sekarang ini.
Dengan siapa aku berada di tempat ini? Bukankah Ayah sudah meninggal, aku tak mungkin seorang diri berada di kota kecil ini. Bila ada mesin waktu, aku ingin sekali membelinya. Sebegitu parahkah kecelakan itu hingga aku tak mengingat hal–hal vital dalam hidupku? bisik April dalam hati.
"Apa kamu mengingat beberapa nama dalam hidupmu selain orangtuamu?"
"Kak Andri." katanya mantap. "Lisa. Dia sahabatku." sambil memikirkan ia menggigit bawah bibirnya.
Melihat hal itu, Harvey kembali mengingat masa lalunya. Perempuan yang pernah dia cintai selalu melakukan hal yang sama. Animo itu tak pernah hilang dari benaknya.
"Nggak tahu... Saat ini aku cuma bisa mengingat nama itu."
"Ralan?"
April menggelengkan kepalanya. Dia tak ingat sama sekali dengan nama itu. Tidak ingat berapa banyak kenangan yang terdapat dari nama itu.
"Harvey?"
"Aku juga nggak ingat nama itu." tegasnya jemu. Dia sudah bilang, bahwa hanya mengingat orangtua, kakak kandung dan sahabatnya saja sejauh ini.
"Itu aku."
"Kamu Harvey?"
"Iya. Apa kamu tidak ingat kenangan dibalik nama itu?"
April mencondongkan kepalanya ke arah kanan. Tempat di mana pertanyaan dari dokter bedah itu berasal. Dia masih nanar dengan apa yang dimaksudkan dokter bedah tersebut, melibatkan dirinya bersama kenangan dari nama Harvey, yang kebetulan juga nama dari dokter bedah itu. Mendengarnya pun rasanya April tak pernah.
Sebentar! Ada yang membingungkan di sini. Kalau kata dokter bedah itu April berada di Saugerties, lalu kenapa dokter bedah tersebut bisa menggunakan bahasa Indonesia? Siapa sebenarnya dia? Anehkah bila itu sebuah kebetulan? Bagaimana dengan kecelakaan yang terjadi tak jauh dari tempat tinggalnya? Dan kenapa dia melibatkan dirinya seolah dia mengarahkan namanya pernah menjadi kenangan dimasa lalunya?
"Siapa kamu sebenarnya?"
Harvey menarik napasnya kuat–kuat, seolah ingin mengutarakan kenyataan yang menggeriap. Pengakuan yang semestinya tak diungkapkan. Menggali kenangan dari kuburan yang masih basah. Mungkinkah April akan menerimanya, atau malah sebaliknya?
"Kamu itu kekasih aku, Pril. Kekasih yang benar–benar aku cinta." suaranya diselubungi romantika. Ada afeksi lampau yang tak bisa dihindarinya.
Terulang lagi, April mencondongkan wajahnya ke arah Harvey. Meski dia tak mengetahui jelas rupa seorang Harvey itu. Dia juga masih bingung dan tidak percaya dengan apa yang dibicarakan Harvey. April tak mengingat apapun terkait seorang pria yang pernah mengisi hatinya. Tidak satu nama pun. Entah lah, mungkin selama ini dia belum betul–betul mencintai seorang pria seperti ia mencintai keluarganya sendiri.
"Berapa umurku?" katanya jauh lebih melemah.
Harvey mengerutkan dahinya. Dia tak mengerti kenapa April tak megindahkannya sedikit saja. Apakah pengakuannya itu tak berarti apa–apa untuk April? Atau mungkin hilangnya sebagian memorinya membuat dirinya menjadi serba salah untuk memercayai dirinya atau tidak?
"Dua puluh tahun."
Agaknya April kaget dengan usianya kini. Dia sungguh–sungguh lupa dengan usianya sendiri. Dan mata ini, mata yang seharusnya bisa mengungkapkan semua perasaan hatinya terpaksa harus bersembunyi dibalik perban.
April mencerna isi sanubarinya, rasanya juga sangat aneh untuk tidak memercayai seorang pria bernama Harvey. Diusianya yang sudah memasuki dua puluh tahun, sangat mustahil bila tidak ada seorang pria pun yang pernah singgah dihatinya. Setidaknya walau dia tak mencintai pria tersebut, lalu terlupakan olehnya saat ini, bukan berarti dia tidak pernah dekat dengan seorang pria dulunya. Semua ini menjadi masuk akal sekarang.
"Apa kamu bisa buat aku percaya kalau kamu pacar aku?"
"Tentu, aku bisa." gairah Harvey tampak percaya diri. "Aku akan menceritakan semuanya. Masa lalu kita..."
"Di mana Mama dan Kak Andri...?"
"Ayolah, April... Mereka lagi di Jakarta. Tidak mungkin mereka ke sini!" Harvey seolah memutus rangkaian keluarga. Perkataannya terselip aura kekesalan.
April menggeleng perlahan. "Nggak mungkin? Aku dalam keadaan sekarat di sini!" dobrak April tak kalah beraninya. "Aku tahu, mereka juga pasti khawatir. Apalagi Mama." sekarang nadanya rawan hati.
"Saat kamu koma, mereka sudah ke sini melihatmu. Tapi mereka sendiri yang akhirnya memutuskan untuk pulang dan menyerahkan semuanya kepadaku. Karena mereka tahu aku seorang dokter. Mereka memercayai aku untuk merawat kamu sampai kamu pulih."
April kembali diam. Ia bahkan bingung harus merasa bersyukur memiliki seorang Harvey yang dipercayai oleh keluarganya sendiri, atau harus merasa tergemap karena dirawat oleh orang asing yang tidak ia ingat sama sekali.
***
Karut–marut menungkup tak tahu diri pada sebuah wajah yang akhir–akhir ini menderita. Mata dan pipi itu cekung tak tahu malu–menghabisi sisa–sisa lemak. Sebelas hari cukup membuat dirinya selemah agar–agar. Penantian, pengorbanan, dan pencarian yang tak kunjung berakhir.
Andri kembali mendengar kabar dari om dan tantenya di Jakarta, yang kebetulan mengurus dan menjaga mamanya sejak ia pergi ke Saugerties. Kabar yang membuat hatinya kembali teriris. Ini perihal tentang ibunya Lisa yang biasa dipanggilnya tante Dewi.
Semenjak Dewi mengetahui kehilangan Lisa di Saugerties. Dewi terpukul mati–matian sampai mengalami depresi berat. Berhenti dari pekerjaannya dan menghabiskan waktunya dengan air mata di dalam kamar. Parahnya lagi, ia juga sering meracau tak karuan dan berteriak–teriak mengatakan kata–kata kotor yang diperuntukkan bagi April dan keluarganya.
Dia beserta suami, mengirim beberapa orang ke Saugerties untuk mencari keberadaan Lisa. Dan melakukan apapun yang mereka bisa supaya Lisa dapat kembali kedalam pelukan mereka. Pasangan suami itu juga sangat menyesal, tidak sempat bertemu Lisa untuk yang terakhir kalinya sebelum Lisa pergi ke Saugerties, New York. Karena mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Keras kepalanya yang selalu menganggap bahwa dirinya selalu benar menjadi pacuan Dewi untuk menyalahkan orang lain. Dia merasa tidak terima anaknya hilang. Dan terus menyalahkan April yang dianggapnya dalang dari semua ini. Menurutnya, April telah membuat kejutan yang tak masuk akal, serta tindakannya yang bodoh karena membuat mereka berdua tersesat.
Pada suatu hari, seminggu setelah hilangnya April dan Lisa, Dewi mendatangi kediaman almarhum Rifat Kailani untuk menemui Wina, ibu kandung April. Kedatangannya bukan untuk saling menguatkan yang notabenenya sama–sama kehilangan anak perempuan semata wayang mereka, namun Dewi malah mencaci maki Wina dengan perkataan senonohnya. Serta membabi buta melakukan penyerangan.
Andri masih tidak habis pikir dengan apa yang telah menimpa mamanya itu. Mamanya itu korban, begitu pula dengan April dan Lisa, jadi tidak ada yang perlu disalahkan. Toh, semuanya telah terjadi–nasi sudah menjadi bubur.
Andri baru mendengar kabar itu tadi pagi, di hari kesebelas hilangnya April dan Lisa. Tidak tahu kenapa om nya baru memberitahukannya sekarang. Padahal dia harus selalu tahu mengenai semua yang berhubungan dengan mamanya. Karena hanya mamanya yang dia miliki saat ini. Tidak ada seorang pun yang boleh menyakitinya.
Kehilangan April sudah membuat beliau kehilangan kesadaran dan menanggung beban yang teramat berat. Andri berharap, semoga Dewi bisa lebih tawakal dan sabar akan hilangnya Lisa. Sebab, bukan dia saja yang merasakan penderitaan itu.
"Ndri...?" panggilan mengudara ke telinga Andri.
Andri menoleh. Seorang Ralan telah tiba di sampingnya–duduk di ranjang yang sama.
"Lo ada rencana nggak, sebelum gue pulang?"
Andri tercengang dengan kalimat yang didengarnya barusan. "Lo mau pulang?"
"Iya." terdiam beberapa saat. Setiap kejujuran yang diutarakan secara implisit akan menyisahkan pertanyaan yang berkelanjutan. "Keluarga udah nyariin gue terus. Apalagi nyokap. Gue disuruh balik ke Jakarta. Kata mereka gue terlalu lama di sini." ungkapnya. "Tapi jujur, gue masih pengen di sini. Gue pengen menjadi orang pertama yang melihat April dan Lisa ditemukan." ada semangat yang autentik dalam kalimatnya.
"Meski lo tahu, lo bakalan menjumpai mimpi buruk yang nggak bisa lo lupain seumur hidup."
Ralan mengerling kepada Andri. Dia tahu betul apa yang dimaksudkannya.
"Bukan itu. Lebih tepatnya, gue akan menerima baik–jahatnya ketidakadilan."
Tatapan Andri menjadi lebih bermakna. Ada keyakinan dari seorang pemuda yang memiliki dinamisme dan soliditas tentang apa yang dipandangnya, yakni Ralan. Pemuda yang membuat Andri lebih pasti menyikapi sesuatu, baik–buruknya itu.
"Oke. Sebelum lo pergi. Izinin gue untuk mengajak lo menyelesaikan daftar perjalanan yang akan dikunjungi April dan Lisa, kalau aja mereka nggak hilang." kata 'hilang' membuat Andri menundukan kepalanya.
Sebelumnya, April memang telah membuat daftar perjalanannya selama berada di Saugerties dan daerah sekitarnya. Dia menuliskannnya dengan detail dalam sebuah buku catatan dengan panjang lima belas sentimeter.
Daftar tersebut ditemukan Alex di saku sweater–nya pada malam April dan Lisa menghilang. Alex baru ingat, sejak terakhir kali makan siang di restoran bersama April dan Lisa, buku catatan yang berisi daftar perjalanan itu tak sengaja terbawa olehnya.
Dari sana, Andri menyarankan Alex dan Ralan untuk mengunjungi semua
tempat wisata yang ada di dalam daftar tersebut. Yang dimaksudkan sebagai pencarian mereka. Kurang lebih ada sembilan tempat wisata di dalam daftar itu. Dan mereka baru mengunjungi lima diantaranya. Tersisa empat tempat wisata lagi yang harus mereka datangi.
Ralan tersenyum samar.
***
Jemari itu saling bersabung. Sensasi sentuhan yang penuh arti dari seorang pria. Tangan kasar dan hangat itu melumat perlahan ruas–ruas jari April. Awalnya April tampak terlonjak kaget, namun lama–kelamaan, sentuhan asing itu membuat dirinya jauh lebih nyaman.
"Pril, are you okay?" lemah lembut terdengar dari insan yang menemukan afeksi cintanya.
"Ya." sahutnya parau.
"Aku membelikanmu sesuatu." Harvey merogoh saku kemejanya. Sebuah gelang keluar dari sana. Gelang sama yang pernah diberikan Ralan kepada April sebelum keberangkatan April ke Saugerties. Gelang Retro Pandora. Sungguh gelang yang sangat mirip.
