Kantung mata ini, cempering mata ini, semakin tersuruk di bawah lampu taman yang remang
–berjarak lima yard di depan sana. Terang bulan pun tampak agak redup di atas sana. Tiang listrik di hadapan, terhujam di tanah –berdiri membisu mengalirkan rasa sedingin es. Angin malam seolah tak ingin meninggalkan momen ini, ia berhembus, memberikan penyiksaan kepada panca inderaku, khususnya kulit-kulitku yang lemah.Tanganku beberapa kali mengusap air yang keluar dari kedua mata. Namun, sesekali aku membiarkan tanganku terkatup rapat-rapat di pangkuan. Seakan membiarkan air mata itu mengalir tanpa halangan.
Tepatnya lima bulan yang lalu, aku merayakan ulang tahunku yang ke-17 tahun. Aku kecewa dengan kehidupanku. Keluarga menjadi dominan hebat mengapa aku mengatakan itu. Saat 17 tahun yang lalu, aku berhasil mengenakan gaun putih yang indah dengan topi putih yang cantik. Ketika itu aku dihadapkan dengan beberapa hadiah yang ditempatkan di pinggir kue ulang tahun. Aku bahagia melihat gadis kecil di usia satu tahunnya yang dikelilingi teman, tetangga, dan ibunya yang selalu menggendongnya sepanjang acara. Namun aku hanya bisa melihat itu dari sebuah foto usang yang kotor. Banyak noda keemasan yang sedikit merapuhkan keindahan foto itu.
Aku kembali dalam usiaku yang miris, usia 17 tahun. Aku tidak pernah meminta kepada keluargaku hadiah berupa materiil dari mereka. Melihat ayah dan ibuku tidak bertengkar saja rasanya aku sudah bahagia. Aku hanya menyayangkan, kenapa hidupku begitu hampa. Di hari ulang tahunku yang ke-17, keluargaku lengkap, ayah ibu masih ada. Namun aku seperti tidak memiliki keluarga, aku tak pernah mendapat kasih sayang dan afeksi yang subtil dari mereka. Mereka bukan orang sibuk, mereka juga bukan orang penting, hampir setiap hari aku bisa melihat mereka. Bahkan setiap hari juga aku melihat mereka bertengkar.
Lupakan tentang lima bulan yang lalu –hari ulang tahunku. Saat ini, aku lebih menginginkan mereka, yang selalu ada di hari-hariku dulu. Rumput taman yang menggelitik kaki, tanaman taman menjulang di jarak tiga meter dari hadapanku sekarang. Danau buatan yang di kelilingi pilar di pinggirnya, diduduki muda mudi yang saling merangkul –memadu kasih di wajah publik, menghadap danau. Tonggak panjang yang dibuat dari batu bata merah, memandangiku di ujung sana –seberang danau. Hanya mereka yang menemaniku malam ini. Mungkin aku lupa menyebutkan satu nama. Permata. Ya, permata. Pria berbibir tipis, dengan tinggi badan yang minim untuk seorang laki-laki berusia 23 tahun, berada di sisi kananku.
“Baru tiga bulan, loh. Kenapa, sih, semua ini nggak pernah terputus dari hidup aku?”
Barangkali aku salah mengatakan hal itu. Mungkin Permata tidak bisa mencerna ucapanku dengan baik, dia terlihat susah hati karena diriku. Tidak! Tepatnya kehidupanku. Aku berulang kali melihat dia melonggarkan pernapasannya. Entah apa yang membuatnya terlihat sesak. Mungkin saja angin malam yang lima menit sekali berbisik jahat atau aku.
Terputus? Rupanya aku salah mengatakan hal itu. Bagaimana tidak, aku sudah tidak pernah mendengar keributan dari ayah dan ibuku. Pertengkaran itu bagaikan interkoneksi antara ayah dan ibu. Seperti sinyal, kartu seluler dan ponsel. Mereka tidak akan berfungsi, jika tak saling melengkapi.
