“Kamu tahu apa yang aku benci di dunia ini?” nada afek melambai tegas di ambang udara. Memasuki telinga seseorang yang duduk di sisinya.
Pria berkacamata dan memiliki kerutan di seputar matanya, menggeleng.
“Hipokrit!” suaranya semakin jelas dengan penekanan yang tegas.
Rupanya, wanita berhidung kelewat mancung namun agak bengkok ini, tidak main-main akan ucapannya. Tatapannya tajam, menusuk memasuki relung hati pria bernama Bistan. Sementara Bistan, wajahnya memoles teka-teki yang sulit dipecahkan.
“Orang-orang di luar sana…” dalam keadaan sentimentil, Reline, begitu panggilan akrab wanita berusia dua puluh lima tahun ini, menghentikan ucapannya. Dia menoleh ke kanan, entah memastikan apa, dan kembali menatap Bistan. “Kamu…” ucapnya subtil, tanpa ada tekanan. “Aku… Kita semua hipokrit!” suaranya kembali lantang.
Sejak awal berjumpa, Bistan mengetahui ada yang istimewa dalam diri Reline. Istimewa dalam hal berpikirnya yang sangat kritis, tegas, terlampau percaya diri, tidak banyak basa-basi, dan aneh. Sebagai perempuan, Reline sangat berbeda dengan perempuan kebanyakan, dia tidak glamor, doyan belanja, foya-foya atau semacamnya. Satu hal yang membuatnya makin penasaran tentang perempuan ini adalah, Reline selalu memikirkan sesuatu yang terkadang terabaikan oleh orang kebanyakan atau lebih tepatnya, orang biasa.
Reline tak memiliki banyak teman. Temannya bisa dihitung jari. Dia juga mengakui kalau ia tidak memiliki sahabat, meski beberapa temannya menganggap dirinya adalah sahabatnya. Dia tak percaya akan sahabat, baginya tak ada orang yang bisa mengerti akan dirinya, dan tak ada orang yang dapat dipercayainya.
Bistan dan Reline bertemu lima tahun yang lalu dalam workshop film dokumenter yang diselenggarakan untuk mahasiswa dan umum. Awalnya mereka tak saling kenal. Reline yang saat itu hanya pergi seorang diri, dipertemukan dengan seorang Bistan bersama lima orang teman kampusnya.
Visualisasi dari sosok Reline dan Bistan yang sangat klasik. Saat itu seorang sutradara film dokumenter terkenal di Indonesia sedang berbicara di atas podium. Reline begitu antusias memerhatikan setiap kata yang tumpah dari mulut sang sutradara. Bahkan sebuah catatan kecil berwarna hitam siap sedia untuk diperciki tinta.
Di sisi kanan Reline, Bistan mengenakan almamater kampusnya, ia sedang asik mengupil, hingga tak peduli jika seorang Reline memerhatikan tingkah menjijikannya itu. Namun dengan sikap kekanakan, Bistan yang mengetahui seorang gadis yang memberikan perhatiannya itu, justru malah tersenyum lebar tanpa rasa malu.
Tanpa tahu apa yang telah diperbuatnya, Bistan menjulurkan tangannya kepada Reline untuk mengajak berkenalan.
“Hai, Aku Bistan.” tangan kanan yang sama dengan jari sehabis merogoh lubang hidungnya masih menunggu kehangatan Reline, yang bahkan sudah muak melihat Bistan tiga menit yang lalu.
Reline tersenyum samar dan membuang wajahnya. Ia kembali melihat ke depan dengan tatapan yang canggung.
Bistan tak mengindahkan keapatisan seorang Reline. Hingga detik kelima, Bistan masih belum menyadari kesalahannya. Toh, dia terlalu masa bodoh dengan kebiasaan buruknya itu.
“Kamu dari kampus mana?” Bistan masih ingin mencuri perhatian seorang Reline.
“Umum.”
“Kerja?”
“Freelance.”
“Suka buat film?”
Kali ini Reline sungguh-sungguh menatap mata Bistan dengan tajam. Namun sorotnya tak menggentarkan Bistan.
“Kenapa?”
“Saya ikut workshop ini bayar. Tolong, bisa hargai privasi saya?!”
“Oke... oke...” sahut Bistan dengan nada tinggi. Tetapi nadanya penuh dengan kegelian. Dan itu membuat Reline merasa terpojokkan.
Dua jam berlalu setelah workhsop usai. Reline terlihat bersiap menyelempangkan tasnya. Saat Reline bangkit, Bistan mengajaknya untuk berbicara.
“Boleh ngobrol sebentar? Workshopnya kan, sudah selesai. Duit kamu nggak kebuang sia-sia, kan?” humornya semakin membuat Reline jengkel.
Reline melihat lima orang teman Bistan yang mengenakan almamater sama, mulai beranjak dari kursi dan perlahan melupakan Bistan yang tergeming.
“Sepertinya teman kamu sudah keluar dari ruangan, dan kamu ditinggal.”
Bistan menoleh dan seorang teman di ambang pintu menyadari keberadaan Bistan yang jauh darinya. “Hey, Bis! Buruan!”