April terdiam dengan mata yang diperban. Tidak ada ekspresi yang bermakna di sana. Mungkin saja kegelapan sedikit mematikan kebahagiaannya. Dia juga tidak akan bisa melihat apa yang diberikan Harvey kepadanya.
Namun keadaannya yang mulai membaik, membuat April lebih berkonsentrasi memikirkan masa lalunya. Tangan kirinya yang patah, masih terbalut perban dengan apik. Kemarin, Harvey baru saja mengganti perbannya dengan yang baru, begitu pula dengan pelipis kanan dan perban steril untuk matanya.
Sayangnya, pernapasannya masih belum membaik. Saat malam tiba, paru–parunya terasa tersekat dan sukar bernafas. Hingga Harvey harus terbangun dari tidur, dan menolongnya. Untunglah, setiap malam Harvey selalu tidur di sofa yang berada di ruangan yang sama. Setidaknya untuk hari kedua setelah April sadar dari koma.
Harvey menyentuh dan menggenggam kembali tangan kiri April. Terlihat jelas tidak ada aksesoris apapun di tangan kirinya, termasuk tangan kanannya. Bahkan gelang yang diberikan Ralan saat malam itu juga tidak ada. Namun gelang yang sama, terlihat akan dipasangkan Harvey ke tangan April.
Sehabis Harvey selesai menautkan gelang retro itu di tangan kanan April, ia lalu mengecupnya. Setengah ragu–ragu, April mencoba melepaskan tangannya dari eratan Harvey.
"Thanks." kata April. "Kamu janji kan, mau mempertemukan aku dengan keluarga aku lagi?"
Harvey mendengus dengan wajah jenakanya. "Tentu April. Aku tidak perlu berjanji, karena itu memang sudah seharusnya."
"Apa mereka akan menerima aku, dengan kondisi aku yang sekarang ini?" ia kembali berputus asa. "Aku bahkan melupakan banyak kenangan bersama mereka. Aku hilang ingatan."
"Tenang, Pril. Kenangan itu tidak seberapa. Yang terpenting adalah, kamu masih ingat sama mereka. Dan kamu hanya perlu menjalani masa sekarang, dan kembali membuat kenangan untuk masa depan." kearifan Harvey mengalun lestari melalui suaranya.
Senyum simpul tertarik di bibir April. Dia seolah menemukan rautan untuk pensilnya yang telah tumpul. Membuatnya kembali tegak bak pohon rasamala yang berbau harum.
"Pril... Kamu harus menjalani perawatan berkala untuk saat ini. Minimal tiga bulan ke depan, keadaan kamu akan kembali normal. Meski tidak seratus persen. Dan beberapa minggu lagi, aku akan membawamu pulang dari sini."
Ada sesuatu yang aneh, yang dibicarakan Harvey. Apa yang dimaksudkan Harvey ingin membawanya pulang. Saat ini April tidak merasakan sedang berada di rumah sakit. Baiklah, meski aroma di sini memang berbau rumah sakit dan obat–obatan. Tapi ada yang lain, yang tidak April temukan di sini. Dia tak pernah kehadiran orang lain selain Harvey, semisal perawat, dokter lain, atau penjaga kebersihan rumah sakit. Dia pun tidak pernah mendengar suara–suara yang mengganggu. Tak ada deruan mobil atau riuh rendah seperti yang terjadi di rumah sakit pada umumnya. Semua tampak begitu sepi dan sunyi bagi sebuah rumah sakit umum. Sebenarnya, sedang berada di mana ia selama ini.
"Aku ini lagi di mana? Kenapa di rumah sakit ini nggak ada perawat. Kenapa di sini sepi? Cuma kamu yang masuk ke ruangan aku." suaranya bergetar curiga.
"Siapa yang bilang kamu di rumah sakit? Kamu memang bukan lagi di rumah sakit." Harvey beralih, duduk di sisi kanan April. Sekarang lengan atasnya beradu dengan lengan April. "Kamu ada di ruangan seorang dokter bedah."
"Maksudnya?"
Harvey mendesah, seolah tidak ingin membahas mengenai masalah ini. "Aku susah jelasinya. Bahkan percuma juga kalau kamu tidak bisa melihat ruangan ini."
April merasa tersinggung dengan ucapan Harvey. Perkataannya seakan memojokan April yang baru saja menyandang status tunanetra sementara.
"Pril, aku tidak bermaksud. Aku janji." tekadnya. "Kalau kamu sembuh nanti, aku akan menunjukan ruangan ini."
Seketika pikiran April menemukan satu identitas dalam kepalanya. Sebuah kenangan berbentuk kaleidoskop singkat akan kenangannya bersama Lisa saat pertama kali bertemu, dan melakukan hal–hal menyenangkan bersama.
Tidak ada kompetitif atau pertengkaran yang tercerna ingatannya. Hanya terlihat titik–titik air mata yang jatuh dari kedua mata Lisa dalam masa lalunya. April mulai menyadari seorang sahabat yang sudah menjadi soulmate serta keluarga dalam hidupnya.
April teringat bagaimana dia bisa bersikap bodoh dan memalukan di hadapan Lisa. Berkelakar tanpa takut dia tersinggung. Bergurau tanpa perlu khawatir tidak ada yang tertawa. Karena satu yang April ingat. Lisa selalu menerima segala bentuk verbalnya. Dan selalu tertawa tulus meski kelakarnya tidak lucu di telinga orang lain. Lisa. Di mana dia?
"Lisa? Apa dia pernah menjenguk aku?"
"Pril, kamu benar–benar tidak ingat ya malam kejadian itu?!" ada kalimat yang terdengar tidak biasa dari Harvey.
"Apa sih maksud kamu? Aku nggak ngerti."
Lirih, sinar mata Harvey perlahan redup. Dan agaknya dia akan sangat menyesal mengatakan ini kepada April. "I'm sorry to say." berhenti sejenak.
April terlihat waspada dan tegang. Masih bingung dengan apa yang terjadi.
"Lisa tidak dapat diselamatkan."
Bila saja mata itu tak diperban, sudah pasti April akan membeliak hebat. Hanya mulutnya yang terbelangah tidak percaya. Tidak mungkin! Tentu saja semua ini tidak mungkin terjadi! tempiknya dalam hati.
Terbata–bata, April mencoba bertanya, "Ma... Maksud kamu, dia orang yang berada di dalam satu mobil yang sama dengan aku?" April menjerit pedih.
"April, aku mohon! Kamu tidak boleh menangis. Mata kamu belum pulih."
"Bantu aku supaya nggak nangis!" ia kembali berteriak.
Sejam kemudian, Harvey berhasil meredamkan sentimentil kesedihan seorang April yang baru saja mendengar kabar duka atas kematian sahabatnya. Berkat ketenangan yang diberikan Harvey terhadapnya itu, April mampu meredakan emosinya untuk tidak menangis terlalu berlebihan demi kedua matanya yang belum pulih. Namun hatinya masih bersedih dan tidak terima akan kenyataan yang menimpa sahabatnya itu.
"April? Maaf, aku harus ninggalin kamu sekarang." mohonnya sehabis menerima telepon dari seseorang. Tatapannya begitu tajam dan serius. Seperti baru saja menerima ancaman teror dari sambungan telepon.
"Kamu tega ninggalin aku sendirian." nadanya rendah. "Aku baru aja mendengar kematian sahabat aku sendiri. Dan kamu mau ninggalin aku?”
Harvey jadi menaruh belas kasih kepada April. Namun dilain sisi, ancaman sudah menunggunya di depan mata. Dia harus melakukan manuver strategis demi mempertahankan April. Rupanya, Keenan sudah mencurigainya sejak lama–semenjak kedatangan Inspektur dan Detektif itu ke rumahnya.
Belum lagi, akhir–akhir ini ia sering sekali mengambil cuti sebagai dokter spesialis bedah dan dokter jaga di rumah sakit yang sama dengan Keenan. Dan bisnis yang dijalani bersama Keenan juga harus terabaikan begitu saja. Mungkin ini yang membuat Keenan kembali menghubunginya dengan nada–nada ancaman untuk mematahkan keyakinannya mempertahankan April, serta membuatnya mengakui yang sesungguhnya, bahwa sebenarnya April disembunyikan olehnya.
Namun sampai kapan pun itu tidak akan pernah terjadi. Tidak akan ada yang bisa menemukan April sampai kapan pun, baik itu polisi maupun Keenan sendiri, kalau mereka tidak ingin membuang nyawanya dengan sia–sia. Sebab Harvey akan melakukan segala cara untuk mempertahankan April. Walau harus menyingkirkan orang–orang terdekatnya.
"Sayang... Aku akan kembali saat makan malam nanti. Aku akan kembali membawa makanan kesukaan kamu." Harvey membelu–belai.
Senyumnya begitu tulus, meski April tak melihatnya. "Kamu tidak usah khawatir, di luar sana ada dua penjaga yang siap menolong kamu. Kamu hanya perlu memanggil mereka kalau kamu butuh sesuatu. Dan satu hal, tidak ada orang yang bisa menyakiti kamu."
***
Ralan hanya memiliki waktu tiga hari di Saugerties sebelum dirinya kembali ke Jakarta. Dua hari yang lalu, waktu perbincangannya dengan Andri, Andri mengajaknya untuk pergi keempat daftar tempat wisata terakhir. Tiga diantaranya sudah mereka sambangi dalam kurun waktu dua hari, antara lain Woodstock Museum, Opus 40, dan Ulster Landing Park. Ini hari terakhir Ralan untuk menyelesaikan misinya. Mengunjungi satu tempat wisata terakhir, Catskill Mountain.
Setelah pulang dari tempat pencarian terakhir, Ralan langsung pergi ke bandara JFK, New York. Setelah dia cukup sadar kalau April dan Lisa tidak berada di Catskill Mountain. Padahal mereka berharap penuh bisa menemukan April dan Lisa di tempat wisata yang terakhir ini.
Mobil muscle tua hitam berkilap terhenti di sisi sebuah jalan sepi dengan sangat mendadak. Sinar matahari melantas menembus kaca depan mobil. Menyilaukan pandangan Andri yang terduduk di samping kemudi.
"Kenapa sih, Lex... Berhenti di sini?" Andri mengerling kepada Alex, kemudian menoleh kepada Ralan yang tampak bingung di bangku belakang.
"Wait a minute." Alex tergesah–gesah mengambil ponsel pintar di saku celananya, lalu menghubungi seseorang.
Dua hari yang lalu, tepat saat hilangnya April dan Lisa memasuki hari kedua belas, Keenan meminta izin kepada Alex untuk pergi menemui temannya. Namun hingga kini Keenan belum kunjung pulang. Awalnya Alex tidak mencemaskan daddy–nya itu. Dia berpikir kalau daddy–nya itu sedang mengurusi bisnisnya hingga tidak pulang sampai dua hari lamanya. Karena itu bukan hal yang baru lagi bagi Alex. Namun kecemasannya timbul saat dihari ketiga daddy–nya belum kunjung pulang, dan tidak memberikan kabar sama sekali. Ini tidak seperti biasanya.
Bahkan hari ini, setelah dia menghabiskan setengah hari waktunya di Catskill Mountain bersama Andri dan Ralan untuk mencari keberadaan April, daddy–nya belum jua munghubunginya.
Diperjalanan pulang, tepatnya perjalanan menuju bandara JFK, New York untuk mengantar Ralan, Alex berinisiatif untuk menghubungi daddy–nya terlebih dahulu. Karena perjalanan ke bandara JFK, New York membutuhkan waktu kurang lebih dua jam perjalanan dari Saugerties, dan sudah dipastikan Alex dan Andri akan tiba di rumah saat malam hari.
"I have to call Daddy." betapa terkejutnya Alex saat ponsel daddy–nya tidak aktif. Dia meninggalkan pesan kepada daddy–nya untuk segera menghubunginya.
"Udah tiga hari ya, Om Keenan nggak pulang." Ralan baru tersadar.
Alex menganggukan kepalanya. Wajahnya tampak sangat gelisah.
"Tadi Zadie telepon, kata dia, Daddy belum pulang juga sampai sekarang."
Tiba–tiba terdengar aksen antusias dari bangku penumpang, "Kita cari Om Keenan aja sekarang."
