Mata pasit seorang anak laki-laki terpaksa terbuka lebar-lebar.
“Mimpinya…!” aksentuasi hebat keluar dari mulutnya. Tubuhnya terangkat dari kasur malasnya. Tepatnya bukan kasur, tapi hanya lapik berupa sarung bermotif kotak-kotak yang didominasi warna hijau gadung. Anak laki-laki itu tidak percaya, setelah tiga hari tidak bertemu dengan perempuan itu, akhirnya mimpi tersebut membawanya kembali ke dalam situasi dilema.
Dia termenung seperti hilang akal. Secepat presto, bibirnya menyeringai penuh kesedihan. Semakin kuat, hingga air mata tiba-tiba meluncur membasahi kedua pipinya. Urat-urat di leher dan dahinya terentang tegang. Di ruangan sesunyi ini ia biarkan air mata itu mengalir. Tak ada yang bisa ia ucapkan lagi, selain kesedihan.
Firdan, sebuah nama yang diberikan oleh bapak dan ibunya. Entah kenapa orang tuanya menamainya seperti itu. Sayangnya, bapak dan ibunya sudah tiada. Bapaknya sudah terlebih dahulu menghadap Tuhan Yang Maha Esa, enam tahun yang lalu saat usianya 17 tahun. Sementara ibunya, baru saja menyusul tiga hari yang lalu. Ini mengapa, penyesalan itu begitu mengikatnya.
Anak laki-laki bermata agak sipit, berpipi tirus, berkulit sawo matang dan berhidung mancung ini sedang mengalami hari-hari rentannya. Baru tiga hari yang lalu ibunya meninggal dunia akibat penyakit jantung. Dan tepat pukul dua pagi, ia dibangunkan oleh adegan kecil dari mimpinya. Dimimpi tersebut, Firdan dan ibunya saling bercakap di ruang tamu, percakapan itu sangat hangat. Namun nyatanya, dahulu ia selalu bertengkar dengan ibunya setiap kali berbicara. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja mereka dapat akur. Memang, hal absurd datangnya selalu dalam mimpi.
***
Raungan tangis membumbung ke ruangan. Firdan semakin histeris membayangkan tindakan memilukan yang pernah ia perbuat terhadap almarhumah ibunya. Tak ada yang bisa ia perbaiki sekarang, semua sudah menjadi syair penyesalan. Ibunya sudah tiada. Permintaan maafnya pun tak pernah terlontarkan darinya. Dia hanya bisa menikmati derita ini dengan sebaik mungkin.
Dalam alunan tangis yang menjadi-jadi. Sesekali ia berteriak kecil, ia tidak ingin abang kandungnya mendengar tangisannya. Dia pun hanya menganga tanpa mengeluarkan suara. Meski air mata itu mengalir sederas arus Niagara.
Firdan tak pernah sesedih ini saat ditinggal seseorang, ketika ayahnya meninggal, cinta bertepuk sebelah tangan, diputuskan pacar atau dipukuli sekalipun. Air mata penyesalan ini hanya tumpah untuk kepergian ibunya, tidak yang lain.
Dengih napas yang tersekat. Degap dan pulsasi jantung menggemuruh. Sekali lagi ia berteriak tanpa mengeluarkan suara. Penyesalan itu… membawanya kembali ke satu penyesalan selanjutnya.
Namun tanpa Firdan sadar, perutnya terkelik karena kelaparan. Ditengah-tengah tangisan itu, ada saja penderitaan yang harus dia rasakan. Memang sejak dari pagi Firdan belum memasukan apa-apa ke perutnya, kecuali air putih. Tak ada masakan hangat yang biasa tersaji di dapur. Dapur terasa lebih sunyi dan mematikan sejak ibunya tiada.
Sebagai anak laki-laki, Firdan memiliki nafsu makan yang besar. Namun ia tidak pernah mensyukuri makanan yang dulu selalu dihidangkan oleh ibunya. Dia memilih makan di luar dan menghabiskan lebih banyak uang hanya untuk membeli makanan. Sekarang ia menyadari betapa lezat makanan ibunya itu.
Kali ini Firdan menangis dengan suara yang terputus-putus. Dia mengenang tindakan arogannya ketika ibunya masih ada. Dia sangat menyesal. Bahkan dalam keadaan perut keroncongan, ia jadi rindu masakan ibunya. Betapa bodohnya dia, selalu menolak masakan lezat ibunya. Padahal ia tahu, jerih payah yang dilakukan ibunya sangat besar.
“Bu, maafin Firdan!” ucapnya lirih. Cairan bening berlomba keluar dari mata dan hidungnya. “Firdan nyesel, Bu. Firdan kangen sama Ibu.”
0 komentar