“Duluan aja, Bro!” pekiknya.
Bistan kembali memusatkan pandangannya kepada Reline. “So... Kita bisa ngobrol, kan?”
Reline merasa terpuruk mengetahuinya. Terpaksa dia menyetujuinya. Namun jika permintaan cowok itu tak sesuai dengan ekspektasinya, sudah pasti Reline akan meninggalkannya. Karena Reline terlalu muak dengan pria-pria zaman sekarang. Mereka mendekati wanita karena melihat ketertarikannya semata. Ujung-ujungnya ada maksud tertentu. Seorang Reline terlalu sibuk untuk meladeni orang-orang seperti itu.
Bistan mengeluarkan sebuah kamera DSLR dari tasnya. Menyalakannya dan sedikit menyetingnya. Lalu dia merekam Reline dengan gegabah tanpa meminta izin terlebih dahulu. Reline yang mengetahui hal itu segera menutupi lensa kamera dengan telapak tangannya. Menandakan kalau ia tak menyetujuinya.
“Apa-apaan, sih?”
“Kenalin, aku Bistan. Seorang Youtuber. Maksud aku di sini, aku mau minta tanggapan kamu mengenai workshop ini.”
“Seenak jidatnya aja, ya! Kenapa nggak bilang dulu dari awal? Asal rekam aja!” tempik Reline.
Bistan tersenyum. Masih tak menyadari perbuatannya. “Maaf, saya pikir kamu sudah setuju.”
Dari kejadian konyol itu, sekitar dua tahun yang lalu, Reline dan Bistan akhirnya menjadi teman dekat. Mereka saling bertemu disetiap kesempatan. Bahkan saat ini, mereka membuat project bersama. Mereka membuat video dokumenter mengenai isu-isu yang terjadi di dunia ini. Dan mengunggahnya ke youtube.
Reline seolah memberikan birai pada jembatan hidup seorang Bistan. Yang bahkan selama ini selalu goyah oleh kebutaan pengetahuannya. Jujur saja, Bistan bukanlah seorang yang berjiwa sosial apalagi tipe seorang yang kritis seperti Reline. Tapi dia anak yang kreatif.
Reline memiliki jiwa yang cerdas. Serta animonya akan dunia ini begitu tinggi. Dia bisa memikirkan apa saja yang baru dialaminya, maupun hal terkecil dalam kehidupan. Misalkan saja, bagaimana dia terlalu posesif akan kesehatannya. Reline sudah meninggalkan makanan instan, dan nasi sebagai karbohidratnya. Dia sudah memikirkan bagaimana terjadinya krisis pangan.
Bistan tak pernah menyangka akan dipertemukan dengan orang seperti Reline. Dia bahkan menganggap Reline seperti malaikat tanpa sayap. Sikapnya yang tegas namun memiliki sisi keibuan yang begitu lembut. Membuat Bistan jatuh hati kepadanya. Meski tak pernah ia ungkapkan.
“Sudahlah... Kamu nggak perlu bingung gitu.” Reline mengejek Bistan yang seolah mencari arti dari perbincangannya dengan Reline.
Bistan mendesah putus asa. “Aku memang paling nggak bisa menebak teka-teki kamu.”
Sela Reline dengan berani. “Yeh... Memangnya aku ngasih kamu tebakan!”
“Kalau gitu, jelasin ke aku apa maksud ucapan kamu bahwa kita semua hipokrit?!”
“Udahlah, kamu akan mengetahuinya nanti.” Reline tidak ingin membahas masalah itu lagi. Dia mengalihkan topik lain. “Sekarang, project terbaru kita apa?”
Bistan memutar bola matanya ke atas–seakan memikirkan sesuatu. Lalu membelalak penuh kejutan. “Oh, iya. Tentang hipokrit aja.”
Sengangar matahari memecah konsentrasi Reline. Temperatur yang mencapai tiga puluh derajat celcius ini membuat keberadaan mereka di luar mulai tidak nyaman. “Kita cari tempat yang ademan dikit. Di sini panas.” Mereka berpindah ke bawah rindangnya pohon di sebuah taman. Tempat diskusi yang selalu mereka kunjungi dibandingkan di mall atau cafe.
Sudah sejam berlalu mereka hanya membahas soal keseharian mereka di rumah yang menjengkelkan. Seperti Bistan yang selalu dimarahi orangtuanya karena lebih mementingkan membuat video dibandingkan mengerjakan skripsi kuliah. Dan Reline, yang selalu dianggap pengangguran oleh abangnya karena belum mendapatkan pekerjaan, dan sisanya hanya dihabiskan untuk membuat video.
Tiba-tiba, keluh kesah yang mereka ungkapkan masing-masing memberikan bentuk kejujuran yang tidak bisa dimengerti orang lain. Oleh karena itu, Bistan seketika memiliki ide yang berkaitan dengan hal tersebut–yang akan menjadi project video mereka selanjutnya. Sepertinya, Reline juga memikirkan hal yang sama.
“Kamu tadi bilang, gimana kalau kita bikin video yang masih berhubungan dengan hipokrit.” Wajahnya penuh tebakan.