Alex mengerling pada kaca spion depan untuk melihat suara perintah tersebut. Sementara Andri lebih memilih untuk menoleh ke bangku belakang, tempat di mana Ralan berada.
"Lo bukannya mau pulang?"
"Gue bisa pulang besok." ucapnya tanpa penyesalan. "Lagian kan, Om Keenan lebih penting. Kalau dia kenapa–kenapa gimana? Kita juga kan yang kepikiran."
"Tapi mau nyari dia ke mana?" terdengar kepenatan yang luar biasa dari Andri. "Dia kan udah dewasa, udah bapak–bapak juga. Masa iya harus dicari kaya anak kecil?!" kelelahan emosionalnya begitu terlihat, seperti sudah muak dengan segala keadaan yang menimpanya. Ditambah pula pencarian terakhirnya di Catskill Mountain tidak mendapatkan hasil apa–apa. "Kalian kalau mau cari, ya cari aja! Gue mau pulang. Mau istirahat. Anterin gue pulang dulu. Abis itu terserah kalian mau ke mana!"
"Lo kenapa?"
"Jangan tanya, 'Kenapa' sama gue!" bentaknya mengaggetkan Alex hingga terperanjat.
"Om Keenan tuh, Om lo sendiri. Kalau dia kenapa–kenapa gimana? Lo belum puas udah kehilangan adik lo sendiri?!" Ralan tak kalah geramnya.
Andri mencoba berdompak dari kursi depan ke kursi belakang untuk melakukan perlawanan dengan Ralan–memberi pelajaran atas ucapan Ralan barusan. Namun dengan sigap, Alex menahan tubuh besar Andri kuat–kuat, agar perkelahian itu tak terjadi.
"Jangan pernah lo ngomong kaya gitu, seakan gue nggak pernah menyesali apa yang terjadi!" Andri mengacungkan jari telunjuknya ke wajah Ralan, dengan tubuh yang separuh terpelintir menghadap belakang.
Suasana di dalam mobil menjadi sangat panas. Ketiga tubuh–tubuh itu layaknya ikan sarden yang dimasukkan ke dalam kaleng yang telah diuapkan.
Ralan tidak pernah melihat Andri seemosional saat ini. Dahulu, April pun tak pernah menceritakan buruknya Andri kepada dirinya. April selalu menyanjung kakaknya itu sebagai orang yang sangat penyayang dan penyabar. April bahkan tak pernah melihat Andri marah–marah kepada dirinya atau mamanya ketika di rumah. Bila ada masalah, Andri lebih memilih untuk membicarakannya secara kekeluargaan bersama mamanya, atau lebih banyak diam.
Tapi kali ini berbeda, kebuasan dan cerminan negatif selalu menghampiri Andri. Bagaikan kucing rumahan yang ditelantarkan di dalam hutan–dia akan jauh lebih buas untuk bertahan hidup, kalau tidak dia akan mati. Andri menjadi lebih putus asa. Memang sudah sewajarnya ia begitu. Karena saat ini situasi memang sangat sulit. Seolah Tuhan yang ia sembah tidak lagi mendengar doa–doa dan air matanya.
Andri menarik napas kuat–kuat, dia telah kembali ke posisi normalnya–duduk menghadap jalanan panjang yang tak bertepi. Emosinya sudah tidak begitu meletup karena Ralan tidak melakukan perlawanan balik atas sikapnya tadi.
Tetapi dia kembali memaksakan pembicaraan sengit. Seolah percikan api yang mulai padam harus kembali menyambar pada objek di dekatnya.
"Gue udah lelah sama semua ini. Dan gue udah capek kalau harus dengar berita buruk lagi." Andri terdiam, masih sangat percaya diri kalau ucapannya mau tidak mau di dengar oleh Alex dan Ralan. "Sekarang Om Keenan. Seharusnya dia ngerti dong! Dia nggak perlu nambahin beban kita–kita lagi, pakai acara nggak pulang ke rumah lah. Nggak ada kabar lah. Apa dia mau kita nyariin dia, seperti kita nyariin April sama Lisa? Hah!" tantangnya meminta jawaban.
"Intinya anterin gue pulang sekarang! Abis itu terserah kalian mau pada ngapain!"
***
"Apa kamu masih mau hidup?" aksen khas yang diliputi ketenangan tinggi terdengar di dalam kamar berdinding kayu. Kamar yang sama ketika seorang Lisa untuk pertama kalinya tersadar.
Sekarang mata itu terlihat dibalut dengan perban steril. Tertutup rapi hingga tak ada cela untuk mengintip. Tangan kiri yang juga masih terbungkus perban karena terkilir, terasa sudah membaik sehari belakangan ini. Meski sewaktu–waktu nyeri itu bisa datang kapanpun.
Selalu saja, tubuh itu menggigil ketakuatan bila seorang Harvey datang menemuinya. Keringat dingin membasahi leher dan telapak tangannya. Bahkan saat ini, ia terlihat duduk di kursi kayu jati tua dengan kedua tangan mengatup serta terikat tali. Kedua kakinya juga saling terikat.
Tak mengerti apa yang dimaksud dari orang yang tega memperlakukan Lisa seperti seorang sandera. Lebih–lebih, kursi itu diletakkan menghadap jendela yang terbuka lebar. Hembusan angin ikut mengiringi kisah duka ini. Berhembus ke wajahnya yang dipenuhi peluh, dan meredakan sedikit ketegangan yang menguras hati.
"Lisa..." liukan lidah itu mengandung nada godaan. "Ayolah, jawab pertanyaan saya!" masih selembut kapas. Tidak ada tekanan suara yang tinggi di sana.
Lisa menjerit, seakan baru mengingat peristiwa traumatis dahsyat dalam hidupnya. Lalu dia merengek ketakukan bagai seorang bayi. "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kalau aku hidup sekalipun, semua nggak akan ada artinya!" katanya. "Dan kamu juga nggak akan membiarkan aku hidup, kan!?" dia kembali memekik.
"Kata siapa?" Harvey menantang. Suaranya terdengar di belakang tubuh Lisa. "Kalau kamu masih mau hidup, aku bisa saja mempertemukan kamu kembali dengan April. Kamu tahu kan, April sudah sadar. Dan dia akan sangat tersanjung mengetahui sahabat terbaiknya mengorbankan kornea mata untuknya."
Lisa tahu ini pasti jebakan. Ketika Harvey datang dan menanyakan kepada dirinya ingin hidup atau tidak, semestinya pertanyaan itu tidak layak untuk dipertanyakan. Bagaimana mungkin seorang Harvey bisa menguasai kendali hidup–mati dirinya. Memangnya dia Tuhan! Pasti ada sesuatu yang diinginkan Harvey dari dirinya.
Lagipula, saat April membutuhkan kornea mata, sesungguhnya Lisa tidak tahu–menahu kalau dirinya akan menjadi pendonor kornea mata untuk April. Yang Lisa ingat ketika itu, Harvey membawa dirinya pergi dari rumah rahasia, lalu mengurungnya disalah satu kamar Harvey di rumahnya.
Kemudian esoknya Harvey datang dan membawakannya makanan. Setelah itu, diam–diam Harvey kembali membiusnya dengan injeksi. Setelah tersadar, Lisa sudah berada di ruang operasi dengan mata yang tidak dapat melihat.
Mulanya Lisa syok berat hingga berteriak histeris untuk membuka perban yang menutupi matanya. Dia pikir kegelapan itu terjadi karena adanya perban tersebut. Namun, rupanya tidak. Lisa buta, kornea matanya telah diambil secara ilegal oleh Harvey. Dengan menyesal Harvey berkata kepadanya bahwa ini demi kepentingan April. Katanya, April sudah mengalami masa–masa terkelamnya antara hidup atau mati. April harus selamat, minimal dengan mata yang tidak cacat.
Lisa pun akhirnya mengikhlaskan kornea matanya untuk diberikan kepada April, meski awalnya tanpa sepengetahuan dirinya. Lisa percaya, apa yang diberikan dirinya kepada sahabatnya ialah sesuatu yang mulia. Yang tidak bisa ditandingi dengan apapun. Lagipula Harvey berjanji akan mencarikannya pendonor kornea mata dari orang yang sudah meninggal dunia.
"Ya. Aku masih mau hidup. Aku masih mau ketemu sama April dan keluarga."
Harvey tertawa jenaka. Tawanya mengandung kemarahan dan keremehan. Lisa kira, apa yang dikatakannya itu akan diwujudkannya secara mudah? Ah, tentu saja tidak! Harvey berkomplot dengan suara hatinya.
"Kamu tahu Lisa, apa yang saya benci dalam dunia ini?"
Sempat hening lama. Lisa tak memberikan ekspresi apapun. Lalu Harvey kembali melanjutkan, "Ketidakadilan." animo panas mengalir dalam darah dan ingatannya. "Di luar sana banyak orang yang mati–matian ingin hidup." dia terkikik, lalu rasa humornya hilang begitu saja dengan tarikan bibir yang menghinakan. Jijik, seolah baru saja menginjak kotoran hewan di jalan.
"Betapa beruntungnya mereka, orang–orang yang memiliki organ tubuh yang sehat." dia berdiri di depan Lisa–membelakangi jendela yang terbuka lebar, duduk di atas rangka bawah jendela. "Mereka tidak harus merasakan sakit berjam–jam ketika sedang cuci darah. Mereka juga tidak perlu repot–repot mencari transplantasi organ tubuh yang mereka butuhkan." senyap beberapa saat. "Semua akan menjadi begitu kejam ketika keadilan tidak didapatkan."
"Terus apa mau kamu?" Lisa sudah jemu mendengar kesatuan ujaran yang mengungkapkan konsep pikiran dan perasaan yang diungkapkan Harvey.
Harvey menarik punggungnya ke depan, hingga wajahnya sudah sangat dekat dengan Lisa. "Kamu harus menandatangani sebuah kontrak."
Hembusan napas itu terhisap Lisa. Terasa hangat dan berbau khas seorang pria. "Kontrak apa?"
"Kontrak persetujuan mendonorkan satu ginjal kamu kepada orang di luar sana."
Lisa tak habis pikir dengan apa yang dia dengar barusan. Walaupun dia tak menunjukan ekspresi yang berlebihan, tapi geletar bibirnya sangat terlihat. Harvey pun mengamati dengan baik ketakutan dan kemarahan Lisa yang tertahan itu.
"Come on, Lisa! Saya tahu kamu memiliki hati yang mulia. Kamu pasti tidak akan membiarkan bocah lima belas tahun menjalani cuci darah, kan? Melihat dia berjuang mati–matian untuk tetap hidup."
Lisa merasa kehilangan akal. Namun dengan mantap ia berkata, "Ya... Aku mau." entah apa yang menggerakan hati seorang Lisa yang terbilang penakut dan manja ini.
***
Tiga hari sebelum Keenan meminta izin kepada Alex untuk pergi menemui temannya, Alex diminta Keenan untuk datang ke rumah sakit tempat Keenan bekerja, dengan tujuan menyuruh Alex membawa pulang mobil kesayangannya, yakni mobil muscle klasik hitamnya. Saat itu juga Keenan tidak membawa mobilnya untuk menemui temannya itu, melainkan dia dijemput oleh seorang pria yang tak dikenal Alex. Dan mobil muscle klasik itu yang akhirnya dipakai Alex untuk pergi ke beberapa tempat wisata bersama Andri dan Ralan.
"Ini sepertinya jalanan yang tadi kita lewatin, Lex?" taksiran Ralan tidak sebetulnya salah. Alex membenarkannya.
High Falls Road, sebuah jalan yang menghubungkan Catskill Mountain ini, sudah dilewati Alex dan Ralan dua kali saat ia menuju ke Catskill Mountain bersama Andri. Alex harus lebih ekstra menambahkan bensin ketangki mobil ayahnya, karena harus bolak–balik.
Memang seharusnya mereka tidak kembali dulu ke Livingston Street, langsung saja ke High Falls Road untuk memeriksa keberadaan Keenan di rumah teman bisnisnya. Namun apa boleh buat, Andri sudah terbakar emosi sejak tadi. Dan mau tidak mau mereka harus membawanya pulang sebelum dia berbicara tak karuan lagi.