Tampaknya aku lupa, ayah dan ibuku sudah terputus. Dalam artian, terputus dari segala macam kalut–marut kehidupan. Mereka tidak perlu repot –repot lagi berdiskusi hebat, karena uang mereka tak cukup untuk membiayai makan lima orang anaknya, yang semuanya pengangguran, pecandu miras, dan keterbelakangan mental. Ibu tidak perlu bangun tengah malam lagi untuk mempersiapkan dagangannya esok pagi. Dan ayah sudah tidak lagi menjerit ketika tengah malam tiba –menahan penyakit yang ia derita.
Ibu sudah menghadap pada Sang Pencipta tiga bulan yang lalu. Bingkisan yang dibumbui sindiran pedas untuk ulang tahunku. Dua bulan sebelum ibu meninggal, dia sempat jatuh sakit.
Lalu, belum kering air mataku dan makam ibuku, ayah menyusul. Ibarat kilat yang tampak seperti bola cahaya, bergerak cepat di sepanjang objek mati. Dia merenggut semuanya begitu cepat –waktu dan nyawa. Saat itu waktu terasa lambat dan lemah. Aku seperti berjalan di dalam labirin, dan tak memiliki peta labirin itu. Sesak, ingin menjerit, suhu badan panas, namun tak ada yang bisa menolong.
Setiap malam aku menangis, menanyakan keadilan. Terbangun dengan mata kelam lebam. Perlahan namun pasti, di bawah mataku terukir kantung. Aku seperti orang kelelahan dan putus asa. Tetapi, Tuhan menyadarkanku dengan baik. Mengetuk motorik otak dan fisikku. Aku yang sudah tersungkur dan terinjak-injak pula, dibantu berdiri oleh-Nya.
Di luar sana, aku memiliki teman dan sahabat yang baik. Simpati mereka terhadapku sangat tinggi. Entah aku harus membalas kebaikan mereka dengan apa, selain ucapan terima kasih. Dari pada itu, salah satu abangku yang tadinya sangat apatis terhadap diriku, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang lain. Lebih peduli terhadapku. Kami sering berkeluh kesah bersama. Meratapi dan memotivasi satu sama lain. Karena kami bernasib sama, dan tak ada yang lebih mengerti selain aku dan dia.
Sebelum tiba di taman ini, aku meminta Permata menemaniku untuk membeli apel merah. Semua ini di luar akal sehatku. Aku membeli buah segar di pasar, namun aku berdiam diri sejenak di taman, lalu menangis begitu saja.
Ini kali pertama aku menceritakan penderitaanku kepada orang lain. Sebab, dia lah yang aku percaya saat ini. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi sekarang. Bahkan ketika keluargaku ada seutuhnya.
“Aku tidak percaya semua ini akan terjadi lagi. Aku takut…” suaraku bergetar, menggigil bukan seperti melihat hantu. Tapi dua kali lipat dari hantu yang menyeramkan, ini yang aku rasakan. “Aku sudah sering kehilangan, apa aku harus merasakannya lagi? Sejahat itu kah Tuhan membuat naskah skenario?!”
Kira-kira, Tuhan ingin menghibur siapa dengan segala penderitaan ini? Permata menjawab, “Tuhan tak pernah membuat lelucon atau hiburan dari penderitaan hambanya. Dia menguji. Atau mungkin menegur. Atau mungkin memutuskan benang merah ini. Seperti yang kamu katakan diawal. Kamu mengatakan, kapan ini akan terputus. Mungkin kamu tidak menyadari terputusnya ayah dan ibu kamu dalam bentuk kematian…” dia terdiam beberapa saat. Namun sepertinya tidak ada yang ingin ia katakan lagi.
“Tapi kenapa harus secepat ini, semenyakitkan ini, dan segetir ini. Aku mengecap pahit garam kehidupan saja belum. Coba lihat aku! Aku terlahir dalam keluarga yang menyulitkan, di lingkungan yang mendominasikan perfeksi tanpa cacat, sementara aku cacat mental. Mereka memandangku sebelah mata karena kekuranganku. Kakak-kakakku pemabuk, penipu dan pemakaian zat terlarang. Aku dihadapkan oleh pertengkaran dan kekerasan setiap harinya." aku menangis, air mata itu meleleh bagai lilin yang sumbunya tersundut api, namun kecepatan air mata ini, lima kali lipat lebih cepat daripada lilin.