Bistan mengangguk. “Iya, tapi detail-nya seperti apa?”
Reline masih tersenyum penuh teka-teki. “Gimana kalau kita bikin public experiment tentang kejujuran. Tentang hal-hal yang nggak berani diungkapkan oleh orang itu. Tentang kegelisahan mereka menjalani hidup. Apapun itu.”
Untuk kedua kalinya Bistan mengangguk. “Gimana kalau experiment itu kita mulai dari kita berdua. Sebelum kita melibatkan public.”
Bistan menyiapkan segala operasional yang dibutuhkan. Mulai dari kamera, tripod, dan keperluan lainnya. Sementara Reline memoleskan wajahnya dengan bedak, serta menyisir rambutnya agar terlihat nyaman di kamera.
“Oke, kita buat ini senatural mungkin.” Bistan membenarkan posisi kamera yang sudah terpasang di tripod. Tampak dilayar kamera–Reline masih menyelusuri rambut dan wajahnya dengan tangan. Dia tidak ingin terlihat ada noda bedak bayi di wajah atau rambutnya.
“Take satu.” Tempik Bistan saat ia melihat Reline yang sudah siap di depan sana. “Ingat ya, ungkapin semuanya dengan jujur. Nggak ada hipokrit sama sekali. Oke!” Bistan mengacungkan jempolnya. “Ready... Camera rolling and.... action!”
“Satu semesta, beribu pengkhianatan.” Wajah Reline mengancam memandangi kamera. “Apalagi yang kita wariskan untuk sejarah? Kebohongan? Kepura-puraan? Atau merasa semua baik-baik saja? Padahal tidak!” kali ini paras Reline mencela dengan ringan.
“Ungkapkan kalau kalian tidak baik-baik saja!” nadanya meninggi di udara. “Ungkapkan bahwa lingkungan kita tidak baik-baik saja! Ungkapkan bahwa bangsa bahkan bumi ini tidak sedang baik-baik saja!” tengkuk Bistan menyangkak saat menyadari apersepsi Reline berbicara kepada kamera.
Mereka memang sudah mendiskusikan sebelumnya. Apa-apa saja yang harus Reline bicarakan sebagai pembuka video tersebut, sebelum mereka masuk dalam public experiment. Reline melakukannya tanpa cela dan kesalahan sedikitpun. Dia memang sempat meminta perpanjangan waktu untuk menghapalkan semua itu sebelum take.
“Aku. Si wanita pemimpi... yang secara sadar membongkar hipokritku. Aku tantang kalian untuk melakukan hal yang sama!”
“Cut!” pekik Bistan lalu memberi tepuk tangan yang keras untuk Reline. Reline menghampirnya sambil tersenyum malu.
Setelah melakukan pengecekan beberapa kalian terhadap video yang sudah terekam, Bistan mengatakan sesuatu yang konyol. “Kamu pantes jadi pemain film. Ekspresinya dapet banget.”
“Film apa?!” pipi Reline merah padam.
“Filn kehidupan kamh sendiri, lah. Masa film layar lebar!”
Kepalan tangan Reline mendarat di lengan Bistan dengan manja.
Mereka saling bertatapan disayup-sayup senja yang mulai tenggelam. Merua menutupi cakrawala yang mulai mengantuk. Wajah Bistan yang mengilap tak jua mengalihkan tatapan hangat Reline kepadanya. Seolah bak pendar pada permukaan laut dimalam hari.
Begitupun usia, tatapan itu tak abadi. Mereka mengakhirinya dengan senyum simpul di pipi.
“Oke, kita lanjutkan besok.” Seru Bistan memastikan.
“Nanti aku kabarin lagi.”
“Loh, emangnya besok kamu mau ke mana?”
Reline tersenyum samar.
***
Rambut panjangnya tergerai basah. Tercium aroma jeruk dari sabun yang dipakainya saat mandi. Dan ia merentangkan handuknya di jemuran alumunium yang ada di belakang rumahnya. Dia memasuki dapur dan menemui abang lelakinya di sana.
“Kamu baru pulang?” tanya Anwar saat melihat rambut adiknya yang basah. Dia tahu betul kalau adiknya itu baru pulang, dan baru selesai mandi di jam delapan malam.
“Iya, Bang.” Reline mengangguk.
“Gimana lamarannya hari ini? Sudah naruh berapa lamaran?” lagi-lagi Reline harus berbohong dengan abangnya. Karena abangnya akan marah besar kalau tahu dia melakukan hal yang tidak menghasilkan apa-apa, seperti membuat video atau semacamnya.
Berhubung Reline sudah muak dengan kepura-puraan dan sikap hipokritnya selama ini, serta hari ini dia juga membuat konten video dengan tema hipokrit dan berani jujur, akhirnya Reline menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi.
“Selama ini aku nggak pernah berusaha buat cari kerja.” Katanya mantap tanpa beban. “Ya...” namun dia menjamin bahwa dia pernah melamar kerja kebanyak perusahaan tapi tidak mendapatkan panggilan. Hanya dua atau tiga perusahaan yang memanggilnya, namun dia selalu gagal dan tidak lolos. “Ya, awalnya aku memang naruh lamaran di sana-sini. Tapi aku nyerah, Bang! Aku lelah menjalani hal yang nggak aku suka!”