"Kita boleh masuk ke sana?" Ralan berdiri di sisi jalanan, menghadap hutan yang dipenuhi semak belukar dan pepohonan. Di sana, kepolisian telah memasang garis polisi–diantara semak dan pepohonan. Sungguh disayangkan, garis polisi itu hanya sebagai pertanda bahwa pernah ditemukannya sampel darah April, tapi tidak dengan jasadnya.
"Sebaiknya jangan." kata Alex di sisi kanannya.
Ralan menoleh kepada Alex. "Okey. Kita lanjutin perjalanan kita." tersenyum samar, lalu membingkas dari sisi jalan dan memasuki mobil.
Tidak jauh dari sana, kira–kira dua puluh yard ke depan, di sisi sebelah kiri terdapat sebuah jalan pelosok memasuki hutan yang hanya bisa dimasuki satu mobil saja. Jalan itu satu–satunya akses memasuki sebuah rumah yang jauh dari tempat tinggal penduduk, yakni rumah Harvey yang berada di dalam pelosok terpencil.
Tampak dari jarak sepuluh yard, mobil yang dikemudikan Ralan didahului oleh mobil Mercedes Benz berwarna putih. Akselerasinya diatas rata–rata mobil yang melaju di jalur bebas hambatan. Mobil putih itu berbelok, memasuki jalan pelosok di dalam hutan. Entah ini suatu kebetulan atau apa, Alex juga berbelok memasuki jalan pelosok yang sama.
"Alex, rumahnya masuk ke dalam pelosok seperti ini?" Ralan sedikit keheranan ketika semak–semak dan pepohonan mulai menyapanya.
Alex mengangguk. "Dia tidak memiliki tetangga. Laki–laki yang kesepian, tapi mencintai kesepian." dia mengikik.
Ralan memberikan perhatian lebih atas humor yang dilontarkan seorang Alex, hingga dia ikut tersenyum lebar.
Satu kilometer jarak yang mereka tempuh, hingga akhirnya dapat melihat sebuah rumah dari jarak tiga puluh yard–membentang dihalaman yang luas. Rumah yang tidak terlalu besar di depan sana.
Mobil putih itu sudah terlebih dahulu memarkirkan mobilnya di depan rumah tersebut. Seorang pria dan wanita keluar dari dalamnya. Pria dan wanita berkacamata tersebut sempat memusatkan pandangan mereka kepada mobil yang dikemudikan Alex di ujung sana, sebelum akhirnya bertamu ke rumah tersebut.
"Itu siapa, Lex?"
"I don't know."
Mobil tua itu akhirnya terhenti di sisi kanan mobil putih tersebut. Tampak pintu rumah itu tertutup rapat dan dua orang tadi sudah tak terlihat lagi. Mungkin saja mereka sudah dipersilahkan masuk ke dalam rumah.
Dua tubuh itu keluar dari dalam mobil. Mereka disambut oleh kuning kemerah–merahan di sebelah barat–menandakan bahwa matahari mulai terbenam. Ralan dan Alex merasakan pusaran angin yang menerpa kulit mereka. Lalu, Ralan melayangkan pandangannya ke segala arah, sebelum memutuskan untuk memerhatikan rumah berdinding kayu itu.
Bagaimana bisa seorang dokter tinggal di dalam pelosok hutan. Tak ada tetangga atau keluarga yang bisa ia sapa setiap harinya. Setiap keluar rumah hanya menemui ruang luas yang terbentang di atas bumi bersama awan dan sekumpulan burung. Mengendus aroma pepohonan, tanpa adanya aroma tubuh manusia lainnya, terkecuali aroma tubuhnya sendiri. Sungguh–sungguh hidup yang membosankan. Ralan berangan–angan, memosisikan dirinya menjadi dokter bedah tersebut.
Menurut cerita yang dikisahkan Alex kepadanya, dokter bedah itu memang tidak pernah bersosialisasi di luar pekerjaannya. Dia tidak pernah menunjukan dirinya lebih di depan orang–orang. Cenderung tertutup dan lebih menghabiskan waktunya seorang diri. Hobinya pun tak jauh dari kesendirian dan kesepian, yakni membaca buku, meriset sesuatu, menulis, dan memancing di danau yang tak jauh dari rumahnya.
Satu hal lagi. Dokter bedah ini baru saja kehilangan anjing kesayangannya dua bulan yang lalu. Padahal anjing tersebut sudah menjadi keluarganya sejak sepuluh tahun yang lalu. Kabarnya anjingnya itu meninggal karena tertembak di hutan oleh para pemburu liar. Entahlah, tidak pasti. Karena anjing itu ditemukan tewas di hutan dengan luka tembak. Kasihan sekali pria itu.
"Thank you, Honey... I... I.. Don't know without your help... Thank you so much!" seorang wanita berkacamata hitam menangis di samping Lisa–di ruang tamu. Dia membenamkan wajahnya di pundak Lisa.
Bibir Lisa ikut terkelepai karena rasa sedih. Tak tahu rasa sedih apa yang Lisa rasakan. Semua begitu rumit dan sulit dijelaskan.
Tidak lama dari semua itu, bunyi ketuk terdengar membaur. Ada seseorang yang mengetuk rumah ini. Namun siapa? Harvey agak curiga dan waswas. Dia membawa Lisa kembali ke dalam kamarnya dengan alasan Lisa harus cukup istirahat sebelum menjalani operasinya. Sehabis itu, Harvey meminta dua tamu tersebut untuk bersantai dan menikmati teh yang telah ia buat di dapur. Mereka pun menurut.
Pintu dibuka. Harvey tergagap melihat wajah itu. "Oh... Wow! Alex?" dia mencoba menyembunyikan kegelisahan dengan senyuman lebar yang kaku di wajahnya.
"Hi, Harvey..." sapa Alex.
Harvey masih terkejut di depan pintunya dengan tatapan yang aneh. Dia bahkan memegangi pintu agar tidak terbuka lebih lebar. Seolah tak membiarkan Alex dan Ralan memasuki rumahnya. Harvey ingin mengetahui kedatangan Alex yang secara mendadak itu, dan menyelesaikannya di depan pintu.
Melihat sikap Harvey yang seakan tidak mengizinkan dirinya dan Ralan masuk, Alex sempat dibuat salah tingkah dengan sikap tertutup Harvey tersebut, yang harus berakhir dengan rasa canggung.
"What's up?" tanya Harvey langsung keintinya.
Ralan mengamati wajah itu dengan sungguh–sungguh. Ia baru kali ini menemui orang seperti itu. Kedatangan tamu, tapi terlihat tidak begitu senang. Serta sikapnya yang seolah meminta Alex dan dirinya untuk segera pergi.
"My Daddy’s here?"
Tatapannya menjadi serius. "No." kata Harvey. "You should go home now!" pintanya. Tidak sengaja, kerlingannya singgah ke wajah Asia di samping Alex. Harvey mulai khawatir dengan kehadiran sosok laki–laki dihadapannya. Terakhir ia melihat wajah yang sama dengan wajah anak laki–laki di depannya itu saat dia melihat galeri foto di ponsel pintar April–yang ditemukannya di dalam mobil ketika malam kecelakaan itu terjadi. Wajahnya tidak jauh berbeda dengan difoto. Hanya saja, Ralan terlihat lebih nyata dipenglihatannya.
Pintu itu seketika dipaksa tutup dengan kuatnya oleh Harvey. Alex dan Ralan sontak terperanjat dan keheranan dengan perlakuan tidak sopan tersebut. Ralan sangat jengkel hingga menendang pintu tersebut.
"Stop it!" Alex menarik tangan Ralan dan membawanya pergi dari tempat itu.
Alex dan Ralan akhirnya tiba di rumah, Livingston Street. Saat ini matahari sudah benar–benar membenamkan dirinya. Semua tampak gelap dan remang. Hanya lampu jalanan yang terletak tujuh meter dari rumahnya yang menerangi jalanan dengan sayup–sayup.
"Dari mana saja kalian?" terdengar sambutan kegaduhan saat mereka membuka pintu. Rupanya seorang Keenan sudah menunggunya sejak sore tadi.
"Dad?" Alex termangu.
Sekarang, Keenan sudah mengumpulkan Alex, Ralan dan Andri di ruang keluarga. Andri tak berbicara apapun sejak Alex dan Ralan pulang. Mereka hanya saling mengerling aneh.
"Alex?" Keenan memudarkan lamunan Alex. "Kamu seharusnya sudah lebih tahu tentang Daddy." dia menatap putranya itu dengan sungguh–sungguh. "Kamu tidak perlu nyari Daddy. Kamu tahu, kan. Kalau Daddy nggak pulang berarti ada kerjaan. Bukan kali ini aja Daddy nggak pulang, Lex. Tapi sudah sering. Kenapa sekarang kamu jadi cemas seperti itu? Daddy sudah pernah bilang, jangan pernah datang dan menginjakan kaki kamu dirumah Harvey!" ucapnya keras.
"Alex nggak salah Om." suara pembelaan itu terdengar. "Seharusnya hari ini aku pulang ke Jakarta. Tapi, karena Om nggak ada kabar, saya yang nyaranin Alex untuk cari Om."
Mengetahui pembelaan itu dari mulut Ralan, Keenan menjadi sedikit luluh dan tidak ingin memperpanjang masalah ini. Lagi pula Keenan terlalu lemah untuk memarahi orang lain.
Tidak butuh waktu lama, di luar pintu, Harvey membuka kunci pengaman dengan terburu–buru, mencoba menghampiri April. Mendugas langkah memasuki ruangan dan mendekati April. Didekatnya, Harvey meredakan kepanikan April yang baru sadar sehabis menjalani operasi transplantasi kornea mata.
Lebih tepatnya sehari yang lalu, sehabis berhasil menangani Lisa karena ingin membunuhnya dengan pistol yang tak berisi pelurunya, Harvey kembali ke ruangan April, dan begitu terkejut ketika melihat tubuh April mengalami tingkat komparatif yang lebih baik setelah hampir sepuluh hari tidur panjang.
Harvey memberikan perawatan insentifnya, setelah April tersadar dari komanya. Serta–merta, Harvey melakukan transplantasi kornea mata tiga jam setelah dia tersadar. Lalu sehari kemudian, tepatnya hari ini, Harvey baru sungguh–sungguh mendengarkan suara April setelah sadar dari obat bius sehabis operasinya kemarin.
Kegelisahan itu melemah, seiring dengan kehadiran dan kelembutan Harvey menenangkannya. Tetapi tetap saja, April belum bisa beradptasi dengan semua keanehan dan kegelapan ini. Di mana berkas cahaya, difusi cahaya, dan segala macam bentuk objek, pemandangan yang biasanya dapat ditangkap oleh indra penglihatannya?
Akibat ketidaknyamanan ini, April memaksa tangannya untuk melepaskan perban itu dari matanya. Namun sungguh, antisipasi Harvey begitu kuat. Dia tak membiarkan April membuka perban itu, sebab pemulihan sesudah operasi membutuhkan waktu yang cukup lama. April belum sungguh–sungguh bisa melihat sampai kornea matanya pulih. Butuh waktu setidaknya tiga bulan untuk membuatnya dapat melihat kembali.
"Hey, calm down, Honey!"
April tiba–tiba kejat ketika mendengar suara tersebut. Tak ada lagi pemberontakkan yang sia–sia. Dia menjadi begitu diam dan tenang, laksana embun yang membeku.
"Siapa kamu? Di mana aku sekarang?”
"Aku Harvey. Dokter yang menangani kamu."
"Jelasin semuanya!" pekik April.
Kamu tidak ingat apa yang telah terjadi?"
April menggeleng. Dia menaikan tubuhnya untuk mencari posisi yang nyaman–menyandarkan dirinya di dipan. "Aku nggak ingat apa–apa."
Raut wajah Harvey seketika menjadi prihatin. Namun secepat kilat berubah seraya berpiuh. Terdiam sejenak sambil memikirkan sesuatu.
"Apa yang kamu ingat? Setidaknya di kepalamu sekarang."
"Ayah... Di mana Ayah? Aku harus ke makamnya sekarang!" ada dorongan kuat ketika mengingat itu.
"Apa yang terjadi dengan Ayah kamu?"