Mungkin saja, bila aku terlahir dari keluarga berpendidikan dan menjunjung afeksi serta attitude yang baik, aku tidak mungkin mengalami cacat mental seperti ini. Aku bahkan bisa berinteraksi dengan baik dan menjadi orang yang dialogis. Tak seperti aku yang sekarang.
“Bukan dari mana asal latarbelakang keluarga kamu. Tapi dari mana Tuhan memilih kamu menjadi salah satu yang terkuat. Tuhan menguji umatnya sesuai dengan kemampuannya. Dan kamu memilikinya.”
Aku cepat-cepat mengusap air mataku, kuharap ini tetesan yang terakhir, agar aku tak repot mengelapnya kembali. Ini memang kali pertama aku menangis di ruang publik terbuka seperti ini. Dahulu, biasanya aku menangis di atas tempat tidur ketika malam tiba, dan menutupi wajahku dengan guling agar tak terlihat oleh ibuku sendiri.
Tetapi sekarang, air mata ini rasanya sudah menjadi racun terpahit empedu, dan harus segera dikeluarkan. Waktu dan tempat sudah tak menjadi masalah lagi. Walau seorang pria melirikku beberapa kali dari samping sana. Dan seorang wanita memergokiku menangis, lalu mengenyahkan pandangannya begitu saja.
Aku tak bisa melanjutkan perbincangan kritis ini. Sekujur tubuhku bergidik karena hawa dingin. Dan di rumah, ada seseorang yang harus aku urus, abangku. Ya, abang ke empatku yang saat ini sedang terserang penyakit. Dia yang kuceritakan itu, seorang abang yang aku percaya untuk saat ini, semenjak orangtua kami tiada tiga bulan yang lalu.
Rasanya semua memang berjalan lambat namun begitu kolot. Abang keempat ku itu tidak mau di bawa ke rumah sakit untuk diperiksa keadaannya. Awalnya dia hanya mengeluh batuk, demam pada malam hari dan tulang sendi terasa lemas. Hingga dia hanya mengkonsumsi buah-buahan semata. Nafsu makannya menurun drastis. Perwakannya yang kurus kering semakin tak berdaging sama sekali.
Puncaknya itu ketika ia mengalami gangguan pendengaran. Dia tak mendengar dengan baik apa yang aku katakan, bahkan aku harus berteriak keras ditelinganya. Dia kehilangan daya pikirnya dan hampir semua sarafnya lumpuh seketika. Abang-abangku yang lain tidak ada yang peduli. Mereka begitu kejam dan apatis terhadap saudara kandung sendiri.
Aku sendiri harus mengemis dan menangis tak berdaya hanya untuk sekedar meminta bantuan supaya membawanya ke rumah sakit. Namun mereka tidak menggubrisnya. Bahkan aku diminta untuk tidak mengharapkan kesembuhan lagi bagi abangku yang sedang sakit ini.
Hingga dua hari kemudian, saudara dari ibuku datang. Dia membawa abangku ini ke rumah sakit. Dan dokter sudah memvonis abangku, bahwa dia terserang TBC. Oh Tuhan, apa itu? Saat itu aku buta akan nama penyakit itu. Karena sudah terlambat dia dibawa ke rumah sakit, beberapa minggu setelahnya abangku meninggal dunia. Tanpa siapapun yang menemaninya.
Aku tak pernah belajar menghargai hidup sehebat ini. Dari awal ketidakberesan yang kurasakan namun tak tersadari dengan baik dan tak ada yang membimbing, aku belajar beradaptasi akan semua ini. Setelah waktu larut dari hal-hal menyedihkan, maka dari situlah kekuatanku berasal.
Kegagalan total akan yang namanya keluarga memang akan menjadi kenangan terburuk dalam hidup. Namun tak ada pendidikan formal yang dapat membuat diriku setegar keluarga. Meski interkoneksi keluarga tak berjalan dengan baik, tetapi interkoneksiku dengan kehidupan terlaksana sudah.
The End...
Note: Cerpen ini awalnya dikirim untuk perlombaan. Dan terpilih sebagai salah satu cerpen yang diterbitkan dalam perlombaan di website CepaMagz.
0 komentar