Pagi ini hari terakhir April kuliah, ia akan memasuki libur akhir semester selama dua bulan penuh. Tak ada rencana apapun selain mengurung diri di kamar untuk menulis novel kelima, yang sampai saat ini belum kunjung ditemukan pangkal ceritanya."You can't wait for inspiration. You have to go after it with a club." Jack London
Sekarang ini semuanya terasa berbeda. April seolah berada di titik jenuh dengan statusnya sebagai seorang penulis fiksi. Dia kesulitan menciptakan tokoh–tokoh fiktif yang baru, kisah yang segar dan plot yang mengaggumkan. Inspirasinya seolah tersendat seperti saluran irigasi yang tersumbat lumpur.
Seolah roh dalam tubunya melayang entah ke mana. Dia tidak memiliki gairah untuk menulis novel fiksi. Namun di luar sana, para pembaca setianya sangat menantikan novel April berikutnya.
Selain kuliah, April juga bekerja part time. Dalam sehari April membuang waktunya selama empat jam untuk bekerja di toko aksesoris milik kakak sepupunya. Dilakukannya setiap hari sehabis pulang dari kampus, tepatnya pukul 3 sore hingga 7 malam. Semua ini ia lakukan bukan ingin mendapatkan uang semata, tetapi dia dan kakak sepupunya memang sangat menyukai aksesoris rumah maupun aksesoris pelengkap tubuh, khususnya yang berbau vintage dan retro. Usaha ini pun tercipta berkat ide April juga, meski semua modalnya berasal dari kakak sepupunya.
Disana ia bekerja sebagai pelayan, namun semisal kakak sepupunya tidak ada, secara otomat April juga harus menjadi penjaga kasir. Dia bisa menghabiskan waktu untuk mengelilingi ruangan yang luasnya sepuluh kali tujuh meter, memastikan kalau barang tidak ada yang minggat dari etalase. Maklumlah, toko aksesoris itu hanya memiliki dua karyawan yang sama–sama sibuk, April dan kakak sepupunya yang bernama Manda. Bahkan bila mereka berdua benar–benar sibuk dengan tugas masing–masing di luar itu, toko tersebut dibiarkan tutup selama beberapa hari.
Tak bisa dipungkiri, beberapa ide cerita yang pernah April selipkan di novel terdahulunya, ia dapatkan dari pengalamannya bekerja di toko. Contohnya saja ketika seorang pria berkacamata dengan rambut berponi membeli satu gantungan kunci berbentuk Mini Mouse. Dia berjalan gugup ke arah kasir yang terdapat dirinya. Tidak berani menatap mata April yang menyambutnya dengan lembut. Saat pria itu membayar gantungan kunci, anehnya pria itu malah bergegas meninggalkan toko tanpa membawa gantungan kunci yang sudah dibungkus rapi dengan plastik oleh April. Ini membuat April panik dan memanggil pria itu. Namun pria itu hilang begitu cepat ketika April berusaha mengejarnya. Setelah kejadian itu, April tidak pernah bertemu pria itu lagi selama seminggu.
Tapi siapa sangka, pria bermata sipit yang meninggalkan gantungan kunci di meja kasir itu menjadi kekasih April sekarang. April baru memaknai apa itu afeksi yang sebenarnya.
Pria berkacamata itu memang sengaja meninggalkan gantungan kunci di meja kasir sebagai perkenalannya. Ia tidak berani memperkenalkan dirinya langsung kepada April. Pria tersebut sudah lama menyukai April ketika melihatnya menjadi pelayan di toko aksesoris itu. Apalagi semenjak mengetahui bahwa April adalah seorang penulis novel. Dia semakin menggebu untuk mengenal April lebih dalam.
April juga merasa tidak asing dengan wajah pria itu, dalam seminggu ia bisa menemukan wajah yang sama di toko tempatnya bekerja. Sekarang mereka telah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih sejak satu tahun yang lalu dan sebentar lagi akan memasuki tahun kedua.