"Dia meninggal karena kanker." walaupun tidak terlihat gerakan matanya, namun tarikan pipinya tampak bermuram durja. "Kenapa aku bisa kaya gini? Seharusnya aku berada di rumah sekarang. Mama pasti nyariin aku. Aku harus pulang sekarang!" tangan Harvey masih mengimbangi setiap gerakan April, dan mencegahnya. "Kamu harus mengantarkan aku pulang!" tegas April.
"April, aku minta kamu tenang." Harvey masih menekan bahu April dengan tangannya. Takut jika kenekatan April terulang kembali. "Sehari yang lalu kamu baru saja tersadar dari koma. Dan hari ini kamu sadar dari operasi transplantasi kornea mata."
Terdengar suara sumbang yang ragu. "Apa yang terjadi?"
"Kamu mengalami kecelakaan. Mobil yang kamu kendarai ditabrak truk besar. Dan kamu sudah koma selama sepuluh hari. Kedua mata kamu mengalami cidera trauma akibat benda tumpul. Jadi kamu harus melakukan cangkok kornea mata. Tapi aku sudah melakukannya. Kamu hanya perlu menunggu sampai matamu benar–benar kembali normal, dan bisa melihat kembali."
"Apa?" April menganga, tidak menyangka dengan apa yang dibicarakan dokter bedah itu. "Nggak mungkin!"
"Apakah kamu ingat kenapa kamu bisa berada di Saugerties?"
"Apa yang kamu omongin? Seingat aku, aku lagi di rumah. Menangis karena kematian ayah. Aku nggak pernah ke mana–mana sehabis itu." dia diam sejenak. "Mengurung diri di kamar."
"Tapi kecelakaan itu terjadi di Saugerties, Catskill Region. High Falls Road. Tidak jauh dari rumahku."
April diam saja. Mulutnya tak henti menganga, antara ingin bicara namun tak terucapkan. "Aku nggak ingat apapun soal Saugerties. Aku pernah mendengarnya, tapi..." dia tak melanjutkan.
"Ulster County. Kota kecil di New York."
Dia memegangi pelipis kanannya yang tertutupi kapas dan plester. Menyeringai saat tangannya menemui titik terlemah dalam dirinya. Lupa ingatan. Membuat seluruh kepalanya terasa nyeri. Seolah ada eksplosif aktif yang bersarang di kepalanya.
Rupanya, rasa sakit itu sedikit memberikannya ruang. Dia kembali mengingat sebuah kota kecil bernama Saugerties. Kota yang sering dikunjunginya ketika libur panjang tiba. Namun dia masih belum mengetahui ada pesona apa dibalik kota kecil itu hingga ayahnya selalu mengajaknya ke sana. Dia pun tak ingat tempat–tempat yang pernah dikunjunginya dahulu di Saugerties.
Pernyataan dan fakta yang diungkapkan dokter bedah itu tak memberikannya titik terang sekalipun. Dia tak ingat kenapa bisa berada di Saugerties sekarang ini.
Dengan siapa aku berada di tempat ini? Bukankah Ayah sudah meninggal, aku tak mungkin seorang diri berada di kota kecil ini. Bila ada mesin waktu, aku ingin sekali membelinya. Sebegitu parahkah kecelakan itu hingga aku tak mengingat hal–hal vital dalam hidupku? bisik April dalam hati.
"Apa kamu mengingat beberapa nama dalam hidupmu selain orangtuamu?"
"Kak Andri." katanya mantap. "Lisa. Dia sahabatku." sambil memikirkan ia menggigit bawah bibirnya.
Melihat hal itu, Harvey kembali mengingat masa lalunya. Perempuan yang pernah dia cintai selalu melakukan hal yang sama. Animo itu tak pernah hilang dari benaknya.
"Nggak tahu... Saat ini aku cuma bisa mengingat nama itu."
"Ralan?"
April menggelengkan kepalanya. Dia tak ingat sama sekali dengan nama itu. Tidak ingat berapa banyak kenangan yang terdapat dari nama itu.
"Harvey?"
"Aku juga nggak ingat nama itu." tegasnya jemu. Dia sudah bilang, bahwa hanya mengingat orangtua, kakak kandung dan sahabatnya saja sejauh ini.
"Itu aku."
"Kamu Harvey?"
"Iya. Apa kamu tidak ingat kenangan dibalik nama itu?"
April mencondongkan kepalanya ke arah kanan. Tempat di mana pertanyaan dari dokter bedah itu berasal. Dia masih nanar dengan apa yang dimaksudkan dokter bedah tersebut, melibatkan dirinya bersama kenangan dari nama Harvey, yang kebetulan juga nama dari dokter bedah itu. Mendengarnya pun rasanya April tak pernah.
Sebentar! Ada yang membingungkan di sini. Kalau kata dokter bedah itu April berada di Saugerties, lalu kenapa dokter bedah tersebut bisa menggunakan bahasa Indonesia? Siapa sebenarnya dia? Anehkah bila itu sebuah kebetulan? Bagaimana dengan kecelakaan yang terjadi tak jauh dari tempat tinggalnya? Dan kenapa dia melibatkan dirinya seolah dia mengarahkan namanya pernah menjadi kenangan dimasa lalunya?
"Siapa kamu sebenarnya?"
Harvey menarik napasnya kuat–kuat, seolah ingin mengutarakan kenyataan yang menggeriap. Pengakuan yang semestinya tak diungkapkan. Menggali kenangan dari kuburan yang masih basah. Mungkinkah April akan menerimanya, atau malah sebaliknya?
"Kamu itu kekasih aku, Pril. Kekasih yang benar–benar aku cinta." suaranya diselubungi romantika. Ada afeksi lampau yang tak bisa dihindarinya.
Terulang lagi, April mencondongkan wajahnya ke arah Harvey. Meski dia tak mengetahui jelas rupa seorang Harvey itu. Dia juga masih bingung dan tidak percaya dengan apa yang dibicarakan Harvey. April tak mengingat apapun terkait seorang pria yang pernah mengisi hatinya. Tidak satu nama pun. Entah lah, mungkin selama ini dia belum betul–betul mencintai seorang pria seperti ia mencintai keluarganya sendiri.
"Berapa umurku?" katanya jauh lebih melemah.
Harvey mengerutkan dahinya. Dia tak mengerti kenapa April tak megindahkannya sedikit saja. Apakah pengakuannya itu tak berarti apa–apa untuk April? Atau mungkin hilangnya sebagian memorinya membuat dirinya menjadi serba salah untuk memercayai dirinya atau tidak?
"Dua puluh tahun."
Agaknya April kaget dengan usianya kini. Dia sungguh–sungguh lupa dengan usianya sendiri. Dan mata ini, mata yang seharusnya bisa mengungkapkan semua perasaan hatinya terpaksa harus bersembunyi dibalik perban.
April mencerna isi sanubarinya, rasanya juga sangat aneh untuk tidak memercayai seorang pria bernama Harvey. Diusianya yang sudah memasuki dua puluh tahun, sangat mustahil bila tidak ada seorang pria pun yang pernah singgah dihatinya. Setidaknya walau dia tak mencintai pria tersebut, lalu terlupakan olehnya saat ini, bukan berarti dia tidak pernah dekat dengan seorang pria dulunya. Semua ini menjadi masuk akal sekarang.
"Apa kamu bisa buat aku percaya kalau kamu pacar aku?"
"Tentu, aku bisa." gairah Harvey tampak percaya diri. "Aku akan menceritakan semuanya. Masa lalu kita..."
"Di mana Mama dan Kak Andri...?"
"Ayolah, April... Mereka lagi di Jakarta. Tidak mungkin mereka ke sini!" Harvey seolah memutus rangkaian keluarga. Perkataannya terselip aura kekesalan.
April menggeleng perlahan. "Nggak mungkin? Aku dalam keadaan sekarat di sini!" dobrak April tak kalah beraninya. "Aku tahu, mereka juga pasti khawatir. Apalagi Mama." sekarang nadanya rawan hati.
"Saat kamu koma, mereka sudah ke sini melihatmu. Tapi mereka sendiri yang akhirnya memutuskan untuk pulang dan menyerahkan semuanya kepadaku. Karena mereka tahu aku seorang dokter. Mereka memercayai aku untuk merawat kamu sampai kamu pulih."
April kembali diam. Ia bahkan bingung harus merasa bersyukur memiliki seorang Harvey yang dipercayai oleh keluarganya sendiri, atau harus merasa tergemap karena dirawat oleh orang asing yang tidak ia ingat sama sekali.
***
Karut–marut menungkup tak tahu diri pada sebuah wajah yang akhir–akhir ini menderita. Mata dan pipi itu cekung tak tahu malu–menghabisi sisa–sisa lemak. Sebelas hari cukup membuat dirinya selemah agar–agar. Penantian, pengorbanan, dan pencarian yang tak kunjung berakhir.
Andri kembali mendengar kabar dari om dan tantenya di Jakarta, yang kebetulan mengurus dan menjaga mamanya sejak ia pergi ke Saugerties. Kabar yang membuat hatinya kembali teriris. Ini perihal tentang ibunya Lisa yang biasa dipanggilnya tante Dewi.
Semenjak Dewi mengetahui kehilangan Lisa di Saugerties. Dewi terpukul mati–matian sampai mengalami depresi berat. Berhenti dari pekerjaannya dan menghabiskan waktunya dengan air mata di dalam kamar. Parahnya lagi, ia juga sering meracau tak karuan dan berteriak–teriak mengatakan kata–kata kotor yang diperuntukkan bagi April dan keluarganya.
Dia beserta suami, mengirim beberapa orang ke Saugerties untuk mencari keberadaan Lisa. Dan melakukan apapun yang mereka bisa supaya Lisa dapat kembali kedalam pelukan mereka. Pasangan suami itu juga sangat menyesal, tidak sempat bertemu Lisa untuk yang terakhir kalinya sebelum Lisa pergi ke Saugerties, New York. Karena mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Keras kepalanya yang selalu menganggap bahwa dirinya selalu benar menjadi pacuan Dewi untuk menyalahkan orang lain. Dia merasa tidak terima anaknya hilang. Dan terus menyalahkan April yang dianggapnya dalang dari semua ini. Menurutnya, April telah membuat kejutan yang tak masuk akal, serta tindakannya yang bodoh karena membuat mereka berdua tersesat.
Pada suatu hari, seminggu setelah hilangnya April dan Lisa, Dewi mendatangi kediaman almarhum Rifat Kailani untuk menemui Wina, ibu kandung April. Kedatangannya bukan untuk saling menguatkan yang notabenenya sama–sama kehilangan anak perempuan semata wayang mereka, namun Dewi malah mencaci maki Wina dengan perkataan senonohnya. Serta membabi buta melakukan penyerangan.
Andri masih tidak habis pikir dengan apa yang telah menimpa mamanya itu. Mamanya itu korban, begitu pula dengan April dan Lisa, jadi tidak ada yang perlu disalahkan. Toh, semuanya telah terjadi–nasi sudah menjadi bubur.
Andri baru mendengar kabar itu tadi pagi, di hari kesebelas hilangnya April dan Lisa. Tidak tahu kenapa om nya baru memberitahukannya sekarang. Padahal dia harus selalu tahu mengenai semua yang berhubungan dengan mamanya. Karena hanya mamanya yang dia miliki saat ini. Tidak ada seorang pun yang boleh menyakitinya.
Kehilangan April sudah membuat beliau kehilangan kesadaran dan menanggung beban yang teramat berat. Andri berharap, semoga Dewi bisa lebih tawakal dan sabar akan hilangnya Lisa. Sebab, bukan dia saja yang merasakan penderitaan itu.
"Ndri...?" panggilan mengudara ke telinga Andri.
Andri menoleh. Seorang Ralan telah tiba di sampingnya–duduk di ranjang yang sama.
"Lo ada rencana nggak, sebelum gue pulang?"
Andri tercengang dengan kalimat yang didengarnya barusan. "Lo mau pulang?"