Abangnya tergeming, masih menunggu semua penjelasan Reline yang belum dikeluarkan sepenuhnya. Memang, sejak lulus dari sekolah menengah kejuruan delapan tahun yang lalu, Reline sudah mencicipi apa itu dunia kerja. Dia pernah bekerja selama enam bulan di restoran, tiga bulan di perusahaan ritel sebagai admin, dan sebulan di toko kue sebagai kasir. Semenjak keluar dari toko kue dua tahun yang lalu, sampai detik ini Reline belum mendapatkan pekerjaan lagi.
Dia justru menikmati passion–nya sekarang sebagai penulis lepas, content creator bersama Bistan dalam project video mereka di channel youtube. Project ini sudah berjalan sejak setahun yang lalu, dan penikmat konten video mereka semakin hari semakin bertambah.
“Aku lebih nyaman jadi freelance.”
Telapak tangan Anwar menampar meja dengan kerasnya. “Freelance, freelance apa! Selama ini kamu masih minta uang sama Abang!” bang Anwar itu kolot. Dia tak mengerti kegiatan millennials saat ini. Dia itu reaksioner. Yang dia pikirkan itu bagaimana caranya bisa makan untuk hari ini, bukan invesatasi untuk masa depan.
“Mendingan kamu nikah sana! Biar ada yang ngurusin kamu.” Rasa sakit itu tiba-tiba mencambuk hati Reline seketika. Reline tak mengerti kenapa abangnya tak pernah mendukung apa yang ia suka. Dia egois dan takut terbebani oleh adiknya sendiri.
Reline benci stereotip kehidupan. Ini abad ke-21 dan banyak orang yang percaya mitos ketimbang penjelasan ilmiah. Lebih berani duduk dikerumanan orang banyak dibandingkan berdiri sendiri. Lebih senang mengelompokkan sesuatu dan mengintimidasi manusia lain demi manusia yang lainnya.
“Mulai detik ini Abang nggak perlu khawatir lagi. Aku nggak akan membebani Abang lagi.” Reline bingkas meninggalkan atmosfir yang tidak mengenakan. Dia benci suasana seperti ini.
***
“Bi, kapan skripsi kamu kelar?” Wahyu Sanjaya merasa geram dengan anaknya di malam ini.
Bistan hampir putus asa ketika ditanyakan mengenai skripsinya terus-menerus. Rasa-rasanya dia tak sanggup menyelesaikan skripsi itu. Tapi dia memiliki tanggung jawab besar atas biaya kuliah yang diberikan orangtuanya. Dia merasa menjadi orang yang paling durhaka bila tak mewujudkan mimpi ayahnya untuk segera menyelesaikan perguruan tingginya. Tapi dia jauh merasa berdosa terhadap dirinya sendiri ketika dia harus mengorbankan mimpinya untuk hal yang tak disukainya.
Reline telah menginspirasi Bistan untuk tidak menjadi orang yang hipokrit lagi. Jadi kali ini dia memutuskan untuk berterus terang dan tak menjanjikan apapun kepada ayahnya lagi. Dia percaya, selama dia masih memilih sesuatu yang baik dan positif dalam hidupnya dan tidak merugikan orang lain, sesungguhnya alam semesta akan mendengar itu, dan Tuhan akan merestuinya, meski orangtuanya tidak.
Sebab, yang Bistan tau adalah, dunia ini materialistik. Orangtua menyuruh anaknya untuk kuliah agar bisa mengumpulkan kemewahan dan kementerengan agar dipandang baik oleh orang-orang. Lagi-lagi ini perihal materill. Bila Bistan bisa mengumpulkan itu dengan jerih payahnya sendiri, suatu saat nanti ayahnya akan memercayainya kembali.
Bistan menarik napas kuat-kuat. Membuang kegugupannya yang besar. Karena kejujuran adalah hal yang terberat. “Aku... aku memutuskan untuk nggak melanjutkan kuliah lagi, Yah.”
Sanjaya membelalak dengan ganasnya. Seakan mata predator menguasainya. “Apa-apaan kamu!?”
“Ayah cuma mementingkan diri Ayah sendiri. Ayah paksa aku untuk menjadi seseorang yang bukan aku. Ayah melakukan semua itu hanya demi perusahaan Ayah. Demi sesuatu yang nggak aku suka. Aku capek harus berpura-pura, Yah!” wajahnya memerah. Beribu gejolak yang selama ini terpendam, terucap sudah. Selama ini Bistan terlalu takut untuk berkata jujur.
Sanjaya mengepal jemarinya. Dia menahan amarahnya yang sudah dipangkal tubuhnya, namun mengendap dihatinya yang terdalam. “Sekarang, kamu lakukan apa yang kamu suka. Jangan minta bantuan Ayah kalau kamu lagi susah!”
Akhirnya, kalimat yang Bistan gentarkan selama ini menjadi kenyataan. Pilihan hidupnya akan menjadi konsekuensinya kelak. Tapi dia selalu mengingat perkataan Reline. Baik, buruknya suatu nasib manusia itu merupakan hasil dari manifestasi orang itu masing-masing.
