ilustrasi petani (unsplash.com Eduardo Prim) |
Melihat fenomena hari ini, bagaimana harga bahan pokok
melambung tinggi, membuat sejumlah masyarakat, khususnya mahasiswa melakukan demo di seluruh Indonesia. Hal itu sangatlah wajar, di mana sistem pemerintahan Indonesia adalah demokrasi, kita berhak mengeluarkan pendapat terkait hal-hal apa saja, apalagi kalau bicara soal perut.Orang yang kelaparan akan melakukan apa saja untuk mendapatkan makanan, jadi tidak mengherankan bukan jika kelaparan yang meluas akan berkembang menjadi perang dan kekerasan sebagai akibat dari rasa putus asa. Nah, jika kebutuhan pokok langka, kemungkinan perang besar-besaran akan terjadi, itulah yang terjadi di Vietnam kolonial tepat di tengah-tengah Perang Dunia II, sebagaimana yang dilaporkan Mental Floss.
Vietnam, bagian dari Indochina Prancis pada saat itu, sangat menderita karena Perang Dunia Kedua menghancurkan pertanian mereka, khusunya padi, yang diduga disimpan terlalu lama sehingga tidak dapat dimakan lagi. Prancis jauh lebih fokus memerangi Jepang dan tidak berbuat banyak untuk membendung kelaparan yang terjadi, meskipun beberapa daerah sebenarnya memiliki surplus beras.
Prancis tidak mengoordinasikan pengangkutan makanan ke orang yang lapar, yang konon menyebabkan antara 1 sampai 2 juta kematian karena kelaparan. Negeri Vietnam yang subur itu menjadi malapetaka di bawa kendali Prancis. Apalagi, beras merupakan makanan pokok di wilayah tersebut, rakyat Vietnam yang marah melakukan pemberontakan dan berjuang untuk kemerdekaan dalam Perang Indochina Pertama.
Menurut Nobel Peace Center, bukan hanya Prancis yang lalai terhadap koloni mereka, baik Axis maupun Sekutu berkontribusi pada kekurangan beras di banyak negara. Pasukan Jepang menyita persediaan beras, dan Amerika mengebom rel kereta api dan kapal yang menghalangi pengangkutan persediaan makanan yang diperlukan ke utara yang dilanda krisis kelaparan. Sementara itu, beras justru sangat melimpah di bagian selatan Vietnam dan justru dijadikan sumber bahan bakar, sementara di Vietnam utara, mereka mati kelaparan.
Kelaparan digunakan sebagai seruan bagi pemberontak dan komunis dalam Perang Indochina Pertama, dan sekali lagi dalam Perang Indocina Kedua — lebih dikenal sebagai Perang Vietnam. Perang juga menghancurkan tanaman padi, karena bahan kimia, yang berbahaya bagi manusia dan tanaman, disemprotkan di hutan dan sawah Vietnam. Sepanjang pertengahan abad ke-20, beras dan perang sangat terkait, dengan mengorbankan jutaan nyawa.
Nah, sudah tahukan betapa sentralnya kebutuhan pangan itu. Jadi bagaimana nasib Indonesia ke depannya jika hanya ketergantungan dengan produk-produk asing, sementara kita sendiri sangat konsumtif? Mengapa tidak melakukan perubaha untuk kesejahteraan pangan Indonesia di masa depan?
Masa depan pertanian indonesia bisa saja terancam jika generasi enggan melirik profesi dibidang pertanian, padahal jelas, pangan menjadi sentral penting suatu bangsa.
Terlepas dari permasalahan multidimensi yang menyerang dunia, syukurlah, Indonesia diberikan tanah yang subur, yang tidak dimiliki negara-negara barat. Sudah sepatutnya kita menjadi role model terkait masalah kesejahteraan pangan.
Lalu mengapa, masih ada penduduk-penduduk Indonesia yang kelaparan dan tidak dapat mencukupi gizinya? Apakah penduduknya malas atau memang sistemnya yang seolah-olah memberatkan kita?
Padahal, lagu Koes Plus mengingatkan kita bahwa tongkat kayu dan batu saja bisa jadi tanaman. Bukankah kenyataan ini seharusnya menyadarkan kita untuk lebih semangat membangun ketahanan pangan. Menjadikan bumi ini surga, seperti yang diidamkan, The Promise Land.
Sumber
https://www.mentalfloss.com/article/71818/7-foods-have-led-war
https://www.nobelpeacecenter.org/en/news/vietnam-war-led-to-decades-of-hunger
0 komentar