"Iya." terdiam beberapa saat. Setiap kejujuran yang diutarakan secara implisit akan menyisahkan pertanyaan yang berkelanjutan. "Keluarga udah nyariin gue terus. Apalagi nyokap. Gue disuruh balik ke Jakarta. Kata mereka gue terlalu lama di sini." ungkapnya. "Tapi jujur, gue masih pengen di sini. Gue pengen menjadi orang pertama yang melihat April dan Lisa ditemukan." ada semangat yang autentik dalam kalimatnya.
"Meski lo tahu, lo bakalan menjumpai mimpi buruk yang nggak bisa lo lupain seumur hidup."
Ralan mengerling kepada Andri. Dia tahu betul apa yang dimaksudkannya.
"Bukan itu. Lebih tepatnya, gue akan menerima baik–jahatnya ketidakadilan."
Tatapan Andri menjadi lebih bermakna. Ada keyakinan dari seorang pemuda yang memiliki dinamisme dan soliditas tentang apa yang dipandangnya, yakni Ralan. Pemuda yang membuat Andri lebih pasti menyikapi sesuatu, baik–buruknya itu.
"Oke. Sebelum lo pergi. Izinin gue untuk mengajak lo menyelesaikan daftar perjalanan yang akan dikunjungi April dan Lisa, kalau aja mereka nggak hilang." kata 'hilang' membuat Andri menundukan kepalanya.
Sebelumnya, April memang telah membuat daftar perjalanannya selama berada di Saugerties dan daerah sekitarnya. Dia menuliskannnya dengan detail dalam sebuah buku catatan dengan panjang lima belas sentimeter.
Daftar tersebut ditemukan Alex di saku sweater–nya pada malam April dan Lisa menghilang. Alex baru ingat, sejak terakhir kali makan siang di restoran bersama April dan Lisa, buku catatan yang berisi daftar perjalanan itu tak sengaja terbawa olehnya.
Dari sana, Andri menyarankan Alex dan Ralan untuk mengunjungi semua
tempat wisata yang ada di dalam daftar tersebut. Yang dimaksudkan sebagai pencarian mereka. Kurang lebih ada sembilan tempat wisata di dalam daftar itu. Dan mereka baru mengunjungi lima diantaranya. Tersisa empat tempat wisata lagi yang harus mereka datangi.
Ralan tersenyum samar.
***
Jemari itu saling bersabung. Sensasi sentuhan yang penuh arti dari seorang pria. Tangan kasar dan hangat itu melumat perlahan ruas–ruas jari April. Awalnya April tampak terlonjak kaget, namun lama–kelamaan, sentuhan asing itu membuat dirinya jauh lebih nyaman.
"Pril, are you okay?" lemah lembut terdengar dari insan yang menemukan afeksi cintanya.
"Ya." sahutnya parau.
"Aku membelikanmu sesuatu." Harvey merogoh saku kemejanya. Sebuah gelang keluar dari sana. Gelang sama yang pernah diberikan Ralan kepada April sebelum keberangkatan April ke Saugerties. Gelang Retro Pandora. Sungguh gelang yang sangat mirip.
April terdiam dengan mata yang diperban. Tidak ada ekspresi yang bermakna di sana. Mungkin saja kegelapan sedikit mematikan kebahagiaannya. Dia juga tidak akan bisa melihat apa yang diberikan Harvey kepadanya.
Namun keadaannya yang mulai membaik, membuat April lebih berkonsentrasi memikirkan masa lalunya. Tangan kirinya yang patah, masih terbalut perban dengan apik. Kemarin, Harvey baru saja mengganti perbannya dengan yang baru, begitu pula dengan pelipis kanan dan perban steril untuk matanya.
Sayangnya, pernapasannya masih belum membaik. Saat malam tiba, paru–parunya terasa tersekat dan sukar bernafas. Hingga Harvey harus terbangun dari tidur, dan menolongnya. Untunglah, setiap malam Harvey selalu tidur di sofa yang berada di ruangan yang sama. Setidaknya untuk hari kedua setelah April sadar dari koma.
Harvey menyentuh dan menggenggam kembali tangan kiri April. Terlihat jelas tidak ada aksesoris apapun di tangan kirinya, termasuk tangan kanannya. Bahkan gelang yang diberikan Ralan saat malam itu juga tidak ada. Namun gelang yang sama, terlihat akan dipasangkan Harvey ke tangan April.
Sehabis Harvey selesai menautkan gelang retro itu di tangan kanan April, ia lalu mengecupnya. Setengah ragu–ragu, April mencoba melepaskan tangannya dari eratan Harvey.
"Thanks." kata April. "Kamu janji kan, mau mempertemukan aku dengan keluarga aku lagi?"
Harvey mendengus dengan wajah jenakanya. "Tentu April. Aku tidak perlu berjanji, karena itu memang sudah seharusnya."
"Apa mereka akan menerima aku, dengan kondisi aku yang sekarang ini?" ia kembali berputus asa. "Aku bahkan melupakan banyak kenangan bersama mereka. Aku hilang ingatan."
"Tenang, Pril. Kenangan itu tidak seberapa. Yang terpenting adalah, kamu masih ingat sama mereka. Dan kamu hanya perlu menjalani masa sekarang, dan kembali membuat kenangan untuk masa depan." kearifan Harvey mengalun lestari melalui suaranya.
Senyum simpul tertarik di bibir April. Dia seolah menemukan rautan untuk pensilnya yang telah tumpul. Membuatnya kembali tegak bak pohon rasamala yang berbau harum.
"Pril... Kamu harus menjalani perawatan berkala untuk saat ini. Minimal tiga bulan ke depan, keadaan kamu akan kembali normal. Meski tidak seratus persen. Dan beberapa minggu lagi, aku akan membawamu pulang dari sini."
Ada sesuatu yang aneh, yang dibicarakan Harvey. Apa yang dimaksudkan Harvey ingin membawanya pulang. Saat ini April tidak merasakan sedang berada di rumah sakit. Baiklah, meski aroma di sini memang berbau rumah sakit dan obat–obatan. Tapi ada yang lain, yang tidak April temukan di sini. Dia tak pernah kehadiran orang lain selain Harvey, semisal perawat, dokter lain, atau penjaga kebersihan rumah sakit. Dia pun tidak pernah mendengar suara–suara yang mengganggu. Tak ada deruan mobil atau riuh rendah seperti yang terjadi di rumah sakit pada umumnya. Semua tampak begitu sepi dan sunyi bagi sebuah rumah sakit umum. Sebenarnya, sedang berada di mana ia selama ini.
"Aku ini lagi di mana? Kenapa di rumah sakit ini nggak ada perawat. Kenapa di sini sepi? Cuma kamu yang masuk ke ruangan aku." suaranya bergetar curiga.
"Siapa yang bilang kamu di rumah sakit? Kamu memang bukan lagi di rumah sakit." Harvey beralih, duduk di sisi kanan April. Sekarang lengan atasnya beradu dengan lengan April. "Kamu ada di ruangan seorang dokter bedah."
"Maksudnya?"
Harvey mendesah, seolah tidak ingin membahas mengenai masalah ini. "Aku susah jelasinya. Bahkan percuma juga kalau kamu tidak bisa melihat ruangan ini."
April merasa tersinggung dengan ucapan Harvey. Perkataannya seakan memojokan April yang baru saja menyandang status tunanetra sementara.
"Pril, aku tidak bermaksud. Aku janji." tekadnya. "Kalau kamu sembuh nanti, aku akan menunjukan ruangan ini."
Seketika pikiran April menemukan satu identitas dalam kepalanya. Sebuah kenangan berbentuk kaleidoskop singkat akan kenangannya bersama Lisa saat pertama kali bertemu, dan melakukan hal–hal menyenangkan bersama.
Tidak ada kompetitif atau pertengkaran yang tercerna ingatannya. Hanya terlihat titik–titik air mata yang jatuh dari kedua mata Lisa dalam masa lalunya. April mulai menyadari seorang sahabat yang sudah menjadi soulmate serta keluarga dalam hidupnya.
April teringat bagaimana dia bisa bersikap bodoh dan memalukan di hadapan Lisa. Berkelakar tanpa takut dia tersinggung. Bergurau tanpa perlu khawatir tidak ada yang tertawa. Karena satu yang April ingat. Lisa selalu menerima segala bentuk verbalnya. Dan selalu tertawa tulus meski kelakarnya tidak lucu di telinga orang lain. Lisa. Di mana dia?
"Lisa? Apa dia pernah menjenguk aku?"
"Pril, kamu benar–benar tidak ingat ya malam kejadian itu?!" ada kalimat yang terdengar tidak biasa dari Harvey.
"Apa sih maksud kamu? Aku nggak ngerti."
Lirih, sinar mata Harvey perlahan redup. Dan agaknya dia akan sangat menyesal mengatakan ini kepada April. "I'm sorry to say." berhenti sejenak.
April terlihat waspada dan tegang. Masih bingung dengan apa yang terjadi.
"Lisa tidak dapat diselamatkan."
Bila saja mata itu tak diperban, sudah pasti April akan membeliak hebat. Hanya mulutnya yang terbelangah tidak percaya. Tidak mungkin! Tentu saja semua ini tidak mungkin terjadi! tempiknya dalam hati.
Terbata–bata, April mencoba bertanya, "Ma... Maksud kamu, dia orang yang berada di dalam satu mobil yang sama dengan aku?" April menjerit pedih.
"April, aku mohon! Kamu tidak boleh menangis. Mata kamu belum pulih."
"Bantu aku supaya nggak nangis!" ia kembali berteriak.
Sejam kemudian, Harvey berhasil meredamkan sentimentil kesedihan seorang April yang baru saja mendengar kabar duka atas kematian sahabatnya. Berkat ketenangan yang diberikan Harvey terhadapnya itu, April mampu meredakan emosinya untuk tidak menangis terlalu berlebihan demi kedua matanya yang belum pulih. Namun hatinya masih bersedih dan tidak terima akan kenyataan yang menimpa sahabatnya itu.
"April? Maaf, aku harus ninggalin kamu sekarang." mohonnya sehabis menerima telepon dari seseorang. Tatapannya begitu tajam dan serius. Seperti baru saja menerima ancaman teror dari sambungan telepon.
"Kamu tega ninggalin aku sendirian." nadanya rendah. "Aku baru aja mendengar kematian sahabat aku sendiri. Dan kamu mau ninggalin aku?”
Harvey jadi menaruh belas kasih kepada April. Namun dilain sisi, ancaman sudah menunggunya di depan mata. Dia harus melakukan manuver strategis demi mempertahankan April. Rupanya, Keenan sudah mencurigainya sejak lama–semenjak kedatangan Inspektur dan Detektif itu ke rumahnya.
Belum lagi, akhir–akhir ini ia sering sekali mengambil cuti sebagai dokter spesialis bedah dan dokter jaga di rumah sakit yang sama dengan Keenan. Dan bisnis yang dijalani bersama Keenan juga harus terabaikan begitu saja. Mungkin ini yang membuat Keenan kembali menghubunginya dengan nada–nada ancaman untuk mematahkan keyakinannya mempertahankan April, serta membuatnya mengakui yang sesungguhnya, bahwa sebenarnya April disembunyikan olehnya.
Namun sampai kapan pun itu tidak akan pernah terjadi. Tidak akan ada yang bisa menemukan April sampai kapan pun, baik itu polisi maupun Keenan sendiri, kalau mereka tidak ingin membuang nyawanya dengan sia–sia. Sebab Harvey akan melakukan segala cara untuk mempertahankan April. Walau harus menyingkirkan orang–orang terdekatnya.
"Sayang... Aku akan kembali saat makan malam nanti. Aku akan kembali membawa makanan kesukaan kamu." Harvey membelu–belai.
Senyumnya begitu tulus, meski April tak melihatnya. "Kamu tidak usah khawatir, di luar sana ada dua penjaga yang siap menolong kamu. Kamu hanya perlu memanggil mereka kalau kamu butuh sesuatu. Dan satu hal, tidak ada orang yang bisa menyakiti kamu."
***
Ralan hanya memiliki waktu tiga hari di Saugerties sebelum dirinya kembali ke Jakarta. Dua hari yang lalu, waktu perbincangannya dengan Andri, Andri mengajaknya untuk pergi keempat daftar tempat wisata terakhir. Tiga diantaranya sudah mereka sambangi dalam kurun waktu dua hari, antara lain Woodstock Museum, Opus 40, dan Ulster Landing Park. Ini hari terakhir Ralan untuk menyelesaikan misinya. Mengunjungi satu tempat wisata terakhir, Catskill Mountain.