***
Tangan kanan berkulit putih meraih kenop pintu dan membukanya. Abar pintu menutup sendiri secara perlahan tanpa mengeluarkan suara. April terkejut saat melihat Ralan berdiri di depan mesin kasir. Ralan menyambut April layaknya pelayan toko. Tapi tidak sungguh–sungguh seperti pelayan toko. Dia hanya terlihat tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Ralan... Kamu ngapain di situ?" April tersenyum semringah melihat Ralan, si pria kutu buku.
Ralan tak kalah semangatnya untuk memberikan senyum tulusnya.
Toko aksesoris ini memiliki ciri khas tersendiri dari toko–toko lain di sebelahnya. Ia terlihat begitu demonstratif dengan interior bergaya vintage. Ketika seseorang masuk ke dalam toko tersebut, ia akan bernostalgia kejaman The Rolling Stones berjaya di negeri Paman Sam pada era 70-an.
Dinding yang berwarna dasar cokelat cornsilk, di tambah beberapa wallpaper berupa poster–poster jadul yang tertempel di beberapa sudut ruangan, menciptakan kesan kitsch yang mendalam.
Didukung dengan kombinasi lampu led track di sudut atas ruangan. Lampu biasa di tengah–tengah ruangan dan lampu gambar pada pojok ruangan. Beberapa etalase diganti menggunakan rak buku terbuka berwarna putih. Ada juga lampu sconce yang ditempatkan di bidang atas rak buku untuk menyoroti isi rak.
Di ruangan tengah terdapat layar lipat yang digunakan sebagai pembatas ruang untuk furnitur yang lebih besar. Pembatas berbentuk pintu masuk, berpartisi layar lipat kayu solid antik tua, bergaya American country yang terbuat dari kayu besi.
April dan Manda sangat memerhitungkan dengan detail sebelum memutuskan untuk memulai sebuah usaha. Termasuk dekorasi toko itu sendiri. Mereka memang tidak pernah setengah–setengah dalam melakukan sesuatu. Kematangan dan atomistis sangat diperlukan bagi mereka. Tak heran jika ada beberapa dekorasi yang mereka beli di luar negeri.
"Manda mana?" April menunjuk kasir dan kepalanya menoleh ke kanan–kiri.
Ralan terbelengah cemas. Dia merasakan bahwa dirinya salah karena sudah berada di depan kasir. Lagi pula dia terlalu kaku dan sengap. Bukankah seorang kasir harus ramah dan banyak menyapa.
Ralan terbata–bata. "Hhhh... Man.. Manda... tadi, keluar..." lagi dan lagi, Ralan tampak terlihat takut dan gugup setiap kali melakukan sesuatu. Dia khawatir jika apa yang dilakukannya salah dimata orang lain, apalagi dimata April.
April mengangguk perlahan dan merekatkan bibirnya dalam–dalam. Dia masuk ke dalam kasir, berada di samping Ralan, meletakan tas dan bukunya di sana.
"Dia udah lama keluar? Apa gimana?" tanya April kembali. Kali ini tatapannya sangat erat.
"Iya... Kira–kira..." Ralan mengulur ucapannya, dia melirik jam tangan di tangan kirinya. "... sejam yang lalu." katanya yakin.
April tercengang, "Jadi, kamu..."
"Iya, aku udah di sini dari dua jam yang lalu."
"Kamu udah makan belum?” April memandangnya penuh kekaguman. Sesekali matanya menatap dengan lekat dan dalam. Dia selangkah mendekatkan diri kepada Ralan. Dan membuatnya gugup.
Ralan mengimbangi pijakan kakinya. Dia dilema, antara ingin bertahan dengan posisinya atau mundur selangkah karena kegugupannya terhadap April. Betapa gugupnya ia, hingga harus menelan ludah beberapa kali karena napasnya terasa tersekat, dan sesekali air keringat meluncur dari kepalanya yang semakin mengabsahkan kegugupannya bila sedang dihadapkan dengan sang wanita pujaan.
"Belum." sahutnya dengan mulut yang tertahan.
"Iya, udah. Kalau gitu kita makan dulu, yuk!" April bersemangat.