Terkadang hidup itu perkara peruntungan, saat kamu gagal, cobalah menanam dengan skala yang lebih besar, siapa tahu peruntungan itu tercipta dari kegagalanmu yang terdahulu, namun kali ini kamu akan mendapatkan hasil yang lebih besar pula.
Sebab halnya, peruntungan itu perkara waktu. Bila saat ini waktu belum menunjukan kapan peruntungan itu. Mungkin dia ada di waktu-waktu yang lain. Tapi perkara konsisten itu perlu. Kerja keras yang dilakukan secara tidak konsisten, akan menjauhkan kamu dari peruntungan yang seharusnya kamu dapatkan.
“Reline... Reline...” saat ini Bistan sedang memikirkan semua perkataan Reline yang pernah diucapkannya. Reline itu sudah dia anggap sebagai sahabat, saudara, bahkan gurunya sendiri. Bistan tidak mungkin melakukan semua ini tanpa doktrin dari Reline. Namun pendiriannya untuk tetap menjadi seorang yang mandiri itu, tetap menjadi tujuan utamanya sejak awal.
Dia menelepon Reline untuk menceritakan apa yang dialaminya malam ini. Bermodalkan guling dan bantal yang empuk, ia menyandarkan punggungnya dan mencari posisi yang nyaman, lalu mulai menunggu jawaban dari Reline di sana.
“Halo?” terdengar suara sumbang dari ujung ponsel pintarnya.
“Lin... Aku mau cerita....”
“.... Sama aku juga.” Sahutnya dari sana tak mau kalah.
“Ya, udah. Kamu duluan.” Pinta Bistan.
“Aku jujur sama abang aku kalau selama ini aku bohong sama dia, tapi tadi aku jujur kalau aku sudah nggak melamar pekerjaan lagi.” Tidak ada penyesalan dalam tekanan suaranya.
Matanya yang terasa gatal, digosoknya beberapa kali oleh jarinya. “Berarti kita sama dong!” ujarnya bersemangat. Merasa kalau dia bukanlah satu-satunya orang yang telah berkata jujur. “Aku juga jujur sama Ayah, kalau aku nggak nyaman kuliah, apalagi aku merasa salah jurusan.”
Ada tanda tanya besar yang menunggu di sana. “Jadi kamu....” namun Reline lebih senang bila Bistan yang berkenan untuk menjelaskannya.
“Iya... Aku memutuskan untuk nggak melanjutkan kuliah lagi.”
Seketika Reline menyambar kalimatnya dengan cepat. “Kenapa?”
Bistan agak bingung dengan pertanyaan Reline yang terkesan tidak berpihak dengannya. “Kenapa? Kok kamu malah merasa khawatir gitu? Seharusnya kamu senang karena aku berani jujur.”
“Oke... aku senang kamu berani jujur, tapi kamu nggak seharusnya bilang kalau kamu mau berhenti kuliah. Kamu itu sudah semester akhir, kamu hanya perlu menyelesaikan skripsi kamu aja, Bi!”
“Tapi kan, aku nggak menikmati semua itu. Gimana aku mau menyelesaikan skripsi kalau aku bingung mau memulainya dari mana.”
“Apa yang sudah terlanjur kamu kerjakan, ya selesaikan! Mungkin selama ini kamu merasa terpaksa kuliah dijurusan itu karena ayah kamu. Tapi kenapa nggak dari dulu, Bi? Kenapa harus tanggung begini. Mulai sekarang, coba selesaikan skripsi kamu. Hitung-hitung itu tambahan ilmu kamu di bidang yang lain. Di bidang yang bahkan nggak kamu suka. Tapi setelah itu kamu boleh memilih jalan kamu sendiri. Menurut kemampuan dan apa yang kamu suka.”
Apa yang dikatakan Reline ada benarnya juga. Seharusnya Bistan menyelesaikan tanggungjawabnya yang sudah terlanjur berjalan. Dia tak boleh kepalang tanggung dalam urusan pendidikan seperti ini.
Dia jadi menyesali semuanya. Pertama, dia menyesal karena kenapa tidak dari dulu saja dia menentang kemauan ayahnya dan memilih kata hatinya. Dan yang kedua, kenapa dia berbicara seperti itu kepada ayahnya, mengatakan bahwa ia akan berhenti kuliah.
Setidaknya penyesalan itu akan lenyap dengan satu alasan ini. Reline tidak tahu menahu tentang rencana ayahnya yang akan menjadikannya karyawan diperusahaan ayahnya sendiri. Meskipun menurut orang kebanyakan itu adalah sesuatu yang baik dan semestinya Bistan bersyukur karena dia terlahir sebagai seorang anak pengusaha yang akan mewarisi usaha ayahnya.
Tapi tidak demikian bagi Bistan, dia tidak ingin menjilat hasil kerja keras ayahnya yang telah berhasil membangun usahanya hingga ke puncak ini. Bistan memiliki jalan hidupnya yang lain, jalan hidup yang hanya direstui dirinya sendiri untuk saat ini.