Setelah pulang dari tempat pencarian terakhir, Ralan langsung pergi ke bandara JFK, New York. Setelah dia cukup sadar kalau April dan Lisa tidak berada di Catskill Mountain. Padahal mereka berharap penuh bisa menemukan April dan Lisa di tempat wisata yang terakhir ini.
Mobil muscle tua hitam berkilap terhenti di sisi sebuah jalan sepi dengan sangat mendadak. Sinar matahari melantas menembus kaca depan mobil. Menyilaukan pandangan Andri yang terduduk di samping kemudi.
"Kenapa sih, Lex... Berhenti di sini?" Andri mengerling kepada Alex, kemudian menoleh kepada Ralan yang tampak bingung di bangku belakang.
"Wait a minute." Alex tergesah–gesah mengambil ponsel pintar di saku celananya, lalu menghubungi seseorang.
Dua hari yang lalu, tepat saat hilangnya April dan Lisa memasuki hari kedua belas, Keenan meminta izin kepada Alex untuk pergi menemui temannya. Namun hingga kini Keenan belum kunjung pulang. Awalnya Alex tidak mencemaskan daddy–nya itu. Dia berpikir kalau daddy–nya itu sedang mengurusi bisnisnya hingga tidak pulang sampai dua hari lamanya. Karena itu bukan hal yang baru lagi bagi Alex. Namun kecemasannya timbul saat dihari ketiga daddy–nya belum kunjung pulang, dan tidak memberikan kabar sama sekali. Ini tidak seperti biasanya.
Bahkan hari ini, setelah dia menghabiskan setengah hari waktunya di Catskill Mountain bersama Andri dan Ralan untuk mencari keberadaan April, daddy–nya belum jua munghubunginya.
Diperjalanan pulang, tepatnya perjalanan menuju bandara JFK, New York untuk mengantar Ralan, Alex berinisiatif untuk menghubungi daddy–nya terlebih dahulu. Karena perjalanan ke bandara JFK, New York membutuhkan waktu kurang lebih dua jam perjalanan dari Saugerties, dan sudah dipastikan Alex dan Andri akan tiba di rumah saat malam hari.
"I have to call Daddy." betapa terkejutnya Alex saat ponsel daddy–nya tidak aktif. Dia meninggalkan pesan kepada daddy–nya untuk segera menghubunginya.
"Udah tiga hari ya, Om Keenan nggak pulang." Ralan baru tersadar.
Alex menganggukan kepalanya. Wajahnya tampak sangat gelisah.
"Tadi Zadie telepon, kata dia, Daddy belum pulang juga sampai sekarang."
Tiba–tiba terdengar aksen antusias dari bangku penumpang, "Kita cari Om Keenan aja sekarang."
Alex mengerling pada kaca spion depan untuk melihat suara perintah tersebut. Sementara Andri lebih memilih untuk menoleh ke bangku belakang, tempat di mana Ralan berada.
"Lo bukannya mau pulang?"
"Gue bisa pulang besok." ucapnya tanpa penyesalan. "Lagian kan, Om Keenan lebih penting. Kalau dia kenapa–kenapa gimana? Kita juga kan yang kepikiran."
"Tapi mau nyari dia ke mana?" terdengar kepenatan yang luar biasa dari Andri. "Dia kan udah dewasa, udah bapak–bapak juga. Masa iya harus dicari kaya anak kecil?!" kelelahan emosionalnya begitu terlihat, seperti sudah muak dengan segala keadaan yang menimpanya. Ditambah pula pencarian terakhirnya di Catskill Mountain tidak mendapatkan hasil apa–apa. "Kalian kalau mau cari, ya cari aja! Gue mau pulang. Mau istirahat. Anterin gue pulang dulu. Abis itu terserah kalian mau ke mana!"
"Lo kenapa?"
"Jangan tanya, 'Kenapa' sama gue!" bentaknya mengaggetkan Alex hingga terperanjat.
"Om Keenan tuh, Om lo sendiri. Kalau dia kenapa–kenapa gimana? Lo belum puas udah kehilangan adik lo sendiri?!" Ralan tak kalah geramnya.
Andri mencoba berdompak dari kursi depan ke kursi belakang untuk melakukan perlawanan dengan Ralan–memberi pelajaran atas ucapan Ralan barusan. Namun dengan sigap, Alex menahan tubuh besar Andri kuat–kuat, agar perkelahian itu tak terjadi.
"Jangan pernah lo ngomong kaya gitu, seakan gue nggak pernah menyesali apa yang terjadi!" Andri mengacungkan jari telunjuknya ke wajah Ralan, dengan tubuh yang separuh terpelintir menghadap belakang.
Suasana di dalam mobil menjadi sangat panas. Ketiga tubuh–tubuh itu layaknya ikan sarden yang dimasukkan ke dalam kaleng yang telah diuapkan.
Ralan tidak pernah melihat Andri seemosional saat ini. Dahulu, April pun tak pernah menceritakan buruknya Andri kepada dirinya. April selalu menyanjung kakaknya itu sebagai orang yang sangat penyayang dan penyabar. April bahkan tak pernah melihat Andri marah–marah kepada dirinya atau mamanya ketika di rumah. Bila ada masalah, Andri lebih memilih untuk membicarakannya secara kekeluargaan bersama mamanya, atau lebih banyak diam.
Tapi kali ini berbeda, kebuasan dan cerminan negatif selalu menghampiri Andri. Bagaikan kucing rumahan yang ditelantarkan di dalam hutan–dia akan jauh lebih buas untuk bertahan hidup, kalau tidak dia akan mati. Andri menjadi lebih putus asa. Memang sudah sewajarnya ia begitu. Karena saat ini situasi memang sangat sulit. Seolah Tuhan yang ia sembah tidak lagi mendengar doa–doa dan air matanya.
Andri menarik napas kuat–kuat, dia telah kembali ke posisi normalnya–duduk menghadap jalanan panjang yang tak bertepi. Emosinya sudah tidak begitu meletup karena Ralan tidak melakukan perlawanan balik atas sikapnya tadi.
Tetapi dia kembali memaksakan pembicaraan sengit. Seolah percikan api yang mulai padam harus kembali menyambar pada objek di dekatnya.
"Gue udah lelah sama semua ini. Dan gue udah capek kalau harus dengar berita buruk lagi." Andri terdiam, masih sangat percaya diri kalau ucapannya mau tidak mau di dengar oleh Alex dan Ralan. "Sekarang Om Keenan. Seharusnya dia ngerti dong! Dia nggak perlu nambahin beban kita–kita lagi, pakai acara nggak pulang ke rumah lah. Nggak ada kabar lah. Apa dia mau kita nyariin dia, seperti kita nyariin April sama Lisa? Hah!" tantangnya meminta jawaban.
"Intinya anterin gue pulang sekarang! Abis itu terserah kalian mau pada ngapain!"
***
"Apa kamu masih mau hidup?" aksen khas yang diliputi ketenangan tinggi terdengar di dalam kamar berdinding kayu. Kamar yang sama ketika seorang Lisa untuk pertama kalinya tersadar.
Sekarang mata itu terlihat dibalut dengan perban steril. Tertutup rapi hingga tak ada cela untuk mengintip. Tangan kiri yang juga masih terbungkus perban karena terkilir, terasa sudah membaik sehari belakangan ini. Meski sewaktu–waktu nyeri itu bisa datang kapanpun.
Selalu saja, tubuh itu menggigil ketakuatan bila seorang Harvey datang menemuinya. Keringat dingin membasahi leher dan telapak tangannya. Bahkan saat ini, ia terlihat duduk di kursi kayu jati tua dengan kedua tangan mengatup serta terikat tali. Kedua kakinya juga saling terikat.
Tak mengerti apa yang dimaksud dari orang yang tega memperlakukan Lisa seperti seorang sandera. Lebih–lebih, kursi itu diletakkan menghadap jendela yang terbuka lebar. Hembusan angin ikut mengiringi kisah duka ini. Berhembus ke wajahnya yang dipenuhi peluh, dan meredakan sedikit ketegangan yang menguras hati.
"Lisa..." liukan lidah itu mengandung nada godaan. "Ayolah, jawab pertanyaan saya!" masih selembut kapas. Tidak ada tekanan suara yang tinggi di sana.
Lisa menjerit, seakan baru mengingat peristiwa traumatis dahsyat dalam hidupnya. Lalu dia merengek ketakukan bagai seorang bayi. "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kalau aku hidup sekalipun, semua nggak akan ada artinya!" katanya. "Dan kamu juga nggak akan membiarkan aku hidup, kan!?" dia kembali memekik.
"Kata siapa?" Harvey menantang. Suaranya terdengar di belakang tubuh Lisa. "Kalau kamu masih mau hidup, aku bisa saja mempertemukan kamu kembali dengan April. Kamu tahu kan, April sudah sadar. Dan dia akan sangat tersanjung mengetahui sahabat terbaiknya mengorbankan kornea mata untuknya."
Lisa tahu ini pasti jebakan. Ketika Harvey datang dan menanyakan kepada dirinya ingin hidup atau tidak, semestinya pertanyaan itu tidak layak untuk dipertanyakan. Bagaimana mungkin seorang Harvey bisa menguasai kendali hidup–mati dirinya. Memangnya dia Tuhan! Pasti ada sesuatu yang diinginkan Harvey dari dirinya.
Lagipula, saat April membutuhkan kornea mata, sesungguhnya Lisa tidak tahu–menahu kalau dirinya akan menjadi pendonor kornea mata untuk April. Yang Lisa ingat ketika itu, Harvey membawa dirinya pergi dari rumah rahasia, lalu mengurungnya disalah satu kamar Harvey di rumahnya.
Kemudian esoknya Harvey datang dan membawakannya makanan. Setelah itu, diam–diam Harvey kembali membiusnya dengan injeksi. Setelah tersadar, Lisa sudah berada di ruang operasi dengan mata yang tidak dapat melihat.
Mulanya Lisa syok berat hingga berteriak histeris untuk membuka perban yang menutupi matanya. Dia pikir kegelapan itu terjadi karena adanya perban tersebut. Namun, rupanya tidak. Lisa buta, kornea matanya telah diambil secara ilegal oleh Harvey. Dengan menyesal Harvey berkata kepadanya bahwa ini demi kepentingan April. Katanya, April sudah mengalami masa–masa terkelamnya antara hidup atau mati. April harus selamat, minimal dengan mata yang tidak cacat.
Lisa pun akhirnya mengikhlaskan kornea matanya untuk diberikan kepada April, meski awalnya tanpa sepengetahuan dirinya. Lisa percaya, apa yang diberikan dirinya kepada sahabatnya ialah sesuatu yang mulia. Yang tidak bisa ditandingi dengan apapun. Lagipula Harvey berjanji akan mencarikannya pendonor kornea mata dari orang yang sudah meninggal dunia.
"Ya. Aku masih mau hidup. Aku masih mau ketemu sama April dan keluarga."
Harvey tertawa jenaka. Tawanya mengandung kemarahan dan keremehan. Lisa kira, apa yang dikatakannya itu akan diwujudkannya secara mudah? Ah, tentu saja tidak! Harvey berkomplot dengan suara hatinya.
"Kamu tahu Lisa, apa yang saya benci dalam dunia ini?"
Sempat hening lama. Lisa tak memberikan ekspresi apapun. Lalu Harvey kembali melanjutkan, "Ketidakadilan." animo panas mengalir dalam darah dan ingatannya. "Di luar sana banyak orang yang mati–matian ingin hidup." dia terkikik, lalu rasa humornya hilang begitu saja dengan tarikan bibir yang menghinakan. Jijik, seolah baru saja menginjak kotoran hewan di jalan.
"Betapa beruntungnya mereka, orang–orang yang memiliki organ tubuh yang sehat." dia berdiri di depan Lisa–membelakangi jendela yang terbuka lebar, duduk di atas rangka bawah jendela. "Mereka tidak harus merasakan sakit berjam–jam ketika sedang cuci darah. Mereka juga tidak perlu repot–repot mencari transplantasi organ tubuh yang mereka butuhkan." senyap beberapa saat. "Semua akan menjadi begitu kejam ketika keadilan tidak didapatkan."
