Langit hitam menyapa seolah berduka
![Malam itu](https://cdn.idntimes.com/content-images/community/2022/05/bruno-fernandez-ssshd9u6sck-unsplash-5a4e3a860dbf6ff604dfd0b178ae4525-18cff9f42a528c75e61228b9f9074c52_600x400.jpg)
Malam itu sehabis pertengkaran hebat yang terjadi di ruang keluarga-pertengkaran terdahsyat dari hari-hari sebelumnya, ibu menggendongku ke lantai atas rumah dan kami berdua bersembunyi dalam kesepian serta kegelapan untuk mencari perlindungan dari peperangan bersama ayah. Aku merasa terombang-ambing di lautan luas. Terhempas oleh ketidaknyamanan orangtuaku.
Biru gerau di langit melayang tak terarah di kepalaku. Aku terlayang didekapan ibu, tepatnya di lantai atas rumahku-lantai balkon beralaskan kedinginan dan rasa sakit yang teramat sangat dengan suasana mencekam. Pohon angsana memancar tinggi mengimpit dinding balkon luar. Ia tumbuh di halaman belakang rumah.
Tampak tubuh dan lengan mungil menggambarkan usiaku yang baru lima tahun. Mata yang lebih tajam dari biasanya dan napas yang tersengal, aku memandang hilang akal pada pohon angsana besar yang mengadang kami berdua. Aku bukan lagi mengkhawatirkan pohon angsana besar yang seolah-olah ada sesuatu mengerikan di cabangnya.
Yang aku tahu, ibu tidak baik-baik saja saat malam itu terjadi. Ibu bersandar di dinding yang membentuk jendela-mengarah ke pohon angsana dan langit luas. Dia memelukku erat dalam pangkuannya. Aku melihat isakan tangis dan butiran air mata yang meleleh dari pohon matanya.
Kerap kali aku memandanginya sungguh-sungguh, mendongakan kepalaku untuk melihat wajah nelangsanya. Semua terasa samar. Sama samarnya dengan kebingungan yang kurasakan.
"Aku nggak heran melihat ini." alam pikiranku terucap begitu saja dalam hati. Aku kecil selalu terbiasa dengan perkataan tersebut. Bagaikan permen karet bekas yang terinjak, lalu melekat di alas sepatu. Aku menyadari adanya ketidakberesan, tetapi tetap saja aku tidak mengerti. Ibu tidak menjelaskan... Siapa pun tolong aku!
Aku semakin terhanyut dengan rasa sedih. Tetesan air mata ibu jatuh kepergelangan tangan kecilku, membuat urat nadiku terentang tegang. Aku mengamati air mata itu, kemudian aku mendongak agar dapat melihat wajahnya. Tetapi, ia tidak membiarkanku berlama-lama memandangi wajah getirnya itu. Penuh dengan kelembutan, tangannya mengelus rambutku sambil membenarkan posisi kepalaku kembali.
Apa yang ibu rasakan seolah membuat intuisiku bekerja. Tanpa ku sadari, air mata berlomba keluar dari kedua kelopak mataku juga. Kenapa air mata ini terasa sakit ketika keluar. Tidak! Rasa sakit ini bukan karena mataku mengeluarkan cairan bening ini. Tapi rasa sakit ini menyembul dari hatiku.
Ibu tidak menceritakan masalah apa yang telah terjadi. Saat itu yang kutahu adalah sebuah pertengkaran hebat antara ayah dan ibu, sebelum akhirnya kami berdua berlari menyelamatkan diri. Tidak sekali dua kali aku mendengarnya, tetapi sering. Namun saat itu aku tak mengerti apa yang mereka ributkan hampir setiap harinya.
Aku merasa tidak mendapatkan kenyamanan yang nyata di rumahku sendiri. Aku seperti berdiri di tengah peperangan di suatu wilayah dengan orang-orang yang memegang senjata menggunakan mesiu ditangannya. Ini bukanlah perihal mudah bagiku. Namun, mengalah itu tak selalu kalah. Tetapi berbesar hati meredamkan ego, demi keselamatan orang lain.
Merasa sakit dan marah besar akibat perbuatan ayah, tidak pernah ku ungkapan melalui kata-kata. Meski begitu, aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya kebisuan yang menjahit mulutku. Dendam itu tak pernah terungkapkan, namun terendap di dasar hatiku-lubuk hatiku yang terdalam. Aku saksi dari semua air mata ibu malam itu. Di bawah sawang langit malam dan dinginnya lantai juga akan menjadi saksi bisu penderitaan.
0 komentar