“Dan aku nggak mau kerja di perusahaan ayahku sendiri. Aku nggak mau Reline. Meskipun aku diangkat jadi bos sekalipun di sana. Aku tetap nggak mau. Aku ingin berhasil lewat caraku sendiri.”
“Kalau kamu bisa menghandle semuanya, kenapa engga?”
***
Mereka duduk punggung-memunggung di sebuah taman. Tanah berumput menjadi alas mereka dalam sejuknya udara sore. Sudah lima belas menit mereka tidak berbicara. Padahal seharusnya, hari ini mereka ingin melanjutkan project video itu.
Pecahnya tawa seorang anak perempuan di depan sana–yang sedang bermain dengan teman laki-lakinya, membuat Bistan tak kuasa untuk berbicara.
“Katanya mau ngelanjutin buat video?” Bistan memutar kepalanya ke samping. Meskipun dia tidak melihat wajah Reline karena membelakanginya, setidaknya dia harus menghormati sedikit wanita di belakangnya itu.
Tak ada jawaban dari Reline. Bistan meresahkan perbincangannya di telepon malam itu bersama Reline. Mungkinkah Reline marah kepadanya karena dia begitu bodoh untuk tidak melanjutkan kuliahnya?
“Kamu nggak usah khawatir. Aku udah bilang ke Ayah, kalau aku mau selesain kuliah.”
Reline memicingkan matanya dengan wajar. “Oh, bagus deh.”
Bistan masih tak menerima perlakuan Reline terhadapnya. Ada apa dengan dia? Tak seperti biasanya. Bistan bangkit dengan cepat dan duduk bersila tepat di hadapan Reline, sambil memegang tangannya. “Kamu kenapa?” sekarang, Bistan yang merasa khawatir dengan Reline.
“Berada di zona aman itu memang ada baiknya. Kita nggak perlu repot-repot, susah payah buat mengejar sesuatu yang entah sampai kapan.” Ucapnya tiba-tiba. Lagi-lagi kalimat Reline selalu membuat Bistan kebingungan.
“Enigma apa lagi, Lin... Yang harus aku pecahkan?!” Bistan membuat humor dengan aktingnya seperti di opera. Reline pun tersenyum, lalu memukul telapak tangannya.
“Aku serius.” Rasa humor itu perlahan sirna dari mata Bistan. “Kamu kenapa?”
“Naskah novel aku ditolak lagi sama penerbit. Menurut mereka, cerita yang aku buat kurang menarik.” Reline terlihat tak bergairah mengungkapkannya.
“Uh, cayang...” Bistan merupakan pemuda arogan yang menjijikan, pantas saja Reline selalu ingin memukul wajahnya. “Kacian kamu...” imbuhnya, membuat Reline semakin membencinya.
“Nggak usah kaya gitu, deh! Kamu nggak ngasih solusi apapun.”
“Baru kali ini aku ngeliat seorang Reline putus asa.”
“Empat novel, Bi... Selalu ditolak!” ia menegaskan.
“Loh, ada apa dengan empat novel yang ditolak? Bukannya kamu bilang sama aku kalau kamu akan tetap menulis sampai kamu mati? Empat novel itu nggak ada apa-apanya, Lin. Umur kamu masih panjang. Masih ada kesempatan untuk kamu berjuang.” Ungkapan Bistan membuat rasa percaya diri Reline tergugah kembali.
Semestinya Reline sadar, ucapan yang barusan Bistan katakan merupakan manisfestasi dari kalimat-kalimat yang pernah dia ucapkan dahulu. Reline yang selalu memiliki ambisi dan optimistis yang tinggi. Reline yang tak mudah menyerah. Dan Reline yang selalu bertahan dalam kondisi apapun. Setidaknya, dia kembali tersadar bahwa empat novelnya yang ditolak bukanlah akhir dari dunia.
Anggukan Reline membuat Bistan yakin dengan ucapannya. Dia tahu kalau Reline akan tetap berjuang demi mimpinya menerbitkan buku. Karena suatu hari akan menjadi hari di mana seseorang akan bangga dengan apa yang ditanamnya di hari ini. Bistan menganggap kalau di masa ini, Reline masih menanam benih-benih itu. Dan alam semesta akan menggiringnya menjadi sesuatu yang bisa dipetik di kemudian hari.
“Ya, udah... Kalau gitu kita lanjutin take videonya.” Pinta Bistan mengakhiri desahan Reline atas kabar buruknya.
Reline mengangguk. “Sekarang kita cari seseorang yang mau jadi public experiment.”
Satu jam sudah berlalu, Reline dan Bistan belum jua mendapatkan seseorang yang mau jadi public experiment untuk project videonya. Mereka menolaknya dengan alasan sibuk, sedang buru-buru atau semacamnya. Ada sebagian yang mau menjadi public experiment namun setelah mengetahui tema dari konten video ini mengenai kejujuran, akhirnya mereka memutuskan untuk mengundurkan diri. Sebegitu susahnya, kah, jujur itu?
“Gimana, ya? Dari tadi susah banget nyari orang yang mau.” Keluh Bistan dengan dahi yang dipenuhi peluh.