"Terus apa mau kamu?" Lisa sudah jemu mendengar kesatuan ujaran yang mengungkapkan konsep pikiran dan perasaan yang diungkapkan Harvey.
Harvey menarik punggungnya ke depan, hingga wajahnya sudah sangat dekat dengan Lisa. "Kamu harus menandatangani sebuah kontrak."
Hembusan napas itu terhisap Lisa. Terasa hangat dan berbau khas seorang pria. "Kontrak apa?"
"Kontrak persetujuan mendonorkan satu ginjal kamu kepada orang di luar sana."
Lisa tak habis pikir dengan apa yang dia dengar barusan. Walaupun dia tak menunjukan ekspresi yang berlebihan, tapi geletar bibirnya sangat terlihat. Harvey pun mengamati dengan baik ketakutan dan kemarahan Lisa yang tertahan itu.
"Come on, Lisa! Saya tahu kamu memiliki hati yang mulia. Kamu pasti tidak akan membiarkan bocah lima belas tahun menjalani cuci darah, kan? Melihat dia berjuang mati–matian untuk tetap hidup."
Lisa merasa kehilangan akal. Namun dengan mantap ia berkata, "Ya... Aku mau." entah apa yang menggerakan hati seorang Lisa yang terbilang penakut dan manja ini.
***
Tiga hari sebelum Keenan meminta izin kepada Alex untuk pergi menemui temannya, Alex diminta Keenan untuk datang ke rumah sakit tempat Keenan bekerja, dengan tujuan menyuruh Alex membawa pulang mobil kesayangannya, yakni mobil muscle klasik hitamnya. Saat itu juga Keenan tidak membawa mobilnya untuk menemui temannya itu, melainkan dia dijemput oleh seorang pria yang tak dikenal Alex. Dan mobil muscle klasik itu yang akhirnya dipakai Alex untuk pergi ke beberapa tempat wisata bersama Andri dan Ralan.
"Ini sepertinya jalanan yang tadi kita lewatin, Lex?" taksiran Ralan tidak sebetulnya salah. Alex membenarkannya.
High Falls Road, sebuah jalan yang menghubungkan Catskill Mountain ini, sudah dilewati Alex dan Ralan dua kali saat ia menuju ke Catskill Mountain bersama Andri. Alex harus lebih ekstra menambahkan bensin ketangki mobil ayahnya, karena harus bolak–balik.
Memang seharusnya mereka tidak kembali dulu ke Livingston Street, langsung saja ke High Falls Road untuk memeriksa keberadaan Keenan di rumah teman bisnisnya. Namun apa boleh buat, Andri sudah terbakar emosi sejak tadi. Dan mau tidak mau mereka harus membawanya pulang sebelum dia berbicara tak karuan lagi.
"Kita boleh masuk ke sana?" Ralan berdiri di sisi jalanan, menghadap hutan yang dipenuhi semak belukar dan pepohonan. Di sana, kepolisian telah memasang garis polisi–diantara semak dan pepohonan. Sungguh disayangkan, garis polisi itu hanya sebagai pertanda bahwa pernah ditemukannya sampel darah April, tapi tidak dengan jasadnya.
"Sebaiknya jangan." kata Alex di sisi kanannya.
Ralan menoleh kepada Alex. "Okey. Kita lanjutin perjalanan kita." tersenyum samar, lalu membingkas dari sisi jalan dan memasuki mobil.
Tidak jauh dari sana, kira–kira dua puluh yard ke depan, di sisi sebelah kiri terdapat sebuah jalan pelosok memasuki hutan yang hanya bisa dimasuki satu mobil saja. Jalan itu satu–satunya akses memasuki sebuah rumah yang jauh dari tempat tinggal penduduk, yakni rumah Harvey yang berada di dalam pelosok terpencil.
Tampak dari jarak sepuluh yard, mobil yang dikemudikan Ralan didahului oleh mobil Mercedes Benz berwarna putih. Akselerasinya diatas rata–rata mobil yang melaju di jalur bebas hambatan. Mobil putih itu berbelok, memasuki jalan pelosok di dalam hutan. Entah ini suatu kebetulan atau apa, Alex juga berbelok memasuki jalan pelosok yang sama.
"Alex, rumahnya masuk ke dalam pelosok seperti ini?" Ralan sedikit keheranan ketika semak–semak dan pepohonan mulai menyapanya.
Alex mengangguk. "Dia tidak memiliki tetangga. Laki–laki yang kesepian, tapi mencintai kesepian." dia mengikik.
Ralan memberikan perhatian lebih atas humor yang dilontarkan seorang Alex, hingga dia ikut tersenyum lebar.
Satu kilometer jarak yang mereka tempuh, hingga akhirnya dapat melihat sebuah rumah dari jarak tiga puluh yard–membentang dihalaman yang luas. Rumah yang tidak terlalu besar di depan sana.
Mobil putih itu sudah terlebih dahulu memarkirkan mobilnya di depan rumah tersebut. Seorang pria dan wanita keluar dari dalamnya. Pria dan wanita berkacamata tersebut sempat memusatkan pandangan mereka kepada mobil yang dikemudikan Alex di ujung sana, sebelum akhirnya bertamu ke rumah tersebut.
"Itu siapa, Lex?"
"I don't know."
Mobil tua itu akhirnya terhenti di sisi kanan mobil putih tersebut. Tampak pintu rumah itu tertutup rapat dan dua orang tadi sudah tak terlihat lagi. Mungkin saja mereka sudah dipersilahkan masuk ke dalam rumah.
Dua tubuh itu keluar dari dalam mobil. Mereka disambut oleh kuning kemerah–merahan di sebelah barat–menandakan bahwa matahari mulai terbenam. Ralan dan Alex merasakan pusaran angin yang menerpa kulit mereka. Lalu, Ralan melayangkan pandangannya ke segala arah, sebelum memutuskan untuk memerhatikan rumah berdinding kayu itu.
Bagaimana bisa seorang dokter tinggal di dalam pelosok hutan. Tak ada tetangga atau keluarga yang bisa ia sapa setiap harinya. Setiap keluar rumah hanya menemui ruang luas yang terbentang di atas bumi bersama awan dan sekumpulan burung. Mengendus aroma pepohonan, tanpa adanya aroma tubuh manusia lainnya, terkecuali aroma tubuhnya sendiri. Sungguh–sungguh hidup yang membosankan. Ralan berangan–angan, memosisikan dirinya menjadi dokter bedah tersebut.
Menurut cerita yang dikisahkan Alex kepadanya, dokter bedah itu memang tidak pernah bersosialisasi di luar pekerjaannya. Dia tidak pernah menunjukan dirinya lebih di depan orang–orang. Cenderung tertutup dan lebih menghabiskan waktunya seorang diri. Hobinya pun tak jauh dari kesendirian dan kesepian, yakni membaca buku, meriset sesuatu, menulis, dan memancing di danau yang tak jauh dari rumahnya.
Satu hal lagi. Dokter bedah ini baru saja kehilangan anjing kesayangannya dua bulan yang lalu. Padahal anjing tersebut sudah menjadi keluarganya sejak sepuluh tahun yang lalu. Kabarnya anjingnya itu meninggal karena tertembak di hutan oleh para pemburu liar. Entahlah, tidak pasti. Karena anjing itu ditemukan tewas di hutan dengan luka tembak. Kasihan sekali pria itu.
"Thank you, Honey... I... I.. Don't know without your help... Thank you so much!" seorang wanita berkacamata hitam menangis di samping Lisa–di ruang tamu. Dia membenamkan wajahnya di pundak Lisa.
Bibir Lisa ikut terkelepai karena rasa sedih. Tak tahu rasa sedih apa yang Lisa rasakan. Semua begitu rumit dan sulit dijelaskan.
Tidak lama dari semua itu, bunyi ketuk terdengar membaur. Ada seseorang yang mengetuk rumah ini. Namun siapa? Harvey agak curiga dan waswas. Dia membawa Lisa kembali ke dalam kamarnya dengan alasan Lisa harus cukup istirahat sebelum menjalani operasinya. Sehabis itu, Harvey meminta dua tamu tersebut untuk bersantai dan menikmati teh yang telah ia buat di dapur. Mereka pun menurut.
Pintu dibuka. Harvey tergagap melihat wajah itu. "Oh... Wow! Alex?" dia mencoba menyembunyikan kegelisahan dengan senyuman lebar yang kaku di wajahnya.
"Hi, Harvey..." sapa Alex.
Harvey masih terkejut di depan pintunya dengan tatapan yang aneh. Dia bahkan memegangi pintu agar tidak terbuka lebih lebar. Seolah tak membiarkan Alex dan Ralan memasuki rumahnya. Harvey ingin mengetahui kedatangan Alex yang secara mendadak itu, dan menyelesaikannya di depan pintu.
Melihat sikap Harvey yang seakan tidak mengizinkan dirinya dan Ralan masuk, Alex sempat dibuat salah tingkah dengan sikap tertutup Harvey tersebut, yang harus berakhir dengan rasa canggung.
"What's up?" tanya Harvey langsung keintinya.
Ralan mengamati wajah itu dengan sungguh–sungguh. Ia baru kali ini menemui orang seperti itu. Kedatangan tamu, tapi terlihat tidak begitu senang. Serta sikapnya yang seolah meminta Alex dan dirinya untuk segera pergi.
"My Daddy’s here?"
Tatapannya menjadi serius. "No." kata Harvey. "You should go home now!" pintanya. Tidak sengaja, kerlingannya singgah ke wajah Asia di samping Alex. Harvey mulai khawatir dengan kehadiran sosok laki–laki dihadapannya. Terakhir ia melihat wajah yang sama dengan wajah anak laki–laki di depannya itu saat dia melihat galeri foto di ponsel pintar April–yang ditemukannya di dalam mobil ketika malam kecelakaan itu terjadi. Wajahnya tidak jauh berbeda dengan difoto. Hanya saja, Ralan terlihat lebih nyata dipenglihatannya.
Pintu itu seketika dipaksa tutup dengan kuatnya oleh Harvey. Alex dan Ralan sontak terperanjat dan keheranan dengan perlakuan tidak sopan tersebut. Ralan sangat jengkel hingga menendang pintu tersebut.
"Stop it!" Alex menarik tangan Ralan dan membawanya pergi dari tempat itu.
Alex dan Ralan akhirnya tiba di rumah, Livingston Street. Saat ini matahari sudah benar–benar membenamkan dirinya. Semua tampak gelap dan remang. Hanya lampu jalanan yang terletak tujuh meter dari rumahnya yang menerangi jalanan dengan sayup–sayup.
"Dari mana saja kalian?" terdengar sambutan kegaduhan saat mereka membuka pintu. Rupanya seorang Keenan sudah menunggunya sejak sore tadi.
"Dad?" Alex termangu.
Sekarang, Keenan sudah mengumpulkan Alex, Ralan dan Andri di ruang keluarga. Andri tak berbicara apapun sejak Alex dan Ralan pulang. Mereka hanya saling mengerling aneh.
"Alex?" Keenan memudarkan lamunan Alex. "Kamu seharusnya sudah lebih tahu tentang Daddy." dia menatap putranya itu dengan sungguh–sungguh. "Kamu tidak perlu nyari Daddy. Kamu tahu, kan. Kalau Daddy nggak pulang berarti ada kerjaan. Bukan kali ini aja Daddy nggak pulang, Lex. Tapi sudah sering. Kenapa sekarang kamu jadi cemas seperti itu? Daddy sudah pernah bilang, jangan pernah datang dan menginjakan kaki kamu dirumah Harvey!" ucapnya keras.
"Alex nggak salah Om." suara pembelaan itu terdengar. "Seharusnya hari ini aku pulang ke Jakarta. Tapi, karena Om nggak ada kabar, saya yang nyaranin Alex untuk cari Om."
Mengetahui pembelaan itu dari mulut Ralan, Keenan menjadi sedikit luluh dan tidak ingin memperpanjang masalah ini. Lagi pula Keenan terlalu lemah untuk memarahi orang lain.
0 komentar