Jam sudah menunjukan pukul dua siang, dan mereka berdua belum menyentuh makanan berat dari tadi pagi. Ralan sempat meragukan ajakan April itu, meski sejujurnya dia juga sangat kelaparan. Perutnya sudah berkali–kali berbunyi. Namun amanah yang dilabuhkan kepadanya untuk menjaga toko selama Manda keluar, tidak bisa dienyahkannya begitu saja.
April memaksanya. Ia menyepelekan toko itu, dan menyuruh untuk menutupnya selama mereka keluar untuk makan siang. Ralan tak pernah bisa menolak kehendak April. Dia pun menyetujuinya. Tetapi ketika mereka sudah berada di hadapan pintu toko, dan Ralan baru saja ingin membalikan papan bertuliskan open menjadi close, seorang pria tinggi bertubuh agam membuka pintu toko dan mengaggetkan mereka berdua.
"Maaf, Mas...?" April mengalihkan dan menghentikan pria berbaju basterop yang ingin memasuki toko. Sebelumnya ia saling berpandangan mata dengan Ralan. "Tokonya mau ditutup, Mas. Buka lagi jam tiga sore. Maaf sebelumnya..." April berhati–hati mengatakannya. Takut membuat pembeli itu marah.
Pria yang terbilang tampan itu memandang April cukup lama lalu bingkas dengan wajar.
***
Mereka sedang menikmati makan siang di sebuah rumah makan soto betawi yang tidak jauh dari toko aksesorisnya. Suasana rumah makan yang cukup ramai membuat mereka harus berbicara jauh lebih keras dan bertenaga.
"Ka April, ya?" pekik seorang gadis remaja mengenakan jilbab putih. Dia tidak seorang diri, di belakangnya ada dua orang teman yang sama–sama mengenakan jilbab. Gadis tersebut menatap April dengan senyum cerianya, sekaligus memastikan apa benar wajah itu wajah yang dimaksudkannya.
"Iya..." ucap April rendah.
"Ya Allah, Kak. Kakak yang penulis itu bukan, sih?" tanyanya untuk memastikan kembali.
April mengangguk perlahan dan tersenyum.
"Kebetulan banget ketemu Kakak di sini. Aku ngoleksi keempat novel Kakak, loh." gadis remaja ini sangat energik.
"Oh..." April tertawa ramah. "Makasih, ya."
Gadis itu melirik kedua temannya yang ikut terlihat bahagia, meski sepertinya mereka tidak terlalu mengenal April.
"Kak, kapan novel kelimanya rilis? Aku nungguin banget loh, Kak. Udah setahun nih, Kak?!" renyehan gadis itu membuat April lirih.
"Doain aja, ya..." April tersenyum simpul. Wajahnya tampak berbinar, namun tertutup bayangan gelap.
Gadis berhidung pipih itu meminta salah satu temannya untuk mengambil fotonya bersama April. Sungguh April sangat tidak keberatan bila ada penggemarnya yang ingin berfoto bersamanya. Kemudian ketiga gadis berjilbab itu mengucapkan terima kasih dan pergi dari rumah makan tersebut.
***
Satu jari rimpang dan jari telunjuk menggelepar di badan laptop–tepat di bawah keyboard, di samping mouse pad. Kedua jemari itu seakan–akan meletik seraya burung albatros yang terbentur ombak selaba. Hingga menghasilkan bunyi legum yang rendah dan tipis. Ditambah intensitas cahaya bergejolak dari layar laptop, menyinari wajah April yang redum karena kebingungan.
Di layar laptopnya berlatar jelas Microsoft word yang kosong. Kosong, seperti pikiran April yang belum mendapat asupan imajinasi sejak novel keempat ia luncurkan. Entah mengapa semua ini menjadi begitu sulit untuknya. Padahal seharusnya ini sudah menjadi makanannya dari kecil.
April memang belum mendapatkan cerita yang adaptabel saja. Imajinasi motoriknya seolah lumpuh. Kinestesis untuk berimajinasi rasanya tidak ada. Kehidupan pribadinya juga sangat monoton dan begitu–begitu saja, tidak cukup menarik untuk dituliskan.
Sepertinya April harus rehat panjang dalam dunia penulisan. Memangnya, rehat selama setahun penuh itu masih kurang? Bukankah semakin lama dia tidak menulis, motoriknya semakin membeku.