Reline tak menggubris keluh kesah Bistan. Dia menghampiri seorang anak jalanan yang penampilannya begitu lusuh dan tak terurus. Dua anak jalanan itu terduduk dipinggir jalan sambil membawa ukulele. Kira-kira usia kedua remaja laki-laki itu adalah tiga belas tahun.
“Dek, permisi. Kakak mau minta bantuan boleh nggak?”
Bistan terkejut melihat tindakan Reline yang diluar dugaannya. Apa lagi yang mau dia perbuat?
Salah satu anak remaja itu menjawab dengan cengengesan. “Bantuan apa, Ka?”
“Kamu mau nggak ikut project Kakak?” kedua remaja laki-laki itu saling menyenggol satu sama lain sembari cengengesan. Mereka bingung juga dengan tawaran Reline itu–mereka tidak paham dengan ajakan Reline.
Reline menyadari kekeliruannya. Dia segera mengenalkan diri. “Nama kalian siapa?”
“Saya Doni, Ka.” kata anak remaja yang poni rambutnya di cat merah.
“Saya Asep.” Remaja yang satu ini malu-malu sambil terus cengengesan tidak bisa diam.
Bistan menunggu Reline di seberang jalan. Dia tergeming sekian lama tanpa ada niatan untuk menghampiri Reline. Tingkat sosial yang tinggi dari seorang Bistan, mengurungkan niatnya untuk berbaur dengan anak jalanan seperti itu. Bistan lelaki yang sangat jual mahal.
Reline memutuskan untuk melakukan pendekatan dengan bicara empat mata bersama dua anak remaja ini. Mereka menceritakan kegiatan mereka di jalanan sebagai pengamen dan anak yang kurang beruntung. Mereka putus sekolah di bangku sekolah menengah pertama. Yang satunya, hanya sekolah sampai di bangku tiga sekolah dasar.
Setelah hampir setengah jam mereka berbincang, Reline mengerling kepada Bistan di seberang sana–yang sibuk bermain dengan kameranya, diam-diam ternyata Bistan memotret dan merekam Reline bersama dua anak remaja tersebut.
Tangan Reline melambai di udara. Mengisyaratkan Bistan untuk segera menghampirinya. Bistan dengan setengah hati akhirnya menghampiri Reline.
“Kita mulai take aja, tadi aku udah ngasih arahan sama mereka.”
Bistan terdiam dengan wajah datarnya yang khas. Dia tak menunjukan sikap apapun kecuali menuruti perkataan Reline. Mempersiapkan tripod dan kamera yang dibawanya. Sambil menunggu itu semua, Reline kembali memberikan arahan kepada dua remaja itu.
“Camera... roll and action!” dua remaja itu tertawa saat kamera sudah siap merekam mereka. Akhirnya, Reline menyuruh mereka untuk lebih serius lagi.
Setelah hampir empat kali gagal, Bistan terlihat kelelahan dan perasaan hatinya mulai tidak baik. “Mereka nggak bisa, Lin!” ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan desahan halus. “Nggak usah dipaksa.” Kali ini nadanya lebih diredam. Dan dia menghindari kontak mata dengan dua anak remaja itu.
Reline menatap mata Bistan lekat-lekat. “Kita bukan lagi nyari aktor. Mereka juga bukan lagi casting. Jadi wajar kalau mereka nggak bisa. Kita harus lebih sabar! Dan mereka memang harus senatural mungkin."
Reline masih memperjuangkan kedua remaja itu–bersikukuh kalau mereka bisa. Ia ingin suara mereka berdua mewakili jutaan anak yang sama seperti mereka. Dunia harus tahu keluh kesah mereka. Agar negeri tercinta yang bernama Nusantara ini tidak diam begitu saja. Karena selama ini tidak ada media yang menyalurkan kegelisahan mereka. Diluar sana, mereka hanya menjadi diskriminasi sosial tanpa tahu lebih dalam apa yang mereka rasakan.
“Oke. Kalian sendiri-sendiri aja. Kalau berdua kalian cengengesan mulu.” Reline memisahkan mereka. Membawa Asep keluar dari frame kamera. “Kakak nggak nyuruh kalian akting di sini. Kakak bukan lagi nyari pemain film. Kakak cuma mau kalian sejujur mungkin, senatural mungkin, ungkapin aja semuanya. Keluh kesah kalian. Kalian pernah, kan, berkeluh kesah dengan Tuhan? Mengungkapkan kekesalan hati kalian? Cuma memang kalian harus lebih serius. Redam dulu ketawanya. Oke!”
Reline menatap keduanya dengan bimbang dan nanar, namun penuh dengan kesabaran. Entah, dia harus memberikan pengarahan seperti apa lagi untuk mereka berdua. “Kamu pernah ngeluh, kan?”
“Pernah, Kak.”
“Ya, udah. Kamu ngeluh aja di depan kamera. Tapi jangan pakai kata-kata kasar atau jorok. Seakan kamera itu bertanggung jawab sama hidup kalian.” Doni mengangguk antusias. Dia sudah tidak sabar untuk memulai aksinya di depan kamera.
Bistan kembali bersiap. “Camera... Rolling and action!”
