Krisis pangan di masa depan menggema di seluruh Nusantara
Negeri ini katanya kaya, tetapi faktanya, sebelum munculnya COVID-19, ketahanan pangan Indonesia sudah lama menjadi perhatian, bagaimana tidak, bumi kaya raya ini masih menggantungkan sandarannya pada negara lain, dengan impor bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan domestik seperti gula, beras, jagung, dan daging sapi. Ditambah lagi adanya pandemi global yang memberikan tekanan pada sistem yang sudah rapuh ini.
Jika kita melihat berita, pasti kita tahu bahwa Jokowi memberikan pernyataan seputar peringatan krisis pangan di masa depan, ia mengidentifikasi dan menyerukan untuk mengatasi masalah pasokan, distribusi, dan harga, yang menunjukkan bahwa ancaman kekurangan pangan yang membayangi Indonesia sangatlah nyata.
Dilansir dari The Guardian, PBB memperingatkan bahwa dunia telah menghadapi krisis pangan terburuk selama 50 tahun terakhir, dan akan semakin parah ke depannya. Bahkan, sistem pangan global mengalami kegagalan di banyak bidang, menurut PBB. Laporan tersebut menunjuk bahwa konflik, bencana alam, krisis iklim, dan datangnya hama serta wabah penyakit hewan dan tumbuhan, menjadi banyaknya faktor masalah yang ada.
Lalu, masihkah kita meremehkannya hanya gara-gara kita masih bisa makan nasi, dan membuat dapur kita tetap mengebul. Ingat, uang tidak akan ada artinya jika petani berhenti memproduksi hasil panennya. Lalu, buat apa itu uang sekoper kalau kebutuhan pokok saja sulit untuk didapatkan. Semakin hari, harga kebutuhan pokok semakin melambung tinggi. Masih ingat krisis ekonomi yang terjadi di Venezuela, di mana uang tidak ada artinya, karena harga kebutuhan pokoknya yang tidak masuk akal. Di sana, uang dicecerkan di jalan-jalan, tanpa ada yang tertarik untuk mengambilnya.
Peradaban sekuat apapun bisa runtuh. Pernah mendengar peradaban Romawi, Persia, Yunani, Ottoman? Mereka semua peradaban terkuat di zamannya. Tetapi, kejayaan mereka tidak mampu bertahan melawan derasnya waktu.
Jadi, masihkah gengsi untuk terjun langsung ke lahan, berkotor-kotor ria dengan tanah? Memanfaatkan lahan yang sudah diberikan oleh Tuhan Semesta Alam. Saya teringat dengan kutipan Tan Malaka.
"Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali!" - Tan Malaka (Madilog)
Kita memang tidak dapat memperlambat perubahan iklim, tapi kita bisa mengubah cara hidup kita dengan memproduksi, dan tidak membuang-buang makanan. Sadarkah kita, bahwa kehidupan kita tidak terlepas dari kepraktisan dan masalah materialistis. Dengan kecanggihan teknologi, kita bisa mendapatkan apapun semudah menjentikan jari. Kita ingin semuanya serba praktis, tanpa tahu apa artinya proses.
Kehidupan manusia hari ini adalah bagian dari budaya yang telah mendominasi peradaban barat, bahkan sebagian besar peradaban, selama beberapa ribu tahun. Kepercayaan yang menjadi stereotip di masyarakat menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang cerdas dan paling istimewa, bahwa seluruh isi bumi hanya untuk memenuhi keuntungan kita, bahwa kita berhak menjarahnya sesuai keinginan kita, dan perilaku moral hanya berlaku untuk sesama manusia, dan kita berhak memperlakukan hewan, lingkungan, dan bahkan semesta sesuai kehendak dan keserakahan kita, dan tidak dianggap sebagai masalah moral.
Nah, sikap egois inilah yang akhirnya membuat manusia menghancurkan dunia dan semesta kita - jadi jangan heran jika timbulah perubahan iklim, perusakan satwa laut, rusaknya kualitas tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, penggundulan hutan, dan keburukan-keburukan lainnya yang masih terus berlanjut. Pahamilah bahwa planet kita berada pada titik kritis, seperti kehancuran finansial atau ekonomi, moral, lingkungan, dan segala aspek penting lainnya.
Oleh sebab itu, Tuhan meminta kita untuk kembali kepada fitrah kita, melindungi alam dan bukan saja menjarahnya untuk keuntungan dan keserakahan sendiri. Kita boleh menggarap alam untuk keberlangsungan hidup, tapi kita juga harus merangkulnya, tidak mengeksploitasinya secara berlebihan. Itu mengapa pertanian adalah sentral dari keberlangsungan hidup umat manusia. Tanpa alam, sektor-sektor besar dunia tidak akan berjalan. Pikir saja, apa yang tidak kita keruk dari alam.
Lalu, pantaskah kita menjadi pejuang dan penegak?
0 komentar