From: Riani
riani007@gmail.com
To: Aprillia Andiara Kailani
aprildiarakailani@gmail.com
Date: Tue, Sep 6, 2017, 5:18 PM
Hallo Ka, Aku Riani Agatha Indah. Kakak masih ingat nggak sama aku? Aku penggemar setia Kakak. Kita pernah ngobrol–ngobrol bareng loh, pas jumpa fans dan sesi tanda tangan buku Kakak. Ternyata Kakak itu orangnya ramah, humble, terus lucu. Nggak tahu kenapa, aku suka banget sama semua novel Kakak. Inspiratif banget. Terus juga yang genre misterinya bikin deg–degan. Cerita-ceritanya bikin penasaran terus. Email ini mungkin satu–satunya media untuk bisa komunikasi sama Kakak. Abisnya sekarang Kakak udah nggak pernah balas komen–komen lagi di twitter sama instagram. Aku juga mau nanya sama Kakak, kapan nih, Kak April bikin novel yang kelimanya. Ayo dong Kak, berkarya terus. Aku tunggu loh Kak, aku kangen nih pengen dateng kesesi tanda tangan buku Kakak.
From: Angga Agara
weezzzolala@yahoo.com
To: Aprillia Andiara Kailani
aprildiarakailani@gmail.com
Date: Sun, Sep 3, 2017, 10.20 PM
Hei apa kabar Nyonya writer! Kapan nih ngirim naskah berikutnya? Bocah–bocah penerbit udah kangen nih, sama karya lo. Terutama si Pitak, dia udah nggak tahan pengen kerja sama ama lo lagi. Masalahnya si Dedum mau jadi asisten lo kalo novel kelima lo terbit. Ditunggu ya, Beb!
From: Ayu Sari
ayuesarimadu@gmail.com
To: Aprillia Andiara Kailani
aprildiarakailani@gmail.com
Date: Thu, Sep 1, 2017, 05.20 AM
Maaf Kak, email pagi–pagi. Cuma mau nanya. Kapan buku kelimanya terbit? Share–share info ya ke medsos. Thanks!
April tersenyum lindap ketika membaca beberapa email-nya. Dia merasa ada berat otak yang membebani pikirannya. Surel-surel itu tidak dapat memberikan inspirasi untuk novel kelimanya. Justru hanya membuatnya semakin pusing karena terus dituntut. April tak mengerti, seharusnya peringatan–peringatan itu dapat menjadi acuan untuk dirinya agar segera bangkit. Ada apa, sih, dengannya?
April tidak segera membalas email–email tersebut. Sebenarnya ada 20 email yang belum berani ia buka. Dia takut kalau isinya hanyalah sebuah tagihan untuk membuat novel kelimanya. Karena bukan kali ini saja April mendapatkan tuntutan karya dari penggemarnya. Di beberapa media sosial seperti facebook, twitter dan instagram pun penuh dengan permintaan karya novel kelimanya, yang bahkan sampai detik ini, inspirasinya masih samar–samar, atau mungkin memang tidak terpikirkan sama sekali.
Smartphone–nya berdering. Ada panggilan masuk dari Ralan. Tanpa begitu semangat, April mengambil smartphone–nya di meja dan menjawab panggilan itu.
"Iya… Hallo, Lan? Aku lagi pusing, nih... Dikejar–kejar tagihan buat bikin novel kelima." April menggaruk perlahan dahinya.
"Ide kamu bagus juga, sih." April melirik ke atas, memandang langit–langit dinding. Lalu seketika antusias dan bergelora. Dia menegakan posisi tubuhnya yang terduduk di kursi. "Oke! Besok kita ketemuan di cafe biasa. Nanti aku yang hubungi Lisa. Oke sayang, makasih ya idenya. Kita bahas besok. Bye..."
April tersenyum simpul sambil menggigit bibirnya. Dia terlihat begitu senang akan enigma tersebut. Syukurlah, setidaknya dia akan berhenti mencari alibi untuk menutupi ritual tengah malamnya itu.
0 komentar