Propaganda oportunistis dalam politik di Indonesia menyiratkan kecenderungan yang konservatif.
Akibatnya, bukan sistem pemerintahan saja yang gagal, tetapi tercetusnya demoralisasi bagi para anggotanya-para politisi. Semua menjadi mendarah daging dan generik dalam kurun waktu yang singkat.Terlihat dari kebobrokan anggotanya yang menerapkan sistem-sistem pemerintahan yang dibuatnya sendiri. Namun dengan sadar mereka melanggarnya. Pelanggar hukum bukanlah sosok yang buta akan hukum. Mereka masih bisa bernyanyi merdu disetiap janji-janjinya saat kampanye. Mempersilkan kementerengan dan sifat wibawanya yang tinggi. Menginfiltrasikan topeng di balik ‘partai politik’. Semua yang berada di dalamnya dianggap berkuasa dan mempunyai wewenang yang kuat.
Partai politik yang awalnya menjadi perancah dan menampung gagasan-gagasan baru, yang katanya untuk mensejahterahkan rakyat, justru malah mengambinghitamkan masyarakat itu sendiri. Menjadikannya jauh dari moral sosial. Dan menciptakan keserakahan semata. Juga, saling berpecah belah bak cermin yang jatuh.
Partai-partai berlomba memahat nama mereka dengan seindah mungkin. Mengamuflase kepada masyarakat bahwa dia lah yang harus dihormati karena ucapan-ucapan intelektualnya. Mencari dukungan dan suara terbanyak dengan topeng-topeng pestanya.
Politik menjembatani Indonesia, begitu sebaliknya. Namun birokrasi agama, wadah organisasi yang oportunis, agitasi, agresif ofensif, feodalisme, dan hukum buatan terlihat layaknya domino. Saling berkaitan, tapi juga saling menjatuhkan.
Banyak tokoh intelektual yang berkecimpung di dunia politik. Tapi sayangnya, keintelektualan yang mereka miliki hanya menjadi ajang pamer revolver. Lagi dan lagi, kehidupan bangsa ini harus menerima kenyataan miris tersebut.
Intelektual, menurut Gramsci, adalah suatu kelompok sosial otonom dan independen dan menempati posisi dalam suatu sistem hubungan di mana kegiatan-kegiatan mengambil tempat dalam sebuah hubungan-hubungan sosial yang kompleks. Seorang intelektual tidak berdiri di ruang hampa, namun bergerak dinamis di antara pusaran berbagai realitas sosial dan politik.
Kita sebagai rakyat hanya bisa mengikuti warisan resolusi dari pejuang terdahulu. Menikmati kehidupan yang konyol tapi nyata. Disorientasi yang terjadi sekarang ini mungkin tak dirasakan orang-orang yang haus akan kekuasaan.
Saya membayangkan betapa absolutnya politik dalam bangsa ini, atau mungkin di dunia. Semua berkaitan erat dengan kehidupan. Dari mulai ajang olahraga, media masa, perdagangan, hingga yang menyeramkan sekalipun seperti hotel prodeo. Kita tak bisa terlepas dalam lingkaran sistem buatan manusia ini.
Kalian tahu, bagaimana rasanya harga sembako di pasaran melambung tinggi, daging, cabai, gula, beras dan kebutuhan pokok lainnya? Iya, itu semua anaklisis pada algoritme sistem politik.
Menakutkan? Tentu saja menakutkan. Semua kehidupan dapat dimanipulasi dengan jabatan dan uang. Jiwa fanatisme dan nasionalisme hanya menjadi sejarah dari pejuang yang jasadnya terkubur di dalam tanah. Bangsa ini terasa terombang-ambing dilautan lepas. Kehadiran partai politik dan sistem pemerintahan bangsa ini lemah. Tak ada semangat juang.
Ibnu Khaldun menjelaskan, bahwa sebuah kepemimpinan yang telah diangkat sering terjebak dan tergelincir pada sifat-sifat kehewanan yang melahirkan kesombongan dan keangkuhan. Dan memang benar, itu yang terjadi pada masa ini.
Rakyat kecil melirih pilu dalam ketidakadilan yang mereka saksikan. Selama ini mereka telah mengikuti sistem pemerintahan bangsa, lalu mengapa keadilan masih impase? Semua sudah terjawabkan, amanah yang tak terlaksanakan dengan baik.
Kuntoro Mangunsubroto juga menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kedudukan tinggi dalam sebuah masyarakat, atau sebuah kesatuan tentara atau politik Negara galibnya memiliki ego yang besar bahkan super ego. (Intelejen; Catatan Harian Seorang Serdadu; Slamet Singgih, 2015)
Semakin berkuasa, seseorang akan semakin merusuk pada kedaulatan hukum. Kedaulatan Tuhan hanya dijadikan formalitas dan ritual saja. Dan secara tidak langsung, ini akan memengaruhi tingkah laku mereka kepada rakyat. Mereka akan segan mendengarkan suara rakyat dan lebih memilih mendengarkan orang-orang terdekatnya.
Lalu terjadilah kesenggangan kehidupan, misalnya jurang komunikasi, jurang pemisah dan jurang kehidupan. Membuat bangsa ini semakin terengah-engah membuat jembatan dengan tali yang hasai.
Meski begini, toh, bangsa kita masih terlihat adem ayem. Pemerintah masih duduk santai di kursi goyangnya. Menganggap semua baik-baik saja. Andai saja mereka menyadari ketidakberesan bangsa ini, secara tanpa bersalah mereka akan menutupinya dengan sebaik mungkin. Memuja ketentraman di lereng neraka.
Di luar sana, rakyat memekik histeris. Eforia bara penderitaan yang mereka suarakan selama ini hanya di dengar dengan tebal telinga oleh pemerintah. Lalu apa gunanya semua ini, partai politik dan sistem pemerintahan? Bila suara rakyat masih mendengung keras di telinga.
Apatisme bisa dibilang menjadi musuh terbesar dari bangsa ini. Adanya politik dan sistem pemerintahan untuk mensejahterahkan rakyat akan hangus bila kata ‘apatisme’ masih melekat. Pemerintah yang masih apatis terhadap rakyatnya akan merenggangkan hubungannya dengan rakyat. Dan rakyat akan menganggap pemerintah tak mempuyai hati nurani.
Magnis-Suseno, dikutip Nezar Patria dan Andi Arief (2003), semangat dan kepercayaan pada kehendak umum itulah yang menjadi basis konstruksi Negara versinya. Undang-undang menurutnya haruslah merupakan ungkapan kehendak umum, tidak ada perwakilan, karena kehendak rakyat tidak dapat diwakili, rakyat harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui perundangan yang diputuskan. Pemerintah hanya sekedar panitia yang bertugas melaksanakan keputusan rakyat. Jadi rakyat memerintah sendiri, apa yang dikehendaki rakyat itulah hukum. Maka Negara menjadi republic, res publica, atau urusan umum.
Kita selaku rakyat hanya bisa menunggu perubahan. Entah perubahan itu akan datang atau tidak, yang jelas keadilan harus tetap diwujudkan. Wajar saja jika politik menghitamputihkan kehidupan, karena segala aspek kehidupan di kelola olehnya. Dogma-dogma ini sudah melebur bersama nafas dan nyawa. Akan terus mendarah daging kepada generasi selanjutnya. Harus ada sistem dan pemahaman rasional yang bisa meruntuhkannya. Yang tak terpaku pada dogmatisme dan ritual semata, namun kepada tindakan dan polanya.
0 komentar