“Gue capek kalo harus ngamen! Gue nggak mau ngabisin masa remaja gue di jalanan Ibu Kota yang keras. Gue mau hidup seperti kalian yang beruntung. Bisa makan enak, sekolah, pake fasilitas yang layak.” Kenaturalan Doni terlihat tanpa perlu dibimbing sekian kalinya oleh Reline. “Seenggaknya, tolonglah jangan biarin gue kelaparan di jalanan. Dan, tolonglah sedikit lebih adil sama anak jalanan kaya gue.”
Ketika Doni terus berbicara mengungkapkan perasaan hatinya. Reline terlihat lirih mengamatinya dari layar kamera, sesekali dia menatap langsung kepedihan Doni di depan sana. Tak pernah terpikirkan olehnya, hal-hal sosial yang sering terabaikan justru berdampak besar bagi pelajaran hidup. Dia kira, kehidupannya saja yang paling tidak adil jika dilihat dari sudut pandangnya. Tetapi dia salah ketika menemui dua anak ini.
***
“Lupakan sejenak karut marut dunia. Semesta nggak butuh tangan kotor kita. Kita semua hipokrit. Apa istimewanya kita yang sok peduli, bukankah hakikiatnya Bumi sudah seimbang. Namun tangan kita begitu serakah dan ingin selalu ikut campur, yang akhirnya malah merusak.”
Reline berbicara dengan visualisasi yang menakjubkan dalam video yang sedang diputar. Ia berjalan membelakangi kamera, lalu seorang Bistan berjalan menghampirinya. Mulanya, wajah Bistan samar dan hampir tak dikenali. Tapi semakin dia mendekat, wajahnya semakin jelas.
Tiba-tiba, gambarnya gelap. Kemudian muncul wajah seorang wanita di layar. Garis-garis wajahnya menggambarkan ketegangan, emosional, marah, sedih, cemas, dan sedikit subtil. Mulutnya menganga sedikit sebelum ia mulai berbicara.
“Saya malu menjadi diri saya sendiri.” Kamera menunjukkan perawakannya yang super kurus dengan pakaiannya yang minim. “Saya benci menjalani profesi ini. Tapi keadaan menuntut saya menjadi seperti ini. Tanpa saya sadari, dunia telah membawa saya pada neraka. Namun disatu sisi, saya menikmatinya. Meski harus menanggung malu.”
Kini, gambar memperlihatkan seorang pemuda dengan wajah tampan. Alisnya tebal dan dia memiliki lesung pipit, terlihat saat dia merekatkan bibir–seolah memakhlumi sesuatu. “Saya berpura-pura bahagia di media sosial. Memamerkan life style yang mewah kepada semua orang. Tapi dibalik itu semua, keluarga saya hancur. Saya broken home. Itu membuat jiwa saya hampa. Karena itu, saya selalu ingin dipuji, dan dilihat baik-baik saja oleh orang lain...” suara denging terdengar dan gambar berubah menjadi warna hitam.
Reline kembali muncul. “Apalah kita dengan kepura-puraan. Disatu sisi itu menyenangkan buat orang lain. Disis lain, jiwa kita terkekang oleh zaman.”
Bistan tepuk tangan menghadap layar laptopnya. Di sampingnya, Reline tersipu malu sambil tersenyum bahagia.
“Kita memecahkan rekor, Lin” Bistan memeluk Reline dengan satu lengannya. “Ini konten video pertama kita yang berhasil nembus dua puluh ribu orang dalam waktu seminggu.” Mereka melemparkan semangat melalui telapak tangan mereka yang saling menyatu. “Dan subscriber kita juga makin nambah.”
Bistan memeluk Reline dalam ruangan yang bisu. Benda-benda mati seolah tersenyum kepada mereka. Poster Kurt Cobain seakan menatap mereka dengan semringah.
“Jangan lama-lama meluknya!” Reline melepaskan dekapan itu dengan perlahan.
“Aku mau ngomong sesuatu.” Kata Bistan.
“Jangan nembak aku, ya!” niatan Bistan dipatahkan oleh Reline.
Lalu dia menjawab dengan lantang.
“Siapa juga yang mau nembak!”
Reline terkikik tak tertahankan. Sementara Bistan kembali melanjutkan ucapannya. “Aku mau menyelesaikan skripsi aku. Setelah lulus, aku mau melamar kamu.”
“Jahat ya kamu!” ketus Reline. “Kamu nggak nembak aku, tapi malah mau ngelamar aku?”
“Loh, katanya kamu nggak mau ditembak. Ya, udah aku lamar aja.”
“Kamu mau nafkahin aku dari hasil pendapatan di youtube kita?” Humor diantara mereka tak kunjung dingin, seperti suhu tubuh mereka saat ini.
Bistan terkekeh-kekeh hingga mengeluarkan air mata.
Kisah mereka pun berlanjut dalam dunia fiksi di pikiran kamu yang mungkin ingin melanjutkannya. Tetapi sayangnya, kisah mereka usai dalam cerpin ini. Terima kasih untuk kalian yang sudah meluangkan waktu untuk membaca.
Photo by Wattpad/Seaweed and Wise
0 komentar